Sanksi Denda Administratif TINJAUAN UMUM MENGENAI SANKSI DALAM HUKUM

melanggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut. 5 Kewenangan administratif diatur dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan adminisrtratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 berupa: 6 Pasal 47 1 Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar undang- undang ini UU No. 5 Tahun 1999. 2 Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berupa: a Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau b Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ;dan atau c Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau d Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau e Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dan atau penetapan pembayaran gantu rugi; dan atau f Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 dua puluh lima miliar rupiah. 5 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Kedua, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 108. 6 Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, Cet. Ke-1, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009, h. 27. Dari ketentuan dalam Pasal 47 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan-tindakan administratif yang dapat diambil oleh KPPU, sebagai berikut: 7 1 Pembatalan perjanjian-perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999; 2 Memberikan perintah agar pelaku usaha segera menghentikan kegiatan integrasi vertikal; 3 Memberikan perintah agar pelaku usaha dapat menghentikan kegiatan yang terbukti telah menimbulkan persaingan tidak sehat; 4 Memberikan perintah agar pelaku usaha dapat menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; 5 Menetapkan pembatalan merger, akuisisi, dan konsolidasi yang menimbulkan persaingan curang; 6 Menetapkan pembayaran sejumlah ganti kerugian; 7 Mengenakan denda. UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur dan menyebutkan apakah jika sudah dijatuhkan hukuman administratif, hukuman lainnya pidana dan perdata masih dapat dijatuhkan. Selain itu, ketentuan mengenai hukuman administratif ini apakah berlaku secara alternatif atau kumulatif bersama dengan hukuman-hukuman lainnya. 8 Sehingga yang berlaku adalah ketentuan hukum secara umum, dimana antara hukum perdata, pidana, dan administratif bersifat kumulatif. Jadi, bisa saja dijatuhkan hukuman tersebut sekaligus perdata, pidana, dan administratif tehadap pelaku usaha. 9 Kemudian yang menjadi persoalan adalah misalnya, ketika KPPU 7 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, h.120. 8 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, h.121. 9 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, h.122. telah menjatuhkan hukuman denda sebagaimana diatur pada Pasal 47 ayat 2 huruf g dan Pengadilan Negeri pada saat yang sama menjatuhkan hukuman denda sebagaimana diatur pada Pasal 48 ayat 1 sehingga hukuman dendanya menjadi ganda atau double. Menurut Munir Fuady, hukuman denda yang ganda atau double tersebut bisa dijatuhkan secara bersamaan. Sebab, hukuman denda sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g merupakan denda administratif, sementara hukuman denda sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat 1 merupakan denda pidana. Jadi, kedua jenis denda tersebut adalah berbeda satu dengan yang lainnya sehingga kedua-duanya dapat dijatuhkan secara kumulatif.

C. Sanksi Pidana Denda

Selain dari sanksi-sanksi administratif dan sanksi perdata, Hukum Persaingan Usaha juga mengatur mengenai sanksi pidana. Menurut Elyta Ras Ginting, sifat dari pelanggaran dalam UU No. 5 Tahun 1999 bersifat imperatif. Berpedoman pada Pasal 44 ayat 4 dan ayat 5, pelanggaran itu sifatnya adalah keperdataan sepanjang pelaku usaha menerima putusan KPPU dan menjalankan tindakan administratif yang dijatuhkan oleh KPPU terhadap para pihak. 10 Namun jika para pihak tidak menjalankan Putusan KPPU tersebut atau tidak cooperative berarti sifat pelanggaran tersebut beralih menjadi dugaan adanya tindak pidana. Terhadap sikap pelaku usaha yang tidak menjalankan Putusan KPPU 10 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, h. 115. tersebut, KPPU berwenang mengajukan putusan tersebut kepada Penyidik untuk dilakukan penyidikan. Dengan demikian, maka lex specialis yang diberlakukan dalam UU No. 5 Tahun 1999 berubah menjadi lex generalis, yaitu penyidikan itu telah masuk dalam wilayah hukum acara pidana KUHAP, dimana Putusan KPPU yang tidak dilaksanakan tersebut menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 11 Sanksi-sanksi pidana Hukum Persaingan Usaha di kelompokkan ke dalam dua kategori sebagai berikut: 1 Sanksi Pidana dalam UU No. 5 Tahun 1999; 2 Sanksi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan untuk masing-masing kategori, yaitu sebagai berikut: a. Sanksi Pidana dalam UU No. 5 tahun 1999. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 sekalipun mengatur mengenai ketentuan pidana sekaligus sanksinya tetapi pejabat penegak hukum untuk menerapkan sanksi pidana tersebut tetaplah pejabat penegak hukum umum, yaitu Kepolisian untuk pejabat penyidikan, Jaksa untuk pejabat penuntut umum, dan Hakim sebagai pemutusnya. Sekalipun ada KPPU, tetapi KPPU hanya bertugas sebatas tugas administrasi termasuk kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi administrasi. Jadi, 11 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, h. 116.