”IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24
TAHUN 2011 STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI”.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan yaitu
a. Apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat
diimplementasikan dengan baik oleh implementor BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai ?
b. Apakah ada kendala dalam implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 ? c.
Apa yang dilakukan implementor BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai untuk menyelesaikan kendala tersebut ?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai.
b. Untuk mengetahui kendala dalam implementasian kebijakan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011. c.
Untuk mengetahui cara implementor BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai dalam menyelesaikan kendala yang ada.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Praktis
Dengan diadakannya penelitian ini, maka diharapkan dapat menjadi suatu alat penilaian kinerja BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang
Binjai dalam rangka pelaksanaan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
1.4.2 Teoritis
a. Diharapkan dapat mengerti dan memahami pelaksanaan program
jaminan sosial ketenagakerjaan berdasarkan kebijakan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. b.
Diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memperkaya bahan pustaka yang berkaitan dengan Ilmu Administrasi Negara khususnya
tentang penyelenggaraan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
1.4.3 Akademis A. Bagi Mahasiswa
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
2. Untuk memperdalam dan memperluas wawasan penelitian dalam
teori dan praktek dilapangan tentang implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.
3. Dapat menerapkanmengaplikasikan teori-teori dan ilmu yang didapat
selama perkuliahan.
4. Untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan
berfikir dalam membuat karya ilmiah.
B. Bagi Jurusan Administrasi Negara FISIP USU
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau referensi maupun perbandingan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya
yang sejenis.
1.5 Kerangka Teori
Singarimbun, 2008:37 menyebutkan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai
landasan teoritis untuk pelaksanaan peneitian Sugiyono:2008. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kerangka teori adalah suatu
model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori yang merupakan kesimpulan dari tinjauan puskata yang berisi tentang konsep-konsep teori yang
dipergunakanberhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan dengan berbagai faktor‐faktor yang didefinisikan sebagai masalah yang penting.
Menurut Nawawi 1991:39 mengatakan bahwa setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti
masalahnya. Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan peneliti dalam upaya menjelaskan fenomena yang diteliti. Sebelum
melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu
kerangka teori sebagai landasan berfikir yang menggambarkan dari sudut mana penulis menyoroti masalah yang ditelitinya. Kerangka teori adalah bagian dari
penelitian tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel, atau masalah yang ada dalam
penelitian Arikunto, 2002:92. Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang
memberikan pemahaman yang jelas bagi peneliti dalam memahami permasalahan yang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kerangka teori merupakan
sarana untuk menjawab rumusan masalah dan sebagai landasan teoritis dan menjadi pedoman untuk melakukan analisis dalam penelitian ini. Adapun yang
menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagi berikut:
1.5.1 Implementasi Kebijakan
Kebijakan publik mengandung tiga komponen dasar, yaitu: 1 tujuan yang hendak dicapai, 2 sasaran yang spesifik, dan 3 cara mencapai tujuan. Cara
mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program, aksi, dan aktivitaskegiatan. Implementasi
kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses kebijakan karena kebijakan publik yang dibuat akan bermanfaat bila diimplementasikan. Terdapat
beberapa konsep mengenai implementasi kebiajakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologi, implementasi menurut kamus Webster adalah
“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement mengimplementasikan berarti to provide the
means for carrying out menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu; dan
to give proctical effect to untuk menimbulkan dampakakibat terhadap sesuatu Webster dalam Wahab 2006:64.
Pengertian implementasi dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individupejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan” Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:65. Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier 1983 menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya
pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat-akibatdampak
nyata pada masyarakat atau kejadian kejadian”. Mazmanian dan Sabatier juga memberikan gambaran bagaimana melakukan implementasi kebijakan dengan
langkah sebagai berikut: 1
Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, 2
Menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan 3
Merancang struktur proses implementasi, dengan demikian program harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum maka program harus
diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek.
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers pembuat kebijakan untuk mempengaruhi street level bureaucracy pelaksana kebijakan untuk memberikan
pelayanan atau mengatur perilaku target group sasaran kebijakan. Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan
menjadi sia-sia. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan rantai tindakankegiatan
yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil outcome kebijakan yang diharapkan dan didalamnya aktorpelaksana,
organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.
1.5.2 Model Implementasi Kebijakan George Edward III
Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu,
diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang penulis gunakan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Menurut Edward implementasi merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya
mengelola input untuk menghasilkan output bagi masyarakat. Edward melihat
implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi
kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward
menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:
1 Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
2 Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi
kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor
yang berperan penting dalam implementasi suatu kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor
communication, resources, disposition, dan bureucratic structure Edward dalam Widodo, 2011:96-110.
Gambar 1.5.2 Model Implementasi George C. Edward III
a Komunikasi Communication
Menurut Harorl D. Lasswell 1960, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa,
kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? Mulyana, 2005:69. Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada
komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan policy makers kepada
pelaksana kebijakan policy implementors Widodo, 2011:97. Widodo kemudian menambahkan bahwa suatu keberhasilan dari implementasi
kebijakan mensyaratkan agar pelaku kebijakanimplementator dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuanarah, kelompok sasaran target group kebijakan,
sehingga pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan dikomunikasikan kepada kelompok sasaran serta dapat mempersiapkan hal-hal
apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, dengan demikian proses implementasi kebijakan bisa berjalan efektif serta sesuai dengan tujuan
kebijakan itu sendiri. Komunikasi merupakan tolak ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk
suatu peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh aparat pelaksananya. Menurut Edward III
ada tiga hal penting yang menjadi dimensi dalam proses komunikasi kebijakan yaitu tranformasi informasi transimisi, kejelasan informasi clarity dan
konsistensi informasi consistency. Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada
kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Tujuan dan sasaran kebijakan juga harus diinformasikan kepada kelompok sasaran target group sehingga akan
mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan
sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran
yang bersangkutan. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang disampaikan jelas dan mudah dipahami sehingga tidak terjadi kesalahan
interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi
menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsistentidak berubah- ubah sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak terkait. 1.
Komponen Komunikasi Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa
berlangsung dengan baik. Menurut Laswell dalam West:2007 komponen-
komponen komunikasi adalah:
1.1 Pengirim atau komunikator sender adalah pihak yang mengirimkan pesan
kepada pihak lain.
1.2 Pesan message adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu
pihak kepada pihak lain.
1.3 Saluran
channel adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi tatap muka saluran dapat
berupa udara yang mengalirkan getaran nadasuara.
1.4 Penerima atau komunikate receiver adalah pihak yang menerima pesan dari
pihak lain
1.5 Umpan balik feedback adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi
pesan yang disampaikannya.
1.6 Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana
komunikasi itu akan dijalankan Protokol
2. Proses Komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut Mulyana:2007.
2.1 Komunikator sender yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang
lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat
simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak. 2.2
Pesan message itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara
langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.
Media channel alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikan receiver menerima pesan yang disampaikan dan
menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri lalu memberikan umpan balik feedback atau tanggapan
atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.
3. Model-Model Komunikasi
Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, yaitu: Wiryanto:2004
3.1 Model Komunikasi Linear
Model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1949 dalam buku The Mathematical of Communication. Yang
ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran. Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi
linear. Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber, pesan, dan penerima. Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau
penerima. Suatu konsep penting dalam model ini adalah gangguan noise, yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki yang dapat mengganggu
kecermatan pesan yang disampaikan. Gangguan ini selalu ada dalam saluran bersama sebuah pesan yang diterima oleh penerima.
3.1 Model Komunikasi Interaksional
Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator.
Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah: dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan
bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya
melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu
elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik feedback, atau tanggapan terhadap suatu pesan.
3.2 Model Komunikasi Transaksional
Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970. Model ini menggaris bawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang
berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif: pengirim dan penerima sama-sama
bertanggungjawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus-menerus mengirimkan dan
menerima pesan, kita berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal. Dengan kata lain, peserta komunikasi komunikator melalukan proses negosiasi
makna.
b Sumber Daya Resources
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo 2011:98 mengemukakan “Bagaimanapun jelas dan
konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara
efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.” Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.
1 Sumber Daya Manusia Staff Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilankeahlian, dedikasi, profesionalitas,
dan kemampuankompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya
manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang handal implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
2 Anggaran Budgetary Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadai,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. 3 Fasilitas facility
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak,
seperti gedung, tanah, peralatan perkantoran serta fasilitas pendukung lainnya yang tersedia untuk oprasionalisasi pelaksanaan suatu kegiatanprogram dan
dipergunakan untuk mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan sehingga dapat menunjang keberhasilan implementasi suatu
program atau kebijakan. 4 Informasi dan Kewenangan Information and Authority
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan berkaitan dengan bagaimana cara
pelaksanaan suatu kebijakan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan, pesan, pedoman, petunjuk, dan tata cara
pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Ada dua bentuk informasi yaitu 1 informasi yang berhubungan dengan cara pelaksanaan
kebijakanprogram pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan 2 informasi mengenai data dalam bentuk peraturan pemerintah
dan undang-undang yang telah ditetapkan. Kekurangan informasipengetahuan
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan inefisien. Dalam
implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi serta individu terhadap peraturan pemerintah yang ada
.
Sementara kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan yang diamanatkan
dalam suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Wewenang berperan penting untuk meyakinkan dan menjamin bahwa program yang dilaksanakan dapat diarahkan
kepada sebagaimana yang diharapkan. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat
menggagalkan implementasi kebijakan publik. kewenangan berguna untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan
mengatur keuangan, pengadaan staf, maupun pengadaan sunber daya lainnya. Dengan kewenangan yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki
oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan.
Kewenangan ini menjadi penting ketika dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karena itu,
Edward III dalam Widodo 2011:103, menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri
untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya.
c Disposisi Disposition
Menurut Edward III dalam Wianarno 2005:142-143 Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam
mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya
komunikatif, cerdik, inisiatif, sifat demokratis, kejujuran, dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa
program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas,
wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikapdisposisi yang baik maka dia
akan dapat menjalankan kebijakan dengan sunguh-sungguh seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung
maka proses implementasi kebijakanprogram yang ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang
dikemukakan Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya diskresi dengan cara yang halus menghambat
implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya. Edward III dalam Widodo 2011:104-105 mengatakan
bahwa “Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana implementors tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan
mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.”
Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu: Edwards III:1980 1
Respons implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjukarahan pelaksana untuk merespon program akan mempengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; 2
Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; 3
Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran
program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustino 2006:159-160 mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
Penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan
karakteristik demografi yang lain. 2.
Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana agar mereka mendukung dan bekerja secara
total dalam melaksanakan kebijakanprogram tersebut. Mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau
biaya tertentu akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan pribadi atau organisasi. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dalam mendukung dispositions untuk
kesuksesan implementasi kebijakan harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan menjalankan kebijakan itu sendiri dan
bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan publik
yang baik.
d Struktur Birokrasi Bureucratic Structure
Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:69.
Birokrasi merupakan salah satu institusi yang secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan, bahkan dalam beberapa kasus birokrasi diciptakan hanya
untuk menjalankan suatu kebijakanprogram tertentu. Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Menurut Edwards III
dalam Winarno 2005:150 Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam
implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standard Operation Procedure SOP. SOP merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian
waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini menjadi pedoman
bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan dan juga digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta Winarno, 2005:150. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas,
sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
Aspek kedua adalah fragmentasi, peyebaran tanggung jawab kegiatan atau
aktivitas diantara beberapa unit kerja dalam pelaksanaan tugas yang dilaksanakan tanpa adanya tumpang tindih dengan tetap mencangkup pembagian tugas secara
menyeluruh dalam melaksanakan suatu kebijakan. Umumnya organisasi menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatan
dan hierarki struktur organisasi. Garis antara berbagai posisi dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi
bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar,
yaitu; 1 jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang bertanggungjawab kepada siapa?”; 2 pelembagaan berbagai jenis
kegiatan oprasional sehingga terlihat jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”; 3 Berbagai saluran komunikasi yaitu jaringan kerja
komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan
siapa dan untuk kepentingan apa?”; 4 jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual;
5 koordinasi, hubungan antara satuan organisasi dengan organisasi lainnya. Struktur organisasi yang terlalu panjang dan hierarki birokrasi yang berlapis-
lapis akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi menjadi tidak fleksibel oleh karena itu diperlukan mekanisme dan fragmentasi yang jelas dalam pelaksanaan suatu kebijakan agar berjalan dengan
baik.
1.5.3 Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Menimbang bahwa bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Maka untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk
badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat,
dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat
terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas persetujuan bersama Dewan Perwalilan Rakyat DPR dan Presiden
menetapkan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang merupakan bentuk perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
BPJS terdiri dari dua bentuk yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan
kesehatan PT ASKES, dana tabungan dan asuransi pegawai negeri PT TASPEN, Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia PT ASABRI dan
lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT JAMSOSTEK. Transformasi PT Askes serta PT JAMSOSTEK menjadi BPJS yang akan dilakukan pada tanggal 1
Januari 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, dan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan BPJS
Ketenagakerjaan merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan
penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi
sosial . Sebagai Lembaga
Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan merupakan pelaksana sistem jaminan sosial nasional dibidang ketenagakerjaan.
A. Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional National Social Security System adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik
Indonesia guna menjamin warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Menurut Guy Standing 2000 Jaminan sosial adalah suatu sistem untuk memberikan jaminan pendapatan untuk menghadapi risiko kontingensi
kehidupan seperti sakit, bersalin, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat, hari tua dan kematian; penyediaan perawatan medis, dan pemberian subsidi untuk
keluarga dengan anak-anak. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.
Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-
negara maju dan berkembang sejak lama Arifianto:2004. Landasan Yuridis SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah Putri:2014:
1. Dasar Hukum pertama dari Jaminan Sosial Nasional ini adalah UUD 1945 dan
perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, pasal 34.
2. Deklarasi HAM PBB atau
Universal Declaration of Human Rights tahun 1948
dan konvensi ILO
No.102 tahun 1952. 3.
TAP MPR RI no XMPR2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
4. UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN.
Keterangan:
UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program jaminan sosial yang ada sebelumnya Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri yang
dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai,
dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut. Manfaat program Jamsosnas tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua, asuransi
kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka
termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.
B. Program Jaminan Sosial Nasional Jamsosnas
Sesuai dengan pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, program jamsosnas dibidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
1 Jaminan Kecelakaan Kerja
Program jaminan kecelakaan kerja adalah suatu program pemerintah dan pemberi kerja dengan tujuan memberikan kepastian
jaminan pelayanan dan santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju, melaksanakan, dan selesai melaksanakan tugas
perkerjannya dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut Naskah akademik SJSN Putri:2014
2 Jaminan Hari Tua
Program jaminan hari tua JHT adalah sebuah program manfaat pasti defined benefit yang beroperasi berdasarkan asas “membayar
sambil jalan” pay-as-you-go. Manfaat pasti program ini adalah suatu persentasi rata-rata pendapatan tahun sebelumnya, yaitu antara 60
hingga 80 dari Upah Minimum Regional UMR daerah di mana penduduk tersebut bekerja. Setiap pekerja akan memperoleh pensiun
minimum pasti sejumlah 70 dari UMR setempat Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 Putri:2014.
3 Jaminan Kematian
Santunan kematian adalah program jangka pendek sebagai pelengkap program jaminan hari tua yang dibiayai dari iuran dan hasil
pengelolaan dana santunan kematian dan manfaatnya diberikan kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia
Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 Putri:2014. 4
Jaminan Pensiun Program jaminan pensiun adalah pembayaran berkala jangka
panjang sebagai substitusi dari penurunanhilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua pensiun, mengalami cact total permanan, atau
meninggal dunia Naskah Akademik SJSN Putri:2014.
C. Tenaga Kerja Pekerja
Tenaga kerja secara umum dapat diartikan sebagai bagian dari penduduk suatu negara yang sanggup menghasilkan pekerjaan yang mempunyai nilai
ekonomis, baik pekerjaan itu berupa mengerjakan tanah, tambang, dalam pabrik, dalam pengangkutan atau perdagangan maupun pekerjaan administrasi atau
kegiatan ilmiah. Dr Edgar C. McVoy mengatakan bahwa: “angkatan kerja adalah bagian dari populasi negara yang terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi. Tenaga
kerja potensial terdiri dari orang-orang dalam populasi yang saat ini tidak terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi, tetapi yang mungkin ditarik ke dalam kegiatan
tersebut melalui bujukan motivasi, program pelatihan, dan lainnya. Tenaga kerja itu, termasuk kedua kelompok ini, tenaga kerja dan angkatan kerja potensial.”
Benggolo:1981. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang
berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak
pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang
menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja Manullang:2001.
Menurut MT Rionga dan Yoga Firdaus, 2007:2 tenaga kerja man power adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain
mereka yang sudah atau sedang bekerja, mereka yang sedang mencari pekerjaan, serta yang sedang melaksanakan pekerjaan lain seperti bersekolah dan mengurus
rumah tangga.
1.6 Definisi Konsep
Pada tingkat kongkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya dan pada tingkat abstak, konsep
merupakan sintetis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu Suyanto:2005.
Konsep merupakan istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang
menjadi pusat perhatian ilmu sosial Masri Singarimbun, 2008:33. Definisi konsep bertujuan untuk memudahkan pemahaman unsur-unsur yang ada dalam
penelitian dan menghindarkan interpretasi ganda atas variabel-variabel yang diteliti.
Dengan melakukan penyederhanaan pemikiran atas masalah-masalah yang dikemukakan dalam penelitian sehingga dapat menentukan batasan yang lebih
jelas dari setiap konsep yang diteliti, maka yang menjadi definisi konsep dalam penelitian ini adalah :
1. Implementasi Kebijakan
Implementasi adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. Implementasi kebijakan merupakan rantai tindakankegiatan yang menghubungkan
formulasi kebijakan dengan hasil outcome kebijakan yang diharapkan yang didalamnya aktorpelaksana, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara
bersamaan dan simultan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model implementasi kebijakan
George Edward III dengan indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan sebagai berikut:
a. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari komunikator
kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat
kebijakan policy makers kepada pelaksana kebijakan policy implementers yang kemudian diteruskan kepada sasaran kebijakan
target group. b.
Sumber Daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya diposisikan sebagai
input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya
bertalian dengan biayapengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh
organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumber daya
bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.
c. Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana
kebijakan dalam mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Jika implementasi kebijakan ingin berhasil
secara efektif dan efisien, para pelaksana implementors tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk
melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
d. Struktur Birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola
hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang
mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi.
2. Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan landasan hukum bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk
menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional dibidang Ketenagakerjaan
a. Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial
yang pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian dan perlindungan untuk menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak.
b. Tenaga kerja Pekerja
Tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain mereka yang sudah bekerja dan mempunyai nilai ekomis.
1.7 Sistematika Penulisan