19
tatkala waktu subuh Nabi keluar seperti biasa lalu beliau bersabda: “ telah aku lihat apa yang telah kamu kerjakan, tetapi tidaklah ada yang menghalangi aku
untuk keluar tadi malam, melainkan karena aku takut dia akan menjadikan fardhu atas kamu.”
16
Para ulama membagi salat sunnah itu kepada dua macam, ada sunnah munfarid dan ada pula salat sunnah jama‟ah. Yang termasuk salat sunnah jama‟ah
di antaranya ialah salat tarâwih, salat ied, salat gerhana dan salat istisqa. Dengan demikian, tidak ada keharusan yang mengatakan bahwa salat
tarâwih harus dilakukan dengan berjama‟ah atau pun dengan sendiri-sendiri
karena keduanya diperbolehkan. Namun ada baiknya salat tarâwih itu dikerjakan dengan cara berjama‟ah, karena hal ini sangat dianjurkan oleh Nabi untuk
menghidupkan bulan Ramadhan sebagai syi‟ar agama Allah yang luhur. Begitu pula dengan tata caranya, boleh dilakukan dengan cara dua
raka‟at-dua raaka‟at salam atau pun empat
raka‟at- empat raka‟at dengan satu kali tahiyyat di akhir raka‟at.
D. Jumlah Raka’at Salat Tarâwih Menurut Pendapat Para Imam Mazhab
Dalam segala hal ubudiyyah, pada dasarnya kita akan mengerjakannya sebagaimana apa yang telah ditunjuk oleh Rasulullah SAW, sebab Al-
Qur‟an hanya mengemukakan hukum-hukum dasarnya saja.
Mengenai jumlah raka‟atnya,
16
Abdul Ghani, Pedomman Sholat-Sholat Menurut Rasulullah SAW, h. 75.
20
tidak ada riwayat yang pasti dari Rasulullah sehingga salat tarâwih tidak terikat oleh jumlah tertentu.
17
Jumlah raka‟at dalam salat tarâwih dan witir sebagai rangkaiannya itu memang tidak hanya 11 atau 23 raka‟at saja sebagaimana yang dikerjakan oleh
orang-orang Islam di Indonesia, akan tetapi banyak sekali macam dan ragamnya. As-Syaikh Athiyah Muhammad Salim, dalam bukunya At-Tarâwih Aktsar Min
Alf Aam fi Masjidi al Nabi Alaihi As-salam bahwa salat tarâwih mempunyai tahapan-
tahapan dalam perkembangan jumlah raka‟atnya, dari yang berawal 11 raka‟at sampai yang 39 raka‟at.
Menurut mazhab Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah beserta sahabat- sahabatnya, jumlah raka‟at salat tarâwih adalah 20 raka‟at dengan sepuluh kali
salam di luar witir. Jadi, setiap dua raka‟at mengucapkan satu kali salam, dan tiap-
tiap empat raka‟at merupakan satu kali tarâwih. Dengan demikian, jumlah tarâwih dalam 20 ra
ka‟at itu ialah 5 kali tarâwih. Para Imam Mazhab juga berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-
Muwaththa dan juga Imam Al- Baihaqi dari Yazid bin Ruman, ia berkata: “orang-
orang melaksanakan salat tarâwih pada masa Umar bin Khaththab dengan 23 raka‟at. Mereka melaksanakan salat tarâwih dengan 20 raka‟at ditambah dengan
salat witir 3 raka‟at.” Menurut Ibnu Qasim dari pengikut Imam Malik
, jumlah raka‟at salat tarâwih
adalah 36 raka‟at dengan sembilan kali tarâwih di luar witir, ini dikaitkan
17
Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Depok: Gema Insani, 2006, h. 199.
21
dengan amaliah orang-orang Madinah.
18
Sementara itu, ada ulama yang berpendapat bahwasanya yang dilakukan oleh orang-orang madinah, salat tarâwih
itu 36 raka‟at, karena mereka menghendaki untuk mendapatkan kesamaan pahala dengan orang-orang Mekkah. Sebab, orang-orang Mekkah pada tiap-tiap
2 ta rwihah 8 raka‟at melakukan thawaf dengan tujuh kali keliling. Maka orang-
orang Madinah membuat suatu ukuran untuk tiap-tiap tujuh kali keliling diganti denga 4 raka‟at salat tarâwih.
Kemudian Ibnu Qudamah menyatakan, jikalau Imam Malik menetapkan bahwa orang-orang Madinah semuanya melaksanakan salat tarâwih
36 raka‟at, maka sungguh apa yang telah dilakukan Umar bin Khaththab telah disepakati oleh
para sahabat di zamannya adalah lebih utama untuk diikuti.
19
Selain itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah raka‟at salat tarâwih
hanya delapan raka‟at saja, yaitu dua kali tarâwih selain witir. Dalam menetapkan bilangan raka‟at salat tarâwih, para ulama mendasarkannya pada
berbagai hadis. Adapun pe ndapat yang mengatakan bahwa bilangan raka‟at dalam
salat tarâwih berjumlah sebelas raka‟at, mendasarkannya pada hadis Siti Aisyah
berikut:
18
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaayah al-Muqtashid, Beirut: Daarul Fikr, jilid I, h. 152
19
Assobuny, Petunjuk Nabi SAW Yang Sahih Tentang Shalat Taraawih, h. 33
22
Artinya: “Dari Aisyah r.a ia berkata, tidaklah Rasulullah SAW menambahi salat
di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lain atas sebelas raka‟at; beliau kerjakan salat itu empat raka‟at maka janganlah kamu
tanya tentang bagus dan panjangnya salat itu, kemudian dikerjakannya pula empat raka‟at maka janganlah kamu Tanya tentang bagus dan
panjangnya salat itu, kemudian dikerjakannya pu la tiga raka‟at, lalu
aku bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah baginda Rasul tidur sebelum baginda salat witir? “Nabi menjawab, “ Ya Aisyah, sesungguhnya dua
mataku tertidur, tetapi hatiku tidak.” H.R Al Bukhari dan Muslim. Hadis ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan salat
sunnah dalam bulan Ramadhan sebanyak sebelas raka‟at, yaitu salat untuk menghidupkan malam yang penuh keberkahan.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa bilangan dalam raka‟at dalam salat tarâwih
adalah 20 raka‟at mendasarkannya pada hadits As-Saib bin Yazid yang bunyinya sebagai berikut:
21
20
Al-Hafidz A hmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqalaaniy, Fathu Al- Barii. Beirut:
Daaru Al-Fikr, 1996, Juz III , h. 343, hadis nomor 1147.
21
Ib nu Mas‟ud, Fiqh Mazhab Syafi‟I, cet.II. Bandung: CV Pustaka Setia, 2005,
h.416-418.
22
Ahmad Ibnu al-Husain al-Baihaqiy, Sunan Al-Sahghiir Al-Baihaqiy, Beirut: Daar al-Fikr, 1993, Juz I, h. 235, hadis nomor 835
23
Artinya: “Dari Said bin Yazid As-Shahabi r. a. ia berkata, pada masa Umar bin Khaththab r. a mereka pernah mendirikan ibadah malam pada bulan
Ramadhan dengan salat dua puluh raka‟at.” H. R. Baihaqi. Dan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dari Abu Hurairah:
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah SAW menganjurkan
supaya shalat
di bulan
ramadhan tarâwih
tetapi tidak
memerintahkannya dengan jelas, maka beliau bersabda: barang siapa yang mendahulukan shalat di malam ramadhan dengan iman dan
perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu ”
Diriwayatkan oleh Muslim. Hadis ini menyatakan bahwa salat tarâwih pada zaman sahabat-sahabat
Nabi, seperti Umar bin Khaththab dan lain- lainnya ialah 20 raka‟at. Hadis ini idak
berlawanan dengan hadis pertama sebab salat tarawih termasuk juga salat malam yang raka‟atnya tak terbatas.
24
Ibnu Taimiyah di dalam fatwanya menulis, salat tarâwih
itu tidaklah ditentukan oleh Nabi SAW dengan jumlah raka‟at tertentu, bahkan salat beliau di bulan Ramadhan hanya 13 raka‟at tetapi panjang
bacaannya. Kemudian setelah Umar bin Khathth ab menyuruh mereka berjama‟ah
dengan Ubay bin Ka‟ab, beliau salat 20 raaka‟at ditambah dengan salat witir 3
23
Imam Muslim Al-Nisaburiy. Shahih Muslim, h.297, hadis nomor 175
24
Ibnu Mas‟ud, Fiqh Mazhab Syafi‟I, cet.II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005, h.418.
24
raka‟at dan memendekkan bacaannya sebab dengan begitu dapat meringankan bagi jama‟ahnya.
25
Selain dari pendapat-pendapat Imam Mazhab yang telah disebutkan di atas, a
da beberapa riwayat yang menerangkan tentang banyaknya jumlah raka‟at salat tarâwih, di antaranya adalah:
26
1. Tarâwih 10 raka‟at dan witir 3 raka‟at = 13 raka‟at
Berdasarkan riwayat Muhammad ibn Nashr Al-Marwazy dan Muhammad ibn Ishaq dari Muhammad ibn Yusuf dari kakeknya Al-Sai ibn
Yazid:
Artinya: “Kita salat tarâwih pada masa Umar bin Khaththab dalam bulan
R amadhan dengan 13 raka‟at”.
2. Tarâwih 20 raka‟at dan witir 3 raka‟at = 23 raka‟at
Riwayat dari Muhammad ibn Nashr dari Imam Atho‟, ia berkata:
Artinya: “Aku menjumpai mereka para sahabat dan tabi‟in, mereka di
bulan Ramadhan mengerjakan salat tarwih 20 raka‟at dan salat witir 3 raka‟at”.
25
Prof.Dr.Hamka, Tuntutan Puasa Tarawih Dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panji Mas, h. 83
26
Hanif Muslih, Kesahihan Dalil Shalat Tarawih 20 Roka‟at, h. 49.
27
Al-Hafidz A hmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqalaanii, Fathuu Al- Baarii, Juz IV, h. 205
28
Sayyid Muhammad Az-Zarqooniy, Syarh Az-Zarqooniy, Beirut: Waarul Jail, 1989. Juz I, h. 239, hadis nomor 250.
25
3. Tarâwih 34 raka‟at dan witir 1 raka‟at
Riwayat dari Imam Zarrah ibn Aufa:
Artinya: “Sesungguhnya ia salat tarâwih dengan mereka di kota Bashrah
dengan 34 raka‟at dan 1 witir”.
4. Tarâwih 36 raka‟at dan witir 3 raka‟at
Riwayat dari Imam Al- Za‟faran As-Syafi‟i:
Artinya: “Saya melihat orang-orang di Madinah mengerjakan tarâwih 39
raka‟at dan di Makkah dengan 23 raka‟at”.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat iktilaf mengenai penetapan dalam masalah hukum Islam telah terjadi di
kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup, tetapi perdebatan itu dapat segera diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah
SAW. Ikhtilaf yang terjadi di kalangan sahabat itu adalah karena perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash sunnah yang sampai kepada
mereka.
31
29
Al-H afidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqolaanii, Fathuu Al- Baarii, Juz III, h.
205
30
Al-Hafidz Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar Al-„Asqolaanii, Fathuu Al- Baarii, Juz III,
h. 205
31
Huzaemah Tahido, Pengnatar Perbandingan Mazhab, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997 h. 50
26
Sebagaimana diketehui, bahwa ketika Agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah dan
berpencar-pencar ke negeri yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah dalam memecahkan sesuatu masalah, sukar
untuk dilakukan. Sampai saat ini fiqh ikhtilaf
32
masih tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu‟iyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain
karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi
berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, terutama di kalangan
orang-orang awam.
33
Adapun yang menjadi daerah tempat terjadinya ikhtilaf dalam garis besarnya terdapat pada:
1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dapat dipalingkan dari makna asalnya kepada
makna lain
32
Keberagaman pendapat dalam hukum islam. Dikalangan Sunni berkembang sebuah konsep bahwa keberagaman antar mazhab fiqh dan teologi meruakan suatu yang tidak dapat
dihindarkan dan ia justru merupakan suatu rahmat.
33
Huzaemah Tahido, Pengnatar Perbandingan Mazhab, h. 51
27
2. Hadis-hadis yang dapat dipalingkan dari makna asalnya kepada makna lain,
juga ketidak pastian terhadap sanad dan matan suatu hadis. 3.
Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash Al-
Qur‟an dan Sunnah. Di antara sebab-sebab pokok terjadinya ikhtilaf di kalangan para ulama
mujtahidin, adalah seagai berikut: 1.
Faktor-faktor eksternal a.
Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid. Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan di atas, bawa para sahabat
telah terpencar-pencar ke berbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis Nabi, sukar menemui mereka. Ada juga
kemungkinan, bahwa sahabat Nabi dapat dijumpai tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya, karena
pergaulannya dengan Rasulullah dapat pula menentukan banyak atau sedikitnya hadis yang diterima.
b. Para sahabat yang tinggal tepencar-pencar di seluruh pelosok negeri ada
yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengingatkan di antara sahabat-sahabat itu tidak ada.
c. Di antara ulama dan umat Islam, ada yang kurang memperhatikan situasi
pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku untuk umum atau untuk orang tertentu saja, dan apakah perintah yang ada dalam hadis
itu untuk selama-lamanya atau hanya bersifat sementara.
28
d. Di antara ulama dan umat Islam kurang memperhatikan dan mempelajari
bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang, karena ada kalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang
dan terkadang tidak tepat untuk orang lain. e.
Di antara ulama ada yang berpandangan yang terlalau berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunatkan, sehingga orang awam menganggapnya
suatu amaliah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan. f.
Perbedaan pandangan dalam bidang politik juga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum islam, paham yang berbeda itu
tidak hanya terbatas pada maslah politik saja, tetapi lebih jauh berpengaruh pada masalah akidah, yang saling mengkafirkan, masalah
ubudiyah yang saling menyalahkan dan masalah penetapan suatu hukum.
34
2. Faktor-faktor internal
a. Pemahaman Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Seperti dimaklumi, sumber utama syari ‟at Islam adalah Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasul yang keduanya berbahasa arab. Dalam bahasa arab, terdapat kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Selain itu, dalam
ungkapannya terdapat kata umum tetapi yang dimaksudkannya adalah
34
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 117
29
khusus, ada pula dari segi bahasa, serta dari segi makna yang tersurat dari suatu kata.
b. Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasul SAW.
As-Sunnah dapat diartikan sebagai sabda, perbuatan dan taqrir persetujuan yang berasal dari Rasulullah. Terkadang dapat pula
diartikan, kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah dalam menetapkan hukum islam. Sebagai sumber hukum, kedudukan sunnah sebenarnya
tidak dapat diragukan lagi, semua ulama Muhaditsin dan para ulama fiqh mengakuinya. Akan tetapi ketika sunnah akan dipakai dalam menetapkan
suatu hukum, maka di sinilah timbul perselisihan ikhtilaf di antara para ulama fiqh.
Hal seperti ini bisa saja terjadi karena di antara mereka mempunyai standar tersendiri dalam menerima As-Sunnah sebagai sumber hukum.
Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasul yang menonjol antara lain adalah: perbedaan sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian
sahabat, perbedaan dalam menilai periwayatan hadis shahih atau tidaknya, percaya atau tidaknya terhadap seorang perawi hadis,
pemahaman terhadap perbuatan Rasul dan perbedaan kedudukan silsilah
Rasul. c.
Perbedaan mengenai dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara‟. Sebab-sebab yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya
mengenai istisna pengecualian, yakni: apakah istisna terdapat sesudah
30
beberapa jumlah yang di- „athaf-kan satu sama lainnya itu kembali kepada
semuanya atau kah kepada jumlah terakhir saja. d.
Perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur‟an dan Al-Sunnah Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan
perbedaan penggunaan dalil di luar Al- Qur‟an dan sunnah. Seperti, amal
ahli Madinah dijadikan dasar fiqh oleh Imam Malik namun tidak dijadikan dasar oleh imam lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan dalil-
dalil di luar Al- Qur‟an dan Sunnah, seperti Ijma‟ kesepakatan para imam
mujtahid diantara umat islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat
mengenai hukum islam, Qiyas pengukuran sesuatu dengan yang lainnya
atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya, Maslahah Mursalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak
mempunyai pembatalannya, Istihsan semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya, Shad al-
Dzarar‟i perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berkahir
dengan suatu keruakan, Ishtishhab menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai
terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya, „Urf sesuatu yang telah
dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan, baik itu berupa perbuatan atau pun perkataan dan sebagainya;
35
yang oleh sebagian
35
Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997 h. 81
31
ulama dijadikan dasar sedang sebagian ulama lain tidak menjadikannya sebagai dasar dalam mengisthinbathkan hukum, sekalipun sebenarnya
perbedaan itu halnya dalam tingkat penggunaan saja.
36
Sedangkan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ikhtilaf ada dua bentuk:
1. Ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlak di antaranya:
a. Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri
b. Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa
bukti. c.
Egoisme dan mengikuti hawa nafsu dan di antara akibatnya ambisi terhadap kedudukan.
2. Ikhtilaf yang timbul karena perbedaan sudut pandang mengeanai suautu
masalah, baik masalah ilmiyah, seperti perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, ilmu kalam, ilmu tasawuf,
mantiq dan lainnya. Perselisihan itu terjadi antara karena adanya pihak yang memperluas dan
yang mempersempit, antara yang memperluas dan memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung pada dzahir nash. Perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus
36
Prof. Abdul Wahab Afif, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, Jakarta: Darul Ulum Press, 1995 h. 76
32
berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan hukum Islam, karena pola pikir manusia yang terus berkembang.
37
Namun demik ian, dengan adanya keberagaman jumlah raka‟at dalam salat
tarâwih seperti yang telah dijelaskan sebelumnya itu, diperbolehkan untuk memilih sesuai dengan pendapat Imam Mazhabnya masing-masing, baik itu yang
8 raka‟at, 10 raka‟at, 20 raka‟at, 34 raka‟at, atau pun 36 raka‟at. Karena pada dasarnya setiap pendapat yang dikemukakan oleh para Imam Mazhab tersebut
tidak menyimpang atau tidak keluar dari dalil-dalil Al- Qur‟an atau sunnah.
Adanya ikhtilaf yang tejadi di antara para Imam Mazhab atau para mujtahidin terutama
dalam masalah jumlah raka‟at dalam salat tarâwih, semestinya tidak dijadikan ajang untuk saling berselisih, apalagi sampai
menyatakan bahwa pendapat mazhabnya lah yang paling benar. Karena perbedaan pendapat yang terjadi di antara para Imam Mazhab ini pada hakikatnya
mengisyaratkan, bahwa Islam sangat menghargai kebebasan dalam menyatakan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang
permusuhan dan perpecahan, akan tetapi hendaknya perbedaan pendapat itu dimanfaatkan untuk menemukan suatu kemudahan karena adanya alternatif bagi
umat Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang beraneka ragam dan terus berkembang.
38
37
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 118
38
Dr. Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 87
33
Perbedaan pendapat yang terjadi di dalam masyarakat saat ini, hendaklah dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena hal ini menandakan bahwa pikiran
seseorang itu tidak membeku tetapi kreatif sesua dengan perkembangan zaman. Hukum yang di dapat dari hasil perbandingan itu adalah merupakan hasil
penelitian yang obyektif dan kuat dalil-dalilnya, karena dasar-dasar yang diambil oleh para imam mujtahid tidak keluar dari nash-nash Al-
Qur‟an dan sunnah dan dengan perbedaan interpretasi atau mereka mengambil dengan metode Qiyas,
Maslahah Mursalah, Istishhab, Istisna, atau prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam nash-
nash syari‟at Islam. Perbedaan pendapat masalah khilafiah dalam fiqh dalam lapangan
hukum sebagai hasil penelitian ijtihad, tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan
kelonggaran kepada umat Islam.
39
Oleh sebab itu Islam tidak mewajibkan ummatnya untuk bertaklid dan mengikat diri pada pendapat suatu mazhab, melainkan memerintahkan untuk
mengikuti hukum-hukum yang diambil dari sumbernya yang kuat, kecuali bagi orang awam yang belum atau tidak bisa membedakan mana dalil yang terkuat dan
tidak, yang terpenting baginya adalah mengamalkan hukum yang ditetapkan mazhab tertentu yang menjadi panutannya.
40
39
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 113
40
Dr. Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 90
34
BAB III PROFIL MASJID RAYA PONDOK INDAH
A. Gambaran Umum Masjid Raya Pondok Indah
1.
Awal Berdirinya Masjid Raya Pondok Indah
Masjid Raya Pondok Indah berdiri pada hari jum‟at tanggal 4 desember tahun 1992, yang diresmikan oleh wakil presiden Bapak H.
Sudarmono SH. Masjid ini terdiri dari dua lantai, lantai atas untuk ruang salat utama dan lantai bawah untuk ruang serba guna. Lantai atas yang merupakan
ruang salat utama terdapat dinding qiblat tanpa ruang mihrab, karakter ini merujuk pada masjid Quba yang dibangun oleh Rasulullah SAW, masjid ini
dapat menampung + 2.600 jama‟ah.
Arsitektur masjid mengacu pada arsitektur tradisional, atapnya bersusun tanpa kubah yang melengkung. Bentuk atap piramid dengan sudut
45 derajat yang dikuatkan dengan dasar batu-batu, akan tampak seperti bangunan prisma biru yang berdiri kokoh di atas landasan batu seluas 6.215
m². Pola infinitif bangunan ini, sebagai pengelolahan bentuk atap masjid tradisional ke dalam ekspresi bangunan kontemporer.
Pada dinding mimbar dipahat kaligrafi dua kalimat syahadat. Di sekeliling bagian atas ruang salat juga dipahat kaligrafi asmaul husna yang
menambah kesan keagungan masjid. Sebelah qiblat terdapat menara masjid yang tingginya 50 meter dengan bentuk runcing ke atas berakhir pada bulan
bintang yang mencerminkan bentuk seberkas cahaya yang menerangi bumi