Perbedaan pelaksanaan salat tarawih di Masjid raya Pondok Indah Jakarta selatan
1 SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy)
Oleh : AFIFAH NIM: 106043201323
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
(2)
PERBEDAAN PELAKSANAAN SALAT TARAWIH DI MASJID
RAYA PONDOK INDAH JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy)
Oleh : AFIFAH NIM: 106043201323
Dibawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbig II
Dr. H. Abd Wahab Muhaimin, Lc, MA Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag
NIP. 195008171980931001 NIP. 196804081997032003
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Januari 2011 M 24 Shafar 1432 H
(4)
i
ميحرلا نمرلا ها مسب
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang penguasa waktu Allah SWT, Pencipta yang Bijaksana, Maha Pemberi dan Maha Mulia, karena dengan karunia-Nya lah saya dapat merampungkan penulisan skripsi ini.
Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dia lah yang telah memberikan penerangan dengan cahayanya dan membawa manusia dari sebuah horizon yang sangat hina dengan gerakan revolusionernya, serta menghantarkannya ke sebuah horizon yang sangat mulia.
Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, dilukiskan dengan tinta bahkan cat berwarna, setelah saya dapat merampungkan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam pencapaian identitas formal dalam meraih gelar kesarjanaan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kendatipun demikian, dalam penulisan skripsi ini tentu tidak akan rampung dan sempurna tanpa keterlibatan dan bantuan sejumlah pihak yang langsung maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu perkenankanlah saya untuk menyapa dan berterimakasih kepada mereka, secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada Yth:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Summa SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5)
ii
3. Bpk. Dr. H. Muhammad Taufiqi MAg, selaku ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, dan Bpk. Fahmi Muhammad Ahmadi S.Ag, M.Si, selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bpk Dr. H. Abd Wahab Muhaimin, Lc, MA selaku pembimbing pertama dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag selaku pembimbing kedua, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan dan memberikan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi.
5. Bapak dan ibu dosen yang telah memberikan tenaga dan ilmunya selama masa pendidikan berlangsung.
6. Pimpinan perpustakaan besrta stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk melakukan studi pustaka.
7. Terimakasih ini juga penulis hanturkan secara khusus kepada Ibunda tercinta Masunah dan Ayahanda H. Bahruddin Muslih atas segala pengorbanan dalam mendidik, mengasuh serta senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan hingga ananda dapat menyelesaikan studi ini. Juga kepada seluruh keluarga yang juga tak pernah bosan untuk memberikan motifasi kepada penulis.
8. Kepada sahabat-sahabat yang telah mewarnai hari-hari penulis dari kejenuhan dan tak hentinya memberikan support kepada penulis, khsusunya untuk Atsari Noor
(6)
iii
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan, kegagalan, pertemuan, dan perpisahan yang kita alami ini tidak akan terhenti selamanya. Semoga persahabatan ini akan tetap terjalin dan akan menjadi kenangan kelak. 10. Kepada Asatidz dan Asatidzah yang telah mendidik dan mencurahkan
ilmunya dengan penuh kesabaran dan teman-teman alumni Darunnajah angkatan 2006 (Anifah, Salwa, Merliza, Soraya, Widda, Fikri, B‟dhur, Ubay, Boghie, Kobet, Aji, Faris).
11. Kepada teman-teman PMH 2006, semoga tali silaturrahim PH Community tetap terjalin. Demikian pula kepada teman-teman KKN Pasir Kupa 2009.
Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian, dan kepada Allah jualah penulis memohon semoga jasa yang telah mereka sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat ganjaran yang lebih baik dari Allah SWT. Amin ya Rabbal „Alamin.
Jakarta, 27 Januari 2011 M 24 Shafar 1432 H
(7)
iv
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Metode Penelitian ... 5
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II : TINJAUAN TEORITIS TENTANG SALAT TARAWIH ... 10
A. Definisi dan Dasar Hukum Salat Tarawih ... 10
B. Sejarah Salat Tarawih ... 13
C. Tata Cara Pelaksanaan Salat Tarawih ... 16
D. Jumlah Raka‟at Salat Tarawih Menurut Pendapat Para Imam Mazhab ... 19
BAB III : PROFIL MASJID RAYA PONDOK INDAH ... 34
A. Gambaran Umum Masjid Raya Pondok Indah ... 34
B. Stuktur Organisasi Masjid Raya Pondok Indah ... 38
(8)
v
A. Tata Cara Pelaksanaan Salat Tarawih di Masjid Raya Pondok
Indah ... 43
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pelaksanaan Salat Tarawih di Masjid Raya Pondok Indah ... 47
BAB V : PENUTUP ... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
(9)
1
A. Latar Belakang Masalah
Salat fardhu maupun salat sunnah merupakan ibadah badaniyah yang paling utama. Begitu pentingnya sehingga menjadi pilar agama yang di atasnya bisa berdiri kokoh instrumen-instrumen agama lain. Beragam jenis salat yang kita temui yaitu salat fardhu, salat sunnah rawâtib, salat dhuha, salat tahajjud, salat tarâwih dan lain-lain, semuanya telah dipilah dengan sistematis oleh para ulama sesuai pesan-pesan syari‟at yang dijelaskan lengkap dengan tata caranya demi untuk tercapainya pribadi-pribadi muslim yang benar-benar menapaki sifat kehambaan.
Pembahasan tentang lika-liku salat selalu menarik untuk dikaji terlebih bagi para pemula yang lebih dekat dengan fikih ibadah, namun seyogyanya diskusi-diskusi tentang furû‟iyah tidak menyebabkan kita terjerumus dalam perpecahan apalagi zaman sekarang, saat faktor-faktor eksternal semakin gencar menyudutkan, melemahkan dan memecah belah kaum muslimin.1
Bulan Ramadhan adalah merupakan bulan yang suci, bulan yang dimuliakan Allah „Azza wa Jalla, bulan yang penuh maghfirah (ampunan) dan berkah-Nya. Allah telah menjadikan bulan ramadhan sebagai hari raya bagi
1 Salat Tarawih, “
Keutamaan Shalat” artikel di akses pada 07 September 2007 dari http://rulan.mywapblog.com di akses pada 07 September 2007
(10)
semua umat dan kemakmuran bagi orang-orang yang beriman, di bulan itu jiwa segar, hati senang, kegiatan-kegiatan untuk kesegaran rohani dan ibadah pun diperbanyak. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW dalam bulan ramadhan mengajak umatnya agar meningkatkan ibadah, termasuk di dalamnya beliau menggalakkan tuntutannya dalam melaksanakan salat malam yang kemudian disebut dengan salat tarâwih.
Masalah tarâwih dari dahulu hingga sekarang masih merupakan topik yang menarik untuk dikaji, dibahas, dan diteliti lebih mendalam lagi, karena ada beberapa hal yang masih dipersoalkan oleh umat Islam. Di antaranya ialah tentang bilangan raka‟atnya, dalam masalah ini para ulama berbeda-berda pendapatnya sehingga umat Islam pun berbeda-beda pula dalam melaksanakannya, yaitu mengikuti pendapat imamnya masing-masing. Ironisnya, perbedaan dalam masalah ini sudah terjadi sejak generasi muslim pertama, yaitu sejak zaman para sahabat. Padahal mereka melihat secara langsung perihal tarâwih Rasulullah SAW, yang setidak-tidaknya mereka telah mendapatkan penjelasan langsung dari beliau.
Hal demikian yang menjadikan umat Islam kalangan awam menjadi bingung untuk memilih dan menentukan mana yang sesungguhnya benar. Sementara cendikiawan muslim semakin kuat melontarkan kritikan dengan mengemukakan berbagai alasannya, maka dalam suatu masyarakat muslim sering terjadi ketidakaruan antara kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lainnya hanya karena berbeda-beda dalam hal jumlah raka‟at tarâwih. Hal
(11)
demikian ini bukanlah berarti kelalaian atau kemalasan, tetapi semata-mata hasil ijtihad mereka.2
Dalam kitab Fiqh karya Syekh Wahbah Zuhaily dijelaskan ada beberapa tipe salat tarâwih, yaitu:
1. 8+3 (delapan raka‟at shalat tarâwih ditambah tiga raka‟at shalat witir) 2. 20+3 ( dua puluh raka‟at shalat tarâwih ditambah tiga raka‟at shalat witir) 3. 30+3 ( tiga puluh raka‟at shalat tarâwih ditambah tiga raka‟at shalat witir)3
Telah diketahui sebelumnya bahwa hukum melaksanakan salat tarâwih itu adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan) dan untuk jumlah raka‟atnya pun tergantung atas keyakinan mazhab masing-masing. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan semakin pesatnya kebutuhan manusia saat ini telah menimbulkan beberapa pergeseran dalam hal ibadah khususnya dalam tata cara pelaksanaan salat tarâwih. Berdasarkan fenomena yang penulis temui di masyarakat mengenai tata cara pelaksanaan shalat tarâwih, khususnya yang terjadi di beberapa masjid besar yang ada di DKI Jakarta seperti misalnya, di Masjid Raya Pondok Indah (Jakarta Selatan), Masjid Istiqlal (Jakarta Pusat), telah mengalami perbedaan dalam pelaksanaa salat tarâwih dan witir sebagai mana yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan salat tarâwih dan witir di beberapa masjid tersebut adalah kebijakan pengurus yang mengakomodir
2
Agus Salam Rahmat, Tarawih Seribu Tahun Lebih di Masjid Nabi SAW, (Bandung: Sinar Baru, 1992), h. 10
3
Jurizal Z, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri, 2008), h. 111.
(12)
dua aliran, yakni mereka yang melaksanakan salat tarâwih delapan rakaat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan mereka yang mengerjakan dengan dua puluh raka‟at menganut aliran para imam mazhab mereka ( Imam Syafi‟i, Imam Hambali, dan Imam Malik).
Hal yang demikian memang bukanlah suatu hal yang baru, namun di sini penulis ingin mencoba untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai pelaksanaan salat tarawih yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah dan apa yang melatar belakangi masjid tersebut melakukan salat tarawih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda.
Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji fenomena yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat dalam penulisan sebuah skripsi dengan judul “PERBEDAAN PELAKSANAAN SHALAT TARÂWIH DI MASJID RAYA PONDOK INDAH JAKARTA SELATAN.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas agar permasalahan tidak melebar dan untuk mempermudah pengkajian masalah karena judul skripsi ini amat luas, maka pokok bahasannya dibatasi sebagai berikut:
a. Bagaimana tata cara pelaksanaan salat tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan?
(13)
b. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan salat tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan:
1. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan salat tarâwih yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tata cara pelaksanaan salat tarâwih yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemikiran hukum Islam terhadap masalah aktual yang terjadi di masyarakat khususnya dalam masalah salat tarâwih
D. Metode Penelitian
Untuk membahas masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis perlu melakukan penelitian guna memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas dan akurat. Adapun metode yang akan digunakan adalah:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif, yaitu dengan cara menguraikan dan
(14)
mendeskripsikan hasil dari penelitian yang penulis dapatkan melalui hasil penelitian, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan skripsi ini.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah studi lapangan (field research) yaitu suatu cara pendekatan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Untuk mencapai hal tersebut penulis menggunakan dua sumber data, yaitu:
a. Data Primer
Data penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, dalam hal ini penulis menggunakan metode observasi partisipasi (Participant Observer). Selain observasi, penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview terpimpim dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses interview terfokus pada permasalahan yang dimaksud.
Pihak-pihak yang terkait terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Jama‟ah Masjid Raya Pondok Indah ada 7 orang yaitu: Bpk. Sholeh, Ibu Lia Octaviani, Ibu Sukinem, Ibu Siti Kustini, Ibu Yeni, Ibu Annisa, dan Ibu Devi.
(15)
2) Orang-orang yang mengetahui tentang pelaksanaan salat tarawih di Masjid Raya Pondok Indah ada 3 orang yaitu: Bpk. Samsul Marlin (Selaku Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah), Bpk. Maman (Selaku pengurus Masjid Raya Pondok Indah), Bpk. H. Sayuti (tokoh masyarakat).
b. Data Sekunder
Data yang bersifat pelengkap atau data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh orang lain). Dan dapat juga diperoleh dari kantor Masjid Raya Pondok Indah, buku, majalah, internet dan koran yang membahas tentang tata cara pelaksanaan salat tarawih.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian pada skripsi ini dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah yang terletak di Jalan Iskandar Muda No. 1 Jakarta Selatan.
4. Teknik Analisa Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setelah data-data di lapangan terkumpul secara berkesinambungan yang diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi di lapangan. Analisis terhadap informasi lapangan mempertimbangkan hasil pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal.4
4
Burhan Bungin., Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), Cet ke-3, h. 106.
(16)
E. Sistematika Penulisan
Dalam upaya pemudahan skripsi ini dan agar lebih sistematik maka disusun sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bab pertama yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Teoritis Tentang Salat Tarâwih
Bab ini menguraikan tentang pengertian atau definisi salat tarâwih sejarah salat tarâwih, sejarah serta dasar hukumnya, tata cara pelaksanaan salat tarâwih, dan jumlah raka‟at dalam salat tarâwih menurut para imam mazhab.
Bab III : Gambaran Umum Lolasi Penelitian
Bab ini menguraikan secara umum lokasi penelitian yang meliputi profil Masjid Raya Pondok Indah, sejarah berdirinya Masjid Raya Pondok Indah, stuktur organisasi Masjid Raya Pondok Indah dan kegiatan-kegiatan di Masjid Raya Pondok Indah.
Bab IV : Hasil Penelitian Dan Analisis Penulis
Bab ini menguraikan tentang tata cara pelaksanan salat tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan, dan faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam tata cara pelaksanaan salat tarâwih Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan
(17)
Bab V : Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan serta saran.
(18)
10
TINJAUAN TEORITIS TENTANG SALAT TARÂWIH
A. Definisi dan Dasar Hukum Salat Tarâwih 1. Definisi Salat Tarâwih
Dari segi gramatika, kata-kata tarâwih ini adalah kata jama‟(plural) dan kata tunggalnya adalah tarwîhah )ٌةَحْيِوْرَت ), dan kata tarwîhah itu sendiri berasal dari kata râhah ) ٌةَحاَر ). Rahah artinya senang atau gembira, bukan senang atau gembira karena mendapat rezeki atau harta benda akan tetapi dalam arti senang dan gembira di dalam bekerja, yang diiringi dengan kata-kata istirahat yang berarti berhenti dari bekerja atau istirahat dari mengerjakan pekerjaan yang disenangi.
Dari sudut bahasa, Tarwîhah ini asalnya adalah nama atau sebutan untuk duduk mutlak. Artinya duduk yang bagaimana pun. Kemudian dengan istilah tarwîhah ini dimaksudkan untuk duduk yang tertentu, yaitu duduk setelah mengerjakan salat isya empat raka‟at di malam bulan Ramadhan, karena memang mereka yang salat itu duduk dan beristirahat setelah melakukan salat malam yang empat raka‟at itu.1
Kemudian Ibnu Manzuhr menyatakan: “ٌةَحاَر” itu lawan dari pada ٌبَعَت (letih). Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, bahwasanya beliau berkata kepada Bilal ra:
1
(19)
Artinya: “Dari „Ali bin „Abdul „Aziz, saya mendengar Rasulullah SAW: kita beristirahat dengan salat ini, ya bilal”.
Maka adanya istirahat dalam melaksanakan salat tarâwih ini sebagai saat untuk bermunajat kepada Allah SWT, dan karena itulah Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Dari Jabir bin „Abdillah berkata: dan dijadikan kesyahduan mataku dalam melaksanakan salat”.
Rahah artinya senang atau gembira, bukan senang atau gembira karena mendapat rezeqi atau harta benda, akan tetapi dalam arti senang dan gembira di dalam bekerja yang diiringi dengan kata-kata istirahat yang berarti berhenti dari bekerja atau istirahat dari mengerjakan pekerjaan yang disenangi tadi.
Maka, tarâwih ini berarti beristirahat atau bersenang-senang setelah mengerjakan sesuatu yang sesuatu itu tadinya dikerjakan dengan segala kegembiraan dan dengan segala senang hati.4
2
Sulaiman Ibnu Ahmad At-Tabrânî, Mu‟jam al-kabiir Lithabraanii, (Al-Qaahirah: Daar al-hadis, 1995), jilid 6, h. 95, hadis nomor 609
3
Jalaaluddin Al-Suyûthî, Sunan Al-Nasaaii, (Beirut: Daar Al-fikr), jilid 2, h. 32, hadis nomor 728
4
Moh Ali al Sobuny, Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Salat Tarawih. Penerjemah Suhri Utsman, (Semarang: Pustaka Al Alawiyah, 1983). h. 29
(20)
2. Dasar Hukum Salat Tarâwih
Salat tarâwih adalah salat malam yang dilakukan dalam bulan Ramadhan. Anjuran untuk mengerjaknnya terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dari Abu Hurairah, yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah SAW menganjurkan supaya salat di bulan Ramadhan tetapi tidak memerintahkannya dengan jelas (azimah), maka beliau bersabda: barang siapa yang berdiri salat di malam Ramadhan dengan iman dan perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Pengertian hadis yang mulia ini; bahwa barang siapa yang menghidupkan malam hari di bulan Ramadhan dengan melaksanakan salat, dzikir dan membaca Al-Qur‟an dengan penuh keimanan kepada Allah, semata-mata hanya mengharap upah-pahala dari sisi-Nya maka Allah akan mengampuni baginya terhadap dosa-dosanya yang telah lalu.6
5Hazm Muhammad, Shahih Muslim bisyarhi al-Nawaawii, (Al-Qaahirah: Daar al-hadis, 1994), Jilid III, h. 295, hadis nomor 174.
6
Moh Ali Assobuny. Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Shalat Taraawih, h. 24
(21)
B. Sejarah Salat Tarâwih
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salat tarâwih merupakan salat sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkad) karena di dalamnya memiliki banyak keutamaan, namun ada baiknya jika kita mengetahui sejarah disyari‟atkan salat tarâwih tersebut.
Pada zaman Nabi dan sahabat-sahabat belum dikenal kata-kata “tarâwih”, pada kedua masa itu masih terkenal kata-kata “Salatullail” untuk salat malam apa pun dan kata-kata “Qiyamu Ramadhan” yang berarti ibadah malam di bulan ramadhan. Kata-kata tarâwih itu mula-mula timbul di abad kedua hijriah yaitu di kala imam-imam mazhab mulai muncul bersamaan dengan lahirnya “ilmu fikih” (ilmu hukum Islam). Kata-kata (istilah) tarâwih ini timbul guna membedakan salat malam di bulan ramadhan (yang dikatakan salat tarâwih) dengan salat malam lainnya (yang bukan di bulan Ramadhan).7
Pada masa itu Rasulullah hanya memberikan anjuran secara umum saja tanpa menyebut jumlah raka‟at. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra:
7
Moh Ali Assobuny. Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Shalat Taraawih, h. 1-3
8
Imam Muslim Al-Nisaburiy, Shahih Muslim, ( Al Qahirah, Daarul Hadis, 1994). Juz III, h. 295, hadis nomor 173
(22)
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: barang siapa melaksanakan salat (tarâwih) karena iman kepada Allah dan mengharap ridha Allah, maka diampunilah dosa-dosaya”.
Dalam hadis ini Rasulullah SAW hanya mengajak dan menggugah kepada siapa saja dengan memberitahukan tentang fadhilah salat tarâwih pada bulan Ramadhan tanpa menyebut jumlah raka‟atnya, tanpa memberikan contoh dan bahkan tanpa menyuruh dengan sungguh-sungguh.
Tahap selanjutnya adalah tahap anjuran, di mana dalam tahap ini Rasulullah SAW memberikan contoh dan tuntunannya dengan mengerjakannya sendiri, kemudian diikuti oleh para sahabat, baik itu dilakukan secara sendiri atau berjama‟ah. Pada tahap ini pula Rasulullah SAW mengaitkan antara salat tarâwih dengan bulan Ramadhan dengan anjuran yang di pertegas, bahwa salat tarâwih itu hukumnya adalah sunnah yang sangat dianjurkan, yaitu bagi siapa saja yang mengerjakan salat tarâwih karena iman dan mengharap ridha Allah, ia akan kembali seperti bayi waktu dilahirkan oleh ibunya. Dari sini lah lalu salat tarâwih menjadi berkembang, ada di antara sahabat yang mengerjakannya dengan keluarganya di rumah dan ada pula yang mengerjakannya secara berjama‟ah di masjid,9 Kemudian sepeninggal Nabi, salat itu dinamakan tarâwih.
Menurut ulama jumhur: salat itu dinamakan pula dengan salat witir karena di tutup dengan satu raka‟at salat witir, dan salat witir dinamakan pula dengan salat tarâwih atau qiyamul lail. Pada dasarnya semuanya itu sama
9
Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Shalat Tarawih 20 Roka‟at, cet.II, (Surabaya: Dinamika Press Surabaya, 1997), h. 43.
(23)
tathawwu‟ yang dikerjakan di waktu malam antara salat isya sampai waktu fajar di bulan Ramadhan, sedangkan perbedaan namanya itu hanya menurut waktunya saja. Qiyamu Ramadhan yang dikerjakan pada awal malam dinamakan dengan salat tarâwih, sedangkan salat malam yang dikerjakan di akhir malam dinamakan salat tahajjud dan ini lebih utama dan lebih besar pahalanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra ayat 79:
Artinya: “Dan pada sebagian malam bertahajjudlah sebagai tambahan bagimu, mudah-mudahan tuhamnu akan menempatkan engkau pada tempat yang terpuji”.
Asal mula salat malam bulan Ramadhan itu dinamakan salat tarâwih ialah karena hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dari Aisyah:
Artinya: “Rasulullah SAW salat empat raka‟at pada malam hari. Kemudian itu beliau istirahat, lama istirahatnya itu sehingga kasihan aku melihatnya.”
Kemudian terus rupanya salat tarâwih ramai dilakukan tiap malam di masjid sampai Nabi wafat, dan sampai zaman Abu Bakar. Dari Abdurrahman bin Abdul Qari, dia berkata: “aku keluar bersama Umar bin Khathab dalam bulan Ramadhan ke dalam masjid, kami dapati orang banyak berkelompok, ada yang salat sendiri saja untuk dirinya dan ada pula yang berjama‟ah. Maka berkatalah
10
Amad Ibnu Husain Al-Baihaqiy, Sunan Al-kabiir al- Baihaqiy, (Beirut: Daar al Fikr) jilid II, h. 497, hadis nomor 391
(24)
Umar: agar semua salat di belakang imam dan akhirnya beliau menentukan siapa yang berhak menjadi imam yaitu Ubay bin Ka‟ab.
Kemudian di malam-malam berikutnya, Abdurrahman dan Umar kembali masuk ke dalam masjid dan mendapati orang telah salat tarâwih dengan satu Qari‟ (pembaca, yaitu satu imam). Maka berkatalah Umar bin Khathab: “ni‟matu al bid‟ah hadzihi” (yang sebaik-baik bid‟ah adalah ini). Orang tidur terlebih dahulu lebih afdhal dengan orang yang salat lebih dahulu, yaitu dia salat di ujung malam, sedangkan orang-orang di waktu itu salat di awal malam.
Dari uraian di atas telah jelas sekali bahwa Umar bin Khaththab lah yang dengan tegas mengadakan salat tarâwih dengan berjama‟ah. Setelah beberapa hari salat tarâwih berjama‟ah itu dilaksanakan dengan baik, kemudian Umar bin Khaththab berkata bahwa jika ada yang hendak mengatakan bahwa hal yang demikian adalah bid‟ah maka ini adalah bid‟ah yang paling baik.
Akhirnya salat tarâwih ini dinisbatkan kepada Umar bin Khaththab, karena beliaulah yang memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan salat tarâwih secara berjama‟ah bersama imam Ubay bin Ka‟ab.11
C. Tata Cara Pelaksanaan Salat Tarâwih
Dalam Islam, salat merupakan ibadah wajib yang paling utama dan paling disukai Allah SWT baik itu salat wajib maupun salat sunnah.12 Di antara
11
Assobuny, Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Shalat Taraawih, h. 32
12
(25)
salat sunnah ada yang cukup di anjurkan saja oleh Nabi SAW dan ada pula yang sangat ditekankan. Namun demikian, tidak sepatutnya kita memilah dan memilih ibadah kepda sang Khaliq, karena semua amal ibadah pada hakikatnya sangat baik untuk dilksanakan.13 Salah satu salat sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah pada bulan Ramadhan adalah melaksanakan salat tarâwih.
Adapun mengenai cara mengerjakannya, salat tarâwih dikerjakan setelah salat isya‟ pada malam bulan Ramadhan sampai waktu fajar, sekalipun salat isya itu dijama‟ taqdim dengan maghrib, tanpa didahului dengan salat isya‟, maka salat tarawih itu tidak sah.14 Sebagaiman salat pada umumnya, salat tarâwih diawali dengan niat saat takbiratul ihram, salat tarâwih dilakukan dua raka‟at-dua raka‟at, atau empat raka‟at-empat raka‟at dengan satu kali tahiyat di raka‟at terakhir.
Setelah salam selesai menunaikan salat tarâwih dua atau empat raka‟at, dan sebelum menunaikan dua atau empat raka‟at berikutnya disunahkan membaca doa, antara lain sebagai berikut:
Setelah selesai salat tarâwih hendaknya diteruskan dengan salat witir, sekurang-kurangnya satu raka‟at. Tetapi umumnya dikerjakan tiga raka‟at dengan dua salam dan boleh pula dikerjakan tiga raka‟at dengan satu salam.
13
Abdul Ghani, Pedomman Sholat-Sholat Menurut Rasulullah SAW, cet.I, (Kuala Lumpur: Darul Nu‟man, 1995) h. 52
14
Quraish Shihab, Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Republika, 2003), h. 90.
(26)
Asy-Syafi‟i dan Ash Habun dan Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa yang lebih afdhal mengerjakannya ialah dengan berjama‟ah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab dan sahabat-sahabat Nabi SAW, karena menurut mereka melakukan salat tarawih berjama‟ah hukumnya adalah sunnah „ain, di mana apabila terdapat suatu jama‟ah melakukannya maka sunnah berjama‟ah itu tidak gugur dari yang lain. Bila seseorang melakukan salat tarawih di rumahnya, maka disunnahkan baginya untuk melakukan salat tersebut dengan orang yang ada di rumah secara berjama‟ah, karena jika ia melakukan secara sebdiri berarti ia telah kehilangan pahala sunnah jama‟ah.
Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Hanafi dan Abu Yusuf (pemuka kedua dari Mazhab Hanafi) berpendapat lebih baik di rumah saja. Karena menurut mereka bahwa melakukan salat tarawih dengan berjama‟ah hukumnya sunnah kifayah bagi semua orang, jika ada sebagian dari mereka yang berjama‟ah maka yang lain tidaklah dituntut untuk melakukannya.15
Namun, ada pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Muttafaqun „alaih dari Aisyah: “ Dari Aisyah bahwa Nabi SAW salat di masjid, lalu orang banyak mengikuti di belakang. Lalu beliau salat pula di malam kedua, orang pun bertambah banyak mengikuti. Kemuadian orang-orang berkumpul di malam ketiga, tetapi Nabi SAW tidak keluar di malam itu. Maka
15
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Cairo: Mathba‟ah Al -Istiqamah) , jilid II, h. 285
(27)
tatkala waktu subuh Nabi keluar seperti biasa lalu beliau bersabda: “ telah aku lihat apa yang telah kamu kerjakan, tetapi tidaklah ada yang menghalangi aku untuk keluar tadi malam, melainkan karena aku takut dia akan menjadikan fardhu atas kamu.”16
Para ulama membagi salat sunnah itu kepada dua macam, ada sunnah munfarid dan ada pula salat sunnah jama‟ah. Yang termasuk salat sunnah jama‟ah di antaranya ialah salat tarâwih, salat ied, salat gerhana dan salat istisqa.
Dengan demikian, tidak ada keharusan yang mengatakan bahwa salat tarâwih harus dilakukan dengan berjama‟ah atau pun dengan sendiri-sendiri karena keduanya diperbolehkan. Namun ada baiknya salat tarâwih itu dikerjakan dengan cara berjama‟ah, karena hal ini sangat dianjurkan oleh Nabi untuk menghidupkan bulan Ramadhan sebagai syi‟ar agama Allah yang luhur. Begitu pula dengan tata caranya, boleh dilakukan dengan cara dua raka‟at-dua raaka‟at salam atau pun empat raka‟at- empat raka‟at dengan satu kali tahiyyat di akhir raka‟at.
D. Jumlah Raka’at Salat Tarâwih Menurut Pendapat Para Imam Mazhab
Dalam segala hal ubudiyyah, pada dasarnya kita akan mengerjakannya sebagaimana apa yang telah ditunjuk oleh Rasulullah SAW, sebab Al-Qur‟an hanya mengemukakan hukum-hukum dasarnya saja. Mengenai jumlah raka‟atnya,
16
(28)
tidak ada riwayat yang pasti dari Rasulullah sehingga salat tarâwih tidak terikat oleh jumlah tertentu.17
Jumlah raka‟at dalam salat tarâwih dan witir sebagai rangkaiannya itu memang tidak hanya 11 atau 23 raka‟at saja sebagaimana yang dikerjakan oleh orang-orang Islam di Indonesia, akan tetapi banyak sekali macam dan ragamnya. As-Syaikh Athiyah Muhammad Salim, dalam bukunya At-Tarâwih Aktsar Min Alf Aam fi Masjidi al Nabi Alaihi As-salam bahwa salat tarâwih mempunyai tahapan-tahapan dalam perkembangan jumlah raka‟atnya, dari yang berawal 11 raka‟at sampai yang 39 raka‟at.
Menurut mazhab Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah beserta sahabat-sahabatnya, jumlah raka‟at salat tarâwih adalah 20 raka‟at dengan sepuluh kali salam di luar witir. Jadi, setiap dua raka‟at mengucapkan satu kali salam, dan tiap-tiap empat raka‟at merupakan satu kali tarâwih. Dengan demikian, jumlah tarâwih dalam 20 raka‟at itu ialah 5 kali tarâwih. Para Imam Mazhab juga berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa dan juga Imam Al-Baihaqi dari Yazid bin Ruman, ia berkata: “orang -orang melaksanakan salat tarâwih pada masa Umar bin Khaththab dengan 23 raka‟at. Mereka melaksanakan salat tarâwih dengan 20 raka‟at ditambah dengan salat witir 3 raka‟at.”
Menurut Ibnu Qasim dari pengikut Imam Malik, jumlah raka‟at salat tarâwih adalah 36 raka‟at dengan sembilan kali tarâwih di luar witir, ini dikaitkan
17
(29)
dengan amaliah orang-orang Madinah.18 Sementara itu, ada ulama yang berpendapat bahwasanya yang dilakukan oleh orang-orang madinah, salat tarâwih itu 36 raka‟at, karena mereka menghendaki untuk mendapatkan kesamaan (pahala) dengan orang-orang Mekkah. Sebab, orang-orang Mekkah pada tiap-tiap 2 tarwihah (8 raka‟at) melakukan thawaf dengan tujuh kali keliling. Maka orang-orang Madinah membuat suatu ukuran untuk tiap-tiap tujuh kali keliling (diganti) denga 4 raka‟at salat tarâwih.
Kemudian Ibnu Qudamah menyatakan, jikalau Imam Malik menetapkan bahwa orang-orang Madinah semuanya melaksanakan salat tarâwih 36 raka‟at, maka sungguh apa yang telah dilakukan Umar bin Khaththab telah disepakati oleh para sahabat di zamannya adalah lebih utama untuk diikuti.19
Selain itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah raka‟at salat tarâwih hanya delapan raka‟at saja, yaitu dua kali tarâwih selain witir. Dalam menetapkan bilangan raka‟at salat tarâwih, para ulama mendasarkannya pada berbagai hadis. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa bilangan raka‟at dalam salat tarâwih berjumlah sebelas raka‟at, mendasarkannya pada hadis Siti Aisyah berikut:
18
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaayah al-Muqtashid, (Beirut: Daarul Fikr), jilid I, h. 152
19
(30)
Artinya: “Dari Aisyah r.a ia berkata, tidaklah Rasulullah SAW menambahi salat di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lain atas sebelas raka‟at; beliau kerjakan salat itu empat raka‟at maka janganlah kamu tanya tentang bagus dan panjangnya salat itu, kemudian dikerjakannya pula empat raka‟at maka janganlah kamu Tanya tentang bagus dan panjangnya salat itu, kemudian dikerjakannya pula tiga raka‟at, lalu aku bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah baginda Rasul tidur sebelum baginda salat witir? “Nabi menjawab, “ Ya Aisyah, sesungguhnya dua
mataku tertidur, tetapi hatiku tidak.” (H.R Al Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan salat sunnah dalam bulan Ramadhan sebanyak sebelas raka‟at, yaitu salat untuk menghidupkan malam yang penuh keberkahan.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa bilangan dalam raka‟at dalam salat tarâwih adalah 20 raka‟at mendasarkannya pada hadits As-Saib bin Yazid yang bunyinya sebagai berikut:21
20 Al-Hafidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqalaaniy, Fathu Al- Barii. (Beirut: Daaru Al-Fikr, 1996), Juz III , h. 343, hadis nomor 1147.
21
Ibnu Mas‟ud, Fiqh Mazhab Syafi‟I, cet.II. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h.416-418.
22
Ahmad Ibnu al-Husain al-Baihaqiy, Sunan Al-Sahghiir Al-Baihaqiy, (Beirut: Daar al-Fikr, 1993), Juz I, h. 235, hadis nomor 835
(31)
Artinya: “Dari Said bin Yazid As-Shahabi r. a. ia berkata, pada masa Umar bin Khaththab r. a mereka pernah mendirikan ibadah malam pada bulan
Ramadhan dengan salat dua puluh raka‟at.” (H. R. Baihaqi).
Dan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dari Abu Hurairah:
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah SAW menganjurkan supaya shalat di bulan ramadhan (tarâwih) tetapi tidak memerintahkannya dengan jelas, maka beliau bersabda: barang siapa yang mendahulukan shalat di malam ramadhan dengan iman dan perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Hadis ini menyatakan bahwa salat tarâwih pada zaman sahabat-sahabat Nabi, seperti Umar bin Khaththab dan lain-lainnya ialah 20 raka‟at. Hadis ini idak berlawanan dengan hadis pertama sebab salat tarawih termasuk juga salat malam yang raka‟atnya tak terbatas.24 Ibnu Taimiyah di dalam fatwanya menulis, salat tarâwih itu tidaklah ditentukan oleh Nabi SAW dengan jumlah raka‟at tertentu, bahkan salat beliau di bulan Ramadhan hanya 13 raka‟at tetapi panjang bacaannya. Kemudian setelah Umar bin Khaththab menyuruh mereka berjama‟ah dengan Ubay bin Ka‟ab, beliau salat 20 raaka‟at ditambah dengan salat witir 3
23
Imam Muslim Al-Nisaburiy. Shahih Muslim, h.297, hadis nomor 175
24Ibnu Mas‟ud, Fiqh Mazhab Syafi‟I
(32)
raka‟at dan memendekkan bacaannya sebab dengan begitu dapat meringankan bagi jama‟ahnya.25
Selain dari pendapat-pendapat Imam Mazhab yang telah disebutkan di atas, ada beberapa riwayat yang menerangkan tentang banyaknya jumlah raka‟at salat tarâwih, di antaranya adalah:26
1. Tarâwih 10 raka‟at dan witir 3 raka‟at = 13 raka‟at
Berdasarkan riwayat Muhammad ibn Nashr Al-Marwazy dan Muhammad ibn Ishaq dari Muhammad ibn Yusuf dari kakeknya Al-Sai ibn Yazid:
Artinya: “Kita salat tarâwih pada masa Umar bin Khaththab dalam bulan
Ramadhan dengan 13 raka‟at”.
2. Tarâwih 20 raka‟at dan witir 3 raka‟at= 23 raka‟at
Riwayat dari Muhammad ibn Nashr dari Imam Atho‟, ia berkata:
Artinya: “Aku menjumpai mereka (para sahabat dan tabi‟in), mereka di
bulan Ramadhan mengerjakan salat tarwih 20 raka‟at dan salat
witir 3 raka‟at”.
25
Prof.Dr.Hamka, Tuntutan Puasa Tarawih Dan Idul Fitri, (Jakarta: Pustaka Panji Mas), h. 83
26
Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Shalat Tarawih 20 Roka‟at, h. 49.
27
Al-Hafidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqalaanii, Fathuu Al- Baarii, Juz IV, h. 205
28
Sayyid Muhammad Az-Zarqooniy, Syarh Az-Zarqooniy, (Beirut: Waarul Jail, 1989). Juz I, h. 239, hadis nomor 250.
(33)
3. Tarâwih 34 raka‟at dan witir 1 raka‟at Riwayat dari Imam Zarrah ibn Aufa:
Artinya: “Sesungguhnya ia salat tarâwih dengan mereka di kota Bashrah dengan 34 raka‟at dan 1 witir”.
4. Tarâwih 36 raka‟at dan witir 3 raka‟at
Riwayat dari Imam Al-Za‟faran As-Syafi‟i:
Artinya: “Saya melihat orang-orang di Madinah mengerjakan tarâwih 39
raka‟at dan di Makkah dengan 23 raka‟at”.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat (iktilaf) mengenai penetapan dalam masalah hukum Islam telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup, tetapi perdebatan itu dapat segera diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Ikhtilaf yang terjadi di kalangan sahabat itu adalah karena perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka.31
29
Al-Hafidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqolaanii, Fathuu Al- Baarii), Juz III, h. 205
30
Al-Hafidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqolaanii, Fathuu Al- Baarii, Juz III, h. 205
31
Huzaemah Tahido, Pengnatar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 50
(34)
Sebagaimana diketehui, bahwa ketika Agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah dan berpencar-pencar ke negeri yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah dalam memecahkan sesuatu masalah, sukar untuk dilakukan. Sampai saat ini fiqh ikhtilaf 32 masih tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu‟iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, terutama di kalangan orang-orang awam.33
Adapun yang menjadi daerah tempat terjadinya ikhtilaf dalam garis besarnya terdapat pada:
1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dapat dipalingkan dari makna asalnya kepada makna lain
32
Keberagaman pendapat dalam hukum islam. Dikalangan Sunni berkembang sebuah konsep bahwa keberagaman antar mazhab fiqh dan teologi meruakan suatu yang tidak dapat dihindarkan dan ia justru merupakan suatu rahmat.
33
(35)
2. Hadis-hadis yang dapat dipalingkan dari makna asalnya kepada makna lain, juga ketidak pastian terhadap sanad dan matan suatu hadis.
3. Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur‟an dan Sunnah).
Di antara sebab-sebab pokok terjadinya ikhtilaf di kalangan para ulama (mujtahidin), adalah seagai berikut:
1. Faktor-faktor eksternal
a. Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan di atas, bawa para sahabat telah terpencar-pencar ke berbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis Nabi, sukar menemui mereka. Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat Nabi dapat dijumpai tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya, karena pergaulannya dengan Rasulullah dapat pula menentukan banyak atau sedikitnya hadis yang diterima.
b. Para sahabat yang tinggal tepencar-pencar di seluruh pelosok negeri ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengingatkan di antara sahabat-sahabat itu tidak ada. c. Di antara ulama dan umat Islam, ada yang kurang memperhatikan situasi
pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku untuk umum atau untuk orang tertentu saja, dan apakah perintah yang ada dalam hadis itu untuk selama-lamanya atau hanya bersifat sementara.
(36)
d. Di antara ulama dan umat Islam kurang memperhatikan dan mempelajari bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang, karena ada kalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan terkadang tidak tepat untuk orang lain.
e. Di antara ulama ada yang berpandangan yang terlalau berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunatkan, sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan.
f. Perbedaan pandangan dalam bidang politik juga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum islam, paham yang berbeda itu tidak hanya terbatas pada maslah politik saja, tetapi lebih jauh berpengaruh pada masalah akidah, yang saling mengkafirkan, masalah ubudiyah yang saling menyalahkan dan masalah penetapan suatu hukum.34
2. Faktor-faktor internal
a. Pemahaman Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Seperti dimaklumi, sumber utama syari‟at Islam adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul yang keduanya berbahasa arab. Dalam bahasa arab, terdapat kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Selain itu, dalam ungkapannya terdapat kata umum tetapi yang dimaksudkannya adalah
34
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 117
(37)
khusus, ada pula dari segi bahasa, serta dari segi makna yang tersurat dari suatu kata.
b. Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasul SAW.
As-Sunnah dapat diartikan sebagai sabda, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah. Terkadang dapat pula diartikan, kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah dalam menetapkan hukum islam. Sebagai sumber hukum, kedudukan sunnah sebenarnya tidak dapat diragukan lagi, semua ulama Muhaditsin dan para ulama fiqh mengakuinya. Akan tetapi ketika sunnah akan dipakai dalam menetapkan suatu hukum, maka di sinilah timbul perselisihan (ikhtilaf) di antara para ulama fiqh.
Hal seperti ini bisa saja terjadi karena di antara mereka mempunyai standar tersendiri dalam menerima As-Sunnah sebagai sumber hukum. Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasul yang menonjol antara lain adalah: perbedaan sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian sahabat, perbedaan dalam menilai periwayatan hadis (shahih atau tidaknya), percaya atau tidaknya terhadap seorang perawi hadis, pemahaman terhadap perbuatan Rasul dan perbedaan kedudukan silsilah Rasul.
c. Perbedaan mengenai dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara‟. Sebab-sebab yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya mengenai istisna (pengecualian), yakni: apakah istisna terdapat sesudah
(38)
beberapa jumlah yang di-„athaf-kan satu sama lainnya itu kembali kepada semuanya atau kah kepada jumlah terakhir saja.
d. Perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur‟an dan sunnah. Seperti, amal ahli Madinah dijadikan dasar fiqh oleh Imam Malik namun tidak dijadikan dasar oleh imam lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil di luar Al-Qur‟an dan Sunnah, seperti Ijma‟ (kesepakatan para imam mujtahid diantara umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat mengenai hukum islam), Qiyas (pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya), Maslahah Mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak mempunyai pembatalannya, Istihsan (semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya), Shad al-Dzarar‟i (perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berkahir dengan suatu keruakan), Ishtishhab (menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya), „Urf (sesuatu yang telah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan, baik itu berupa perbuatan atau pun perkataan) dan sebagainya;35 yang oleh sebagian
35
Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) h. 81
(39)
ulama dijadikan dasar sedang sebagian ulama lain tidak menjadikannya sebagai dasar dalam mengisthinbathkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu halnya dalam tingkat penggunaan saja.36
Sedangkan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ikhtilaf ada dua bentuk:
1. Ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlak di antaranya: a. Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri
b. Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.
c. Egoisme dan mengikuti hawa nafsu dan di antara akibatnya ambisi terhadap kedudukan.
2. Ikhtilaf yang timbul karena perbedaan sudut pandang mengeanai suautu masalah, baik masalah ilmiyah, seperti perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, ilmu kalam, ilmu tasawuf, mantiq dan lainnya.
Perselisihan itu terjadi antara karena adanya pihak yang memperluas dan yang mempersempit, antara yang memperluas dan memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung pada dzahir nash. Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus
36
Prof. Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995) h. 76
(40)
berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan hukum Islam, karena pola pikir manusia yang terus berkembang.37
Namun demikian, dengan adanya keberagaman jumlah raka‟at dalam salat tarâwih seperti yang telah dijelaskan sebelumnya itu, diperbolehkan untuk memilih sesuai dengan pendapat Imam Mazhabnya masing-masing, baik itu yang 8 raka‟at, 10 raka‟at, 20 raka‟at, 34 raka‟at, atau pun 36 raka‟at. Karena pada dasarnya setiap pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Mazhab tersebut tidak menyimpang atau tidak keluar dari dalil-dalil Al-Qur‟an atau sunnah.
Adanya ikhtilaf yang tejadi di antara para Imam Mazhab atau para mujtahidin terutama dalam masalah jumlah raka‟at dalam salat tarâwih, semestinya tidak dijadikan ajang untuk saling berselisih, apalagi sampai menyatakan bahwa pendapat mazhabnya lah yang paling benar. Karena perbedaan pendapat yang terjadi di antara para Imam Mazhab ini pada hakikatnya mengisyaratkan, bahwa Islam sangat menghargai kebebasan dalam menyatakan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan dan perpecahan, akan tetapi hendaknya perbedaan pendapat itu dimanfaatkan untuk menemukan suatu kemudahan karena adanya alternatif bagi umat Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang beraneka ragam dan terus berkembang.38
37
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 118
38
(41)
Perbedaan pendapat yang terjadi di dalam masyarakat saat ini, hendaklah dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena hal ini menandakan bahwa pikiran seseorang itu tidak membeku tetapi kreatif sesua dengan perkembangan zaman. Hukum yang di dapat dari hasil perbandingan itu adalah merupakan hasil penelitian yang obyektif dan kuat dalil-dalilnya, karena dasar-dasar yang diambil oleh para imam mujtahid tidak keluar dari nash-nash Al-Qur‟an dan sunnah dan dengan perbedaan interpretasi atau mereka mengambil dengan metode Qiyas, Maslahah Mursalah, Istishhab, Istisna, atau prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam nash-nash syari‟at Islam.
Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh) dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada umat Islam.39
Oleh sebab itu Islam tidak mewajibkan ummatnya untuk bertaklid dan mengikat diri pada pendapat suatu mazhab, melainkan memerintahkan untuk mengikuti hukum-hukum yang diambil dari sumbernya yang kuat, kecuali bagi orang awam yang belum atau tidak bisa membedakan mana dalil yang terkuat dan tidak, yang terpenting baginya adalah mengamalkan hukum yang ditetapkan mazhab tertentu yang menjadi panutannya.40
39
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 113
40
(42)
34
PROFIL MASJID RAYA PONDOK INDAH
A. Gambaran Umum Masjid Raya Pondok Indah
1. Awal Berdirinya Masjid Raya Pondok Indah
Masjid Raya Pondok Indah berdiri pada hari jum‟at tanggal 4 desember tahun 1992, yang diresmikan oleh wakil presiden Bapak H. Sudarmono SH. Masjid ini terdiri dari dua lantai, lantai atas untuk ruang salat utama dan lantai bawah untuk ruang serba guna. Lantai atas yang merupakan ruang salat utama terdapat dinding qiblat tanpa ruang mihrab, karakter ini merujuk pada masjid Quba yang dibangun oleh Rasulullah SAW, masjid ini dapat menampung + 2.600 jama‟ah.
Arsitektur masjid mengacu pada arsitektur tradisional, atapnya bersusun tanpa kubah yang melengkung. Bentuk atap piramid dengan sudut 45 derajat yang dikuatkan dengan dasar batu-batu, akan tampak seperti bangunan prisma biru yang berdiri kokoh di atas landasan batu seluas 6.215 m². Pola infinitif bangunan ini, sebagai pengelolahan bentuk atap masjid tradisional ke dalam ekspresi bangunan kontemporer.
Pada dinding mimbar dipahat kaligrafi dua kalimat syahadat. Di sekeliling bagian atas ruang salat juga dipahat kaligrafi asmaul husna yang menambah kesan keagungan masjid. Sebelah qiblat terdapat menara masjid yang tingginya 50 meter dengan bentuk runcing ke atas berakhir pada bulan bintang yang mencerminkan bentuk seberkas cahaya yang menerangi bumi
(43)
dari bulan dan bintang, yang melambangkan bahwa islam merupakan cahaya bagi bumi beserta seluruh alam.1 Bagi jamaah, disediakan 300 keran air wudhu dan 11 jamban. Ruangan bawah masjid yang dilengkapi AC, sound system, dan CCTV bagi yang tak bisa langsung melihat khatib. Untuk mengamankan alas kaki, Anda bisa menitipkannya ke penjaga masjid yang siap menampung 2.500 pasang sepatu.2
Selain memiliki fungsi sebagai tempat penyelenggaraan ibadah, masjid Raya Pondok Indah juga memiliki fungsi sosial, pendidikan dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya badan-badan otonom di bawah kepengurusan masjid yang bertanggung jawab terhadap Taman Pendidikan Al-Qur‟an (TPA), perpustakaan, Badan Zakat, Infak dan Shadaqah, bimbingan haji (KBIH), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan penerbitan.
2. Lokasi dan Tata Letak Masjid Raya Pondok Indah
Masjid Raya Pondok Indah terletak di Jalan Iskandar Muda No. 1 Pondok Indah Jakarta Selatan. Masjid ini berlokasi di pusat keramaian di segi tiga Pondok Indah, berseberangan dengan Mall Pondok Indah dan sejajar dengan Ranch Market.3
Masjid Raya Pondok Indah merupakan bagian dari kompleks perumahan Pondok Indah. Sebagai sarana peribadatan, masjid ini juga
1
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010
2
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ADART) Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta, 16 Agustus 2010.
3
(44)
merupakan tempat umum sehingga jama‟ah yang memadati masjid tak hanya berasal dari kompleks perumahan Pondok Indah saja, melainkan jamaah yang datang ke Masjid Raya Pondok Indah juga berasal dari masyarakat sekitar masjid, karyawan kantor, dan juga musafir.
3. Visi dan Misi Masjid Raya Pondok Indah
Visi Masjid Raya Pondok Indah adalah menjadikan masjid sebagai pusat unggulan dalam bidang peribadatan, dakwah dan sosial keagamaan dengan sistem pengelolaan yang modern.
Sedangkan misi Masjid Raya Pondok Indah adalah :
a. Melaksanakan, membina, mengembangkan, menanamkan dan menerapkan ajaran Islam yang berwawasan luas, toleran dan penuh persaudaraan dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
b. Membina dan mengelola masjid dan pendidikan sebagai wahana pembinaan watak dan kepribadian, dengan menerapkan manajemen modern yang terencana, terarah, terpadu, profesional, efektif dan efisien c. Membangun, membina dan mengembangkan usaha-usaha yang bersifat
bisnis yang relevan yang hasilnya untuk pengembangan dan menunjang kegiatan kemasjidan dan pendidikan.4
4
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010
(45)
Ada tiga bagian terpenting dalam stuktur organisasi yang sangat berperan untuk memakmurkan masjid:
1. Bagian Idarah (organisasi / administrasi)
Bagian ini mengurus semua sesuatu yang berkaitan dengan stuktur organisasi, keuangan, personalia, pengawasan, perencanaan, laporan, dan pengembangan baik itu pengembangan fisik maupun kegiatan.
2. ‘Imarah (kegiatan)
Bagian ini mengurus semua yang berkaitan dengan peribadatan, dakwah atau ceramah, paket kajian, pendidikan, perpustakaan, bimbingan haji (KBIH), zakat infaq dan shadaqah (ZIS), penerbitan, baitul maal wa tamwil, sosial (beasiswa, kesehatan / klinik, bantuan / santunan, khitanan) dan koperasi karyawan.
3. Ri’ayah (pemeliharaan)
Bagian ini mengurus segala semua yang berhubungan dengan fisik masjid, pemeliharaan peralatan, kebersihan, keindahan, perkantoran, taman, lapangan, dan lingkungan.
4. Jaringan Kerja Sama
Adapun jaringan kerja sama yang ada di Masjid Raya Pondok Indah ini, antara lain:5
a. PT. Bank Muamalat Indonesia b. BMT Al Karim
5
(46)
c. Yayasan Muharram (Studi Islam Al Hilal) d. Yayasan Al Urwatul Wustqa
e. Yayasan Al Hikmah f. Pengajian Nurul Huda g. Pengajian Al Ummahat h. UJE CENTRE
i. MMQ, MQS DAARUTTAUHID JAKARTA j. Pengajian Gabungan Ibu-ibu
k. Forum Kajian Amal Islam (Fokalis) l. Perusahaan Jasa Catering
m. Perusahaan Jasa Peralatan Catering n. Perusahaan Jasa Peralatan Tenda o. Perusahaan Jasa Peralatan Pelaminan
p. Perusahaan Jasa Tanaman Hias dan lain-lain
B. Struktur Kepengurusan Masjid Raya Pondok Indah
Penasehat : Gubernur DKI Jakarta Wlikotamadya Jakarta Selatan Ketua Yayasan Pondok Mulya : Prof. Ir. H. Ismail Sofyan
Direktur Eksekutif : Prof. Dr. H. Ahmad Sukarja, SH, MA
Kepala Kantor : Syamsul Marlin S.Ag
Sekertaris : Purwoto
(47)
Bagian Kemasjidan : Qomaruddin S.Pdi
Bagian Peribadatan dan Dakwah : H. Abd Fattah Muthabik S.Ag Bagian Pendidikan dan Perpustakaan : Ismasari A.Md
Bagian Usaha dan Kebersihan : Rusilawati Sulvia S. Ikom
Bagan Stuktur
Kepengurusan Masjid Raya Pondok Indah
6Anggota-anggota Badan Pengurus Masjid Raya Pondok Indah, merupakan tenaga sukarela dengan keikhlasan dan ketulusannya memberikan pengabdian pada pengurus dan pemakmuran masjid, tanpa mengharapkan balas jasa maupun keuntungan materil.
6
Data Presentasi Profil Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta, 15 Februari 2011.
Yayasan Pondok Mulya Direktur Eksekutif
Kepala Kantor
Bagian Kemasjidan
Bagian Peribadatan dan Dakwah
Bagian Pendidikan dan
Perpustakaan
Bagian Usaha
dan Kebersihan General Manager
(48)
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tiap bagian-bagian melaksanakan semua bidang-bidang yang terdapat dalam pengawasan kepala bidang bersifat desentralistik, kepala bidang sebagai penanggung jawab operasional hanya melakukan pengaawasan dan evaluasi berkala dalam setiap periode tertentu, semua bidang-bidang tersebut melakukan kegiatan, semua teknis dan mekanisme dengan independensi penuh dari kepala bidang. Sehingga bagian-bagian dalam melaksanakan program kerjanya dapat mengembangkan semua kreatifitas dan pengembangan bidang yang digelayutinya dengan mandiri, karena dalam operasional ketua bidang memiliki otoritas penuh dalam mengambil kebijakan menyangkut hal-hal yang bersifat teknis.
C. Kegiatan-kegiatan Masjid Raya Pondok Indah
Kegiatan yang ada di Masjid Raya Pondok Indah tidak hanya kegiatan ibadah saja, tetapi ada pula kegiatan-kegiatan lain dalam bidang muamalah, pendidikan, sosial dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini diserahkan kepada bagian idarah (bagian administrasi), ri‟ayah (bagian pemeliharaan) dan imarah ( bagian kegiatan). Ketiga bagian ini lah yang sangat berperan dalam memakmurkan masjid.
Kegiatan-kegiatan umum Masjid Raya Pondok Indah diantaranya ialah: 1. Kegiatan Usaha dan Muamalah, meliputi:
- Baitul Maal wat Tamwil
(49)
- Beasiswa yatim sekolah
- Layanan kesehatan cuma-cuma untuk kaum dhu‟afa - Klinik herbal
- Bazar
2. Kegiatan Pelayanan, kegiatan ini meliputi:
- Pelayanan Umrah dan Bimbingan Pelayanan Ibadah Haji - Konsultasi Agama dan Keluarga
- Pelaksaan Pengislaman - Pembinaan Muallaf
- Pelayanan Ta‟ziyah dan Tahniah
3. Kegiatan Peribadatan dan Dakwah, kegiatan umum meliputi: - Kajian Tafsir, Hadits dan Tasawwuf
- Pengajian bulanan majelis ta‟lim kaum ibu - Ceramah Ahad
Kegiatan Rutin, meliputi:
- Salat Rawatib, Salat Jum‟at, Salat Tarawih, Salat Gerhana Bulan/Matahari, Salat Idul Fitri, Salat Idul Adha, Peringatan Hari-hari Besar Islam
Adapun kegiatan rutin selama bulan Ramadhan ialah:
- Buka puasa bersama selama satu bulan penuh, acara ini diawali dengan renungan buka puasa, istighfar dan doa, kemudian dilanjutkan dengan salat maghrib berrjama‟ah.
(50)
- Salat tarawih berjama‟ah dan tadarus Al-Qur‟an - Sahur bersama yang di isi dengan dialog Ramadhan - Peringatan Nuzulul Qur‟an pada tanggal 17 Ramadhan - I‟tikaf 10 hari terakhir Ramadhan
- Penerimaan dan penyaluran zakat firtah 4. Kegiatan Pendidikan dan Perpustakaan, meliputi:
- Taman Pendidikan Al-Qur‟an (TPA)
- Kursus bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Komputer - Program Terjemah Al-Qur‟an (PTQ)
- Kegiatan remaja masjid - Layanan Pustaka - Penerbitan katalog7
7
(51)
43
A. Tata Cara Pelaksanaan Salat Tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan
Salat tarâwih merupakan salah satu syi‟ar dari pada syi‟ar bulan Ramadhan yang membawa berkah. Yang mempunyai keagungan di dalam jiwa kaum muslimin, dan di dalamnya mempunyai pangkat dan keutamaan pada sisi Allah SWT. Rasulullah memberikan gambaran mengenai kegungan bulan Ramadhan melalui hadisnya: “Andaikan manusia tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan bulan Ramahdna menjadi setahun.” (HR. Al-Thabrani). Begitu juga dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Rasulullah SAW:
Artinya: “Barang siapa berdiri (melaksanakan salat malam) pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan semata-mata hanya karena Allah, maka diampuni baginya dosa-dosanya yang pernah ia perbuat.” (HR. Bukhari)
Maka dari itu, sangatlah rugi jika bulan Ramadhan yang sangat istimewa ini harus terlewati begitu saja sedangkan umur manusia belum tentu akan sampai
52
(52)
ke bulan Ramadhan berikutnya. Dua Hadis di atas kiranya sudah cukup mewakili keistimewaan yang ada di bulan Ramadhan. Untuk itulah mengapa dalam bulan Ramadhan kita sangat dianjurkan untuk memenuhinya dengan amalan-amalan saleh, seperti puasa, membaca Al-Qur‟an, salat malam, bersedekah dan lain sebagainya. Bahkan, di bulan Ramadhan ada satu malam yang melebihi seribu bulan yang disebut dengan malam Lailatul Qadr, beramal baik di malam tersebut pahalanya akan dilipat gandakan.53
Memasuki bulan suci Ramadan, Masjid Raya Pondok Indah selalu dipadati oleh jama‟ah hingga bulan Ramadhan berakhir, jama‟ah yang hadir tidak hanya dari masyarakat sekitar tapi banyak pula dari para pekerja dan musafir. Selama bulan Ramadhan berlangsung pengurus masjid ini menyelenggarakan beberapa rangkaian kegiatan rutin di antaranya ialah ta‟jil, salat tarawih, nuzulul Qur‟an, Itikaf 10 hari terakhir Ramadan, penerimaan zakat, kuliah Ramadan dan bazaar Ramadhan.
Diantara kegiatan rutin Masjid Raya Pondok Indah pada malam hari di bulan Ramadhan adalah salat tarawih. Salat tarawih dilaksanakan setelah melaksanakan salat isya berjama‟ah, sebelum salat tarâwih itu dilakasnakan, diadakan tausiah atau ceramah agama oleh ulama-ulama atau tokoh masyaralat setempat kurang lebih selama 30 menit yang diawali dengan tilawatil Qur‟an,
53Salat Tarawih, “ Satu Masjid Dua Jama‟ah”, artikl diakses pada 19 Agustus 2010 dari
(53)
setelah tausiah selesai barulah salat tarawaih dilaksanakan. Salat tarawih di Masjid Raya Pondok Indah di mulai kira-kira pukul 20.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB, bagi yang ingin melaksanakan tadarus, setelah salat tarawih selesai di adakan tadarus Al-Qur‟an secara bersama-sama.54
Tata cara dalam pelaksaan salat tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah ini berbeda dengan masjid-masjid atau mushala yang ada disekitarnya, di mana biasanya masjid-masjid yang ada di daerah Masjid Raya Poondok Indah hanya melaksanakan salat tarwih dengan jumlah 8 raka‟at dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at saja, atau dengan jumlah 23 raka‟at dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at saja, namun pelaksanaan salat tarawih di masjid ini dibagi menjadi dua gelombang, yaitu gelombang pertama dengan jumlah 8 (delapan) raka‟at, yakni 4 kali salam dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at, dan gelombang kedua dengan jumlah 20 (dua puluh) raka‟at yakni 10 kali salam dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at. Imam pada gelombang raka‟at pertama dan kedua adalah orang yang berbeda, adapun dalam pelaksanaannya imam membaca 1 juz dalam Al-Qur‟an setiap malamnya.
Bagi jama‟ah yang ingin melaksanakan salat tarâwih dengan jumlah 20 raka‟at, maka setelah 8 raka‟at selesai jama‟ah dipersilahkan istirahat sejenak sambil menunggu jama‟ah yang 8 raka‟at untuk melaksanakan salat witir. Sedangkan bagi jama‟ah yang hanya ingin melaksanakan 8 raka‟at saja, tetap berada di tempat dan meneruskan salat nya dengan salat witir 3 raka‟at. Setelah
54
(54)
jama‟ah yang 8 raka‟at selesai, jama‟ah yang 20 raka‟at dipersilahkan maju mengisi shaf-shaf untuk melanjutkan kembali salat tarâwih hingga selesai sampai dengan 20 raka‟at dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at.55
Ibu Lia misalnya, salah satu jama‟ah Masjid Raya Pondok Indah mengatakan bahwa perbedaan tata cara dalam pelaksanaan salat tarâwih yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah ini berbeda dengan masjid yang ada di daeranya, menurutnya hal yang demikian itu boleh-boleh saja melihat bahwa salat tarwih itu sendiri hukumnya adalah sunnah bukan wajib, selama itu masih sesuai dengan aturan syari‟ah dan di dalam syari‟ah pun tidak ada larangan untuk melakukan salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at seperti yang dilakukan di Masjid Pondok Indah ini.56
Sebagian dari jama‟ah memang ada yang mengaku merasa bingung dengan pelaksanaan salat tarawih yang dua gelombang ini, namun hal yang demikian dapat diatasi dengan baik setelah para pengurus masjid memberikan arahan-arahan kepada para jama‟ah setiap malamnya sebelum salat tarawih itu dilaksanakan, sehingga pelaksanaan salat tarawih dengan dua gelombang itu dapat tetap dilaksanakan di Masjid Raya Pondok Indah hingga saat ini.
55
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010
56
(55)
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pelaksanaan Salat Tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah
Di Indonesia banyak peristiwa penting yang berhubungan dengan hukum Islam sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, yang melahirkan kontroversi bahkan gejolak dalam masyarakat. Salah satu masalah-masalah yang sangat menonjol di antarnya ialah masalah-masalah pelaksanaan salat tarâwih dengan dua gelombang (20 raka‟at dan 8 raka‟at) seperti yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah ini.
Perbedaan dalam pelaksanaan salat tarawih di masjid ini telah dilakukan sejak pertama kali masjid ini berdiri, para pengurus masjid sepakat bahwa salat tarawih di masjid ini dilaksanakan dengan dua gelombang, gelombang pertama 8 raka‟at dan gelombang ke dua 20 raka‟at. Berdasarkan dari hasil data wawancara dengan Bapak Samsul Marlin salah satu pngurus Masjid Raya Pondok Indah, terdapat berbagai alasan yang mendasari mengapa masjid ini melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda (8 dan 20 raka‟at), di antaranya adalah:
1. Keberagaman mazhab: dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam ragam aliran Mazhab Syafi‟i, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hambali) yang berkenaan dengan masalah fiqh. Kendatipun matyoritas umat Islam mengaku bermazhab Syafi‟i, tetapi mazhab lain pun sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap umat Islam. Pendapat para mujtahid yang berbeda-beda tersebut diambil dan diikuti oleh mayoritas
(56)
umat Islam yang awam, yang dikenal dengan istilah bermazhab. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam yang berpegang kepada macam-macam mazhab (Syafi‟i, Hanafi, Maliki, dan hambali), sehingga perbedaan-perbedaan itu terus melebar dan berimbas pada masyarakat Islam Indonesia. Dengan dilaksanakannya salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda, diharapkan agar tidak terjadi perselisihan dan memberikan kebebasan kepada jama‟ah untuk memilih raka‟at yang dikehendakinya (8 atau 20 raka‟at) sesuai dengan mazhabnya masing-masing.57
2. Untuk menyatukan umat: dalam sebuah tatanan kehidupan sosial, perbedaan merupakan suatu kondisi alami (fitrah) dan sangat mustahil terbentuk sebuah sistem kehidupan dan membangun interaksi sosial di antara manusia yang sama rata dalam berbagai hal.58 Sebagaimana diketahui bahwa Masjid Raya Pondok Indah adalah masjid yang terletak di tengah keramaian kota, jama‟ah salat tarâwih yang datang ke masjid Masjid Raya Pondok Indah ini tidak hanya dari masyarakat yang tinggal di sekitar masjid tersebut saja karena lokasinya yang sangat strategis sehingga tak jarang masjid ini sering disinggahi oleh para jama‟ah dari berbagai wilayah.59 Kondisi seperti ini menunjukkan kalau di masjid ini ada semacam kemajemukan dari berbagai
57
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010
58
Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam. (Malang: UIN Malang Pers, 2008) hal. 1. cet ke 1
59
Masjid Pondok Indah, “Lokasi Masjid Raya Pondok Indah”, artikel di akses pada 20
(57)
lapisan masyarakat, baik itu dari segenap unsur, predikat, ras, golongan dan etnis. Perbedaan rakaat dalam tarâwih dan witir antara 8 dan 20 rakaat terkadang menimbulkan konflik pada jamaah mushalla atau masjid tertentu, maka dari itu untuk menghindari terjadinya konflik tersebut masjid ini memfasilitasi kepada para jama‟ahnya dengan melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang dan diharapkan ukhuwah islamiyah di kalangan kaum muslimin tetap terjaga.60
3. Bersikap netral: seperti telah dijelaskan sebelumnya, di mana dalam sejarahnya salat tarâwih memang telah mengalami keberagaman mengenai jumlah raka‟atnya. Begitu pula yang terjadi dengan organisasi-organisasi islam di indonesia, seperti NU (Nahdhatul Ulama) dan Muhammadiyyah. Dalam pelaksanaan salat tarâwih, jama‟ah Muhammadiyyah melaksanakan dengan jumlah 8 raka‟at dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at, sedangkan jama‟ah dari Nahdhatul Ulama (NU) melaksanakan salat tarâwih dengan jumlah 20 raka‟at dan ditambah dengan salat witir 3 raka‟at. Kebijakan para pengurus masjid yang melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda adalah untuk bersikap netral dari organisais-organisasi Islam tersebut dengan tidak mempertentangkan keduanya.
4. Perubahan masyarakat: masjid yang berada di tengah-tengah masyarakat yang homogen dengan masjid yang berada di tengah-tengah masyarakat yang heterogen jelas sangat berbeda keadaannya. Dalam ilmu sosiologi dikatakan
60
Wawanara pribadi dengan H. Sayuti. Kepala Ta‟mir Masjid Istiqlal. Jakarta, Oktober 2010.
(58)
bahwa dalam suatu masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan-perubahan, karena masyarakat itu tidak hanya merupakan kumpulan sejumlah manusia melainkan tersusun pula dalam pengelompokan-pengelompokan, yang mana kepentingan dari suatu masyakat tidaklah sama.61 Begitu pula dengan para jama‟ah yang melaksanakan salat tarâwih di masjid-masjid yang pelaksanaannya dengan dua gelomabang, mereka adalah berasal dari masyarakat yang heterogen (majemuk) di mana mereka mempunyai kepentingan dan kelompok yang beraneka ragam.62
Dengan beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, akhirnya para pengurus masjid bermusyawarah dan memutuskan untuk memfasilitasi masjidnya dengan melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda.
Setelah penulis melakukan wawancara dengan beberapa jama‟ah yang ada di Masjid Raya Pondok Indah, ternyata kebanyakan dari beberapa jama‟ah tidak mengetahui faktor-faktor tersebut, sebagian besar dari mereka hanya melaksanakan salat tarawih di masjid ini sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh pengursa masjid. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Sukinem (54 Tahun) salah satu jama‟ah Masjid Raya Pondok Indah mengatakan, bahwa tata cara salat yang biasa dilakukan di masjid dekat rumahnya berbeda dengan yang dilakukan di Masjid Raya Pondok Indah, dan sebagai masyarakat awwam beliau hanya
61
Satjipto Raharjo, Hukum Dan Masyarakta. (Bandung: Angkasa, 1984), hal. 95
62
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010.
(59)
mengikuti saja kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengurus masjid tersebut tanpa mengetahui alasannya.
Ada pula beberapa jama‟ah yang menjawab dengan berbagai alasan, diantaranya ialah Pak Sholeh (33 tahun), yang juga salah satu jama‟ah di Masjid Raya Pondok Indah ini mengatakan bahawa beliau sangat setuju dengan masjid yang melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang, alasannya adalah karena masyarakat yang ada di Indonesia menganut mazhab yang berbeda-beda, maka dengan adanya masjid yang memfasilitasi dua gelombang raka‟at yang berbeda dalam salat tarâwih, hal yang demikian akan memberikan kebebasan kepada para jama‟ah untuk memilih raka‟at yang dikehendakinya, dan hal tersebut juga agar tidak terjadi perselisihan di antara jama‟ah yang satu dengan jama‟ah yang lainnya.63
Siti Kutini juga mengemukakan pendapatnya bahwa pelaksanaan salat tarawih dengan dua gelombang raka‟at menurutnya boleh-boleh saja karena menurutnya hal yang demikian itu dilakukan untuk kepentingan bersama (umat) bukan untuk kepentingan golongan atau pribadi.64 Annisa yang juga salah satu jama‟ah masjid ini berpendapat bahwa salah satu faktornya adalah karena kepentingan tiap-tiap individu itu berbeda, mungkin mereka yang mempunyai berbagai kesibukan hanya dapat melakasanakan salat tarawih dengan delapan
63
Wawancara Pribadi dengan Sholeh. Jakarta, 9 Agustus 2010
64
(60)
rakaat saja, karena yang delapan raka‟at itu hanya membutuhkan waktu yang sebentar sehingga mereka dapat pulang kerumah lebih awal untuk beristirahat.65
Lain hal nya dengan Maman (50 Tahun), beliau berpendapat bahwa salah satu faktornya adalah karena mengharap pahala, beliau memilih salat tarawih yang 20 raka‟at karena menurutnya yang 20 raka‟at itu lah yang lebih banyak pahalanya.
Maka dari itu, dengan memfasilitasi dua gelombang raka‟at yang berbeda dalam salat tarâwih, segenap pengurus masjid berharap agar ukhuwah islamiyyah di antara kaum muslimin dan muslimat tetap terjaga. Di masjid inilah dari berbagai lapisan masyarakat, dari segenap unsur, predikat, ras, dan mazhab mereka berkumpul menjadi satu keinginan, satu gerakan, satu irama dan satu tujuan yaitu beribadah untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
Ketika salat tarâwih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda ini di berlakukan di Masjid Raya Pondok Indah, memang tidak terjadi konflik atau pertentangan dengan masyarakat sekitar hanya saja masyarakat sempat merasa bingung mengapa tata cara salat tarâwih di Masjid Raya Pondok Indah berbeda tata caranya dengan yang mereka temui di masjid-masjid atau mushola di sekitar mereka.
Namun hal demikian dapat diatasi dengan baik setelah para pengurus masjid memberikan arahan-arahan kepada masyarakat sehingga salat tarâwih
65
(61)
dengan dua gelombang di Masjid Raya Pondok Indah dapat tetap dilaksanakan hingga saat ini.66
Jika dilihat dari ilmu sosiologi, masyarakat perkotaan memang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perbedaan-perbedaan ini berasal dari adanya perbedaan-perbedaan yang mendasar dari keadaan lingkungan, yang mengakibatkan adanya dampak terhadap personalitas dari segi-segi kehidupan. Berbicara tentang masyarakat pedesaan dan perkotaan, sesungguhnya akan berbicara tentang sistem hubungan antara unsur-unsur yang membentuknya.
Salah satu ciri yang membedakan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan ialah homogenitas dan heterogenitas. Homogenitas atau persamaan dalam cirri-ciri sosial dan psikologi, bahasa, kepercayaan, adat istiadat, dan perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Kampung-kampung yang merupakan bagian dari suatu masyarakat desa mempunyai minat dan pekerjaan yang sama, sedangkan di kota penduduknya heterogen yang terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultural, kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian. Penduduk kota yang heterogen ini lah yang menyebabakan mobilitas sosial di kota lebih tinggi, sehingga waktu luang di kota lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah pedesaan.67
66
Wawancara pribadi dengan Samsul Marlin, Kepala Kantor Masjid Raya Pondok Indah. Jakarta, 16 Agustus 2010
67
(1)
56 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan salat tarawih di Masjid Raya Pondok Indah berbeda dengan masjid-masjid yang ada di sekitarnya, masjid ini melakasanakan salat tarawih dengan dua gelombang raka‟at yang berbeda yaitu 8 raka‟at dan 20 raka‟at. Bagi jama‟ah yang ingin salat tarawih dengan 20 raka‟at, setelah raka‟at ke 8 selesai mereka dipersilahkan untuk istirahat sejenak sambil menunggu jama‟ah yang melaksanakan salat tarawih dengan 8 raka‟at melaksanakan salat witir 3 raka‟at, setelah jama‟ah yang 8 raka‟at selesai melaksanakan salat witir, maka jama‟ah yang 20 raka‟at dipersilahkan untuk meneruskan raka‟atnya hingga 20 raka‟at dan ditambah 3 raka‟at salat witir.
2. Faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan salat tarawih di Masjid Raya Pondok Indah diantaranya ialah: keberagaman mazhab, untuk menyatukan ummat, mengingat bahwa Masjid Raya Pondok Indah ini terletak di tengah-tengah kota yang masyarakatnya bersifat heterogen, baik itu dari segi golongan, predikat, ras, daerah, dan etnis. Maka tidak menutup kemungkinan jama‟ah yang ada di masjid ini juga datang dari berbagai kalangan. Agar tidak terjadinya konflik, maka masjid ini memfasilitasi kepada
(2)
para jama‟ahnya dengan melaksanakan salat tarâwih dengan dua gelombang, dengan ini diharapkan ukhuwah islamiyah di kalangan kaum muslimin tetap terjaga.
3. Selain karena dua faktor di atas, masjid ini juga hanya ingin bersikap netral. Artinya bahwa pengurus masjid tidak ingin mengklaim bahwa Masjid Raya Pondok Indah ini adalah masjid dari suatu organisasi-organisasi Islam.
B. Saran
Setelah penulis mengambil beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka perlu kiranya saran-saran sebagai berikut. Kenyataan menunjukkan bahawa umat islam dalam beribadah senantiasa mengikuti (taqlid) pendapat 4 imam mazhabnya (Syafi‟i, Hanafi, Maliki, Hambali), dan berkenaan dengan adanya perbedaan pendapat mengenai jumlah raka‟at dalam salat tarâwih, penulis mengajukan saran bahwa janganlah perbedaan pendapat tersebut dijadikan suatu ajang perdebatan yang dikarenakan terlalu fanatik terhadap mazhab yang dianut, karena hal ini dapat menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.
Bagi kalangan awam diharapkan akan menjadi penuntun sehingga mereka dapat memperluas wawasannya dalam melihat perbedaan kecil yang sama sekali tidak samapai mengganggu akidah. Itu sebabnya umat Islam dapat melakukan ibadah bersama meskipun berbeda mazhab.
Dalam menghadapi masalah khilafiah, kita hendaklah lebih berhati-hati dalam memberikan penjelasan atau menjawab pertanyaan dan diusahakan jangan
(3)
58
samapai memihak kepada satu aliran atau mazhab tertentu, terutama sekali kepada para pendidik, karena kesannya akan lebih berbekas dan akan mempengaruhi alam pikiran generasi yang akan datang.
Perbedaan bilangan raka‟at dalam salat tarâwih atau pun dalam tata caranya janganlah mengatakan bahwa pendapat golongannya lah yang paling benar, namun yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mengamalkan salat tarâwih dengan sakinah, tuma‟ninah dan kekhusyu‟an. Oleh sebab itu, marilah kita hidupkan salat tarâwih ini sebagai sebagai suatu syi‟ar Islam tanpa ada yang saling menyalahkan.
(4)
59
Al-„Asqolaanii, Ibnu Hajar. Fathul Baarii, Beirut: Daarul Fikr, 1996.
Azmi, Abdul Ghani. Pedoman Shalat-Shalat Sunnah Menurut Rasulullah SAW. Kuala Lumpur: Darul Nu‟man, 1995, cet I.
Albani, Nashiruddin. Shalat Tarawih Menurut Tuntutan Rasulullah. Solo: At-Tibyan, 1998, cet I.
Alhamdani. Shalat-Shalat Sunnah. Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1982.
Arfan, Abbas. Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam, Malang: UIN Malang Pers, 2008, cet ke 1.
Ashsiddiqiy. Shalat-Shalat Sunnah. Malaysia: Thinker‟s Library, 1995.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh „Ala al-Mazahib Al-Arba‟ah, Cairo: Mathba‟ah Al -Istiqamah), Jilid II
Baihaqiy, Amad Ibnu Husain. Sunan Al-Sahghiir Al-Baihaqiy. Beirut: Daaru Al-Fikr, 1993, Juz I.
Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
Daud, Ma‟mur. Terjemahan Hadis Shahih Muslim. Jakarta: Fa Widjaya, 1996, Jilid II.
Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Depok: Gema Insani, 2006, cet ke v. Gazali, Rahasia-Rahasia Shalat. Bandung: Karisma, 2005.
Hamka, Prof.Dr., Tuntutan Puasa Tarawih dan Idul Fitri. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995, cet ke 3.
Hasan, Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Hasan, Tholhah. Islam Dalam Perspekti Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press, 2005, cet ke- 3.
(5)
60
Mas‟ud, Ibnu.Fiqh Mazhab Syafi‟I. Bandung: CV Pustaka Setia, 2005, cet ke 2. Mahmoed, Soelaiman. Shalat Tarawih. Jakarta: CV Usrah, 1983.
Muhammad Zarqani, Sayyid. Syarh Az-Zarqaanii. Beirut: Waarul Jail, 1989, Jilid I. Muslih, Hanif. Kesahihan Dalil Shalat Tarawih 20 Roka‟at. Surabaya: Dinamika
Press Surabaya, 1997, cet ke 2.
Nisabuuriy, Imam Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Daar al-Kitaab Al-„Alamiyyah, 2006.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Ramli, Aliga. Sifat Dan Kaifiyat Qiyamullail. Porong: Lajnah Penerbitan Pesantren Persis Bangil, 1991.
Raharjo, Satjipto. Hukum dan masyarakat. Bandung: Angkasa, 1980 cet, X. Rifa‟i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra, 1978. Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa nihayah Al-Muqtashid.
Rahmat, Agus Salam. Tarawih Seribu Tahun Lebih di Masjid Nabi SAW. Bandung: Sinar Baru, 1992.
Rahbawi, Abdul Qadir. Salat Empat Mazhab. Bogor: PT Pustaka Litera Antarnusa, 1995.
Shobuny, Ali. Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Shalat Taraawih. Semarang: Pustaka Al-Alawiyah, 1983.
Sukandarumidi, Metodologi Penelitian. Yogyakarta: University Press, 2004. Suyuuthii, Jalaaluddin. Sunan Al-Nasaaii, Beirut: Daar Al-fikr, jilid II
---, Bagaimana Tarawih Dan I‟tikaf Rasulullah. Surakarta: Pustaka Istiqamah, 1997.
Shihab, Quraish. Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab. Jakarta: Republika, 2003, cet I.
Santoso, Ahmad. Filosofi Shalat. Jakarta: Dea Press, 1999.
(6)
Tabraanii, Sulaiman Ibnu Ahmad. Mu‟jam al-kabiir Lithabraanii, Al-Qaahirah: Daar al-hadis, 1995, Jilid VI
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Tumanggor, Rusman. Sosiologi Dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.
Wahab Afif, Abdul. Pengantar Studi Perbandingan Mazhab. Jakarta: Darul Ulum Press, 1995.
Wahab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press, 1997. www.rulan.mywapblog.com di akses pada 07 September 2007
www.kebayoranbaru.blogspot.com/2008/06/masjid-pondok-indah.html, di akses pada tanggal 20 Agustus 2010
www.karsono.co.cc/2009/08/pluralisme-dan-kebhinekaan-bangsa.html
Zuhri, Minan. Tuntunan Shalat Lengkap Dan Wiridan. Kudus: Menara Kudus, 1956.
Wawancara Pribadi:
Ahmad Sholeh. Jakarta, 09 Agustus 2010 Annisa. Jakarta, 09 Agustus 2010
Devi. 09 Agustus 2010
H. Sayuti, Jakarta 27 Oktober 2010
Lia Oktaviani. Jakarta, 04 September 2010 Maman. Jakarta, 09 Agustus 2010
Sukinem. Jakarta, 09 Agustus 2010 Samsul Marlin. Jakarta, 16 Agustus 2010 Siti Kustini. Jakarta, 04 September 2010 Yeni. Jakarta, 04 September 2010