jauh jaraknya dengan kampung laki-laki, seiring munculnya Onan Nainggolan dan itu semua membawa dampak yang besar terhadap mata pencaharian, pernikahan dan
antusias akan barang-barang mewah.
c. Agama
Masyarakat Nainggolan adalah masyarakat dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun itu tidaklah dengan mudah membuat mereka menjadi lebih
bertahan dan taat pada agama yang mereka anut. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya sekitar dua puluh persen masyarakat Nainggolan pada masa ini masih percaya
akan mitos, masih seringnya terlihat upacara mamele, yaitu menganggap sebuah tempat yang dihuni oleh nenek moyang mereka sebagai tempat yang sakral dan
keramat, bahkan mereka sering menyebutkan kata-kata Mulajadi Nabolon dalam upacara – upacara adat mereka.
Melakukan Upacara mangongkal holi mengambil dan mengumpulkan tulang-tulang nenek moyang hingga membuat tulang tersebut ke satu peti dan di
semen dalam batu kubur yang cantik sudah menjadi tradisi dan untuk melakukan ini dan menghabiskan biaya besar, bagian masyarakat yang sudah melakukan ini akan
dianggap masyur, kaya, dan terhormat.
d. Pendidikan
Masyarakat Nainggolan sebelum tahun 1965 kurang antusias akan dunia pendidikan. Hal ini bisa dipahami sebagai akibat dari persoalan pelik letak Pulau
Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Dimana posisi geografis daerah ini membuat masyarakatnya sulit untuk berkembang karena jalur ke dalam dan ke luar
dari daerah ini sangat susah pada masa itu. Dari faktor geografis tersebut terkadang
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan pemikiran bahwa setiap orang yang tinggal di daerah tersebut menjadi kurang berkembang sehingga dengan munculnya Onan di Desa Nainggolan ini
membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi lebih baik dan secara tidak langsung membawa pengembangan terhadap wilayah yang mereka
tempati. Pengaruh yang dibawa oleh para pedagang dari luar Pulau Samosir yang datang ke kampung Nainggolan tersebut diyakini membawa perubahan terhadap pola
hidup, dan pergeseran mata pencaharian yang sebelumnya di dominasi oleh pertanian kini banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Masyarakat Nainggolan ada juga
yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal ini bisa dilihat dari jenjang pendidikan masyarakat yang rata – rata sudah menamatkan pendidikannya dari
Sekolah lanjutan Atas bahkan ada juga yang mampu menembus bangku perkuliahan hingga tingkat sarjana.
Tabel 1. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Onan Runggu Tahun 1961
NO Mata
Pencaharian Tahun
1961 1971
1991 1.
Petani 5.664 Jiwa
8.725 Jiwa 9.387 Jiwa
2. Pedagang
4.774 Jiwa 7.658 Jiwa
17. 986 Jiwa 3.
PNSTNI 368 Jiwa
1.036 Jiwa 8.743 Jiwa
4. Buruh Tani
4.121 Jiwa 4.992 Jiwa
1.257 Jiwa 5.
Nelayan 6.357 Jiwa
5.956 Jiwa 1.679 Jiwa
Universitas Sumatera Utara
6. Total
21. 284 Jiwa 28. 367 Jiwa
39. 052 Jiwa Sumber: Kantor Statistik Kab. Tapanuli Utara
2.3 Keadaan
Onan Nainggolan Sebelum Tahun 1965
Secara historis Pasar Onan Nainggolan dulunya disebut Onan Pesanggrahan. Onan Pesanggrahan ini dulunya hanya merupakan tanah kosong yang digunakan
masyarakat sebagai tempat pesanggrahan atau tempat pertemuan raja-raja Batak Raja Bius dalam melakukan pertemuan penting, kecuali hari Senin karena difungsikan
sebagai pasar onan
7
Onan Pesanggrahan telah ada sejak tahun 1936 dan merupakan tanah milik marga Nainggolan Parhusip. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tugu Nainggolan
Parhusip di dekat lokasi pasar untuk menunjukkan kepada masyarakat banyak bahwa Onan tersebut dibangun di atas tanah marga Nainggolan Parhusip.
. Onan Pesanggrahan terletak di dekat pelabuhan Nainggolan. Tanahnya tidak begitu luas jika dibandingkan dengan lahan kosong di sekitarnya. Hal
ini dikarenakan masyarakat sekitar masih percaya bahwa tanah yang dijadikan sebagai Onan Pesanggrahan tersebut tidak angker jika dibandingkan dengan tanah
kosong lain di sekitarnya.
Sebelum Onan Nainggolan berdiri tahun 1936 penduduk Nainggolan untuk melakukan pertukaran barang harus ke Desa Silaban Kecamatan Palipi dengan
menggunakan transportasi kuda beban atau berjalan kaki. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa kapal mesin masuk ke daerah Samosir pada tahun 1933 oleh
7
A. Deddy Lumban Siantar, Wawancara, di Kampung Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir tanggal 1 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
Pastoran pada masa zending Katolik di Desa Silaban Kecamatan Palipi. Kapal inilah yang digunakan juga oleh Pastoran membantu masyarakat untuk digunakan sebagai
pengangkutan manusia dan barang-barang hasil bumi dengan rute penyeberangan sekali atau dua kali seminggu terjadi penyeberangan
Kondisi ini menimbulkan kegelisahan dari beberapa mayarakat sampai mereka menyampaikan aspirasi terhadap Tuan Nagari dan Raja Bius serta Raja Adat
supaya satu hati satu pemikiran melihat dan menyetujui sebuah lahan yang dianggap strategis sebagai tempat perkumpulan melakukan barter dan sebagai sarana
pengumuman atau undangan dan fasilitas pertemuan
8
Asal usul nama Onan Nainggolan yang disebut sampai sekarang ini, mempunyai latar belakang tersendiri. Menurut hasil wawancara dengan Deddy
Lumban Siantar bahwa nama Onan Nainggolan ini diambil karena tanah yang dijadikan sebagai lahan perdagangan sekarang ini adalah tanah milik Marga
Nainggolan Parhusip. Di samping itu, di daerah yang dijadikan areal dagang kebanyakan bermarga Nainggolan.
.
Dahulu areal ini merupakan tanah kosong yang biasanya digunakan oleh Raja- Raja Adat dalam melakukan pertemuan. Lama kelamaan daerah ini menjadi Onan
Nainggolan yang dijadikan sebagi tempat melakukan aktifitas dagang masih bersifat barter masyarakat. Hal ini terjadi atas permintaan masyarakat Nainggolan kepada
Raja Adat yang didasari atas kegundahan masyarakat akan jauhnya jarak yang harus ditempuh masyarakat dalam melakukan aktifitas dagang pada masa itu.
8
Wawancara dengan Ajumarar Parhusip di Kampung Sitonggor, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 2 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1936 pedagang masih menjajakan barang dagangannya dalam jumlah yang masih relatif sedikit. Jumlah pedagangnya pun masih sedikit, serta jarak
berjualannya juga masih berjauhan antara pedagang yang satu dengan pedagang lainnya. Para pedagang pada masa itu belum ditentukan tempat berjualannya karena
belum memiliki aturan yang benar-benar mengikat di antara para pedagang tersebut. Aturan yang berlaku hanya peraturan yang bersifat lisan saja, yang tidak saling
merugikan di antara para pedagang
9
Para pedagang biasanya menggunakan lahan yang kosong di sekitar Onan Pesanggrahan sebagai tempat menjajakan barang dagangannya. Dengan kata lain,
lapaklahan mereka tidak menetap. Siapa cepat dia dapat, istilah tersebut menggambarkan pola hidup pedagang pada masa itu. Siapa yang pertama tiba di areal
dagang dialah yang akan menempati areal tersebut hanya untuk hari itu saja. Pada hari selanjutnya, areal dagangnya bisa saja berganti ke tempat lain hanya karena
terlambat atau telah ditempati oleh pedagang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada peraturan sewa lahan untuk berdagang pada masa itu.
.
Jenis barang dagangan yang diperdagangkan berupa kebutuhan hidup sehari- hari, seperti sayur-mayur, padi, ubi, ikan, pakaian, attirha ubi yang direbus dengan
daun dan kebutuhan hidup lainnya. Pada saat itu para pedagang di pasar belum mengenal adanya uang, sehingga proses jual beli dengan uang belum ada pada masa
itu. Sistem yang dikenal pada masa itu adalah sistem barter, di mana barang ditukar dengan barang. Cara menghitung sistem barter pada masa itu tidak didasarkan pada
9
Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
nilai kegunaan dan manfaat barang melainkan berdasarkan kebutuhan masyarakat pada masa itu
10
Sebagai contoh si A memiliki 5 tumba beras. Beliau membutuhkan 2 ekor ikan mas sebagai lauk di rumah. Kemudian beliau akan mencari orang yang
membutuhkan beras di Onan yang kebetulan membawa ikan mas dan bersedia menukarkannya dengan beras yang dimilikinya. Kebetulan si B memiliki 2 ekor ikan
mas yang ingin menukarkan ikan dengan beras. Mereka akan membawa barang dagangannya ke Onan Pesanggrahan. Ketika si A dan si B bertemu maka akan terjadi
barter pertukaran barang dagangan yang didasarkan atas kebutuhan masing-masing. .
Pengunjung Onan Pesanggrahan tahun 1936 hanyalah warga dari sekitar daerah Nainggolan. Hal ini disebabkan karena pada masa itu hanya ada satu di daerah
Nainggolan. Di sisi lain belum ada angkutan yang memadai untuk masyarakat melakukan aktifitas dagang ke daerah lain. Hal inilah yang menyebabkan pengunjung
dan pedagang masih relatif sedikit jumlahnya. Sekitar tahun 1945 Onan Pesanggrahan tidak lagi digunakan oleh raja-raja
Bius dalam melakukan aktivitas rapat atau pertemuan lagi melainkan telah sepenuhnya menjadi pasar. Kemudian satu tahun setelahnya yakni tahun 1946 Onan
Pesanggrahan diganti namaya dengan Onan Nainggolan dan pada tahun itu juga disahkanlah Onan Nainggolan. Dalam upacara pengesahannya dilakukan ritual adat
Batak dengan melakukan upacara selama 3 hari 3 malam dengan tujuan agar Onan
10
Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Nainggolan tersebut terhindar dari hal-hal mistik dan dapat digunakan semaksimal mungkin oleh masyarakat sekitar sebagai tempat mencari nafkah
11
Mengingat kecenderungan jumlah penduduk yang semakin bertambah, karena manusia selalu berusaha merubah lingkungannya untuk memperoleh kebutuhan
hidupnya, sehingga tidak jarang mereka selalu merusak lingkungan alam sebagai tempat tinggalnya.
.
12
Seiring dengan kemajuan pada waktu itu, tanah kosong berubah secara perlahan. Sebagian pedagang mulai membuat undung-undung yaitu tenda yang
dibangun dengan empat buah bambu sebagai tiang penyangga. Kondisi pedagang masa itu sangat memprihatinkan. Pada saat hujan turun misalnya, pedagang yang
menjajakan barang dagangannya langsung di atas tanah yang beralaskan tikar akan sangat merugi dikarenakan kondisi Onan akan menjadi sangat becek. Oleh karena itu
pada tahun 1962 petugas pasar membangun undung-undung kepada para pedagang Dengan demikian, dulunya jumlah penduduk yang berada di
sekitar pasar masih sangat jarang telah berubah menjadi daerah yang cukup padat. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka yang datang banyak yang
menggantungkan mata pencahariannya di pasar tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan rumah di dekat pasar yang memanfaatkan badan pasar sehingga
menyebabkan luas pasar semakin menyempit. Untuk menghindari penyempitan tersebut, masyarakat membuat kawat duri di pinggiran pasar yang berguna untuk
membuat batasan antara rumah warga dengan pasar.
11
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
12
Zoer, aini, Djamuel Irwin, Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal.74
Universitas Sumatera Utara
dengan catatan pedagang memberikan uang iuran kepada petugas pasar sebagai sewa lahan dan undung-undung. Selain undung-undung ada pula sebagian bangunan yang
dibuat dari papan yang telah dibuat atapnya akan tetapi masih sebagian kecil. Uang iuran yang diberikan pada masa itu tidak dipatok jumlahnya, tergantung kerelaan
pedagang untuk memberikan iuran mereka. Jika hasil dagangan berlebih, tidak jarang para pedagang memberikan iuran berlebih. Sebaliknya jika pedagang tidak
mendapatka penghasilan yang cukup, mereka tidak memberikan iuran kepada petugas pasar. Uang hasil iuran tersebut selanjutnya akan diberikan sebahagian kepada
punguan Marga Parhusip sebagai sewa lahannya dan sebagian lagi akan diserahkan kepada pemerintah dinas pasar setempat
13
Pada tahun 1948 masyarakat telah mulai meninggalkan sistem barter dan mulai menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Setiap barang telah
ditentukan dengan harga yang diatur oleh pihak pedagang sehingga di pasar terjadi persaingan dalam menentukan harga barang. Istilah yang digunakan pada masa itu
adalah sasukku sasukku = 50sen. .
14
Pedagang biasanya menentukan harga barang dengan kebutuhan mereka untuk membeli barang lain yang mereka butuhkan dalam
tingkat kewajaran harga yang berlaku di pasar. Dalam hal ini pemerintah tidak ikut ambil bagian dalam menentukan harga barang di pasar.
13
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
14
Wawancara dengan Op.Dorlan Nainggolan 71 tahun tanggal 1 Agustus 2013 di desa Nainggolan Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERKEMBANGAN