Wali ‘Adhal TINJAUAN TEORITIS TENTANG WALI

29 2. Kedua belah pihak calon wanita dan pria tidak sekufu; 3. Tanpa seizin wali yang akan menikahkan; 4. Di luar daerah kekuasaannya. 31

D. Wali ‘Adhal

Kata ‘adhal menurut bahasa etimologi berasal dari Bahasa Arab, yaitu ﻀ ﻴﻀ – ﻀ yang artinya mencegah atau menghalang-halangi. 32 Wali ‘adhal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan. 33 Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila: a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya maupun tidak; b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya. 34 31 Ibid, h. 93. 32 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet ke-14, n. 441. 33 Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Cet. Ke-1, h. 1339. 34 Ibid, 30 Dalam bukunya yang berjudul 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, M. Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua berusaha menghalangi perkawinan anaknya, yaitu: 1. Orang tua melihat calon menantunya orang miskin, karena kemiskinannya orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan; 2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak keturunannya menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun dalam tata pergaulan keluarga Bangsawan; 3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya pernah bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan direndahkan harga dirinya oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan suami istri dengan keluarga semacam ini. 35 Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status sosial, kedudukan yang tinggi dan beberapa pertimbangan lainnya merupakah hal-hal yang dituntut dan tidak dikesampingkan dalam mencarikan dan memilihkan pasangan untuk wanita, maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang tercela. Jika seluruh pertimbangan di atas sudah dijadikan prioritas utama di dalam menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan akhlak, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela. Sehingga apabila terdapat orang 35 M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1996, Cet. ke-12, h. 90-91. 31 tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’, maka wali tersebut disebut wali ‘adhal. Firman Allah SWT: ⌧ . ةﺮ ﻟا : 232 “ maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” QS. Al-Baqarah : 232 Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada Wali Hakim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW. ﻦ ﺎ ﺋ ﺔ ﺎﻟ لﺎ ر ﻮ ل ﷲا ﻰ ﷲا ﻴ و ﻢ : أ ﻤﺎ ا ﺮ ةا ﻜ ﺑﻐ ﻴ ﺮ إذ ن . ﻮ ﻟا ﻴﻬ ﺎ ﻓ ﻜ ﺣﺎ ﻬﺎ ﺑﺎ ﺛ ث ﺮ تا ، ﻓﺈ ن د ﺧ ﺑﻬ ﺎ ﻓ ﻟﺎ ﻤ ﻬ ﺮ ﻟﻬ ﺎ ﺑﻤ أﺎ بﺎ ﻓﺈ ن ﺎ ﺮ او ﻓ ﺴﻟﺎ نﺎ وﻟ ﻦ وﻟ ﻟ اور دوادﻮﺑا 36 “Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda : barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal diucapkan tiga kali, maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” HR. Abu Daud. Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan ‘adhal juga diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu Peraturan Menteri 36 Imam Abu Daud Sulaiman Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud, h. 193. 32 Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim pada BAB II, yang berbunyi: Pasal 2 1 Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeriwilayah Ekstra Teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim. 2 Untuk menyatakan ‘adhalnya wali sebagaimana tersebut ayat 1, pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. 3 Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita. E. Acara Permohonan Penetapan Wali ‘Adhal a. Terjadinya Wali ‘Adhal Penetapan ‘adhalnya wali diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tanggal 28 Oktober 1987 tentang Wali Hakim. Wali ‘adhal ialah Wali Nasab yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi ia enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.

b. Tata cara penyelesaian wali ‘adhal

Mengenai tatacara penyelesaian wali ‘adhal diatur sebagai berikut: 1. Untuk menetapkan ‘adhalnya wali harus ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama. 33 2. Calon mempelai wanita yang bersangkutan mengajukan permohonan penetapan ‘adhalnya wali dengan “Surat Permohonan”. 3. Surat Permohonan tersebut memuat: a. Identitas calon mempelai wanita sebagai “Pemohon”. b. Uraian tentang pokok perkara. c. Petitum, yaitu mohon ditetapkan ‘adhalnya wali dan ditunjuk Wali Hakim untuk menikahkannya. 4. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal calon mempelai wanita Pemohon. 5. Perkara penetapan ‘adhalnya wali berbentuk Voluntair. 6. Pengadilan Agama menetapkan hari sidangnya dengan memanggil Pemohon dan memanggil pula wali Pemohon tersebut untuk didengar keterangannya. 7. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya wali dengan acara singkat. 8. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara resmi dan patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat didengar keterangannya, maka hal ini dapat memperkuat ‘adhalnya wali. 9. apabila pihak wali telah hadir dan memberikan keterangannya maka harus dipertimbangkan oleh Hakim dengan mengutamakan kepentingan Pemohon. 34 10. Untuk memperkuat ‘adhalnya wali, maka perlu didengar keterangan saksi- saksi. 11. Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan yang kuat menurut hukum perkawinan dan sekiranya perkawinan tetap dilangsungkan justru akan merugikan Pemohon atau terjadi pelanggaran terhadap larangan pekawinan, maka permohonan Pemohon akan ditolak. 12. Apabila Hakim berpendapat bahwa wali telah benar-benar ‘adhal dan Pemohon tetap pada permohonannya maka Hakim akan mengabulkan permohonan Pemohon dengan menetapkan ‘adhalnya wali dan menunjuk kepada KUA Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah PPN, di tempat tinggal Pemohon untuk bertindak sebagai Wali Hakim. 13. Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan banding. 14. Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang ‘adhalnya wali. 15. Apabila Wali Nasabnya tetap ‘adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali Hakim. 16. Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya wali bagi calon mempelai wanita Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Luar Negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. 17. Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat ditunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim, oleh 35 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji atas nama Menteri Agama. 37 37 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, h. 238-239.

BAB III GAMBARAN UMUM

PENGADILAN AGAMA BEKASI

A. Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi

Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau ”judicial power” khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan kembali tentang kedudukan dan fungsi serta lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan. 1 Untuk menghapus segala anggapan dan suasana dilematis tersebut UU No.7 Tahun 1989 menegaskan kembali kedudukan lingkungan Peradilan Agama agar benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Penegasan yang terdapat dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun penegasan yang terdapat dalam Pasal 63 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penegasan ulang yang terdapat dalam Pasal 44 UU No.14 Tahun 1985 tentang 1 Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, h. 45. 36