Potensi perjanjian dalam perkawinan Poligami : studi analisis putusan pengadilan agama bekasi nomor 184/pdt.G/PA.Bks

(1)

“Potensi Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami

(Studi Anlisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)''

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Ahmad Zarkasih 104044201458

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIFHIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT serta Taufik dan Hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini (skripsi ) yang merupakan salah satu persyaratan demi mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Mudah-mudahan ilmu yang penulis peroleh menjadi ilmu yuntafabihi baik untuk diri sendiri maupun orang lain serta mendapatkan keberkahan dan dapat mengamalkannya.Amin

Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada gudangnya ilmu yaitu Nabi Besar Muhammad SAW. Mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat dari beliau di hari kemudian nanti…

Dalam suatu pribahasa Indonesia mengatakan "Tak ada Gading yang tak Retak" itulah ungkapan bijak yang ingin penulis sampaikan dalam penyusunan skripsi ini yang berjudul “Potensi Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)'' di mana terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, yang disebabkan keterbatasan penngetahuan yang penulis miliki. Maka dengan kerendahan hati, mohon di betulkan apabila banyak kesalahan dan kealpaan, karena saran dan kritik yang membangun adalah pintu menuju ketingkatan yang lebih tinggi dan arah yang lebih baik.


(3)

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari dukungan moril dan materil dari berbagai pihak. Baik lingkungan keluarga, masyarakat, Universitas, Fakultas, Dan program study. Oleh Karena itu yang paling pertama penulis sampaikan dengan sepenuh hati mengucapkan ribuan terima kasih kepada Ayahanda tercinta KH. Makhtum Abdullah dan Ibunda Hj. Nurlaila yang tiada kata lelah dan selalu memberi motivasi dalam mendidik demi kemajuan dan keberhasilan anak-anaknya, penulis tidak dapat membalas kebaikannya dan memohon do'a Mataanallahu bi thulli hayatihim, dan tak lupa penulis memohon maghfiroh kepada Allah SWT untuk ibunda Alm Hj. Jaronah yang terkasih yang telah lama pergi. Mudah-mudahan penulis menjadi wa waladun sholehun yad'u lahu ( Anak yang sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya)

Dalam penyelesaian tugas akhir ini penulis tidak lepas dukungan dari beberapa pihak,baik universitas dan fakultas maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak Rektorat, Fakultas dan Program study dalam hal ini kepada Bpk :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH,.MA. MM,. Selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta 2. Dr. H. Ahmad Mukri Adji. MA. Selaku dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya, tenaga dan pikiranya serta kesabaran dalam bimbingan kepada penulis.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil. SH.MA dan Bapak Kamarusdiana. S.Ag.MH selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ahwal Assyakhsiyyah. Yang telah banyak


(4)

membantu selama perkuliahan serta memberikan terobosan-terobosan baru demi kemajuan program study Adminisrasi Keperdataan Islam

4. Dr. H. Yayan Sopyan. M.Ag dan Drs. H. A. Basiq Djalil. SH.MA selaku penguji I dan Penguji II dalam sidang munaqasah

5. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan agama dan umum serta menjadi tauladan bagi penulis.

6. Seluruh Pegawai Perpustakaan Syariah dan Hukum. Serta Perpustakaan Utama Univeritas Islam Negeri Syarif hidayatullah

7. Drs. Entur Mastur SH dan Midjan SH, selaku ketua dan Wakil Sekretaris Pengadilan Agama Bekasi. Terima kasih atas bimbingannya dalam meneyelesaikan skripsi ini.

8. Mashuri S.Ag ( Alumni Fak. Syariah dan Hukum tahun 2000) Drs. Yayan Atmaja SH dan Komaruddin S.Hi yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tugas penelitian ini.

9. Untuk kakak-kakak ku : H. Khoiruddin dan isteri Hj. Saidah, Hj. Zulaikha S.Pdi dan Suami H. A. Rosadi. dan Hj.Zubaidah. SH.I serta Adik dan keponakan ku tercinta Adinda Syarif Hidayatullah, Syuaibatul Aslamiyyah, Maulana Hasanuddin dan Muhammad Farhan.

10.Teman-teman seperjuangan Prodi Aki Angkatan 2004. The Best My Friend : Rizal Purnomo, Taufik Jamaluddin, Mara Sutan Rambe, Dede Sahri, Abdul Barri, Ma'min Barri, serta kaum hawa-nya : Ade Puspita sari, Hanna Abdullah, Farida, Riana, Iyah ( maaf ga bisa di sebutin semua)


(5)

11.Sahabat KKS 2007 Bangbayang CIAMIS, Yanto Kiswanto beserta keluarga dan jamaah di Ciamis

12.Teman-teman BEM J AKI 2006-2007. wa bil khusus Allah Yarham Alm. Rifki Andika yang telah banyak memberikan pengalaman beorganisasi dan pengetahuan teknologi kepada penulis, mudah-mudahan menjadi bekal amal ibadah Almrhum dalam menempuh kehidupan yng hakiki (Akhirat)..

13.Al maghfurllah Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-dary dan keluarga besar Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi serta teman-teman Alumni Pondok Pesantren Annida Al-Islamy Bekasi 2004.

Demikian ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan mudah-mudahan kebaikan-kebaikan yang telah kesemuanya perbuat hanya Allah lah yang dapat membalasnya dan penulis dengan kerendahan hati mengucapkan Jaazakumullah khairan katsira, wa jaza ahsanal jaaza'

Jakarta, 03 Januari 2009


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

D. Objek Penelitian……… 13

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PERKAWINAN DAN POLIGAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan... 19

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan... 26

C. Pengertian dan Sejarah Poligami ... 29

D. Faktor Penyebab Poligami ... 33

E. Dampak poligami ... 37

F. Hikmah Poligami ... 38


(7)

BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN

A. Pengertian dan dasar hukum perjanjian perkawinan... 43 B. Hukum membuat Perjanjian Perkawinan ... 45 C. Macam-macam Sifat perjanjian ... 46

BAB IV TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (Study analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi nomor 184/pdt.G/2007/PA.Bks )

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi ... 48 B. Landasan Hukum Pemeriksaan Perkara Permohonan Izin

Poligami di Pengadilan Agama Bekasi ... 57 C. Proses Peradilan Perkara Permohon Izin poligami di Pengadilan

Agama Bekasi ... 63 D. Analisis Penulis... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 78 B. Saran-Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk hidup yang di ciptakan oleh Allah SWT di dunia ini saling berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah SWT :

Surat Al Hujarat ayat 13 :

!" #

"$ % &ﻥ '(

)

*

+ )

, - . (

* !/0 "1

2( 3 23

-4

5 (67

/

89

:

;<

=

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S (Al-Hujarat 49):13

Dan di dalam Hadist Tirmidzi dari Abi Ayyub, Rasulullah SAW bersabda :

> ?! %

-:

@ ) 3 - A % B A >! @0 >

:

C 0

3 @(D

@

:

E .

F !G (H"1 I 37

4

JK (1 L 0

=

1

Artinya : Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi yaitu : celak, wangi-wangi, siwak dan kawin"( HR. Turmuzi)

1

Abu Isa Muhammad Ibnu Saurah, Sunan Al-Turmudzi, (Beirut; Dar Al- Fikr,1994) juz ke 2,


(9)

Ada beberapa kebutuhan alami manusia yang perwujudannya hanya sah apabila dilakukan melalui lembaga perkawinan. Dimana pun dimuka bumi ini dikenal adanya lembaga perkawinan. Walaupun dengan tata cara, aturan, perwujudan upacara yang berbeda, esensi perkawinan tetap sama, mengesahkan perwujudan beberapa kebutuhan alami manusia.

Namun sebagaimana kita ketahui bersama arti dan tujuan perkawinan dapat dibaca dari Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa”.2

Kalau materi pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut di atas dirumuskan ke dalam arti dan tujuan, maka yang dimaksud dengan arti perkawinan adalah:

“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”. Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah: “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dengan adanya perkawinan tersebut, maka timbullah hubungan hukum antara seorang wanita dan seorang pria untuk hidup bersama sebagai suami istri yang sah menurut hukum. Dengan demikian undang-undang mengatur tentang syarat-syarat

2 Undang-undang no 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

, Departemen Agama. Jakarta 2004 Hal 1


(10)

perkawinan, sahnya suatu perkawinan, cara pencatatan perkawinan, akibat dari suatu perkawinan dan segala sesuatunya yang mungkin timbul karena adanya suatu perkawinan.3

Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut tidak cukup dengan ikatan lahir batin semata-mata,akan tetapi harus perpaduan antara keduanya. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat yang mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup sebagai suami isteri secara formal. Ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak formal yaitu merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat. Tahap pertama untuk mengadakan perkawinan, ialah ikatan yang diawali dengan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama dalam suatu ikatan. Selanjutnya dalam hidup bersama itu tergambar adanya suatu kerukunan dan seterusnya ikatan batin itu akan merupakan inti dari suatu ikatan lahir.

Terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan batin secara terpadu merupakan fondasi yang kokoh untuk membentuk serta membina suatu keluarga yang bahagia serta kekal, karena tujuan suatu perkawinan pada hakekatnya adalah agar perkawinan berlangsung seumur hidup.

Dalam perkembangannya ikatan perkawinan mengalami poerubahan bentuk, yaitu tidak hanya berupa ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

3

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.


(11)

sebagai suami isteri, tetapi timbulnya suatu ikatan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita sebagai isteri. Gejala ini timbul atas kehendak pria itu sendiri secara murni maupun adanya problematika rumah tangga yang terjadi di sebabkan oleh sang isteri yang tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri4

Masalah poligami, dahulu pernah menjadi suatu pembicaraan masyarakat ramai dikarenakan ada satu pihak yang menyetujui dan di lain pihak ada yang tidak setuju dengan dicantumkannya poligami itu sebagai salah satu asas dalam undang-undang perkawinan yang hendak diciptakan. Kemudian menjadi suatu kenyataan, bahwa poligami merupakan salah satu asas, tetapi dengan suatu pengecualian, yaitu yang hanya ditujukan terhadap orang yang menurut hukum dan agama yang dianutnya mengizinkan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang serta hanya dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula.5

Selanjutnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan batasan yang cukup ketat mengenai pengecualian itu, yaitu berupa suatu pemenuhan syarat disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta harus mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5 Undang-Undang Perkawinan No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

4

Salam sholihin, Meninjau masalah poligami (Jakarta; Tinta Mas, 1959) Hal 34

5


(12)

Hal yang merupakan alasan yang dapat memungkinkan seorang suami diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang di atur dalam pada pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut: 6

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Isteri tidak dapat melahirkan

Salah satu alasan yang tersebut di atas, pasal 5 Undang-undang Perkawinan, Menyatakan: “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (1) UU ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Adanya persetujuan dari suami/isteri-isteri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka..7

Hal ini diulang kembali pada pasal 41b, c dengan tambahan penjelasan bahwa:

1. Dalam hal persetujuan lisan dari isteri/isteri, harus diucapkan di depan sidang pengadilan

6Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

, Departemen R.I Jakarta 2004

7


(13)

2. Dalam hal adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya. Suami harus memperlihatkan surat keterangan tentang penghasilan).8

3. Dalam hal adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Menurut K. Wantjik Saleh, “Suami harus mengemukakan suatu pernyataan atau janji dalam bentuk yang akan ditetapkan kemudian (maksudnya rumusan dan cara pengucapan pernyataan/janji itu)9

Merujuk pada pernyataan K. Wantjik Saleh tersebut, bahwa perjanjian yang bentuknya akan ditetapkan kemudian rumusannya maupun cara pengucapannya, hal ini dapat secara lisan maupun tulisan. Namun perlu diingat bahwa “yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan disini tidak termasuk ta’lik talak”.10 Dalam hal ini jaminan bahwa suami sanggup berlaku adil pada umumnya hanya berupa pernyataan dari pihak suami di depan pengadilan baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai salah satu syarat untuk mengajukan izin poligami, Jadi hanya berupa sebuah perjanjian tertulis secara sepihak. Karena sifatnya yang hanya sekedar pernyataan atau janji yang dapat dikatakan sekedar formalitas maka hal ini seringkali tidak diacuhkan oleh para pihak yang bersangkutan, baik dari pihak suami bahkan pihak para isteri.11

8

Peraturan Pemerintah. No. 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Penerbit DEPARTEMEN AGAMA JAKARTA 2004 Hal 89

9

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. 1976.

Hal.23

10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

, Op.Cit, Hal.26.

11


(14)

Padahal dikemudian hari dapat mengakibatkan timbulnya pihak yang merasa diperlakukan tidak seimbang dalam perkawinan poligami. Maka bukan tidak mungkin, adanya formalitas tersebut dapat melemahkan kedudukan hukum pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini pada umumnya adalah pihak isteri. Karena memandang perlu dalam sebuah perkawinan poligami dibuat suatu aturan yang sifatnya memberatkan dan dapat melindungi pihak yang merasa dirugikan berupa sehelai surat perjanjian untuk poligami, untuk mencegah adanya pihak yang merasa dirugikan dan agar pihak tersebut dapat memperjuangkan hak-haknya kembali di samping memiliki kekuatan hukum yang sejajar dengan pihak suami. Tentunya hal yang demikian harus dilakukan perjanjian-perjanjian tersendiri diantara kedua belah pihak. Dengan tujuan agar masing-masing pihak paham akan hak dan kewajibannya. Karena bila perjanjian-perjanjian dalam pelaksanaan poligami tidak disepakati, tidak menutup kemungkinan akan timbul perceraian. Dimana suami sebagai pengayom dan sebagai kepala rumah tangga tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang berakibat salah satu pihak dari isteri mendapat perlakuan yang tidak seimbang atau menjadi pihak yang merasa dirugikan.

Hal inilah yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana seorang suami yang telah memiliki isteri lagi meskipun telah membuat pernyataan sanggup berlaku adil untuk berpoligami, masih tetap melakukan pelanggaran terhadap pernyataan sanggup berlaku adil di depan Pengadilan, dalam arti kata sang suami ingkar janji terhadap isterinya. Padahal, diharapkan dengan pernyataan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak maka rumah tangga yang dijalani suami dengan memiliki dua isteri (atau


(15)

lebih) akan berjalan dengan baik. Hal ini bisa terwujud bila suami bisa berlaku adil sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil.12

Mungkin, karena hal tersebut pulalah, hingga saat ini, pada umumnya, wanita-wanita Indonesia asli yang beragama Islam, sebagian besar merasa keberatan terhadap sistem poligami, meskipun peraturan hukum Agama Islam memperbolehkan mempunyai empat orang isteri bagi seorang laki-laki. Salah satu jalan atau kemungkinan yang meringankan keberatan-keberatan dan memperkecil adanya sistem poligami, yaitu dengan hukum agama islam yang mengajarkan bahwa: “beristeri lebih dari seorang hanya diperbolehkan, apabila si suami mampu dan berniat sungguh-sungguh untuk memperlakukan semua isterinya dengan cara yang sama dan sepantasnya”.

Dalam hal ini Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berpendapat, “hal ini berarti bahwa seorang suami harus memberi nafkah kepada isteri-isterinya dengan pantas dan tidak ada perbedaan di antara isteri-isterinya. Demikian pula dalam hal mencintai secara layak. Karena itulah sebenarnya dimaksudkan oleh Hukum Agama Islam adalah agar seorang laki-laki yang beristeri lebih dari seorang haruslah terlebih dahulu mempertimbangkan kemampuan diri dalam hal materi maupun pemenuhan janji untuk bersikap adil dalam segala hal dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan hawa nafsu belaka”13

12

Abdul Manan, dan M Fauzan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2006. Hal 31

13


(16)

Kemudian mengapa kita tidak berusaha untuk membenahi semua aturan-aturan yang mudah untuk disimpangi. Bagaimana caranya agar pihak isteri yang dalam hal ini sering menjadi pihak yang dirugikan, juga punya kekuatan untuk menggugat hak-haknya yang selama ini tidak didapatkannya dari suami yang telah berlaku tidak adil kepadanya. Tentunya agar pihak isteri menjadi pihak yang sejajar dengan pihak suami di pengadilan maka pihak isteri harus memiliki bukti yang cukup kuat pula, yaitu berupa sehelai surat perjanjian perkawinan untuk poligami yang telah disepakati bersama baik sebelum, sesudah dan setelah terjadinya perkawinan poligami tersebut diperlakukan tidak adil karena takut diceraikan oleh suami. Namun pendapat ini juga bukan berarti bahwa penulis menganjurkan perceraian sebagai jalan keluar dari semua permasalahan di atas.

Berangkat dari apa yang penulis paparkan seperti di atas maka penulis bermaksud dan tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam wujud skripsi dengan judul: “Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami (Studi Anlisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)''

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Maslah.

Mengingat banyak diantara yang belum mengetahui bagaimana prosedur yang harus di tempuh bagi seorang yang ingin menikah lagi ( poligami) maka tidak sedikit


(17)

isteri dan anak-anak yang menjadi korban dari perkawinan poligami tersebut, Maka dalam pembahasan skripsi ini agar tidak melebar maka penulis membatasi hanya suatu perjanjian perkawinan yang dilakukan ketika suami akan melakukan perkawinan poligami dengan menganalisis putusan pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks.

2. Perumusan Masalah

Dan uraian latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan bahwa kesanggupan suami dalam berlaku adil dalam perkawinan poligami pada umumya hanya berupa pernyataan/janji dari pihak suami di depan Pengadilan baik lisan maupun tulisan, karena sifatnya yang hanya sekedar atau janji yang biasa dikatakan sekedar formalitas maka hal ini sering di abaikan/diacuhkan dan banyaknya janji-janji yang tidak terpenuhi oleh para pihak yang bersangkutan, baik pihak suami atau pihak isteri. Padahal dikemudian hari dapat mengakibatkan timbulnya pihak yang merasa diperlakukan tidak seimbang dalam perkawinan poligami. Maka bukan tidak mungkin, adanya formalitas tersebut dapat melemahkan kedudukan hukum pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini pada umumnya adalah pihak isteri. Karena memandang perlu dalam sebuah perkawinan poligami dibuat suatu aturan yang sifatnya memberatkan dan dapat melindungi pihak yang merasa dirugikan berupa sehelai surat perjanjian untuk poligami, untuk mencegah adanya pihak yang merasa dirugikan dan agar pihak tersebut dapat memperjuangkan hak-haknya kembali di samping memiliki kekuatan hukum yang sejajar dengan pihak suami. Tentunya hal yang demikian harus dilakukan


(18)

perjanjian-perjanjian tersendiri diantara kedua belah pihak. Dengan tujuan agar masing-masing pihak paham akan hak dan kewajibannya. Karena bila perjanjian-perjanjian dalam pelaksanaan poligami tidak disepakati, tidak menutup kemungkinan akan timbul perceraian. Dimana suami sebagai pengayom dan sebagai kepala rumah tangga tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang berakibat salah satu pihak dari isteri mendapat perlakuan yang tidak seimbang atau menjadi pihak yang merasa dirugikan.

Hal inilah yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana seorang suami yang telah memiliki isteri lagi meskipun telah membuat pernyataan sanggup berlaku adil untuk berpoligami, masih tetap melakukan pelanggaran terhadap pernyataan sanggup berlaku adil di depan Pengadilan, dalam arti kata sang suami ingkar janji terhadap isterinya. Padahal, diharapkan dengan pernyataan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak maka rumah tangga yang dijalani suami dengan memiliki dua isteri (atau lebih) akan berjalan dengan baik. Hal ini bisa terwujud bila suami bisa berlaku adil sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil.

Dan rumusan ini dapat di rinci berupa pertanyaan pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaiamana Prosedur mengajukan izin Poligami di Pengadilan Agama Bekasi 2. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Bekasi dalam memberikan izin poligami

kepada suami agar dapat berlaku adil ?

3. Bagaimana akibat hukum dari pelanggaran perjanjian perkawinan Poligami tersebut

4. Bagaimana upaya hukum penyelesaian pelanggaran perjanjian perkawinan Poligami tersebut


(19)

5. Bagaimana pandangan hakim dalam memutus perkara Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks dan apa dasar hukumnya

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tata cara / Prosedur mengajukan izin Poligami di Pengadilan Agama Bekasi

2. Untuk dapat mengetahui upaya Pengadilan Agama Bekasi dalam memberikan izin untuk berpoligami bagi suami agar berlaku adil

3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang ada dari pelanggaran perjanjian perkawinan Poligami

4. Untuk mengetahui upaya hukum penyelesaian pelanggaran perjanjian perkawinan Poligami tersebut.

5. Mengetahui dasar hukum bagaimana hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam memutus perkara Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks

Dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kepentingan ilmiah, yang bermanfaat bagi Ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu Hukum atau pun dan beberapa ilmu terkait lainnya.

2. Kepentingan praktis, yaitu bermanfaat bagi masyarakat luas, dapat menjadi sumber informasi yang akurat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan poligami, terutama bagi masyarakat yang awam mengenai hukum maupun hukum perkawinan secara khususnya.


(20)

D. Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Bekasi dengan alasan karena dalam Pengadilan Agama Bekasi telah mendapat kasus tentang izin poligami dan juga telah menemui putusannya. Begitu juga dalam segi geografis Pengadilan Agama Bekasi mempunyai tempat yang sangat strategis, sehingga akan mempermudah penulis dalam melakukan penelitian baik dari segi tenaga, biaya, waktu dan informasi.

E. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan hukum ini metode pendekatan yang digunakan adalah Analisa Yurisprudensi., yaitu dengan menganalisa dalam menjawab permasalahan digunakan sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di bidang perjanjian perkawinan poligami, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Jenis Penelitian

Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi, maka penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis menggunakan dua jenis penelitian yaitu metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan metode penelitian lapangan ( Field Research).

Penelitian Kepustakaan ( Library Research), yaitu dengan meneliti berbagai buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah. Baik berupa


(21)

tulisan yang disimpan di lembaga pemerintahan maupun perpustakaan umum yang tentunya ada kaitannya dengan karya tulisan ini.

Penelitian lapangan (Field Research), penulis langsung mengadakan penelitian lapangan dengan mendatangi objek penelitian, yaitu pada Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus perkara perjajnian poligami

3. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian Analisa yurisprudensi ini adalah:

a. Data primer, yaitu data asli yang berupa putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/2007/PA.Bks, Berita acara Persidangan dan wawancara. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan

dan dokumentasi, yang merupakan hasil dari penelitian dan pengolahannya yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku dan dokumentasi.

4. Teknik Pengumpulan data

Dengan memperhatikan jenis data yang ada, maka penulisan hukum yuridis sosiologis ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Menganalisis perkara yang di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi Nomor :184/Pdt.G/2007/PA.Bks.

b. Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bekasi

Adalah tanya jawab dalam bentuk komunikasi verbal (berhubungan dan lisan), bertatap muka dengan informan atau para pakar hukum dalam hal ini adlah Him


(22)

Pengadilan Agama. Bentuk wawancara yang dipilih penulis adalah wawancara tidak berstandar, yaitu teknik wawancara yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum wawancara dilaksanakan, dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan:

1) Hakim Pengadilan Agama Bekasi 2) Panitera di Pengadilan Agama Bekasi

3) Kepala Urusan Hukum di Pengadilan Agama Bekasi C. Studi Pustaka

Yaitu mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan ateri penelitian ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan karya Tulis Ilmiah yang berupa makalah, skripsi, buku-buku, koran,majalah, situs internet yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

5. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menganalisis dengan cara menguraikan dan mendepkripsikan putusan Pengadilan Agama Bekasi dan menggabungkannya dengan hasil interview serta semua data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan serta segala informasi yang diperoleh dari informan serta literatur-literatur yang ada, kemudian dilakukan analisa kualitatif berdasarkan penafsiran-penafsiran yuridis guna menjawab permasalahan yang ada.

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman skripsi yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah Dan Hukum tahun 2007.


(23)

6. Review studi Terdahulu.

Anita Harun.2006, Analisis Yuridis penetapan Pengadilan Agama Jak-Tim tentang Permohonan izin poligani Nomor : 137/Pdt.G/ PA JT dan Nomor 303/ Pdt.G/2005/PA JT, dalam skripsinya beliau membahas bagaimana proses izin poligami yang di lakukan oleh seorang suami terhadap isterinya yang ingin menikah lagi dengan menitik beratkan memohon izin di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Hakim pun memberikan izin kepada suami untuk berpoligami Karena syarat-syarat yang di atur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan batasan yang cukup ketet dengan alasan-alasan yang dapat diterima.

Erlia Mukti 2007, Poligami terhadap Kesejahteraan Kelurga ( Study kasus di Daerah Depok), mengenai isi pembahasan skripsi tersebut penulis lebih menitik beratkan kepada akibat poligami terhadap kesejahteraan keluarga di mana suami harus berlaku adil kepada isteri-isterinya dan Undang-undang pun mengatur mengenai nafkah

E. Sistematika Penulisan.

Untuk mempermudah dalam penyusunan skipsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana tiap-tiap bab mempunyai penekanan atau spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tetentu, yaitu sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yaitu uraian secara global dan menyluruh tentang materi yang akan dibahas yaitu terdiri dari : pendahuluan,


(24)

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II. PERKAWINAN DAN POLIGAMI

Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan umum tentang pengertian perkawinan dan sumberhukumnya, tujuan perkawinan, pengertian poligami dan dasar hukumnya, sejarah poligami, faktor penyebab poligami, Akibat hukum poligami dan hikmahnya. BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian dan Dasar hukum perjanjian perkawinan, Perjanjian Perkawinan, dan Macam-macam sifat perjanjian BAB IV TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI ( Studi Analisis Putusan Agama BEKASI Nomor 184/Pdt.G/2007/PA. Bks.)

Pada bab ini merupakan permasalahan pokok yang dibahas penulis mengenai Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi, landasan hukum pemeriksaan Permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Bekasi. Serta proses Peradilan Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Bekasi dan Analisa Penulis BAB V PENUTUP.

Dalam bab terakhir ini akan mencakup dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA


(25)

BAB II

PERKAWINAN DAN POLIGAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalm literatur fiqih berbahasa Arab di sebut dengan dua kata yaitu nikah (M .ﻥ) dan zaw j (N O)14. Kata nikah di ambil dari kata

"nakaha"(M .ﻥ),"yankihu": (M. ), "nahkan" ( .7ﻥ),"wanikahan"(E .ﻥ ) yang artinya mengawini. Sedangkan kata zawaj di ambil dari kata "zaw ja" (N O), "yuzawiju"

(N P ), "tazwijan" ( 6 P+), yang secara harfiyah berarti mengawinkan, mencampuri, dan memperisteri.15

Kedua kata zawaja dan nikaha banyak di gunakan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat didalam Al-Qur'an. Adapun kata na-ka-ha

didalam Al-Qur'an mempunyai arti kawin, sebagimana didalam surat An-Nisa Ayat 3 :

G +QR 1S *

ITGU

U . ? V !7.ﻥ / % 13 W/ !H

.ﻥ D X.

Y,ﺡ !/ ! ,"+QR 1S *[/ \ 0 ]^ﺙ % &

! !"+QR %ﻥ` a

4

I G

b

8

:

<

=

14. Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

Undng- undang perkawinan(Jakarta kencan,2006) h. 35

15

. Ahmad Warson munawir, Al-Munawir Qomus Arab Indonesia, ( yogyakarta: Pondok


(26)

Artinya :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adilmaka (kawinilah) seorang sajaatau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Q.S. (An-Nisa) 4: 3

Begitu juga pada kata za-wa-ja yang terdapat didalam Al-Qur'an yang mempunyai arti kawin, Sebagaimana dalam Surat Al-Ahzab ayat 37 :

c Q+ a$ O a3 - aG )3 - XD"ﻥ )3 - A "ﻥ dKQ >! +

L e f+ * gc ﺡ A

Q %ef+ ) , A aGSﻥ W/ WSf+ A

$Q O ( V

U 2, O %h QD /

3 i D % - *! . R W .

A (

*

( V Q

!h

T 3-` N O W / 2N( ﺡ

R!"S

4

? PﺡR

<<

b

<j

=

Artinya :

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia,supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Q.S ( Al-Ahzab)33:37.


(27)

Pengertian perkawinan dalam hukum Islam ada dua macam, yaitu : a. Pengertian perkawinan menurut bahasa, yaitu :

/ E .

g %

k

l

h

g

!

m

I

16

Artinya : Nikah ( perkawinan) menurut bahasa yaitu berkumpul dan bersetubuh

Pengertian tersebut dapat di jelaskan dengan suatu ungkpan bahasa arab yang berbunyi :

+

7

X

6

0

+

D

X

Q

h

"

n

H

c

-%

"

,

$

O

Qﻥ

)

@

o

/

%

!

m

I

17

Artinya : Tumbuh-tumbuhan itu kawin apabila telah cenderung (bersatu) dengan yang lainnya.

b. Pengertian perkawinan menurut syara, yaitu :

-,

1

h

D

l

!

m

I

S

p

U

.

E

Q1

P

q

18

Artinya : Akad atau perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau ja-wa-ja.

Golongan ulama syafi'iyah memberikan definisi diatas karena pada hakikatnya dari akad tersebut apabila di hubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul atau bersetubuh diantara keduanya.19

16

Syekh Syihabuddin Al-Qulyubi dan Syekh umarah Jalaluddin Al-mahally, Qulyuby wa

Umairah.(maktabah Wa matba'ah Thaha putra semarang) juz 3.h.206

17

Wahbah Al-Zuhili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, ( Beirut : Dar-Al-Fikr,1989),cet ke -3, hal 29

18

. Ibid

6


(28)

Adapun definisi tersebut diatas mengandung maksud sebagai berikut :

Pertama, penggunaan lafdz akad (, -) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang di buat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan tersebut di buat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

Kedua, penggunaan kata (Im! l ﺡ Dh 1 ), karena pada dasarnya hubungan baik laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang atau haram, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara hukum syara'. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya ikatan dalam suatu pernikahan . dengan demikian, akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang pada asalnya di larang.

Ketiga, Menggunakan lafadz ( q P 1 E . p S Im! ) lafadz tersebut mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan mesti menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja,.

Sedangkan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 1 bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bthin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(29)

Dan dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyatakan bahwa

"Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".20

2. Dasar hukum Perkawinan.

Di dalam hukum Islam terdapat tingkatan atau penggolongan hukum di yaitu mubah, sunnah, makruh dan haram. Dan adapun dasar hukum perkawinan banyak terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist.

Menurut Imam jalaluddin Al-Mahali di dalam kitab qulyubi wa 'Umairah bahwa menikah itu mubah hukumnya.21 Dengan melihat kepada sifatnya sebgai sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata

mubah.

Pernikahan mempunyai hukum yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yng dialami oleh seseorang, maka hukum nikah itu adalah :

a. Wajib. Bila seseorang dilihat dari pertumbuhan jasmaninya layak untuk kawin, nafsunya sudah mendesak, takut terjerumus dalam perzinahan dan mampu memberikan nafkah lahir dan bathin, maka wajiblah ia kawin. Karena menjauhkan diri dari yang harm adalah wajib, sedangkan untuk itu dapat dilakukan dengan baik, kecuali dengan jalan kawin.22 Dan Allah SWT

20

. Pengertian Perkwinan menurut Undang- undanmg No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

21

Jalaluddin al-mahally, loc.cit.

22


(30)

memberikan janji kepada hambanya yang shaleh untuk kawin, yaitu Allah akan memberikn kepadanya kehidupan yang bercukupan, Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

` -

37 Qr

. % s ! 7.ﻥ

! ﻥ!. * . T

23 - 2C@ A ) h/

A

k It( /

4

0!

b

u8

:

<u

=

Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." ( Q.S. An-nuur/24:32)

Untuk orang tidak mampu menahan nafsunya dianjurkan untuk berpusa sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW :

-,

A

G

"

!

`

0

W

A

-)

>

:

>

0

@

!

>

A

B

Q

%

A

-3

)

@

:

"

e

(

Qe

?

w

@

1

H

\

.

I

Y

/

31

QP

N

w

/

Qﻥ

)

x

n

r

(

w

r

S

(

N

w

G

1

CH

/

"

3

)

Qr

!

y

w

/

Qﻥ

)

)

$

2I

4

)3 - cS1

=

23

Artinya : Dari Abdullah Bin Mas'ud R.A berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW kepada kami ; " Wahai kaum pemuda, barang siapa yang sanggup diantar kmu akan memberikan nafkah maka kawinlah, mak bahwasanya pernikahn itu akan menundukan pandangan, menjaga kehormatan, dan brang siapa yang tidak mampu menhan nfsunya maka berpuasalah,karena dengan berpuasa dapat mengendalikan nafsu". (H.R Muttafaq'alaihi)

b. Sunnah. Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk menikah, akan tetapi masih dapat menahan dirinya untuk mendekati perbuatan

23

Imam Abi Husain Muslim Bin Hajjaj, Shahih Muslim, ( Mesir ; Daar Al- kutub Al


(31)

zina, maka sunnah baginya untuk menikah24. Namun jika ia sudah mampu untuk kawin dan mempunyai pencaharian untuk biaya hidup berkeluarga, maka segeralah untuk menikah, karena Nabi SAW suka kepada orang yang menikah dan mempunyai keturunan, agar beliau dapat membanggakan jumlah umatnya, Sebagaimana sabda nabi Muhammmad SAW :

-ﻥ

'z

'a

G

"

!

'`

0

W

A

-)

>

:

*

0

@

!

>

A

B

Q

%

A

-3

)

@

Q

:

{

(

I

Y

- %

Q1

1

3

#

,

,

!

>

:

+

P

Q

$

!

!

!

`

!

!

`

/

Uﻥ

W

.

(ﺙ

.

s

!

y

3

l

4

, Dﺡ L 0

ﺡ )77B

*

=

25

Artinya : Dari Annas bin Malik ra telah bersbda Rasulullah Saw kepada kami untuk segera menikah dan melarang keras untuk membujang, lalu Nabi bersabda:

" kawinlah kalian dengan wanita yang subur dan mempunyai kasih sayang. Maka sesungguhnya aku sangat bangga dengan umat ku yang mempunyai keturunan yang banyak pada hari kiamat " ( H.R . Ahmad bin hambal dan disahkan oleh Ibnu Hibban)

c. Haram. Seseorang yang ingin menikah akan tetapi tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan bathin serta nafsunya tidak mendesak maka haramlah ia kawin.26. Apabila seseorang menginginkan untuk menikah dengan niat

24

Abd. Rahman Ghadzali, Op.Cit,hal.19

25

Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary, Misbah ad-Dzulam Syarah Bulugh

al-maram min Adillah Al-Ahkam, CV. Annida. Bekasi,1995 M, Juz Ke 6, h.10.

26


(32)

menyakiti, menganiaya atau mempermainkan, maka ia haram mengawini wanita tersebut.27.

d. Mubah. Menikah di bolehkan bagi seseorang tau laki-laki yang tidak terdesak oleh alas an-alasan yng mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah28.

e. Makruh. Adapun nikah hukumnya makruh bagi seseorang laki-laki yang lemah sahwatnya dan dia mampu memberikan nafkah lahir bathin, maka lebih baik tidak menikah dahulu karena apbila ia menikah maka di kahawatirkan membawa kesengsaran bagi isterinya29. Mengenai hukum nikah menjadi makruh Imam Jalaluddin Al-Mahally Menjelaskan :

/

*

$

,

|

l

)

-2l

(

'y

(

'}

`

'

+

"

3

'

(

L

)

30

Artinya : " Maka jika seorang laki-laki mampu untuk kawin, kn tetapi laki-laki tersebut mempunyai illat(penyakit) seperti tua, Penyakit yang tidak kunjung sembuh atau impotent niscaya di makruhkan ia akan kawin".

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan.

Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Dari ketiga tujuan tersebut makna masing-masing diantaranya Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir

27

Bakri A Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum perkawinan Islam dan Hukum Perdata/BW,

( Jakarta; PT Hida karya Agung, 1998) h,22

28

Abd. Rahman Ghadzali Op.Cit.h,21

29 Ibid 30


(33)

dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup dengan kecukupan, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Ada beberapa tujuan dan hikmah perkawinan, diantaranya :

1. Pernikahan sebagai ibadah.

Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah, yang apabila di kerjakan mendapatkan balasan pahala, Ibadah dalam perkawinan bukan upacara-upacara ritual belaka seperti akad dan hubungan kelamin, tetapi ibadah di sini mencakup segala perilaku dalam seluruh kehidupan.31.

2. Untuk mempunyai keturunan yang sah dan penyambung cita-cita.

Dengan melakukan perkawinan umat manusia akan tetap berlangsung semakin banyak dan berkesinambungan, hingga tiba saatnya Allah mewariskan bumi dan makhluk-makhluk yang berada diatasnya. Tidak diragukan lagi bahwa didalam kelestarian dan kesinambungan ini terdapat suatu dorongan bagi para spesialis untukmeletakan metode-metode pendidikan dan dasar-dasar yang benar untuk mencapai keselamatan jenis manusia dari aspek moral dan fisikal secara berbarengan..32

Sebagaimana Firman Allah SWT :

31

Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta; PT Remelu Cipta,1992), Cet 4,

H.5.

32

Abullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (kairo ; drru-salam


(34)

3 .$ O

U .

"$

$ O .G Sﻥ

U .

"$ A

| A X D" *! i

V

/ 5 U3QH

U . O0 Y, Sﺡ

* (S.

4

7

b

~;:uj

=

Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?".Q.S, (An-Nahl )16:72

3. Melaksanakan libido seksualitas dan menghindari godan syaitan.

Kecenderungan cinta lawan sejenis dan hubungan seksual sudah ada dalam diri manusia atas kehendak Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu, tentu manusia tidak akan berkembang biak. 33.

Dalam hal ini Allah menjelaskan dalam Surat Annisa ayat 1 :

c

'Y, ﺡ 'z Sﻥ U .

dK Q .Q 0 ! Q+

Q

g

K Q A ! Q+ ITG ﻥ (3& R $0 D

Q•

$ O

) *! ITG + d

3 0 .3 - * A Q* y ﺡ0s

4

I G

b

8:;

=

Artinya : " Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.QS. (An-nisa) 4:1

Semua manusia baik laki-laki atau perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar intensitasnya saja yang berbeda. Dengan demikian, seorang laki-laki dapat

33

M.Ali hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, pada masalah-masalah kontemporer hokum


(35)

menyalurkan nafsu seksulnya kepada seorang perempuan yang sah begitu juga sebaliknya. 34

4. Untuk memperoleh keluarga bahagia yang penuh ketenangan,

Yaitu rumah tangga yang sakinah, mawadah,dan rahmah. Rasa cinta natra suami isteri, menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anaknya , adanya rasa kasih sayang dalam keluarga ini akan di rasakan pula dalam masyarakat, sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta kasih sayang. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT :

"$

3 ! .G 1U $ O .G Sﻥ

U . c

* ) + I

* (Q.S1 'y! U '5 s a W/ Q* lDﺡ0 YQ`!Q . 3

4

y (

b

<€:u;

=

Artinya : " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yangberfikir.Q.S.(Ar-rum) 21:31

C. Pengertian dan Sejarah poligami. 1. Pengertian poligami.

Kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu kata " poly" atau " polus" yang berarti banyak, dan dari kata 'gamei" atau " gamos" yang artinya kawin atau perkawinan. Maksudnya dari pengertian tersebut adalah laki-laki yang beristri lebih

34

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, ( Bandung : Cv Pustka Seti,1999),cet


(36)

dari satu orang wanita dalam suatu ikatan perkawinan. 35 Dalam kamus hukum bahwa poligami adalah ikatan perkawinan dimana salah satu atau pihak mempunyai atau menikah dengan beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda. 36

Pengertian dari makna tersebut mempunyai dua kemungkinan : Seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Adapun kemingkinan pertama di sebut polygini dan kemingkinan kedua disebut polyandry.37 Hal ini juga dikatakan oleh Abdul Rahim Omran dalam bukunya Family planning in the Legal of Islam, bahwa poligini menunjukan banyak isteri, poliandri banyak suami; poligami meliputi banyak suami ataupun isteri.38 Namun dalam perkembangan zaman terjadi pergeseran makna sehingga pengertian poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak. Sedangkan kata poligini sendiri tidak lazim dipakai.

2. Sejarah Poligami.

Pada dasarnya sistem poligami sudah ada sebelum Islam datang. Diantara negara-negara yang membudayakan dan menjalankan poligami, yaitu : Ibrani, Arab Jahiliyah, dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara-negara : Rusia, Lituania, Cekoslowakia, dan Yugoslavia, dan sebagian besar penduduk yang menghuni Negara-negara Jerman, Swiss, Belgia,

35

HM. Sufyan Raji Abdullah, poligami dan Esksensinya, ( Jakarta : CV. Cahaya esa, 2004),h.49.

36

Sudarsono, Kamus hukum,(Jakarta : Rineka Cipta,.2002 ), cet.ke-3 .h.364.

37

Achmad kuzari, Nikha Sebagai perikatan,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995).cet.ke-1 h.Persada,1995).cet.ke-159

38

Abdul Rahim Omran, Family planning in the Legal of Islam ( London: Routledge, 1992 ),cet ke-1.h.29)


(37)

Belanda,Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris.39 Jadi pendapat bahwa poligami itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Sebab bangsa Arab sebelum masa kedatangan Islam pun mengenal poligami Masih menurut beliau Sayid Sabiq, Bahwa poligami itu bukan hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika, India, China dan Jepang. Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia.

Berbicara mengenai latar belakang sejarah poligami, Seperti pada orang Median, orang babilonia, Assiria, dan bangsa parsipun tidak membatasi mengenai jumlah wanita yang dibolehkan kawin oleh seorang laki-laki. Seorang brahma berkasta tinggi, boleh mengawini wanita yang ia sukai. Poligami yang dialami oleh orang Israel sebelum zaman nabi Musa a.s. adalah meneruskan tersebut tanpa mengadakan pembatasan mengenai jumlah perkawinan yang boleh dilakukan seorang suami bangsa Ibrani. Pada zaman kemudian, Tamlud di Yerusalem membatasi jumlah perkawinan poligami sesuai dengan kemampuan suami untuk memelihara Isteri-isterinya dengan baik. Meski rabbi-rabbi menasihati supaya seorang laki-laki jangan mempunyai lebih dari empat orang isteri, berbeda dengan kaum karait yang menyatakan tidak ada pembatasan mengenai poligami. bagi orang Parsi, Agama memberikan hadiah kepada orang yang mempunyai isteri yang banyak. Pada

39


(38)

bangsa Sirria, Tunisia, yang digantikan, dikalahkan atau di binasakan oleh orang Israel, Poligami turun derajatnya menjadi kebinatangnya.40

Di Athena yang paling beradab dan paling tinggi kebudayaannya diantara semua bangsa zaman dahulu, harga wanita tidak lebih dari harga hewan yang biasa dijual dipasar dan diperjual belikan kepada orang lain, serta biasa diwariskan. Wanita dianggap sebagai suatu keburukan yang tidak biasa ditiadakan untuk mengatur rumah tangga dan melahirkan anak. Orang Athena dibolehkan menggambil isteri berapa saja yang ia mau. Demosthenes merasa senang bahwa rakyatnya mempunyai tiga golongan wanita, dua isteri sah, dan setengan sah.41

Sementara itu agama-agama sebelum Islam. Poligami sudah dipraktekkan oleh pengikut-pengikutnya. Bila kita menelaah kitab suci Agama Yahudi dan Nasrani, maka ia akan mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua nabi yang di jelaskan dalam Talmud, Perjanjian lama, dan Al Qur'an, semua nabi beristeri lebih dari seorang, kecuali nabi Isa. A.s dan apabila ia berusia lebih panjang mungkin juga akan melakukan, menerima cara yang sama seperti nenek moyangnya42

Adapun jazirah arab sebelum Islam, telah dipraktekkannya poligmi yang tanpa batas, dalam kitab Taurat terdapat, bahwa nabi Sulaiman A.s. mempunyai Isteri 700 orang perempuan merdeka dan 300 orang hamba sahaya. Mengenai Agama Nasrani, tidak ada teks kongkret yang melarang pengikutnya kawin dengan dua orang

40

Abd. Qadir jaelani, Keluarga sakinah, ( Surabaya: PT bina Ilmu, 1995) Cet.ke 1 hal 169.

41

Ibid,hal 170

42


(39)

perempuan atau lebih, kiranya mereka mau, maka poligami suatu hal pemimpin mereka dizaman dahulu, bahwa kawin dengan seorang permpuan saja lebih mudah untuk memelihara sisitem dan kesatuan keluarga.43

Menurut seorang ilmuan terkemuka berkata : Dalam hal perkawinan, Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada sampai abad ke 17 M. Bahkan banyak poligami yang tidak tercatat di Gereja maupun pemerintah. Lebih dari itu, sebagian sekte Kristen ada yang pindah tempat hanya untuk berpoligami. Pada tahun 1531 M, di Monster terdapat sekelompok orang yang bereteriak-teriak, agar menganjurkan penganut Kristen berpoligami.44

Kemudian Islam datang dalam kondisi di mana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan. Misalnya dengan mensyaratkan adanya keadilan dan kemampuan dalam nafkah. Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan poligami secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang isteri. Adanya poligami, namun poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan kesejahteraan.

D. Faktor Penyebab Poligami.

Di dalam Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat

43

Said Abd.Azizi Al-jandul, Wanita dibawah Naungan Islam,( Jakarta: CV Firdaus,1991) cet

ke 1 hal 70

44

Abduttawab Haikal. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami Dalam Islam VS


(40)

1 menyatakan :pada asasnya dalam suatu perkawinn seorang seorang pria hanya mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Dan dalam penjelasan Undang-undang tersebut bahwa undang- undang ini menganut Asas monogamy. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalm surat Al- Nisa Ayat 3 :

% & ITGU

U . ? V !7.ﻥ / % 13 W/ !HG +QR 1S *

a

.ﻥ D X .

Y, ﺡ !/ ! , "+QR 1 S *[ / \ 0 ]^ ﺙ

! !"+QR %ﻥ`

4

I G

8

b

<

=

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adi], maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.Q.S ( Annisa) 4 : 3

Dan juga di terangkan dalam surat Al- Nisa ayat 129 :

Q

! 3D+ ^ / 1 B(ﺡ ! ITG U

3 ! , "+ * !"3H1G +

0! Sx * A Q*[ / ! Q1+ !7 r + * l Q"D

| 0K 1/ 3D

D3ﺡQ0

4

I G

8

b

;u9

=

Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S (An-Nisa) 4:129

Dari kedua ayat tersebut diatas dengan jelas menyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah monogamy. Di dalam kebolehan perkawinan poligami dalam agama Islam, ada pengecualian yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang dapat


(41)

menjamin keadilan suami kepada isteri- isterinya terpenuhi, dan adapun syarat keadilan ini menurut surat an- nisa ayat 129 ialah keadilan dalam membagi cinta kasih, yang tidak dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu untuk perkawinan poligami, atau beristeri lebih dari satu, sepanjang persyaratan keadilan diantara isteri- isterinya dapat di penuhi dengan baik. Karena hukum Islam mengatur teknis bagaimana pelaksanaannya agar poligami dapat dillaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap isterinya maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dan merincinya. 45

Adapun alasan-alasan untuk mendapakan izin poligami yang dipedomani oleh Pengadilan Agama, ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-undang perkawinan :

Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat Fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan diantaranya :

(1) Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.

45

Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia. PT. Grafindo Persada, Jakarta CVet.6 2003 h.


(42)

(2) Isteri terbukti mandul. (3) Isteri sakit ingatan.

(4) Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri. (5) Isteri memiliki sifat buruk.

(6) Isteri minggat dari rumah.

(7) terjadinya peperangan sehingga banyaknya jumlah perempuan

(8) Kebutuhaan suami isteri lebih dari satu, dan jika tidak terpenuhi menimbulkan kemudhartan di dalam kehidupan dan pekerjaan.46

Melihat dari alasan-alasan yang di sebutkan diatas, adalah mengacu kepada tujuan pokok-pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan kompilasi hukum Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan dengan alasan-alasan terrtentu pula dalam kebolehan berpoligami, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh Undang-undang perkawinan bukanlah asas monogomi mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogamy yang tidak bersifat mutlak.47 Poligami di tempatkan pada status hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa ( extra ordinary circumstance). Di samping itu, lembaga poligmi tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim

46

Abdurrahman I. Do"I, Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah ( Syariah), Jakrta: Rajawali Pers,2002),h.193-195.

47

Yahya Hrahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading Co medan, 1975)


(43)

( Pengadilan ).48

Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 dalam Undang-undang perkawinan di nyatakan :Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihk-pihk yang bersangkutan.

Dengan isi dari ayat ini, jelas sekali undang-undang perkawinan telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, suatu yang tidak ada preseden

historisnya didalam kitab fikih.

E. Dampak poligami.

Jika kita mengkaji poligami, maka akan didapatkan bahwa poligami dilaksanakan dengan berbagai motivasi. Ada diantaranya bermotif penyaluran seksual, kemegahan diri, kebutuhan ekonomis, menata pembagian kerja, untuk memperoleh keturunan atau mempertahankan bahkan meningkatkan gen melalui regenerasi. Islam membolehkan poligami dalam kondisi dan syarat tertentu, dan di balik kebolehan perkawinan poligami, maka terdapat dampak negatif dan hikmahnya

diantaranya :

1. Timbulnya perasan Inferior, menyalahi diri sendiri, Isteri merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidak mampuan dirinya dalam memenuhi kebutuhan

biologis.

2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil pada isteri-isterinya, tetapi pada prakteknya, suami lebih

48


(44)

mementingkan isteri muda dan menelantarkan isteri dan anka-anaknya terdahulu. Akibatnya isteri tidak dapat memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi

kebutuhan sehari-hari.

3. Sering terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. 4. Sering terjadinya pernikahan di bawah tangan, yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil atau kantor KUA. Karena perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut Agama. Namun apabila terjadi perceraian maka yang di rugikan adalah pihak perempuan, Karen atidak ada bukti autentik yang menjadi bukti perkawinan

tersebut.

5. Terjangkitnya penyakit menular, karena sering gantiny pasangan maka menjadi rentan terhadap penyakit yang menular seperti virus HIV/AIDS. F. Hikmah Poligami

Selain ada akibat berpoligami, maka dalam Islam mempunyai ketentuan atau keharusan poligami mempunyai hikmah-hikmah untuk kesjahteraan umat Islam itu sendiri . Adapun hikmah dari poligami itu sendiri adalah49 :

1. Mengindari suami dari perzinahan. Karena wanita itu mempunyai tiga halangan yaitu Haid, nifas keadaan setelah melahirkan. Jadi, dalam keadaan seperti ini Islam mengharuskan suami untuk berpoligami, karena di

49


(45)

khawatirkan suami akan melakukan perzinahan apabila siterinya ada halangan menurut hukum syara'.

2. Untuk menyalurkan hubungan seks biologis yang berlebihan 3. Menghindari dari perceraian karena isteri mandul.

4. Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang tidak sah. 5. Memberikan perlindungan dan kehormatan kepada kaum wanita

G. Makna Keadilan Dalam Poligami

Surat al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.

Imam Syafi’i, az-Zarksy dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari 50. Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat :

Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri.

50

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad


(46)

Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil.Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain51

Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.

Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami.

Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi emapt orang istri menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya.

Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki ; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.

Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang.52

Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh

51

Abdurrahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta;

Rajawali Press. Hal :192

52


(47)

berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan : “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”(QS. An-Nisa ; 3). Muhammad Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.

Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia 53

M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat al-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4 al-Nisa’ :

53


(48)

]^ﺙ % & ITGU

U . ? V !7.ﻥ / % 13 W/ !HG +QR 1S *

! !"+QR %ﻥ` a

.ﻥ D X.

Y,ﺡ !/ ! ,"+QR 1S *[/ \ 0

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.Q.S ( An-Nisa4): 3

Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah adil dalam bidang immaterial(cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami54.

Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.

54


(49)

BAB III

PERJANJIAN PERKAWINAN POLIGAMI

A. Pengertian dan Dasar hukum Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian Perjanjian.perkawinan dan dasar hukumnya

Dalam literature fiqh klasik banyak ditemukan bahasan khusus dengan nama perjanjian dalam perkawinan. Yang ada dalam bahasan sebagian fiqh adalah Persyaratan dalam Perkawinan

Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan adalah perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus di penuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. Jadi perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum anatara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan pelaksanaan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu.55 Hal ini berarti bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah yang sudah sah, meskipun demikian, pihak-pihak yang dirugikan dari tidak memenuhi perjanjian tertsebut berhak meminta pembatalan perkawinan.

2. Dasar hukum Perjanjian

Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur mengenai perjanjian perkawinan yaitu dalam pasal 29. yakni isinya sebagai berikut :

55


(50)

(a). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mmengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(b). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

(c). Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(d). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.56

Mengenai penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta'lik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan aturan yang bertolak belakang yaitu :

(1). Calon suami istri dapat mengadakan perjanjin sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

(2). Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.

(3) Sighat taklik talak ditentukan oleh menteri Agama57

Dan juga dalam kompilasi hukum Islam juga memuat 8 pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 45 sampai 52. Adapun pasal 45 menyatakan :

56

Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 29

57


(51)

Kedua calon mempelai dapat menggandakan perjanjin perkawinan dalam bentuk : 1. taklik talak, dan

2. perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum Islam..

Jadi kesimpulannya perjanjian perkawinan yang di jelaskan dalam pasal 29 Undang-undang No.1 tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya diterapkan bahwa takik talaq termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.58

B. Hukum Membuat perjanjian.

Hukum membuat perjanjian dalam perkawinan adalah mubah, artinya seseorang dibolehkan membuat suatu perjanjian atau tidak. Kebolehan membuat perjanjian perkawinan di bolehkan asalkan tidak bertentangan dengan Agama, hukum Negara dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan Adat Istiadat. Adapun dalam hal melaksanakan atau memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainya. Bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi syarat tersebut kepada tiga bagian :

1. Syarat-syarat yang dilangsungkan berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami isteri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinn itu sendiri.

58


(52)

2. syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan itu secara khusus dilarang untuk dilakukan karena memberi mudaharat kepad pihak-pihak tertentu.

3. syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara' untuk dilakukan.59

C. Macam-macam sifat perjanjian

Lebih jauh mengenai perjanjian perkawinan ini, dapat di simpulkan macam-macam sifat perjanjian yaitu :60

1. Syarat-syarat yang mengguntungkan isteri. Mengenai hal ini berbeda pendapat ada yang membolehkan dan tidak. Dan sayid sabiq membolehkan si isteri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut. Dan sayid sabiq berkata :

/

!

#

(

m

QP

$

l

/

- %

,

QP

N

-O %

$

1

P

N

-3

B

QM

Qe

(

m

P

y

*

c

/

G

QP

N

e

(

m

61

Artinya : Apabila seseorang isteri menyaratkan pada waktu akad nikah, agar suaminya tidak kawin lagi, maka syarat tersebut sah dan mengikat, dan dia berhak menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjian tersebut.

59. Ibid

hal : 147

60

Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak di terbitkan), semarng : IAIN Walisongo, hal 109

61


(53)

2. Syarat-syarat apa yang bertentangan dengan apa yang di maksud akad itu sendiri. Seperti tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris mewarisi di antara suami isteri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua. Syarat-syarat tersebut tidak sah dan tidak mengikat.

3. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan hukum syara. Misalkan apabila pernikahan telah di langsungkan, maka masing-masing akan pindah Agama.

BAB IV

TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI

( Study Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:184/Pdt.G/2007/PA.Bks)


(54)

1. Dasar Hukum dan Sejarah.

Pengadilan Agama Bekasi pada masa penjajahan Belanda dan Jepang belum ada. Pengadilan Agama Bekasi mulai berdiri pada tahun 1950 berkantor di jalan Is Straat kampung Melayu Jatinegara dengan diketuai oleh Almarhum Bpk.Rd. H. Abu Bakar. Kemudian pengadilan Agama Bekasi diperintahkan oleh Departemen Agama untuk pindah ke Bekasi karena masalah hukum atau jatinegara bukan merupakan wilayah hukum kabupaten Bekasi. dahulu Bekasi sebelum terbentuk menjadi kabupaten tersendiri. Yaitu tunduk kepada daerah keresidenan.62

Setelah Pengadilan Agama Bekasi pindah ke Bekasi mengontrak rumah dirumah seorang anggota Pengadilan Agama Bekasi bernama H. ABDUL KADIR kurang lebih 3 tahun. Kemudian pindah kerumah JA'ANIH selama 15 tahun lalu pindah lagi kerumah MAJA selama 2 tahun dan terakhir pindah ke kantor Departemen Agama kabupaten Bekasi kurang lebih 3 tahun atau sampai tahun 1978.

Kemudian pada tahun 1979 melalui DIP tahun Anggaran 1978/1979 dibangun gedung balai siding pengadlan Agama Bekasi di Pimpin oleh bapak H. A. DZINUN, BA dan dibantu seorang panitera kepala bernama ROSNIDA R. BA.

Adapun ketua Pengadilan Agama Bekasi sejak berdiri sampai sekarang dipimpin oleh :

1. R. H. ABU BAKAR

2. R, H. SYAMSUDDIN

3. KIAI HASAN

62


(55)

4. K.H. PALANA

5. K.H. MUHAMMAD SOIJAN

6. K.H.MOH. ALI

7. K.H. A. DZINUN. BA.

8. Drs. H. A. NAWAWI ALI. SH.

9. Drs. H. M. SAMIDJAN. SH.

10. Drs. H. ZURRIHAN AHMAD. SH.

11. Drs. H. BUNYAMIN

12. Drs. H. BUNYAMIN ALAMSYAH

13. Drs. ENTUR MASTUR. SH

Merupakan suatu sejarah, bahwa Pengadilan Agama mempunyai peranan penting dalam proses pembinaan hukum Nasional. Pada zaman kesultanan : Demak, Pajang, Mataram, Banten, Pasai, dan Goa, Kesultanan di Maluku. Di samping raja selalu ada Penghulu Agama yang memberikan petunjuk pelaksanan hukum agama kepada raja, yang waktu itu belum ada pemisahan yang jelas antara pelaksan eksekutif dan yudikatif.

Pada zaman Belanda pengadilan Agama di pulau Jawa dan Madura diatur dalam Staasblad 1882 No. 152 yang dirubah dengan staatsblad 1937 No. 638 dan 639 Afdeling Banjarmasin. Yang mengatur pengadilan Agama dan Kerapatan Kodi di


(1)

penghasilannya menaggung :Nafkah, kiswah termpat kediaman bagi Isteri, Biaya rumah tangga, dan Pendidikan anak.

Dari atuiran tersebut isteri dapat memuntut suami apabila melanggar perjanjian dan tidak berbuat adil dari perkawinan poligami yaitu dengan mengganti pembiayaan nafkah yang tidak diberikan selama perkawinan. Suatu hukum yang menyangkut tentang kewajiban pasti terdapat implikasi bagi hukum yang dilanggar. Hakim dapat menentukan pembayaran nafkah tersebut. apabila keputusan-keputusan majlis hakim tidak di penuhi oleh tergugat, maka panitera dan juru sita Pengadilan Agama dapat mengeksekusi dengan cara menyita harta tergugat setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

4. Adapun upaya penyelesaian pelanggaran perjanjian poligami dalam kondisi seperti ini, isteri dapat menggambil tindakan hukum atas ketidakadilan yang terjadi, yaitu dengan cara menuntut pembatalan perkawinan kedua suaminya tentunya disertai dengan denda yang sudah ditentukan.

5. Dalam memutus perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi yaitu nomor 184/Pdt.G/PA.Bks. bahwa fakta-fakta dan alat bukti dan keterangan saksi-saksi yang ada, maka alas an Pemohon untuk beristeri lagi telah memenuhi syarat kumulatif sedangkan syarat alternative tidak terpenuhi

Apabila pemahaman poligami sudah di ubah maka tidak ada perceraian yang disebabkan karena poligam, dan tidak ada sunnah nabi yang menyebabkan perbuatan sunnah di benci oleh Allah, karena dalam perkawinan poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang semestinya didapat oleh seorang isteri.


(2)

B. Saran-saran.

1. Untuk menjaga agar kebolehan poligami bagi seseorang dan tidak digunakan oleh suami-suami yang kurang mengerti tentang tujuan perkawinan maka hakim Pengadilan Agama yang akan memutuskan perkara-perkara permohonan izin poligami di harapkan lebih teliti agar keadilan dalam perkawinan poligami bisa di terlaksana.

2. Untuk menjamin bahwa suami akan berlaku adil dan menjamin kebutuhan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka perlua adanya suatu lembaga yang dapat mengontrol perkawinan poligami tersebut.

3. Dalam melaksanakan perjanjian perkawinan poligami perlu adanya keterkaitan lembaga catatan sipil untuk menguatkan perjanjian tersebut.


(3)

Daftar Pustaka Al-Qur’an Al- Karim

Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, ( Bandung : Cv Pustka Seti,1999),cet ke-1

Azizi ,Said Abd Al-jandul, Wanita dibawah Naungan Islam,( Jakarta: CV Firdaus,1991) cet ke 1

Abi, Imam Husain Muslim Bin Hajjaj, Shahih Muslim, ( Mesir ; Daar Al- kutub Al- Arabiyah, 1981)

Al-Qulyubi, Syihabuddin dan Syekh umarah Jalaluddin Al-mahally, Qulyubywa Umairah. (maktabah Wa matba'ah Thaha putra semarang) juz 3

Ali, M hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, pd msalah-masalah kontemporer hokum Islam,( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,2000),ed.1,cet ke-4

Arto, Mukri. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,( Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003)

A, Bakri Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum perkawinan Islam dan Hukum Perdata/BW, ( Jakarta; PT Hidakrya Agung, 1998)

Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta; PT Remelu Cipta,1992), Cet 4

Al-Zuhili, Wahbah .Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, ( Beirut : Dar-Al-Fikr,1989),

Abdullah, HM. Sufyan Raji. poligami dan Esksensinya, ( Jakarta : CV. Cahaya esa, 2004),

Addary, Muhammad Muhadjirin Amsar. Misbah ad-Dzulam Syarah Bulugh al-maram min Adillah Al-Ahkam, CV. Annida Bekasi,1995 M, Juz Ke 6

Isa Muhammad Ibnu Saurah, Sunan Al-turmudzi, (Beirut; Dar Al- Fikr,1994) juz ke 2,

Do"I, Abdurrahman I. Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah ( Syariah), Jakarta: Rajawali Pers,2002)


(4)

Inilah Syariat Islam ( Jakarta Pustaka Panjimas,1999 )Cet. Ke 1

Ghadzali, Abd Rahman. fiqh Munakahat. (Jakarta Kencana,2003 ), cet. 1, Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading Co medan, 1975)

Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami Dalam Isalm VS Monogami barat,( Jakarta : CV Pedoman Ilmu jaya, 1993 )

munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Qomus Arab Indonesia, ( yogyakarta: Pondok Pesantren Al- Munawwir,1984),

Jaelani, Abd. Qadir. Keluarga sakinah, ( Surabaya: PT bina Ilmu, 1995) Cet.ke 1

Kuzari, Achmad Nikah Sebagai Perikatan, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995).cet.ke-1

Omran, Abdul Rahim. Family planning in the Legal of Islam ( London: Routledge, 1992 ),cet ke-1

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.Penerbit Bina Aksara. Jakarta. 1987

Rahman, Kholil. Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak di terbitkan), semarang : IAIN Walisongo

Rofik, Ahmad .Hukum Islam di Indonesia. PT. Grafindo Persada, Jakarta CVet.6 2003

Saleh, K. Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. 1976.

Sabiq, Sayyid. Fiqhu al- sunnah, ( Beirut : Dar El- fikr, 1983 ), jilid 2, Juz 6 Salam sholihin, Meninjau masalah poligami (bjakarta; Tinta Mas, 1959) Sudarsono, Kamus hukum,(Jakarta : Rineka Cipta,.2002 ), cet.ke-3

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang- undang perkawinan(Jakarta kencan,2006)


(5)

(6)