BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, maka kualitas sumber daya manusia selanjutnya disebutt
SDM Indonesia, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, perlu ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya.
Hal ini berarti, untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan di
bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi, dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, dan di sisi lain, melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.
1
Realita yang ada di masyarakat, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sudah tidak lagi pada tingkat yang mengkhawatirkan, melainkan sudah
sampai pada titik yang berbahaya, karena dalam lima tahun terakhir, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan
1
Legal-community.blogspot.com201108Dasar Pertimbangan Hakim Sehingga Tidak.html, diakses tanggal 11 Januari 2015
peningkatan yang sangat tajam.
2
Masalah narkotika dapat dikategorikan sebagai masalah nasional dan bahkan termasuk masalah internasional, karena sudah banyak konvensi-konvensi
internasional yang mengatur tentang penggunaan dan peredaran narkotika dikeluarkan oleh badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara
lain : Perlu adanya penanganan yang intensif agar
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tersebut dapat teratasi, karena apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa ditangani dengan baik oleh
semua pihak yang terkait pemerintah, masyarakat, keluargaorang tua, sekolah, dan sebagainya, maka sudah tentu pada akhirnya ini akan berdampak buruk bagi
kelangsungan masa depan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melalui aparatur penegak hukum, berkewajiban menegakkan hukum dan perundang-undangan,
dengan cara menindak tegas dan memberikan sanksi pidana terhadap setiap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai pengguna maupun pengedar
narkotika. Terjadinya kecemasan di tengah-tengah masyarakat akibat
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lebih disebabkan karena, dampak yang ditimbulkan lebih jauh lagi adalah meningkatnya angka kriminal, seperti
perampokan, perkosaan, pembunuhan, tawuran, dan lain-lain, yang dapat menciptakan keresahan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Dengan
kata lain, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat.
2
O.C. Kaligis Soedjono Dirdjosisworo, Narkoba Peradilannya di Indonesia Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan, O.C. Kaligis Associates,
2006, hlm. 6
1. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 United Nations Conference for
Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug 1961 ; 2.
Convention on Manufacture and Distribution of Narcotic Drugs Jenewa 1931 ;
3. Convention for Suppression of Illicit Traffic in Dangerous Drugs Jenewa
1936 ; Perlu dilakukan pendekatan lain untuk mencegah semakin banyaknya
peredaran narkotika dan semakin meluasnya penggunaan narkotika. Hal ini dapat dimulai jika sudah ada pembedaan yang jelas dan tegas antara pengguna dan
pengedar narkotika, sehingga pada akhirnya hukuman yang dijatuhkan terhadap pengguna tidak dapat disamakan dengan pengedar narkotika. Hukuman bagi
pengedar narkotika seharusnya lebih berat dibandingkan hukuman yang akan diterima oleh pengguna narkotika, karena akibat dari narkotika yang diedarkannya
tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak yang negatif bagi penggunanya. Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang
mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi narkotika yang dijual oleh pengedar. Hasil pengamatan dan pemantauan terhadap kinerja pengadilan dalam
memproses para pelaku tindak pidana narkotika, diperoleh fakta bahwa meskipun banyak para hakim telah menjatuhkan vonis yang sangat berat, tetapi masih
banyak juga bukti yang menandakan masih adanya ketidakadilan di dalam penjatuhan pidana oleh majelis hakim di dalam persidangan tindak pidana
narkotika. Hal ini juga dapat dilihat dari aturan hukum yang telah menetapkan
hukuman maksimal, akan tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menetapkan penerapan hukuman maksimal tersebut dalam putusannya.
Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah
konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna
Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang
berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang.
3
Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik
dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh suburkan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional
maupun modern, sehingga samar perbuatan yang legal dan illegal. Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun
bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHPidana. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan
atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama. Kejahatan berkembang seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya disebut IPTEK.
3
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip: Semarang, 1995, hlm 98
Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai,
akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik pencucian uang bisa
dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di
dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan
adanya kecakapan teknik membuatnya.
4
Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang
bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Di mana dalam pertimbangan- pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil,
yaitu untuk menegakkan hukum kepastian hukum dan memberikan keadilan. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat
berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.
5
4
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 hlm 94.
5
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm 50.
Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian
ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran
hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.
Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang
menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya
hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
6
Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:
7
1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan
yang dilakukan oleh pelakunya; 2.
Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya; 4.
Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana
dapat diterima dalam pergaulan masyarakat. Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses
yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus
meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
6
Ahmad Rifai, Op cit, hlm 111.
7
Ibid, hlm 112.
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan
dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim
bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.
8
B. Perumusan Masalah