Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers pembuat kebijakan untuk mempengaruhi street level bureaucracy pelaksana kebijakan untuk memberikan
pelayanan atau mengatur perilaku target group sasaran kebijakan. Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan
menjadi sia-sia. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan rantai tindakankegiatan
yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil outcome kebijakan yang diharapkan dan didalamnya aktorpelaksana,
organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.
1.5.2 Model Implementasi Kebijakan George Edward III
Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu,
diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang penulis gunakan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Menurut Edward implementasi merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya
mengelola input untuk menghasilkan output bagi masyarakat. Edward melihat
implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi
kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward
menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:
1 Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
2 Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi
kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor
yang berperan penting dalam implementasi suatu kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor
communication, resources, disposition, dan bureucratic structure Edward dalam Widodo, 2011:96-110.
Gambar 1.5.2 Model Implementasi George C. Edward III
a Komunikasi Communication
Menurut Harorl D. Lasswell 1960, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa,
kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? Mulyana, 2005:69. Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada
komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan policy makers kepada
pelaksana kebijakan policy implementors Widodo, 2011:97. Widodo kemudian menambahkan bahwa suatu keberhasilan dari implementasi
kebijakan mensyaratkan agar pelaku kebijakanimplementator dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuanarah, kelompok sasaran target group kebijakan,
sehingga pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan dikomunikasikan kepada kelompok sasaran serta dapat mempersiapkan hal-hal
apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, dengan demikian proses implementasi kebijakan bisa berjalan efektif serta sesuai dengan tujuan
kebijakan itu sendiri. Komunikasi merupakan tolak ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk
suatu peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh aparat pelaksananya. Menurut Edward III
ada tiga hal penting yang menjadi dimensi dalam proses komunikasi kebijakan yaitu tranformasi informasi transimisi, kejelasan informasi clarity dan
konsistensi informasi consistency. Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada
kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Tujuan dan sasaran kebijakan juga harus diinformasikan kepada kelompok sasaran target group sehingga akan
mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan
sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran
yang bersangkutan. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang disampaikan jelas dan mudah dipahami sehingga tidak terjadi kesalahan
interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi
menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsistentidak berubah- ubah sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak terkait. 1.
Komponen Komunikasi Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa
berlangsung dengan baik. Menurut Laswell dalam West:2007 komponen-
komponen komunikasi adalah:
1.1 Pengirim atau komunikator sender adalah pihak yang mengirimkan pesan
kepada pihak lain.
1.2 Pesan message adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu
pihak kepada pihak lain.
1.3 Saluran
channel adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi tatap muka saluran dapat
berupa udara yang mengalirkan getaran nadasuara.
1.4 Penerima atau komunikate receiver adalah pihak yang menerima pesan dari
pihak lain
1.5 Umpan balik feedback adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi
pesan yang disampaikannya.
1.6 Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana
komunikasi itu akan dijalankan Protokol
2. Proses Komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut Mulyana:2007.
2.1 Komunikator sender yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang
lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat
simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak. 2.2
Pesan message itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara
langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.
Media channel alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikan receiver menerima pesan yang disampaikan dan
menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri lalu memberikan umpan balik feedback atau tanggapan
atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.
3. Model-Model Komunikasi
Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, yaitu: Wiryanto:2004
3.1 Model Komunikasi Linear
Model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1949 dalam buku The Mathematical of Communication. Yang
ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran. Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi
linear. Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber, pesan, dan penerima. Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau
penerima. Suatu konsep penting dalam model ini adalah gangguan noise, yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki yang dapat mengganggu
kecermatan pesan yang disampaikan. Gangguan ini selalu ada dalam saluran bersama sebuah pesan yang diterima oleh penerima.
3.1 Model Komunikasi Interaksional
Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator.
Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah: dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan
bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya
melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu
elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik feedback, atau tanggapan terhadap suatu pesan.
3.2 Model Komunikasi Transaksional
Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970. Model ini menggaris bawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang
berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif: pengirim dan penerima sama-sama
bertanggungjawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus-menerus mengirimkan dan
menerima pesan, kita berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal. Dengan kata lain, peserta komunikasi komunikator melalukan proses negosiasi
makna.
b Sumber Daya Resources
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo 2011:98 mengemukakan “Bagaimanapun jelas dan
konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara
efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.” Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.
1 Sumber Daya Manusia Staff Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilankeahlian, dedikasi, profesionalitas,
dan kemampuankompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya
manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang handal implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
2 Anggaran Budgetary Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadai,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. 3 Fasilitas facility
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak,
seperti gedung, tanah, peralatan perkantoran serta fasilitas pendukung lainnya yang tersedia untuk oprasionalisasi pelaksanaan suatu kegiatanprogram dan
dipergunakan untuk mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan sehingga dapat menunjang keberhasilan implementasi suatu
program atau kebijakan. 4 Informasi dan Kewenangan Information and Authority
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan berkaitan dengan bagaimana cara
pelaksanaan suatu kebijakan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan, pesan, pedoman, petunjuk, dan tata cara
pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Ada dua bentuk informasi yaitu 1 informasi yang berhubungan dengan cara pelaksanaan
kebijakanprogram pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan 2 informasi mengenai data dalam bentuk peraturan pemerintah
dan undang-undang yang telah ditetapkan. Kekurangan informasipengetahuan
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan inefisien. Dalam
implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi serta individu terhadap peraturan pemerintah yang ada
.
Sementara kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan yang diamanatkan
dalam suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Wewenang berperan penting untuk meyakinkan dan menjamin bahwa program yang dilaksanakan dapat diarahkan
kepada sebagaimana yang diharapkan. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat
menggagalkan implementasi kebijakan publik. kewenangan berguna untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan
mengatur keuangan, pengadaan staf, maupun pengadaan sunber daya lainnya. Dengan kewenangan yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki
oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan.
Kewenangan ini menjadi penting ketika dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karena itu,
Edward III dalam Widodo 2011:103, menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri
untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya.
c Disposisi Disposition
Menurut Edward III dalam Wianarno 2005:142-143 Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam
mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya
komunikatif, cerdik, inisiatif, sifat demokratis, kejujuran, dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa
program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas,
wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikapdisposisi yang baik maka dia
akan dapat menjalankan kebijakan dengan sunguh-sungguh seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung
maka proses implementasi kebijakanprogram yang ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang
dikemukakan Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya diskresi dengan cara yang halus menghambat
implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya. Edward III dalam Widodo 2011:104-105 mengatakan
bahwa “Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana implementors tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.”
Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu: Edwards III:1980 1
Respons implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjukarahan pelaksana untuk merespon program akan mempengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; 2
Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; 3
Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran
program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustino 2006:159-160 mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
Penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan
karakteristik demografi yang lain. 2.
Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana agar mereka mendukung dan bekerja secara
total dalam melaksanakan kebijakanprogram tersebut. Mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau
biaya tertentu akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan pribadi atau organisasi. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dalam mendukung dispositions untuk
kesuksesan implementasi kebijakan harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan menjalankan kebijakan itu sendiri dan
bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan publik
yang baik.
d Struktur Birokrasi Bureucratic Structure
Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:69.
Birokrasi merupakan salah satu institusi yang secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan, bahkan dalam beberapa kasus birokrasi diciptakan hanya
untuk menjalankan suatu kebijakanprogram tertentu. Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Menurut Edwards III
dalam Winarno 2005:150 Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam
implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standard Operation Procedure SOP. SOP merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian
waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini menjadi pedoman
bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan dan juga digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta Winarno, 2005:150. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas,
sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
Aspek kedua adalah fragmentasi, peyebaran tanggung jawab kegiatan atau
aktivitas diantara beberapa unit kerja dalam pelaksanaan tugas yang dilaksanakan tanpa adanya tumpang tindih dengan tetap mencangkup pembagian tugas secara
menyeluruh dalam melaksanakan suatu kebijakan. Umumnya organisasi menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatan
dan hierarki struktur organisasi. Garis antara berbagai posisi dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi
bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar,
yaitu; 1 jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang bertanggungjawab kepada siapa?”; 2 pelembagaan berbagai jenis
kegiatan oprasional sehingga terlihat jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”; 3 Berbagai saluran komunikasi yaitu jaringan kerja
komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan
siapa dan untuk kepentingan apa?”; 4 jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual;
5 koordinasi, hubungan antara satuan organisasi dengan organisasi lainnya. Struktur organisasi yang terlalu panjang dan hierarki birokrasi yang berlapis-
lapis akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi menjadi tidak fleksibel oleh karena itu diperlukan mekanisme dan fragmentasi yang jelas dalam pelaksanaan suatu kebijakan agar berjalan dengan
baik.
1.5.3 Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial