Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24

5.2 Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2011 Seperti yang dikemukakan pada latar belakang, masalah dalam implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 adalah adanya perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta program BPJS Ketenagakerjaan danatau melaporkan upah karyawan yang tidak sesuai UMK Upah Minimum Kerja provinsi. Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh implementor marketing officer berikut ini: “Ya ada, dari tahun ke tahun kendalanya masih sama yaitu adanya perusahaanpemberi kerja yang dengan sengaja tidak melaporkan jumlah karyawannya dengan benar danatau masih menggaji karyawannya dengan upah dibawah UMK provinsi. Contoh kasus: Ada sebuah perusahaan yang memiliki 100 orang pegawai tapi karena tidak mau terkena cost yang besar perusahaan tersebut hanya mendaftarkan 70 orang pegawainya, padahal semua karyawan berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosisal ketenagakerjaan dan walaupun tiap tahunnya UMK provinsi naik namun masih ada perusahaan yang tidak mengikutinya dan masih menggunakan UMK provinsi lama. Contoh kasus lainnya ialah adanya nepotisme seperti pemilik perusahaan yang merupakan saudara dari pejabat bupatiwalikota dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerjanya namun karena adanya nepotisme tersebut KPT dan Disnaker tidak berani mengambil tindakan atas pelanggaran undang-undang yang dilakukan”. kutipan wawancara dengan Bapak Rizki Aditama Tindakan perusahaan tersebut telah melanggar hukum karena demi menghemat cost ia dengan sengaja tidak mendaftarkan sebagian pegawainya padahal setiap pekerja berhak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan, berarti perusahaan tersebut juga melanggar hak asasi tenaga kerja. Sama halnya dengan nepotisme yang terjadi, karena pengaruh kekuasaan, pemberi kerjaperusahaan tersebut telah mengabaikan hak para pekerjanya untuk memperoleh jaminan sosial yang seharusnya didapatkan oleh setiap pekerja di Indonesia. Namun karena hukum di negara ini masih tumpul ke atas dan tajam kebawah membuat pihak yang berwenang tidak berani menindak pelanggaran yang terjadi. Dari hasil penelitian diketahui selain karena perusahaan yang tidak ingin mengeluarkan biaya besar dan karena nepotisme, masalah tersebut juga terjadi karena adanya beda pemahaman dengan perusahaanpemberi kerja terkait kebijakan perusahaan mereka yang tidak sesuai dengan undang-undang yang ada. Berikut hasil wawancara dengan implementor tentang masalah yang terjadi: “Ya ada, kendala yang terjadi seperti adanya beda pemahaman dengan perusahaanpemberi kerja. Saat kami melakukan konfirmasi jumlah pegawai, perusahaanpemberi kerja tersebut hanya mendaftarkan 70 orang dari 80 pegawai yang dimilikinya dengan alasan 10 orang pegawai tersebut bekerja kurang dari 3 tiga bulan, dan menurut kebijakan perusahaannya, pegawai yang bekerja kurang dari tiga bulan masih dianggap sebagai pegawai harian sementara sehingga tidak didaftarkan dalam program BPJSKetenagakerjaan”. Kutipan wawancara dengan Ibu Adriani Sinaga. Tentunya kebijakan perusahaan tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang ada karena di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga tidak menerangkan tentang jangka waktu bekerja bagi tenaga kerja untuk menjadi pegawai tetap dan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 menerangkan : Pasal 14 Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 enam bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. Pasal 15 1 Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Pasal 16 Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Sehingga setiap orang dan pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis; danatau denda; danatau tidak mendapat pelayanan publik tertentu sesuai dengan pasal 17 1 dan 2. Selain kendala diatas juga ada beberapa kendala lainnya yang terjadi dalam pengimplementasian Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 seperti berikut ini:

A. Kendala Komunikasi

“Biasanya kendala yang terjadi lebih ke masalah proseduralnya, walaupun SOPnya sudah jelas namun ada pegawai yang pemahamannya berbeda, khususnya pegawai baru yang masih beradaptasi. Pernah terjadi miss comunication atas penerjemahan SOP yang menyebabkan peserta menerima informasi yang berbeda dari yang diterima sebelumnya”. kutipan wawancara dengan Bapak Rizki Aditama “Kendala seperti adanya selisih pendapat dari pelaksana mengenai suatu kegiatan yang akan dilakukan, terkadang dalam rapat terjadi perdebatan namun hal tersebut masih bisa diselesaikan dengan melakukan voting untuk menentukan pilihan mana yang disetujui dengan tetap berpedoman pada peraturan yang berlaku”. kutipan wawancara dengan Ibu Adriani Sinaga Dari hasil kutipan wawancara diatas dapat terlihat adanya kendala komunikasi internal yang terjadi antara implementor namun karena implementor pegawai BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai bisa mengatasi kendala tersebut dengan mengesampingkan ego masing-masing demi kepentingan organisasi dan tetap melaksanakan tugasnya serta saling bekoordinasi dan bekerjasama maka kendala yang ada tidak menjadi halangan berarti dalam implementasi kebijakan ini. Seperti yang dikatakan Bapak Jemi kerter “Konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindari namun bisa di manage dengan baik sehingga konflik tidak semakin parah”. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa implementor berhasil me-manage konflik tersebut sehingga mereka bisa mencapai target yang telah ditetapkan. Selain kendala komunikasi internal diatas, dari hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa ada beberapa kendala yang terjadi dalam sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai seperti: 1. Masyarakat khususnya pekerja yang masih awam dengan istilah BPJS Ketenagkerjaan dan tidak mengetahui tentang perubahan nama PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan serta ada yang mengira BPJS Ketenagakerjaan tersebut sama seperti BPJS Kesehatan. 2. Pekerja yang takut gajinya akan dipotong untuk iuran jika menjadi peserta program BPJS Ketenagakerjaan. Karena BPJS Ketenagakerjaan baru mulai efektif berjalan pada Januari 2014 wajar jika banyak pekerja yang masih awam dengan istilah tersebut, karena sesuai kebijakan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 BPJS terbagi atas 2 yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan namun program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan itu berbeda dan coverage nya pun berbeda karena kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan ditujukan hanya bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia sedangkan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh masyarakat.

B. Kendala Sumber Daya

1. Dari hasil wawancara diketahui bahwa ketersediaan sumber daya manusia SDM untuk divisi pemasaran masih kurang. Beban kerja yang berat serta target yang terus meningkat membuat divisi pemasaran masih membutuhkan tambahan staf namun karena proses rekrutmen hanya bisa dilakukan dari pusat jadi hingga saat ini divisi pemasaran BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai masih menunggu tambahan pegawai baru tersebut. 2. Kendala anggaran, belum tercapainya target penerimaan iuran program jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminana kematian membuat BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai mendapat predikat keuangan “Kurang Sehat”

C. Kendala Struktur Birokrasi

Dari hasil penelitian ditemukan kendala dalam fragmentasi, kerjasama yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai dengan beberapa organisasi lainnya dalam melaksanakan Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 belum berjalan dengan baik. Seperti hasil wawancara berikut ini: Kutipan wawancara dengan Bapak Rizki Aditama f. Untuk kerja sama dengan Bank BRI kami merasa pihak Bank BRI selaku SPO kurang menstimulus nasabah mereka untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, walaupun di Bank BRI telah dipajang banner tentang program-program BPJS Ketenagakerjaan namun pegawainya kurang aktif dalam menjelaskan kepada nasabah mereka tentang wajib dan pentingnya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dalam menjalankan fungsi sebagai pengutip iuran untuk kepesertaan BPU, kinerja Bank BRI masih kurang baik hal tersebut terbukti dengan pembayaran iuran peserta yang masih jelek dan tidak berkelanjutan hanya untuk tahun pertama lalu berhenti. g. Kerjasama dengan Kantor Pelayanan Terpadu KPT Kota Binjai dan Kabupaten Langkat masih belum besinergi karena KPT belum melaksanakan kewajibanya secara maksimal sebagai penyaring badan usaha yang belum mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga perluasan kepesertaan berjalan lebih lamban. h. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Disnaker Kota Binjai dan Kabupaten Langkat kurang tegas dalam menyikapi perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai peserta penerima jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan serta lamban dalam menindak perusahaan yang masih menggajimemberi upah karyawan dibawah UMK Upah Minimum Kerja provinsi sehingga berimbas pada premi yang harusnya dibayarkan ketentuannya minimal gajiupah harus sesuai dengan UMK di kota atau kabupaten tempat perusahaan tersebut berada.

5.3 Upaya Untuk Mengatasi Kendala Dalam Implementasi Kebijakan