Bentuk-bentuk Tindak Pidana Narkotika Pengaturan Tindak Pidana Narkotika

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Narkotika

Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika the drug trafficking industri, merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi- organisasi kejahatan transnasional Activities of Transnational Criminal Organizations di samping jenis kejahatan lain. Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat insidious, dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama frontal attack terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya. Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

C. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika

Narkotika masuk ke Indonesia diketahui pada tahun 1969 di Jakarta. Pada waktu itu dari sejumlah pasien yang berobat ke Senatorium Kesehatan Jiwa Dharmawangsa oleh psikiater mendapati seorang pasien pengguna narkotika dan sejak itulah disadari bahwa narkotika telah masuk ke Indonesia. 26 Pola peredaran narkotika di Indonesia melalui udara terutama di pelabuhan udara yang banyak menerima wisatawan mancanegara. Meskipun diketahui Indonesia telah masuk narkotika tahun 1969 dalam tingkat peredaran Indonesia diketahui sebagai negara transit. Pada tahun 1999 status tersebut telah berubah menjadi negara tujuan pemasaranpengguna. Perubahan terjadi setelah jumlah korban terus bertambah dan tertangkapnya jenis narkotika oleh petugas Bea Cukai di Bandara Internasional dalam jumlah yang banyak. Di samping itu pula aparat kepolisian berhasil menangkapmembongkar jaringan sindikat pengedar tingkat internasional di Hotel berbintang dan tempat-tempat pemukiman penduduk.Oleh karena pengawasan peredaran narkotika yang semakin ketat sejak tahun 1999 Sejak diketemukan sampai tahun 1972 jumlah pasien penyalahgunaan narkotika terus meningkat dan Senatorium kewalahan menanganinya. Pada tahun 1972 didirikanlah Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO Fatmawati. 26 Zulkarnain Nasution, dkk, Modul Penyuluhan Klasikal, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, GAN Indonesia dan Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara PIMANSU, Medan, 2004, hlm 46. narkotika masuk ke Indonesia tidak hanya lewat pelabuhan udara tetapi melalui jalur laut dan darat dan dimungkinkan telah beredar ke kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Di samping itu pula ada jenis-jenis narkotika yang telah diproduksi secara illegal. 27 Perkembangannya transaksi narkotika di Jakarta tahun 2000 setiap harinya diperkirakan 1,3 milyar rupiah yang diimpor secara gelap dari manca Negara. 28 1. Lewat paket pos yang dikirim dari mancanegara kepada seseorang di negara tujuan dengan menggunakan nama alibialias, guna menghindari tertangkapnya si pemesan. Jika barang tersebut lolos dari sensor atau pengawasan aparat, narkotika yang dalam paket sampai ke tangan pengedarbanda. Sindikat jaringan pengedar sangat dideteksi oleh aparat Bea Cukai. Diperkirakan masuknya narkotika dari mancanegara tidak dapat dituntaskan mengingat adanya negara di Kawasan Asia yang mengandalkan ekspornya dari jenis-jenis narkotika. Di samping itu wilayah Indonesia bertetangga dengan negara Australia yang menjadi negara tujuan pemasaran setelah transit lebih dahulu di bandara internasional di Indonesia, setidaknya waktu transit dimungkinkan pengedar mengupayakan narkotika yang tertinggal. Berbagai kajian yang dilakukan pemerhati masalah narkotika disimpulkan bahwa pola peredaran narkotika sangat bervariasi yakni 27 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 1991, hlm 28 28 Ibid. hlm 46 2. Lewat orang yang diberi gajiupah dengan membawa secara langsung yang tersimpan dalam kaskoper yang telah dikemas sampai tidak terdeteksi alat sensor di pelabuhan udara. Penentuan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana haruslah melewati tahap kriminalisasi, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”. 29 Teori-teori criminali sering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor -faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali. Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan- landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem 30 Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari 29 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002, hlm. 255. 30 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 2001 hlm. 55 sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem. 31 Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat jangka pendek sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, ini disebut legalitas dalam hukum pidana. 32 Dalam hal ini negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma- norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana permusan delik mempunyai hubngan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya terti hukum dalam suatu Negara. 33 Proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang- undangan Diana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana tahap formulasi. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk 31 Teguh Prasetyo dan Abdul Hlmim Bakatullah,Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. hlm. 14 32 Ibid., hlm 5 33 Ibid. diterapkan oleh hakim tahap aplikasi dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi tahap eksekusi. 34 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 35 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil danatau spiritual atas warga masyarakat; mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil danatau spiritual atas warga masyarakat; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil cost benefit principle; 34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2010, hlm 32 35 Ibid., hlm 48 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overblasting Berangkat dari permasalahan di atas maka dalam Undang-Undang Narkotika sendiri perlulah memiliki suatu kebijakan tertulis mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pada Bab XV Ketentuan Pidana yaitu pada Pasal 111 sampai Pasal 148. Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika telah diatur pada kebijakan Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu: a. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan precursor narkotika, meliputi 1 Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan narkotika golongan II bukan tanaman; 2 Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III, yang tidak menaati ketentuan perundang-undang yang berlaku, seperti: a memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III; b menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III; c membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III; d menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, golongan II, narkotika golongan II setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri; b. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129; c. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan 126, dan Pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi; d. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 undang-undang ini; e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut; f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi: 1 Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Pasal 45; 2 pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; 3 pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; 4 pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau 5 Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau; 6 mengedarkan narkotika golongan II dan III, bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; 7 nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28; 8 Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89; 9 Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat 2 dan ayat 3, dan Pasal 92 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4; 10 Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 dipidana penjara dan pidana denda; 11 Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda; g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi: 1 Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 2 Pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun; 3 Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika danatau tindak pidana precursor narkotika di muka sidang pengadilan; 4 Narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang diguakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dirampas untuk negara. 5 saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda; 6 apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar; 7 setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga. Melakukan kejahatan money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, meliputi: a. menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, danatau mentrasfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika; b. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan, atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika; Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan setelah Warga negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Republik Indonesia. 37 BAB III PERTIMBANGAN HAKIM YANG DILAKUKAN HAKIM DALAM PELAKSANAAN PENOLAKAN KASASI DALAM PUTUSAN NOMOR 2338 KPID.SUS2013

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18