Kasus Pengeboman ASEANAPOL Suatu Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

Khadafy 4. Melatih anggota GAM di Libya, Afghanistan dan Pakistan B. Front Bersenjata, dibawah kendali komandan GAM dan komandan SAGOE dengan anggota yang diantaranya adalah mantan militer yang sudah dilatih di Libya, Afghanistan dan Pakistan yang memilki beberapa tugas sebagai berikut : • menyerang semua petugas keamanan yang ditugaskan di Aceh • menculik dan membunuh semua pejabat pemerintah yang tidak memiliki kebijaksanaan yang sama dengan GAM • menculik dan membunuh orang-orang penting atau tokoh agama dan orang-orang penting lainnya, yang tidak mau membantu GAM C. Front tertutup, dibawah kendali bekas tahanan, bekas tawanan politik dan eks GAM yang beroperasi tidak hanya di wilayah Aceh tapi juga di luar Aceh dengan melakukan kejahatan seperti terlibat dalam peredaran obat-obat terlarang dan perampokan untuk membeli senjata, amunisi dan bahan peledak illegal lainnya. Sejak Mei 2001 hingga Juni 2002, peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh gerakan separatis tercatat 87 kasus seperti penembakan, penculikan, kerusuhan, dan penyerangan yang mengakibatkan kerugian besar, tidak hanya materi tetapi juga jiwa. 23

b. Kasus Pengeboman

1. Bom kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah duta besar Filipina, Menteng, 23 http:www.interpol.go.ididkejahatan-transnasionalterrorisme diakses pada 20 April 2016 70 Universitas Sumatera Utara Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday. 2. Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan Jakarta. Tidak ada korban jiwa. 3. Bom malam natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak. 4. Bom Gereja Santa Anna dan HKBP Jakarta, 23 September 2001. Di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas. 5. Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. 6 orang cedera. 6. Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi tengah, terjadi 4 ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa. 7. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga Negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, SULUT, bom rakitan juga meledak di kantor konjen Filipina, tidak ada korban jiwa. 8. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.aja’s 71 Universitas Sumatera Utara bar dan restaurant, Kuta Square daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. 9. Bom dan baku tembak Jakarta, 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah, Jakarta Pusat. 24

3.4 Upaya penanganan Terorisme dalam ACCT oleh Pemerintah Indonesia

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Negara-negara di Asia Tenggara untuk bekerja sama menangani masalah terorisme. Hal ini terwujud dalam banyak hal, berupa kerja sama untuk memperlemah jaringan terorisme. Hal ini terwujud dalam banyak hal, berupa kerja sama untuk memperlemah jaringan teroisme transnasional, seperti kerja sama untuk menangani penyelundupan senjata gelap, pemalsuan dokumen, imigran illegal, dan pencucian uang. 25 Selain itu, usaha Negara Asia Tenggara untuk menangani terorisme juga turut melibatkan Negara lain di dunia Internasional, sebagaimana tertuang dalam berbagai deklarasi di bawah ini : • ASEAN-United States of America Joint Declaration fo Coorporation to Combat International Terrorism, Bandar Seri Begawan, 1 August 2002 24 https:id.wikipedia.orgwikiTerorisme_di_Indonesia diakses pada 20 April 2016 25 Rizal Sukma CSIS, The Future of ASEAN: Towards a security community, Makalah diseminarkan pada ASEAN Coorporstion: Challenges and Prospects in the Curent Intenational Situation, New York, 3 Juni 2003 diakses di http:www.indonesiamissionny.orgissuebaruMissionaseanpaper_rizalsukma.PDF 
 72 Universitas Sumatera Utara • ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism Bandar Seri Begawan, 5 November 2001 • Joint Communique of the Special ASEAN Ministerial Meeting on Terrorism, Kuala Lumpur, 20-21 May 2002 • Declaration on Terrorism by the 8 th ASEAN Summit Phnom Penh, 3 November 2002 • 14 th ASEAN-EU Ministerial Meeting Brussels 27-28 January 2003 Joint Declaration on Co-operation to Combat Terrorism • Bali Regional Ministerial Meeting on Counter-Terroris Bali, Indonesia, 5 february 2004 Hingga akhirnya, pada KTT ke-12 ASEAN tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina, disepakatilah sebuah konvensi untuk menangani terorisme yang tertuang dalam ASEAN Convention on Counter Terrorism. Konvensi ini merupakan bagian dari Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN yang ditetapkan di Vientine, Laos. Pemandangan konvensi tersebut merupakan suatu keberhasilan atau landmark bagi kemajuan kerjasama ASEAN untuk memerangi terorisme. Konvensi tersebut regional yang kuat serta menjadi payung hukum berbagai bentuk kerjasama yang memuat kepentingan bersama termasuk kerjasama dalam bidang pencegahan, penegakan hukum dan program rehabilitasi yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme. Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk peningkatan kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter regional, ACCT bersifat komprehensif meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan program rehabilitasi sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan 73 Universitas Sumatera Utara dengan konvensi sejenis. Terkait dalam penanggulagan terorisme, Paul Wikinson, seorang professor Hubungan Internasional dengan spesialis di bidang studi terorisme dari Universitas Aberdeen di Belfast, melalui doktrin “two wars” menjelaskan tindakan yang harus dilakukan secara menyeluruh yang pada intinya merupakan harmonisasi dari dua strategi yaitu : 26 1. Melakukan perang militer dan keamanan untuk mengidentifikasi, mengisolasi dan menghancurkan kekuatan revolusioner bantuan logistik dan jalur komunikasi 2. Melakukan perang politik, ideologi untuk mempertahankan dan menguatkan dasar dukungan publik terhadap tindakan pemerintah sehingga posisi teroris tersebut secara politik yang kemudian menjadi rapuh. Untuk dapat melihat dengan jelas berikut upaya kerjasama penanganan terorisme seperti yang termuat dalam pasal VI bidang kerja sama ACCT : 27 1. Mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah tindakan teroris, termasuk pemberian peringatan dini kepada pihak lain melalui pertukaran informasi; 2. Mencegah orang-orang yang membiayai, merencanakan, memfasilitasi, atau melakukan tindakan teroris menggunakan wilayah mereka masing- 26 Adrini Pujayanti, Kebijakan Luar negeri Pemerintah Bush terhadap Terorisme Internasional, Jakarta : Pusat Kajian dan Pelayanan informasi SEKJEN DPR RI, 2002, hal. 163 27 h ttp:www.aseansec.orgasean_project.htm diakses 29 Maret 2016 74 Universitas Sumatera Utara masing untuk keperluan yang bertentangan dengan pihak lain dan atau warga Negara dari pihak lainnya; 3. Mencegah dan memberangus pembiayaan dari tindakan teroris; 4. Mencegah gerakan teroris atau kelompok teroris oleh pengawasan perbatasan yang efektif dan kontrol pada penerbitan kartu identitas dan dokumen perjalanan, dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penipuan atau pemalsuan penggunaan dokumen kertas dan dokumen perjalanan; 5. Meningkatkan kapasitas termasuk pelatihan dan kerjasama teknis dan penyelenggaraan pertemuan regional; 6. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengatasi terorisme, serta dialog seagama dan antar agamakeyakinan dan dialog antar peradaban; 7. Meningkatkan kerja sama lintas batas; 8. Meningkatkan pertukaran intelijen dan berbagi informasi; 9. Meningkatkan kerjasama yang ada dengan pengembangan database regional atas badan ASEAN yang relevan ASEAN; 10. Memperkuat kemampuan dan kesiapan untuk menangani kimia, biologi, radiological, nuklir CBRN terorisme, cyber terorisme dan segala bentuk baru terorisme; 11. Melakukan penelitian dan pengembangan pada langkah-langkah untuk menghalau terorisme; 12. Mendorong penggunaan video conference atau teleconference fasilitas untuk proses pengadilan, dimana tempat, dan 75 Universitas Sumatera Utara 13. Memastikan bahwa setiap orang yang berpartisipasi dalam pembiayaan, perencanaan, perisapan atau tindakan kriminal teroris atau dalam mendukung tindakan teroris atau dalam mendukung tindakan teroris yang dibawa ke pengadilan. Dari elaborasi di atas dapat dilihat bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh ASEAN seperti yang ditelurkan dalam ACCT, usaha tersebut dapat mempersempit gerak para teroris dan meminimalisir tindakan terorisme di kawasan Asia Tenggara. Sekarang ini hanya ada kerja sama penaggulangan terorisme dalam ASEAN dalam kondisi atas berbagi intelijen atau memulangkan kembali seorang teroris dari suatu Negara ASEAN yang tertangkap di Negara ASEAN lain ke tempat asalnya sebagai contoh Aturan mengenai ekstradisi ini diatur dalam Pasal XIII yang berbunyi : Pihak yang di wilayahnya tersangka pelaku kejahatan berada, dalam hal Pasal VII Konvensi ini berlaku, apabila tidak mengekstradisi orang tersebut, diwajibkan, tanpa pengecualian apa pun dan apakah kejahatan itu dilakukan atau tidak dilakukan diwilayahnya, meyerahkan kasus tersebut tanpa penundaan kepada otoritas berwenang untuk tujuan penuntutan, melalui proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan domestik Pihak tersebut. Para otoritas dimaksud wajib mengambil keputusan dengan cara yang sama dalam kasus kejahatan serius lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan domestik Pihak dimaksud. Kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini wajib dianggap masuk sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap 76 Universitas Sumatera Utara perjanjian ekstradisi yang telah ada diantara Para Pihak sebelum berlakunya Konvensi ini. Para Pihak sepakat untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang akan dibentuk di antara mereka. Apabila suatu Pihak, yang melakukan ektradisi mensyaratkan adanya suatu perjanjian, menerima suatu permintaan ekstradisi dari pihak lain yang dengannya tidak memiliki perjanjian ekstradisi, pihak yang di minta dapat, bila diperlukan, atas pilihannya, dan selaras dengan peraturan perundang-undangan domestiknya, mempertimbangkan untuk menjadikan Konvensi ini sebagai suatu dasar hukum bagi ekstradisi atas kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini.

3.4.1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2012

Kebijakan keamanan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia atas upaya penanganan terorisme adalah Undang-undang No. 5 Tahun 2012. Undang- undang ini merupakan ratifikasi terhadap ASEAN Convention on Counter Terrorism Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme. Terorisme yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime membutuhkan pola penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa extraordinary measure. Mengingat kategori terorisme yang luar biasa yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara biasa, maka Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN yang wilayahnya memiliki potensi tinggi terhadap serangan teroris, meyakini bahwa dengan adanya peraturan yang mengikat dalam kerangka kerjasama di ASEAN . maka pemberantasan terorisme di kawasan Asia Tenggara 77 Universitas Sumatera Utara dapat dilakukan denagn cara kerja sama kemanan regional yaitu melalui konvensi ACCT. Ratifikasi ACCT menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 2012 diyakini oleh pemerintah Indonesia bahwa kerjasama keamanan dengan negara-negara tetangga untuk menangani sebuah masalah bersama-sama seperti isu terorisme yang mengancam keamanan sebuah negara dan keamanan regional memang tidak dapat dihindari. Ratifikasi ACCT menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 2012 juga diikuti dengan pandangan pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya bahwa tindakan terorisme tidak boleh dihubungkan dengan agama, kewarganegaraan, peradaban, dan kelompok etnis manapun, menghormati kedaulatan masing-masing negara, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional, tidak campur tangan urusan dalam negeri, menghormati yuridiksi kewilayahan, adanya bantuan hukum timbal balik, ekstradisi, dan menyelesaikan perselisihan secara damai. Dalam ACCT juga terdapat program rehabilitasi bagi tersangka terorisme untuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat, melalui program rehabilitasi ini diharapkan dapat menyelesaikan akar masalah terorisme, dengan cara perlakuan adil dan manusiawi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses penanganannya. 28

3.4.2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013

Undang-undang No. 9 Tahun 2013 merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terkait tentang penceghan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Keluarnya undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari raitifikasi 28 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012. 78 Universitas Sumatera Utara International Convention for The Supression of The Fianancing of Terrorism, 1999 atau konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, sehingga pemerintah Indonesia wajib untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendanaan terorisme sesuai dengan yang diatur dalam konvensi tersebut, hal ini juga diatur dalam Pasal VI bidang kerja sama ASEAN Convention on Counter Terrorism pada poin b dan c yaitu mencegah siapapun yang mendanai, merencanakan, memfasilitasi atau melakuakan tindakan teroris serta mencegah dan menindak pendanaan tindakan teroris. Aksi serangan terorisme yang telah terjadi diyakini berhasil dilakukan akibat adanya sumbangan dana yang diterima oleh kelompok teroris dan kemudian dana tersebut digunakan untuk melakukan aksi terornya, Maka untuk pencegahan dini adanya berbagai aksi serangan teroris di Indonesia maupun di luar negeri maka melalui undang-undang ini menjadi acuan untuk menelusuri aliran dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Dana yang diterima oleh jaringan terorisme yang aktif di Indonesia diyakini juga berasal dari luar negeri. Seperti Jemaah Islamiyah JI yang banyak mendapatkan dana dalam melakukan aksi terorisme, dana tersebut diperoleh dari jaringan teroris internasional yaitu Al-Qaeda. Oleh karena pendanaan terorisme tersebut bersifat lintas negara sehingga melalui UU No. 9 Tahun 2013 ini akan diatur mekanisme dalam upaya melakukan pencegahan dan pemberantasan penyediaan dana terorisme ini dengan melibatkan Penyedia Jasa Keuangan, aparat penegak hukum dan kerjasama internasioanl untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme. 29 29 Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2013. 79 Universitas Sumatera Utara

3.4.3 BNPT dan Detasemen Khusus 88

Pasca terjadinya tragedy serangan WTC 911 respon pertama pemerintah Indonesia adalah membentuk sebuah kelembagaan penanggulangan terorisme melalui perintah Presiden Megawati kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Setelah sepuluh hari Bom Bali I meledak pada tanggal 22 Oktober 2002 Indonesia telah mendirikan Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme di bawah Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan. Desk ini memiliki spectrum tugas yang luas dan bersifat koordinatif terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan badan keamanan yang telah ada sebelumnya, termasuk Kepolisian dan Militer. Adapun tiga peran utama yang dimiliki Desk ini yakni : 1. Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan pemyusunan dan kebijakan dan strategi pemerintah dalam menanggulangi terorisme, termasuk aktivita intelijen 2. Mengkoordinasikan aktivitas di bidang penyelidikan dan penuntutan dan langkah-langkah hukum lainnya 3. Mengkoordinasikan kerja sama internasional di bidang kelembagaan dan peningkatan kapasitas melalui kerjasama teknis, kepolisian dan kerja sama intelijen. 30 Adanya hambatan birokrasi, dan persaiangan antar lembaga pemerintah, serta staf yang dimiliki oleh desk ini tidak mencukupi, sehingga Desk tidak dapat bekerja sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan. Sehingga Desk yang telah dibentuk tersebut hanya 30 Anggalia Putri Permata Sari, Penerapan Strategi Penggentaran Dalam Upaya Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 2013, hal 183 80 Universitas Sumatera Utara menjalankan tugas untuk mengkoodinasikan beberapa aktivitas bantuan luar negeri, dan bukan tugas utamanya untuk mengkoordinasikan kebijakan, strategi, rencana, dan aktivitas penanggulangan terorisme di Indonesia. Pada tahun 2010 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2010, maka Desk tersebut berkembang menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT yang kepalanya dapat mengikuti rapat kabinet sehingga BNPT dapat disejajarkan dengan Kementerian. BNPT membawahi tiga Deputi. 31 Deputi pertama bertanggung jawab atas pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi. Deputi kedua bertanggung jawab atas operasi dan peningkatan kapabilitas, dan deputi ketiga bertanggung jawab atas kerjasama internasional. 32 Kemudian Detasemen Khusus Densus 88 merupakan Detasemen khusus dari Kepolisian Republik Indonesia untuk pemberantasan terorisme berada di bawah deputi operasi dan kapabilitas, namun tetap berada di bawah Komando Kapolri. Detasemen Khusus 88 merupakan Detasemen Khusus Polri yang dibentuk pasca terjadinya Bom Bali I, pada bulan April 2013, Kapolri mendirikan Direktorat atau Unit Anti Terorisme di bawah Markas Besar Polri. Direktorat Anti-Terorisme yang dibentuk ditugasi untuk mengembangkan starategi dan kebijakan serta mengontrol berbagai unit operasional di Indonesia. Unit Operasional yang dibentuk oleh Direktorat tersebutlah yang menjadi inti dari Detasemen 88. Densus 88 yang dibentuk oleh Polri dengan bantuan Amerika pada tahun 2003 dan secara formal didirikan pada tahun 2004. Densus 88 dijadikan sebagai mekanisme pemerintah untuk mengelola rencana dan kebijakan kontra 31 Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme 32 Perpres RI No. 46 Tahun 2010 81 Universitas Sumatera Utara terorisme, pelatihan dan juga dana bantuan. Lembaga ini juga mengirimkan berbagai unit taktis anti-teror ke seluruh penjuru Indonesia. Peran yang dimiliki oleh BNPT adalah dalam hal strategi dan kebijakan serta pengelolaan pelatihan dan bantuan, sedangkan unit Densus 88 menjadi unit yang bertugas untuk “catch” dan “capture” teroris dan juga sebagai ujung tombak disrupsi sel dan jaringan teroris di Indonesia. Kinerja Densus 88 dalam menangkap teroris dan membongkar jaringan teror di Indonesia dinilai sangat baik oleh berbagai pihak, termasuk pihak luar negeri. Hal lain yang juga banyak mendapat pujiannya adalah kemampuan Polri untuk menyelidiki kasus dan mengumpulkan bukti-bukti untuk mengadili tersangka teroris di pengadilan, keberhasilan Densus 88 kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya sumber daya yang diterima dan sumber daya tersebut diperoleh dari AS.

3.4.4 Menjaga Keamanan Nasional dan Integritas Teritorial

Sesuai dengan dua dari empat tujuan terbentuknya Pemerintah Negara Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Maka dilihat dari tujuan tersebut, Indonesia sebagai sebuah negara harus mengambil sikap dan membuat kebijakan di dalam dan luar negeri untuk mengahadapi ancaman terorisme yang telah berkembang di dalam negeri dan kawasan Asia Tenggara. Kejahatan terorisme yang bersifat lintas batas negara telah memakan banyak korban jiwa, dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan akibat rasa takut dari teror yang dilakukan oleh jaringan terorisme 82 Universitas Sumatera Utara yang melakukan pengeboman di tempat-tempat umum, akibatnya yang menjadi korban adalah warga negara Indonesia dan juga warga negara asing yang tinggal ataupun berkunjung ke Indonesia atau ke negara-negara Asia Tenggara. Tidak hanya itu dampak kejahatan terorisme juga berimbas ke pertumbuhan ekonomi negara. Untuk menangkal aksi terorisme tersebut maka melalui ACCT ini, Indonesia melakukan kerja sama pengawasan perbatasan yang efektif dan pengawasan penertiban surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan dan juga untuk mencegah pemalsuan, penjiplakan, atau penyalahgunaan surat- surat identitas dan dokumen lainnya. Pengawasan perbatasan memang sangat penting bagi Indonesia, karena di Asia tenggara, Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah territorial yang paling luas dan bentuk territorial Indonesia merupakan kepulauan, sehingga pulau-pilau terluar Indonesia sangat memiliki potensi sebagai tempat persembunyian dan dijadikan sebagai kamp pelatihan kelompok-kelompok teroris dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Salah satu hal yang paling harus diawasi untuk mencegah masuknya terorisme regional maupun Internasional ke wilayah Indonesia adalah melalui pengawasan maritime. Dalam pengawasan maritim ada satu wilayah yang memiliki kerentanan khusus karena sering digunakan sebagai jalur keluar-masuknya teroris dari Indonesia ke Filipina, Malaysia, dan juga jalur penyelundupan senjata. Wilayah ini disebut sebagai Tri- Border Area TBA atay segitiga transit teroris yang berada di sekitar Laut Sulawesi da Selat Makassar. 33 33 Charles Corner , The Parting of The Sulawesi Sea: How U.S. Strategy in the Region Transforming the Mulltinational Environment in Southeast Asia’s terrorist transit Triangle , 2012, http:fmso.leavenworth.army.mildocumentsSulawesiSea.pdf diakses pada 27 Juni 2016 83 Universitas Sumatera Utara Wilayah di Laut Sulawesi ini tercatat sebagai wilayah transit teroris yang terdiri bebrbagai rute. Rute yang pernah terekspos adalah rute yang menghubungkan Manado di Indonesia dan General Santos City di Filipina. Rute ini disoroti setelah pecahnya konflik Poso di Sulawesi Tengah pada tahun 2007. Senjata yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis Islam didatangkan dari Filipina. Melihat dari kurangnya pengawasan perairan terluar Indonesia tentu saja memudahkan kelompok-kelompok teroris yang aktif di Indonesia untuk masuknya para anggota-anggota teroris lainnya yang berasal dari luar negeri masuk ke dalaw wilayah NKRI. Adanya ACCT ini sebagai kerangka kerja sama dalam mengawasi daerah perbatasan sehingga membantu Indonesia untuk mencegah masuknya terorisme, ataupun penyelundupan senjata yang digunakan untuk melakukan serangan terorisme di Indonesia. Adanya pengawasan dalam penertiban dokumen-dokumen perjalanan akan membantu Indonesia dalam mendeteksi dini anggota kelompok teroris yang bukan WNI masuk ke wilayah Indonesia untuk melakukan operasi serangan teror di Indonesia.

3.4.5 Undang-Undang No. 17 tahun 2011

Melalui ACCT yang mneyebutkan dalam pasal II poin h tenang meningkatkan pertukaran data intelijen. Pemerintah Indonesia kemudian Menetapkan UU No. 17 tahun 2011 tentang intelijen Negara yang berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk mendeteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam 84 Universitas Sumatera Utara kepentingan nasional. 34 Hal itu secara jelas membutikan bahwa upaya kontra terorisme secara serius dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia lewat Badan Intelijen Negara BIN.

3.5 ASEANAPOL

ASEANAPOL adalah salah satu organisasi perkumpulan 10 Kepala Kepolisian ASEAN, namun ASEANAPOL ini bukan dibawah sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta. ASEANAPOL merupakan sebuah organisasi independen yang non politis, kesekretariatan ASEANAPOL juga bukan “Decision Making” atau pembuat keputusan, karena ketua ASEANAPOL adalah kepala kepolisian negara ASEAN yang bergantian dengan masa tugas selama 1 tahun sekali dan berputar secara Alpahbethical Order. Forum ASEANAPOL sudah berdiri sejak tahun 1981 atas prakarsa dari para kepolisian lima Negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Sampai dengan ahun 2000 dengan masuknya Myanmar menjadi anggota, maka ASEANAPOL telah mempunyai 10 negara anggota sebagaimana keanggotaan dalam forum ASEAN. a. Kerjasama Intelijen Upaya penanganan terorisme yang dilakukan oleh ASEANAPOL mencakup beberapa hal, yaitu : pertukaran informasi yang berkaitan dengan tersangka terorisme dan organisasi terkait terorisme, berbagi informasi dan fasilitas akses diantara negara anggota dalam menginterview tersangka teroris, menyediakan 34 Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2011 85 Universitas Sumatera Utara bantuan kepada negara anggota termasuk pelacakan, pembekuan, dan penyitaan assets yang terkait teroris dan mempromosikan kerjasama yang erat antara entitas penegak hukum dan institusi keuangan. 35 Serta menjalin kerja sama dengan entitas yang terkait semisal Interpol serta pembentukan pasukan anti terorisme di masing-masing negara ASEAN. Namun demikian, ASEANAPOL ini ternyata bukan bagian dari struktur organisasi ASEAN. Penggunaan nama ASEAN disini adalah untuk menunjukkan cakupan kawasan yang menjadi ruang lingkup pekerjaan ASEANAPOL. ASEANAPOL ini hirau dengan keamanan regional di kawasan Asia Tenggara yang juga merupakan joint partnership dengan pemerintah AS. Tidak hanya dalam urusan terorisme namun juga dalam urusan trans national organized crime. Selain itu operasionalisasi kontra terorisme oleh ASEANAPOL juga meliputi pembekuan asset dan perjanjian ekstradisi teroris.

b. Pelatihan Bersama