TUJUAN PENELITIAN PROSES PEMBUATAN DAN PENANGANAN SUSU FORMULA

2

B. TUJUAN PENELITIAN

Mengevaluasi ketahanan panas isolat lokal Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayi dengan mengukur parameter kinetika inaktivasi nilai D dan nilai Z.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi profil ketahanan panas thermal resistance isolat lokal Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayi yang dapat dijadikan bahan acuan dalam mengontrol kecukupan perlakuan panas pada saat pengolahan ataupun penyajian yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko kontaminasi Enterobacter sakazakii. 3 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobacter sakazakii

1. Karakteristik Umum

Enterobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang dan termasuk dalam family Enterobactericeae. Bakteri ini memiliki panjang 3 µm dan lebar 1 µ m, tidak membentuk spora serta bersifat motil E. sakazakii yang diamati dengan pewarnaan Gram memperlihatkan koloni berbentuk batang berwarna merah Gambar 1. Gambar 1. Penampakan Enterobacter sakazakii secara morfologi di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x Meutia 2008 Sebelum tahun 1980 Enterobacter sakazakii diklasifikasikan sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning “yellow pigmented” E. cloacae namun penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa berdasarkan hibridisasi DNA – DNA, reaksi biokimia, kerentanan terhadap antibiotik, serta kemampuannya untuk menghasilkan pigmen kuning klasifikasi bakteri ini dikaji kembali, dan pada akhirnya diklasifikasikan sebagai Enterobacter sakazakii Nazarowec-White dan Farber 1997.

2. Ekologi

Enterobacter Sakazakii Susu formula diketahui sebagai sumber utama infeksi Enterobacter sakazakii Block et al. 2002 walaupun demikian spesies Enterobacter ini dapat ditemukan pada produk pangan lain selain susu formula seperti, keju, daging, sayuran, biji-bijian, kondimen dan bumbu- bumbuan Iversen et al. 2004. Bakteri ini juga pernah diisolasi dari lingkungan pemrosesan susu dan peralatan penyiapan susu formula Heredia et al. 2009. Enterobacter sakazakii juga ditemukan pada khamir Gassem 1999. Bakteri ini ditemukan pada sumber klinis seperti cairan cerebrospinal, darah, sum – sum tulang, urin, usus, saluran pernafasan, mata, telinga, luka, dan feses Iversen et al. 2004. E. sakazakii juga ditemukan pada lingkungan rumah sakit. Enterobacter sakazakii dapat tumbuh pada media isolasi organisme enteric seperti MacConkey, eosin methylene blue dan deoxycholate agar serta pada media nonselektif 4 seperti Tryptose Soy Agar. Pada agar cawan bakteri ini akan membentuk dua tipe koloni, yaitu glossy mengkilap dan matt tidak mengkilap tergantung media dan galurnya. Organisme ini berkembang pada kisaran temperatur yang besar yaitu, 6-47 C, namun tumbuh optimal pada kisaran suhu 37- 43 C Iversen et al. 2004. Pada suhu 21 C waktu penggandaan doubling time E. sakazakii dilaporkan sebesar 75 menit pada susu formula. pH minimum untuk pertumbuhan E. sakazakii belum diketahui dengan pasti, namun beberapa strain dapat tumbuh pada kisaran pH 4.5-10 pada BHI broth Breeuwer et al. 2003.

3. Infeksi

E. Sakazakii

Sebuah artikel jurnal kedokteran yang diterbitkan pada tahun 2001 menyebutkan dalam kurun waktu 1960 - 1999 tercatat 31 kasus infeksi E. Sakazakii pada bayi dibawah 20 hari neonates, bayi infant dan anak - anak serta ditemukan juga 4 kasus infeksi pada usia dewasa Lai 2001. Dari semua kejadian infeksi yang dilaporkan ini usia populasi yang terkena infeksi E. sakazakii berkisar antara 3 hari hingga 4 tahun. Sebagian besar infeksi terjadi pada bayi di bawah 1 bulan. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa E. Sakazakii cenderung menyerang populasi dengan daya tahan tubuh yang rendah immunocomprommised dan populasi bayi yang tidak memiliki flora normal saluran pencernaan dalam jumlah yang cukup untuk dapat berkompetisi dengan bakteri oportunistik E. sakazakii. Tahun 2001 dilaporkan satu kasus infeksi E.sakazakii yang terjadi pada 2 neonates dan 3 bayi infant di Israel, pada tahun yang sama di Tennesse juga terjadi kasus infeksi pada neonate dan beberapa infant. Pada tahun 2002 di Belgia terjadi satu kasus kematian bayi akibat meningitis yang disebabkan oleh E.sakazakii. Kejadian infeksi E. sakazakii merupakan kejadian yang jarang terjadi dan jarang dilaporkan namun tidak dapat diabaikan bahwa kasus kematian bayi akibat infeksi E. sakazakii sangat tinggi. Pasien yang dapat bertahan dari infeksi E. sakazakii mengalami kerusakan syaraf yang serius dan penghambatan perkembangan mental dan fisik Lai 2001. E. sakazakii dapat menyebabkan infeksi pada semua kelompok umur terutama bayi berumur kurang dari 2 bulan. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, lahir prematur, dan memiliki cacat congenital seperti neural tube defects dan down syndrome memiliki resiko tinggi menderita sepsis maupun meningitis. Bakteri ini menjadi agen patogen sebab memiliki kemampuan untuk menginvasi hingga sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan meningitis Bar – Oz et al. 2001, cysts ataupun brain abscess. Selain itu E. sakazakii juga dapat menyebabkan necrotican enterocolitis Himelright et al. 2002.

4. Metode Deteksi

Enterobacter sakazakii Enterobacter sakazakii termasuk dalam emerging pathogen sehingga perlu metode khusus dalam pendeteksiannya agar tidak terjadi kesalahan negatif maupun positif. Metode konvensional kurang efektif untuk mendeteksi keberadaan bakteri ini karena kemampuan kompetisinya yang lebih rendah dibandingkan dengan Escherichia coli, disamping itu bakteri ini mudah mengalami stress ketika ditumbuhkan pada media konvensional. Metode pendeteksian E. sakazakii didahului dengan pengayaan enrichment pada EE broth sesuai dengan rekomendasi FDA, kemudian digoreskan pada VRBGA Violet Red Bile Glucose Agar, koloni yang diduga E. sakazakii digoreskan pada TSATryptose Soy Agar. 5 Oh dan Kang 2004 menyatakan bahwa media yang dikemukakan oleh FDA memerlukan beberapa pengembangan, hal ini dikarenakan adanya kelemahan pada medium VRBG dan TSA. Oh dan Kang mengembangkan media isolasi E. sakazakii yang selektif dan berdasarkan sifat fluorogenik, yaitu Oh Kang OK Agar, media ini dibuat berdasarkan sifat fluorogenik dari senyawa fluorogen yang merupakan substrat dari enzim α- glukosidase yang diproduksi oleh E.sakazakii. Iversen et al. 2004 mengembangkan media chromogenic selektif untuk mendeteksi keberadaan E. sakazakii, yaitu DFI Druggan- Forsythe-Iversen Agar. Bahan selektif yang terdapat dalam media ini adalah senyawa chromogen, yaitu 4- chloro-indolyl-α-D-glucopyranoside. Senyawa ini akan berikatan dengan enzim α- glukosidase pada E.sakazakii yang akan membentuk koloni berwarna hijau-biru.

5. Keragaman Genetik

Enterobacter sakazakii Berdasarkan analisis 16 S r-RNA Enterobacter sakazakii dapat dibagi menjadi 4 kelompok cluster. Cluster pertama merupakan kelompok mayoritas dari galur - galur E. sakazakii, pada kelompok ini keragaman sekuen sebesar 0.1 - 1.2 . Kelompok ini meliputi 17 galur klinis dan 3 galur yang tidak menghasilkan pigmen kuning. Cluster kedua memiliki keragaman sekuen sebesar 1.6 - 1.9 . E. sakazakii cluster tiga memiliki keragaman sekuen sebesar 3, untuk E.sakazakii cluster keempat similiaritas sekuen sebesar 96.5. Berdasarkan pengelompokan E.sakazakii pada cluster tertentu Iversen et al. 2008 memperkenalkan E. sakazakii ke dalam suatu genus baru, yaitu Cronobacter spp., genus ini terbagi menjadi 5 spesies, yaitu Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii,comb.nov., C.sakazakii subsp. malonaticus subsp. nov., C. turinencis sp. nov., C.muytjensii sp.nov., C.dublinensis sp. nov., dan C.genomospecies I. Pembedaan spesies E.sakazakii sebagai genus Cronobacter ini berdasarkan pada perbedaan reaksi-reaksi biokimia pada perangkat API 20E dan ID 32E, serta berdasarkan reaksi pada methyl-α-D-glucopyranoside.

B. PROSES PEMBUATAN DAN PENANGANAN SUSU FORMULA

SERTA PELUANG KONTAMINASINYA Proses pembuatan susu formula Gambar 2 dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pencampuran basah wet mixing dan pencampuran kering dry mixing. Metode pencampuran kering memiliki kekurangan dari segi kualitas dan keamanannya karena semua bahan baku yang digunakan tidak memiliki ukuran partikel yang sama sehingga akan sangat sulit untuk menghasilkan pencampuran yang homogen Heredia et al 2009. Hal ini akan mempengaruhi kualitas nutrisi susu yang dihasilkan. Pada metode pencampuran kering semua bahan baku dicampur dalam bentuk kering dan tidak ada perlakuan panas setelah pencampuran bahan baku, hal ini dapat memperbesar peluang kontaminasi bakteri. Berdasarkan pertimbangan tersebut proses pencampuran basah lebih sering digunakan dalam industri penghasil susu. Tahapan dalam proses pencampuran basah antara lain pencampuran bahan baku dalam wujud cair, proses pasteurisasi ataupun proses termal lainnya, penambahan ingredient yang sensitif terhadap perlakuan termal, serta spray drying. Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying, namun kontaminasi setelah perlakuan panas post heat treatment contamination seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik juga harus dipertimbangkan. Kemungkinan investasimasuknya bakteri E. sakazakii Gambar 2 pada susu formula merupakan kontaminasi instrinsik ataupun ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu 6 formula terpapar E.sakazakii pada tahapan pemrosesan susu formula, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas seperti, vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Titik ini menjadi kritis sebab pencampuran dilakukan dilakukan dalam ergon tanpa adanya perlakuan panas. Kemampuan E. sakazakii menempel pada permukaan seperti karet, silikon, polycarbonate dan stainless steel dapat dijadikan penjelasan mengenai keberadaannya pada peralatan penyiapan susu formula dan lingkungan pabrik pembuatan susu formula FAO-WHO 2004 yang menyebabkan terjadinya kontaminasi. Kontaminasi ekstrinsik terjadi melalui peralatan penyiapan susu formula yang terkontaminasi E.sakazakii dan kontak langsung dengan susu formula, misalnya blender dan sendok pada saat penyiapan susu formula. Penyajian susu formula di rumah tangga pada umumnya dilakukan dengan proses yang minim pemanasan, rekonstitusi susu formula dilakukan dengan menggunakan air hangat yang suhunya lebih kecil dari 70 C dan tidak dapat mengurangi jumlah E. sakazakii secara signifikan. Penanganan susu formula di tingkat rumah tangga menjadi titik kritis kontaminasi bakteri ini. Di rumah tangga terdapat kecenderungan untuk menyimpan susu formula di dalam kaleng ataupun plastik multi lapis pada suhu ruang 20-27 C, dengan asumsi susu formula merupakan produk kering dengan kadar air rendah sehingga cukup aman jika disimpan selama beberapa lama pada suhu ruang. Pada kenyataannya dalam waktu singkat E. sakazakii dapat berkembang biak, menngandakan dirinya dan menjadi berbahaya untuk dikonsumsi oleh bayi dengan kondisi imun tertentu Misgiyaka 2008. Gambar 2. Bagan Alir Proses Produksi Susu Formula Bubuk dan Penyajiannya WHO- FAO 2004 Keterangan: = titik kritis kontaminasi mikroba Penyimpanan susu pada saat jeda waktu hang time antara rekonstitusi susu hingga susu dikonsumsi kembali biasanya dibiarkan pada suhu ruang, hal ini meningkatkan peluang E. sakazakii untuk tumbuh dan berkembang, penyimpanan seharusnya dilakukan pada lemari pendingin untuk mengurangi jumlah koloni Enterobacter sakazakii Kim et al. 2006. Pada 7 lingkungan rumah sakit kemungkinan kontaminasi E. sakazakii perlu diperhatikan, beberapa studi membuktikan keberadaan E.sakazakii pada dapur rumah sakit Muytjens et al. 1988.

C. KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA