Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja

sehingga jendela ruang tidur tidak dapat dibuka, tetapi dalam keadaan seperti ini responden memiliki ventilasi buatan seperti kipas angin dan AC sehingga sirkulasi udara dalam ruangan tidak pengap. Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarak dan Chayatin 2009, ada dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Aliran udara dalam ruangan pada ventilasi alamiah terjadi secara alami melalui jendela, pintu, lubang- lubang dinding, angina-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada ventilasi buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk mengalirkan udara seperti mesin penghisap AC dan kipas angin. Menurut Mukono 2005, pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembapan udara ruangan bertambah Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Firdiansyah 2012, tentang pengaruh faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB paru BTA positif di Kecamatan Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali lebih besar daripada responden yang memiliki ventilasi baik OR = 3,12.

5.7 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah responden tidak memiliki hubungan dengan penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan. Pada kelompok kasus sebagian besar sudah memenuhi syarat Universitas Sumatera Utara yaitu sebesar 61,2 dan pada kelompok kontrol umumnya responden memiliki lantai rumah yang memenuhi syarat sebesar 85,7 nilai p-value 0,128 p 0,05, artinya lantai rumah bukan merupakan penyebab kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi. Lantai rumah responden pada kelompok kasus sebagian besar memenuhi syarat dan pada kelompok kontrol lantai rumah ressponden umumnya memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan Kesehatan Republik Indonesia No. 829MenkesSKVII 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, lantai rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen, lantai kedap air dan mudah dibersihkan. Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada kelompok kasus sebagian besar lantai rumah responden memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian responden memiliki lantai rumah yang yang terbuat dari semen tetapi tidak retak, dan mudah dibersihkan. Responden juga setiap hari membersihkan rumah sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang di lantai. Pada kelompok kasus juga umumnya lantai rumah responden memenuhi syarat, hal ini terlihat kebanyakan dari responden yang di jumpai memiliki lantai yang terbuat dari keramik dan ada juga lantai rumahnya di plester dan tidak retak. Responden pada kelompok kasus juga setiap hari membersihkan rumah, tampak lantai tidak berdebu dan tidak lembab sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Suyono 2005, lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya Universitas Sumatera Utara kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik. Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Firdiansyah 2012, tentang pengaruh faktor sanitasi rumah dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB Paru BTA positif di kecamatan genteng kota surabaya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis lantai responden terhadap kejadian penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Genteng dengan nilai p = 0,757 p 0,05. Menurut Suyono 2005, lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

5.8 Hubungan Pencahayaan Alami Rumah dengan Kejadian TB Paru di

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

0 6 129

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

1 1 16

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 2

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 8

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 1 26

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 1 3

Gambaran Perilaku Keluarga Penderita TB Paru Terhadap Pencegahan TB Paru di Wilayah Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan Tahun 2015

0 0 32

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 3 16

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

2 4 2

Hubungan Karakteristik Individu, Praktik Higiene, dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015

4 7 9