KAJIAN KETAHANAN PANAS ISOLAT

17 penurunan log terkecil, relatif sama dengan isolat E8, namun dilihat dari inokulum awal dan jumlah koloni setelah pemanasan isolat E9 mengalami penurunan logaritma yang lebih kecil, yaitu sebesar 1.62 siklus log, sementara isolat E8 mengalami penurunan sebesar 2.44 siklus log. Sehingga isolat E9 asal makanan bayi dipilih untuk dikaji ketahanan panasnya. Untuk isolat asal susu formula isolat terpilih adalah YR t2a dan YR c3a, dengan pertimbangan yang sama dengan pemilihan isolat asal makanan bayi, yaitu penurunan log terkecil. Pemilihan isolat dilakukan lebih banyak pada isolat asal susu formula dengan mempertimbangkan susu formula merupakan sumber utama infeksi E. sakazakii pada bayi dengan kondisi imun tertentu CDC 2002 sehingga evaluasi ketahanan panas dilakukan lebih banyak pada isolat asal susu formula, yaitu YR t2a dan YR c3a serta satu isolat asal makanan bayi yang paling tahan terhadap suhu pemilahan dibandingkan isolat asal makanan bayi lainnya, yaitu isolat E9. Ketiga isolat terpilih ini relatif lebih tahan pada suhu uji dengan asumsi pada suhu lainnya isolat terpilih ini akan menunjukkan respon yang sama terhadap perlakuan panas pada suhu lainnya.

B. KAJIAN KETAHANAN PANAS ISOLAT

Enterobacter sakazakii TAHAN PANAS Parameter Nilai D Kajian ketahanan panas dilakukan pada isolat Enterobacter sakazakii hasil pemilahan cepat, yaitu isolat YR t2a dan YR c3a asal susu formula, isolat E9 asal makanan bayi serta isolat E. sakazakii ATCC 51329 asal susu formula. Isolat ATCC 51329 disertakan dalam pengujian untuk melihat variasi ketahanan panas isolat lokal terhadap isolat Gen bank ATCC American Type Culture Colection asal susu formula. Data perhitungan koloni pada kajian tahan panas dapat dilihat pada Lampiran 2-5. Nilai D pada penelitian ini ditentukan dari kurva kecepatan kematian isolat E. sakazakii yang diperoleh dengan membuat plot antara jumlah bakteri yang bertahan pada interval waktu tertentu ketika dilakukan pemanasan dengan suhu konstan. Berikut ini disajikan contoh kurva kecepatan kematian untuk isolat E9 asal makanan bayi pada suhu pemanasan 54 C Gambar 6. Gambar 6. Kurva Kecepatan Kematian Isolat E9 Asal Makanan Bayi Ulangan I Nilai D diperoleh dari negatif 1slope kurva kecepatan kematian. Kurva kecepatan kematian isolat E. sakazakii dibuat pada empat suhu uji, yaitu54, 56, 58, dan 60 C. Perhitungan koloni yang bertahan pada suhu uji serta input data untuk membuat kurva kecepatan kematian 18 dapat dilihat pada Lampiran 6. Kurva kecepatan kematian untuk isolat lainnya, yang dilakukan pada dua percobaan terpisah dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Kurva kecepatan kematian untuk tiap isolat yang diuji memiliki R 2 lebih besar dari 90. Persamaan garis untuk tiap kurva kecepatan kematian dapat dilihat pada Lampiran 9. Kurva kecepatan kematian E. sakazakii mengikuti kinetika kecepatan reaksi orde pertama sehingga analisis regresi log linier sederhana dapat digunakan untuk menganalisi kurva kecepatan kematian bakteri untuk memperoleh nilai D, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan jumlah bakteri sebesar satu siklus log. Secara ringkas nilai D untuk keseluruhan isolat yang disajikan dapat dirangkum dalam sebuah histogram Gambar 7. Gambar 7. Nilai D Isolat Enterobacter sakazakii Asal Susu Formula dan Makanan Bay Hasil pengujian nilai D untuk tiap isolat yang diuji pada empat suhu yang berbeda Gambar 7 merupakan hasil rataan nilai D pada dua percobaan terpisah. Kisaran nilai D isolat E. sakazakii asal susu formula dan makanan bayi pada suhu 54 C adalah 7.50 – 9.13 menit. Isolat YR c3a asal susu formula membutuhkan waktu sebesar 9.13 menit untuk direduksi sebesar satu siklus log pada suhu 54 C. Isolat E9 yang merupakan isolat asal makanan bayi dapat direduksi sebesar satu siklus log dalam waktu 7.50 ± 0.28 menit, waktu reduksi ini paling pendek dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat YR t2a dan ATCC 51329 memiliki nilai D 54 lebih kecil dari nilai D 54 isolat YR c3a dan lebih besar dari isolat E9, yaitu sebesar 7.75 ± 0.08 dan 8.66 ± 0.16 menit secara berurutan. Isolat YR t2a dan YR c3a asal susu formula memiliki nilai D 54 yang lebih besar dibandingkan dengan dengan isolat E9 asal makanan bayi. Isolat ATCC 51329 yang berasal dari susu formula juga memiliki nilai D 54 yang lebih besar dibandingkan isolat asal makanan bayi pada suhu 54 C. Menggunakan defenisi nilai D, yaitu waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah mikroba sebesar satu siklus log pada suhu tertentu maka dapat dihitung penurunan siklus log S E.sakazakii yang terjadi selama 32 menit pada suhu 54 C untuk tiap isolat. Perhitungan ini bertujuan untuk membandingkan nilai D 54 yang diperoleh pada kajian ketahanan panas terhadap penurunan logaritma jumlah bakteri yang terjadi pada tahap pemilahan cepat isolat tahan panas yang dilakukan . Isolat YR t2a, YR c3a dan E9 seharusnya mengalami pengurangan logaritma penurunan jumlah bakteri sebesar 4 siklus log jika dipanaskan selama 32 menit, perhitungan 19 dilakukan dengan menggunakan nilai D 54 yang diperoleh pada kajian ketahanan panas, namun penurunan logaritma jumlah bakteri yang terjadi pada tahapan pemilahan cepat lebih kecil dibandingkan dengan nilai tersebut yaitu sebesar 3 siklus log untuk isolat YR t2a, dan 2 siklus log untuk isolat YR c3a dan E9. Untuk mengevaluasi keakuratan pemilahan cepat isolat tahan panas dilakukan perhitungan nilai D 54 untuk masing - masing isolat yang diuji. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan data penurunan log jumlah bakteri yang terjadi pada tahapan pemilahan cepat isolat dan dihitung menggunakan Rumus III. Perbandingan Nilai D 54 yang diperoleh untuk tiap isolat yang diuji pada tahapan pemilahan cepat isolat terhadap Nilai D 54 pada kajian ketahanan panas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan Nilai D 54 Kajian Ketahanan Panas Isolat E. sakazakii Terhadap Pemilahan Cepat Isolat Isolat Sumber Nilai D 54 menit Pemilahan cepat isolat Kajian ketahanan panas YR t2a Susu formula 11.19 7.75 YR c3a Susu formula 19.28 9.13 E9 Makanan bayi 19.75 7.50 Perbedaan nilai D 54 yang terjadi sangat besar. Nilai D 54 pada pemilahan cepat isolat rata- rata dua kali lipat nilai D 54 pada kajian ketahanan panas. Perbedaan ini dapat terjadi dikarenakan perbedaan jumlah inokulum pada saat pemilahan cepat isolat dan kajian ketahanan panas. Pada pemilahan cepat isolat jumlah rata – rata inokulum adalah sebesar 10 6 CFUml sementara pada kajian ketahanan panas jumlah inokulum sebesar 10 8 CFUml, selain itu pemilahan cepat hanya dilakukan untuk satu kali ulangan, sehingga reliabilitasnya rendah karena tujuan pemilahan cepat isolat hanya untuk memilih isolat yang digunakan pada kajian ketahanan panas. Kisaran nilai D 54 untuk keempat isolat yang diujikan adalah 7.50 – 9.13 menit. Nilai D 54 isolat E. sakazakii ini lebih rendah jika dibandingkan dengan D 54 isolat Enterobacter sakazakii food isolate Nazarowec-White dan Farber 1997, D 54 yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah sebesar 18.57 menit. Hasil penelitian ini lebih mendekati nilai D 54 E.sakazakii pada penelitian Breeuwer et al. 2003, yaitu sebesar 7.1 menit pada menstruum buffer phosphate. Pada suhu 56 C nilai D untuk isolat yang diujikan berada pada kisaran 3.61-4.24 menit. Isolat yang paling tahan panas pada suhu 56 C adalah isolat asal makanan bayi E9. Dibutuhkan waktu sebesar 4.24 ± 0.05 menit untuk mengurangi jumlah bakteri ini sebesar satu siklus log. Nilai D 56 terkecil ditemukan pada isolat asal susu formula YR t2a, yaitu sebesar 3.61 ± 0.12 menit, isolat YR c3a memiliki D 56 sebesar 3.83 ± 0.33 menit, dan ATCC 51329 memiliki nilai D 56 sebesar 4.10 ± 0.10 menit. Pada suhu 56 C isolat asal makanan bayi E9 memiliki nilai D yang lebih besar dibandingkan dengan isolat E. sakazakii asal susu formula. Kisaran D 56 Isolat E. sakazakii ini mendekati kisaran nilai D 56 yang diperoleh Kim Soo Hwan dan Jong Hyun Park 2007 untuk isolat asal susu formula, yaitu 3.91 – 4.67 menit. Nilai D 56 pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai D 56 yang dilaporkan Nazarowec- White dan Farber 1997, pada penelitian tersebut diperoleh nilai D 56 sebesar 9.75 menit. Breeuwer et al. 2003 menemukan Nilai D 56 yang lebih rendah dari nilai D 56 yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu sebesar 2.4 menit. Cold shock setelah perlakuan panas pada penelitian Breeuwer 2003 menyebabkan nilai D yang diperoleh lebih kecil. 20 Nilai D pada suhu 58 C isolat Enterobacter sakazakii yang diuji berkisar antara 1.34 menit hingga 1.39 menit. Nilai D 58 terbesar ditemukan pada isolat asal makanan bayi E9 dan ATCC 51329, yaitu sebesar 1.39 menit, sementara nilai D 58 terkecil ditemukan pada isolat YR t2a sebesar 1.34 ± 0.03 menit. Nilai D 58 untuk isolat YR c3a adalah sebesar 1.38 ± 0.03 menit. Nilai D 58 untuk isolat asal susu formula ataupun makanan bayi tidak jauh berbeda. Kisaran nilai D 58 pada penelitian ini mendekati nilai D 58 yang dilaporkan Iversen et al. 2003 yaitu sebesar 1.3 menit. Nilai D 58 yang diperoleh lebih rendah dari nilai D 58 yang dilaporkan oleh Nazarowec - White dan Farber 1997 dan lebih tinggi daripada nilai D 58 pada penelitian Breeuwer et al. yaitu sebesar 3.44 dan 0.48 menit secara berurutan. Nilai D 60 untuk isolat yang diuji berada pada kisaran 0.71- 0.90 menit. Hal ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk menginaktivasi E. sakazakii pada suhu 60 C relatif kecil. Isolat E9 asal makanan bayi memiliki waktu reduksi termal D 60 paling kecil, yaitu sebesar 0.71 ± 0.05 menit, sementara isolat YR t2a asal susu formula memiliki waktu reduksi termal D 60 paling besar diantara tiga isolat lainnya, yaitu 0.90 ± 0.03 menit. YR c3a memiliki nilai D 60 yang tidak jauh berbeda dari YR t2a yaitu sebesar 0.89 menit ± 0.02, sementara nilai D 60 untuk ATCC 51329 adalah sebesar 0.82 ± 0.06 menit. Rata – rata nilai D 60 untuk isolat asal makanan bayi maupun susu formula sebesar 0.83 menit. Kisaran D 60 yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah daripada nilai D 60 yang dilaporkan oleh Nazarowec – White dan Farber 1997, yaitu sebesar 2.15 menit untuk isolat asal makanan. Kisaran nilai D 60 yang diperoleh pada penelitian ini mendekati nilai D 60 yang dilaporkan oleh Iversen et al. 2004, yaitu 0.73 hingga 1.07 menit pada menstruum pemanas TSB Tryptose Soy Broth. Perbedaan nilai D yang terjadi untuk tiap isolat pada masing – masing suhu jika dibandingkan dengan penelitian lainnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kondisi fisiologis bakteri, perbedaan heating menstruum termasuk komposisi lemak, konsentrasi gula, dan total padatan, perbedaan metodologi recovery isolat serta adanya perlakuan cold shock setelah proses panas, menyebabkan kesulitan dalam membandingkan nilai D antar peneliti. Untuk metode recovery perbedaan yang paling utama antara penelitian yang dilakukan terhadap penelitian lainnya adalah penggunaan sodium pyruvat yang disuplementasikan pada media pencawanan untuk recovery sel yang sebagian besar digunakan pada penelitian yang dijadikan perbandingan tidak dilakukan dalam penelitian ini, hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap perhitungan jumlah koloni yang terdeteksi setelah proses pemanasan. Faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan respon ketahanan panas antara lain kadar air, jumlah inokulum, usia kultur, temperatur pertumbuhan, senyawa penghambat, waktu dan temperatur, konsentrasi lemak, garam, konsentrasi karbohidrat, pH, serta efek dari ultrasonics Lewis 2000. Dari beberapa faktor tersebut yang menyebabkan perbedaan nilai D antar isolat E.sakazakii yang diuji dengan E.sakazakii pada penelitian lainnya adalah jumlah inokulum, konsentrasi lemak, serta total padatan konsentrasi karbohidrat. Jumlah inokulum awal yang diinokulasikan pada menstruum pemanas adalah sebesar 10 8 CFUml, semakin banyak jumlah inokulum maka semakin banyak populasi mikroba yang akan menghasilkan substansi pelindung protective substances sejenis protein. Menstruum pemanas yang digunakan pada penelitian ini adalah susu formula komersil berkadar lemak 2.97 g100 ml, jika dibandingkan dengan penelitian lainnya, kadar lemak ini relatif lebih rendah, sehingga efek proteksi yang diberikan terhadap E. sakazakii juga rendah. Keberadaan lemak akan meningkatkan ketahanan panas bakteri, hal ini berhubungan dengan kemampuan lemak untuk mempengaruhi kelembapan sel, dan memberikan efek proteksi. Faktor berikutnya adalah total karbohidrat, efek proteksi yang dihasilkan berasal dari keberadaan gula pada menstruum, keberadaan gula akan mengurangi aw melalui mekanisme 21 pengikatan air, sehingga secara tidak langsung akan memberikan perlindungan terhadap sel bakteri. Hal tersebut menjelaskan bahwa kandungan nutrisi menstruum pemanas yang digunakan pada tiap pengujian berbeda, sehingga kemungkinan respon E. sakazakii terhadap perlakuan panas juga berbeda, jika dilihat dari parameter nilai D dan Z nya. Nilai D Isolat Enterobacter sakazakii pada percobaan ini, untuk isolat asal susu formula ataupun makanan bayi secara keseluruhan lebih kecil daripada nilai D percobaan ketahanan panas pada food isolate Nazarowec - White dan Farber 1997 yang diperoleh pada suhu yang sama 54, 56, 58, dan 60 C. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jumlah inokulum, pada percobaan Nazarowec - White dan Farber 1997 jumlah inokulum awal adalah sebesar 10 7 CFUml sementara pada percobaan ini jumlah inokulum awal sebesar 10 8 CFUml. Perbedaan komposisi menstruum pemanas yang digunakan juga berbeda. Isolat E. sakazakii Nazarowec- White dan Farber 1997 relatif lebih tahan panas jika dibandingkan dengan nilai D yang diperoleh pada percobaan ini, maupun jika dibandingkan dengan percobaan lainnya. Parameter nilai Z Profil ketahanan panas mikroorganisme target tidak hanya dilihat dari besarnya nilai D, namun parameter nilai Z juga perlu diperhatikan Murphy et al. 2004, nilai Z merupakan perubahan suhu yang diperlukan untuk menurunkan nilai D sebesar satu siklus Log. Penentuan nilai Z diperoleh dari kurva kematian termal, kurva tersebut dibuat dengan memplotkan nilai D terhadap suhu. Input data untuk pembuatan kurva kematian termal tercantum pada Lampiran 10. Kurva kematian termal menunjukkan sensitivitas nilai D terhadap perubahan suhu, pada Gambar 8 disajikan kurva kematian termal ulangan II untuk keempat isolat E. sakazakii yang diujikan dalam penelitian ini. Kurva kematian termal ulangan II dapat dilihat pada Lampiran 12. Gambar 8. Kurva kematian termal isolat E. sakazakii asal susu formula dan makanan bayi ulangan II Nilai Z diperoleh dari negatif invers kemiringan kurva kematian termal. Semakin besar nilai Z maka semakin tidak sensitif mikroba terhadap proses panas. Pada kurva di atas terlihat bahwa ke empat isolat memiliki sensitivitas yang hampir mendekati satu sama lain, hal ini terlihat dari bentuk kurva yang hampir berhimpitan. Berdasarkan perhitungan kemiringan kurva nilai Z untuk keempat isolat yang diujikan sebesar 5.65 ± 0.23 o C untuk isolat ATCC 51329, 6.08 ± 0.08 o C untuk isolat YR t2a, 5.8 ± 0.43 o C untuk isolat YR c3a, dan 5.54 ± 0.02 o C untuk isolat E9 Gambar 9. 22 Gambar 9. Nilai Z Isolat Enterobacter sakazaki Asal Susu Formula dan Makanan Bayi Nilai Z menunjukkan sensitivitas mikroorganisme terhadap perlakuan panas. Isolat ATCC 51329 memiliki nilai nilai D 60 sebesar 0.82 menit, dan nilai Z sebesar 5.65 ± 0.23 o C. Untuk menurunkan nilai D hingga 0.082 menit, diperlukan kenaikan suhu sebesar 5.65 menit, hal ini berarti nilai D sebesar 0.082 menit dapat tercapai pada suhu 65.65 C. Hal ini juga berlaku pada isolat lainnya. Berdasarkan nilai Z yang diperoleh terlihat bahwa isolat yang paling sensitif terhadap perlakuan panas adalah isolat E9 asal makanan bayi, sedangkan isolat YR t2a asal susu formula paling resisten terhadap perlakuan panas jika dibandingkan dengan isolat lainnya, namun perbedaan nilai Z antar isolat relatif kecil. Nilai Z untuk isolat yang diujikan pada penelitian ini mendekati nilai Z yang dilaporkan oleh Nazarowec - White dan Farber 1997 yaitu sebesar 5.82 C untuk isolat asal makanan dan juga mendekati nilai Z yang diperoleh oleh Iversen et al 2004 sebesar 5.6 – 5.8 C. Nilai Z yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan nilai Z sebagian besar foodborne pathogen yang tidak membentuk spora, yaitu berkisar antara 4-6 C Arroyo et al.2009. Keragaman Gebetik Enterobacter sakazakii Respon ketahanan panas E. sakazakii bergantung pada jenis strain yang diuji Aroyo 2009. E. sakazakii dikategorikan dalam tiga kelompok berdasarkan toleransi terhadap panas dan ekspresi gen Ashakura et al.2007. Keragaman genetik antar isolat E. sakazakii akan menimbulkan keragaman respon ketahanan panas, sebab ekspresi gen untuk masing – masing strain berbeda. Isolat Enterobacter sakazakii yang digunakan pada penelitian ini, memiliki persentase kemiripan yang rendah terhadap E.sakazakii berdasarkan uji biokimia dengan menggunakan API 20 E, yaitu sebesar 2.6 untuk YR t2a, dan 18.5 untuk YR c3a Meutia 2008, namun berdasarkan analisis PCR Polymerase Chain Reaction kedua isolat tersebut merupakan Enterobacter sakazakii dengan similiaritas sebesar 92 dan 96 terhadap E. sakazakii. Isolat ATCC 51329 merupakan isolat asal susu formula, yang dikelompokkan sebagai E. sakazakii cluster tiga hasil pengelompokkan Iversen et al. 2004. Isolat YR t2a dan YR c3a juga dikelompokkan pada kelompok E. sakazakii cluster 3. E. sakazakii pada cluster ini memiliki keragaman sebesar 3 terhadap E. sakazakii. Penelitian mengenai ketahanan panas Enterobacter sakazakii memiliki variasi yang relatif besar dilihat dari nilai D dan nIlai Z. Perbedaan respon ketahanan panas kemungkinan disebabkan oleh perbedaan genetik antar isolat, bergantung pada strain yang diuji. Pada penelitian ini isolat yang diuji merupakan Enterobacter sakazakii cluster ketiga, sehingga respon ketahanan panas yang diperoleh tidak jauh berbeda satu sama lain, hal ini terlihat dari kisaran 23 nilai D pada tiap suhu uji tidak terlalu besar, begitu juga dengan nilai Z yang diperoleh. Perbandingan yang dilakukan terhadap penelitian lain yang sama, beberapa menunjukkan kemiripan nilai D dan nilai Z, kemungkinan isolat yang diuji merupakan strain bakteri yang sama. Perbandingan dengan penelitian lainnya, terutama terhadap penelitian yang dilakukan oleh Nazarowec-White dan Farber 1997, respon ketahanan panas yang diperoleh sangat berbeda, kemungkinan strain yang digunakan adalah strain tahan panas yang secara genetik dan kekerabatan berbeda dengan Isolat Enterobacter sakazakii yang diuji pada penelitian ini. Perhitungan Nilai D 72 Proses panas merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengeliminasi keberadaan foodborne pathogen, namun proses panas yang berlebihan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas sensori dan nutrisi produk yang diberi perlakuan panas. Proses panas yang diinginkan adalah proses yang dapat mengurangi mikroba patogen target tanpa mengurangi kualitas sensori produk. Agar proses panas efektif, karakteristik mikroba patogen sasaran harus diketahui, terutama kinetika inaktivasinya. Dalam hal ini mikroorganisme sasaran yang dimaksud adalah Enterobacter sakazakii. Mengingat E. sakazakii tidak hanya mengkontaminasi produk kering, seperti susu formula dan makanan bayi, maka data karakteristik ketahanan panas E. sakazakii menjadi sangat diperlukan, agar mikroba patogen ini dapat dieliminasi dari produk pangan Aroyo et al.2009. Enterobacter sakazakii yang diuji pada penelitian ini relatif lebih tahan panas dibandingkan dengan Enterobactericeae lainnya Tabel 3 yang mengkontaminasi susu. Perbandingan dilakukan pada suhu 72 C, suhu ini merupakan suhu pasteurisasi yang umum dilakukan pada industri pemrosesan susu, dengan menggunakan Rumus IV serta nilai D 60 dan nilai Z untuk tiap isolat yang diuji, dapat dihitung nilai D isolat E.sakazakii pada suhu 72 C, berikut ini merupakan data perhitungan D 72 untuk isolat E. sakazakii yang diuji Tabel 4. Tabel 4. Nilai D 72 Isolat Lokal E. sakazakii Asal Susu Formula dan Makanan Bayi Isolat Menstruum pemanas D 72 ATCC 51329 Infant formula 0.3699 YRt2a Infant formula 0.5737 YRc3a Infant formula 0.4556 E9 Infant formula 0.2906 E. sakazakii food isolate Infant formula 1.3009 Isolat E.sakazakii lokal relatif tidak tahan panas jika dibandingkan dengan isolat E. sakazakii asal makanan food isolate yang diuji oleh Nazarowec-White dan Farber 1997. Hal ini terlihat dari waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah E. sakazakii isolat lokal lebih pendek jika dibandingkan dengan isolat yang diuji oleh Nazarowec-White dan Farber 1997. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan strain isolat lokal terhadap isolat pembanding tersebut. Perbedaan strain akan berpengaruh terhadap respon ketahanan panas bakteri. Perbandingan ketahanan panas isolat lokal E. sakazakii juga dilakukan terhadap Enterobactericeae lainnya yang sering mengkontaminasi susu. Berikut ini nilai D 72 beberapa Enterobactericeae Tabel 5. 24 Tabel 5. Nilai D 72 Beberapa Enterobactericeae Nazarowec- White dan Farber 1997 Organisme Menstruum pemanas D 72 detik Aeromonas hydrophila Raw milk 0.0148 Campylobacter jejuni Skim milk 0.0703 Escherichia coli Whole milk 0.1567 Klebsiella pneumonia Human milk 0.0001 Salmonella muenster Whole milk 0.0721 Salmonella senftenberg Whole milk 0.0842 Salmonella typhimurium Whole milk 0.2200 Shigella dysenteriae Whole milk 0.1304 Yersinia enterocolitica Whole milk 0.4609 Nilai D 72 isolat lokal Tabel 4 berada pada kisaran 0.2906 – 0.5737 detik dan secara keseluruhan isolat E. sakazakii yang diuji lebih tahan panas pada suhu 72 C jika dibandingkan dengan enterobacter lain yang mengkontaminasi susu seperi Salmonella, Escherichia coli dan Camphylobacter jejuni, namun isolat yang diuji tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan Yersinia Enterolitica, kecuali untuk isolat YR t2a asal susu formula. Pasteurisasi merupakan proses yang lazim dilakukan pada pemrosesan susu formula, proses ini bertujuan untuk menginaktivasi mikroorganisme patogen dan bakteri pembusuk Lewis 2000, pada umumnya proses ini dilakukan pada suhu 72 C selama 15 detik. Jika proses pasteurisasi dilakukan selama 15 detik, maka akan diperoleh rata – rata penurunan sebesar 38 siklus logaritma untuk seluruh isolat. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Rumus III. Hal ini berarti Enterobacter sakazakii seharusnya tidak dapat bertahan pada proses pasteurisasi sehingga kemungkinan kontaminasi bakteri ini adalah kontaminasi setelah proses post processing contamination. Lingkungan pemrosesan merupakan bagian kritis dalam pemrosesan produk kering, sumber kontaminasi utama berasal dari area drying dan filling Caric 1993. Enterobacter sakazakii dapat mengkontaminasi produk susu formula pada tahapan pencampuran bahan baku dalam bentuk bubuk terutama pada saat penambahan bahan baku yang tidak tahan panas. Mengingat produk susu formula dikonsumsi oleh populasi rentan kontrol proses sangat diperlukan agar produk susu yang dihasilkan terbebas dari cemaran E. sakazakii, salah satunya adalah dengan mengontrol titik kritis CCP dalam pembuatan susu formula. Penyajian Susu Formula Praktik penyajian susu formula yang dilakukan di rumah tangga ataupun rumah sakit perlu dikontrol, mengingat susu formula bukan suatu produk yang dirancang steril maka diperlukan rekomendasi dalam penyajiannya. Kebiasaan penyajian susu formula yang dilakukan adalah pada suhu yang tidak terlalu tinggi, sekitar 50 o C Kim Soo Hwan dan Jung Hyun Park 2008. Suhu ini sangat tidak efektif untuk mengeliminasi keberadaan Enterobacter sakazakii . Suhu rekonstitusi yang direkomendasikan oleh WHO adalah pada suhu 70 C, proses ini dapat dievaluasi dengan menggunakan perhitungan nilai D 70 isolat E. sakazakii lokal dengan menggunakan nilai D 60 yang diketahui pada penelitian ini. Nilai D 70 yang diperoleh sebesar 0.834, 1.224, 1.008, dan 0.666 detik secara berurutan untuk isolat ATCC 51329, YR t2a, YR 25 c3a dan E9. Pada suhu ini penurunan jumlah bakteri yang terjadi rata – rata sebesar 6 siklus log jika kontak antara air bersuhu 70 C untuk merekonstitusi susu formula diasumsikan terjadi selama 5 detik. Penurunan yang cukup untuk menurunkan jumlah E. sakazakii hingga level aman, sebab kontaminasi E. sakazakii pada umumnya hanya terjadi pada level rendah, sekitar 0.36 – 0.66 CFUgram. Pada penyajian susu formula jumlah susu yang direkonstitusi dengan air sebanyak 13.2 gram untuk satu takaran saji, sehingga kemungkinan kontaminasinya untuk satu takaran saji adalah sebesar 8 sel, perhitungan dilakukan dengan mengambil nilai kontaminasi terbesar, yaitu 0.66 CFUgram. Dengan suhu 70 C E. sakazakii dapat dieliminasi jika dilihat dari level kontaminasinya yang kecil. 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN