Pembuktian Persekongkolan Tender di KPPU

Pasal 22 tersebut, ketentuan tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah ―pelaku usaha‖ diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999. Adapun istilah ―bersekongkol‖ diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. 16 Di samping itu, unsur ―bersekongkol‖ dapat pula berupa: 1 kerjasama antara dua pihak atau lebih; 2 secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; 3 membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; 4 menciptakan persaingan semu; 5 menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; 6 tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu; 7 pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum. Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Adan ya unsur ―pihak lain‖ 16 KPPU RI, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, Jakarta:KPPU, 2005, h. 8. menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang. Namun demikian, KPPU kadangkala menemukan unsur ―pihak lain‖ yang bukan merupakan pihak yang terkait langsung dalam proses penawaran tender, seperti pemasok atau distributor barang dan atau jasa bersangkutan. Unsur Pasal 22 selanjutnya adalah ―mengatur dan atau menentukan pemenang tender‖. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya danatau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan danatau penentuan pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana. Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya ―persaingan usaha tidak sehat‖. Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat ―…sehingga dapat mengakibatkan terjadin ya persaingan usaha tidak sehat‖. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan. 17

3. Upaya Hukum Keberatan, Kasasi, dan Eksekusi Putusan

a. Pengajuan Keberatan Sebagai Upaya Hukum

Terhadap Putusan KPPU yang telah dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum sebagaimana ditentukan pada Pasal 43 ayat 4 UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dapat menentukan sikapnya, yaitu tidak menerima isi putusan tersebut dengan cara mengajukan keberatan atau menerima isi putusan tersebut, dalam arti pelaku usaha tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. 17 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications New York: Matthew Bender Co., 1994, p. 85. Pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri dapat diajukan oleh pelaku usaha paling lambat 14 empat belas hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Keberatan sendiri merupakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Perma No. 01 Tahun 2003. Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 Perma No. 01 Tahun 2003 menentukan bahwa keberatan terhadap Putusan KPPU hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Terhadap upaya keberatan tersebut, berlaku hukum acara perdata yang dalam pemeriksaan keberatan berlaku terhadap Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Perma No. 01 Tahun 2003. Penggunaan hukum acara perdata dalam pemeriksaan keberatan sangat tepat karena mengingat sifat keberatan yang diajukan pelaku usaha terhadap Putusan KPPU termasuk dalam kategori peradilan kontentius contentieuse jurisdictie dan merupakan perkara perdata sesuai dengan Pasal 393 ayat 1 HIRRBg. 18

b. Alasan-alasan Kasasi

Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusannya terhadap keberatan pelaku usaha, pihak yang tidak setuju atas putusan Pengadilan Negeri berhak mengajukan langsung upaya Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan dalam 18 Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 83.