AnalisisHubunganKetimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS HUBUNGAN KETIMPANGAN DAERAH DENGAN TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA

OLEH

SERLY OKVIANTI 110501054

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 1990 - 2013, dan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui tingkat ketimpangan daerah, metode Granger Causality, dan Uji Kointegrasi.

Hasil dari Indeks Williamson di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2006-2013 menunjukan kecenderungan kenaikan.Pada tahun 2013 nilai indeks Williamson sebesar 1.5287 atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,5459. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Selanjutnya hasil dari uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan timbal balik antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara.Dan hasil dari uji Kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara.

Kata Kunci :Ketimpangan Daerah, Tingkat Kemiskinan, Granger Causality, Kointegrasi dan Indeks Williamson.


(3)

ABSTRACT

This research has a purpose to reciprocal relationship between regional inequality with poverty in Province North Sumatera regency. This research used secondary data as data time series started from 1990-2013, and using Williamson Indexs to know about regional inequality, Granger Causality method, and Cointegration test.

The result of the Williamson Indexs in Province of North Sumatera during the started from 2006-2010 showed predisposition rise. At 2013 Williamson Indexs value as big as 1,5287 or more increase be compared at 2004 as big as 0,5459. This inequality condition is worrying in view of Indexs nominal almost 1 show inequality is widening. Next the result from Granger Causality test found the reciprocal relationship between regional inequality with poverty in Province North Sumatera. And the result of Cointegration test showed variables regional inequality and poverty used in this study has a long term relationship between regional inequality and poverty.

Key Word: Inequality, Poverty, Granger Causality, Cointegration, and Williamson Indexs


(4)

KATA PENGANTAR

Terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, kesehatan, dan juga inspirasi kepada penulis dalam melengkapi skripsi ini yang berjudul “AnalisisHubunganKetimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara”, dan tidak lupa kepada Nabi Muhamad S.A.W yang memberikan cahaya dalam kehidupan penulis selama ini.

Skripsi ini ditulis untuk melengkapi tugas akhir Strata satu (S1) di Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.Alhamdulillah, penulis telah menyelesaikan skripsi ini.Sebenarnya ini tidak hanya sebuah usaha penulis sendiri, ada banyak tangan yang menolong penulisan dalam penyelesaian skripsi ini.

Dalam kesempatan ini seseorang yang sangat spesial bagi penulis, mama dan papa tercinta Bapak Muhamad dan Ibu Rubiati atas cinta, kasih sayang, doa dan dukungan selama masa belajar penulisan skripsi ini. Dan kepada kakak saya Afrilia Anggriani dan adik-adik saya, Pia dan Kevin, terima kasih banyak atas dukungan selama masa belajar penulisan skripsi ini. Dan tidak lupa saya ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr Azhar Maksum, SE., M.Ec., Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec. Selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, sekaliguspembanding I sayayang telah banyak memberikan dukungan dan masukan berupa saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini. Dan Bapak


(5)

Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Irsyad Lubis, S.E., M.Soc.Sc., Ph.D, selaku Ketua Program Studi S1

Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Paidi Hidayat, S.E., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberi masukan dari awal sehingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Dra. Raina Linda Sari, M.Si selaku dosen pembanding II yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan berupa saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, terutama Departemen Ekonomi Pembangunan. 6. Kepada seluruh teman-teman Ekonomi pembangunan 2011 serta kepada


(6)

Terakhir yang tak kalah penting, penulis tahu bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan dan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis akan senang menerima saran dan koreksi dari setiap pembaca untuk penulisan yang lebih baik.

Medan, 6 Mei 2015


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 6

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pembangunan Ekonomi ... 8

2.2 Pertumbuhan Ekonomi ... 10

2.3 Ketimpangan Daerah ... 12

2.4 Penyebab Ketimpangan Daerah ... 13

2.5 Pengukur Ketimpangan Antar Wilayah ... 18

2.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan ... 20

2.7 Teori Kemiskinan ... 22

2.8 Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan ... 25

2.8.1 Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan ... 25

2.8.1.1 Ciri-ciri Kemiskinan ... 25

2.8.1.2 Ukuran Kemiskinan ... 26

2.9 Hubungan Ketimpangan Dengan Kemiskinan ... 28

2.10 Penelitian Sebelumnya ... 30

2.11 Kerangka Konseptual ... 32

2.12 Hipotesis ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 34

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.3 Definisi Operasional... 34

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.5 Pengolahan Data... 35


(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Gambar Umum Provinsi Sumatera Utara... 40

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 40

4.1.2 Jumlah Penduduk ... 41

4.1.3 Perkembangan Perekonomian di Provinsi Sumatera Utara ... 42

4.1.4 Perkembangan Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Utara ... 45

4.1.5 Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara ... 50

4.2 Analisis Data ... 54

4.2.1 Hasil Estimasi ... 54

4.2.1.1 Hasil Uji Akar Unit... 54

4.2.1.2 Hasil Uji Koitegrasi ... 55

4.2.1.3 Hasil Uji Granger Causality ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan... 59

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual ... 32 4.1 Tipologi Antar Laju Pertumbuhan Ekonomi dan

Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi


(10)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara

2003-2013 (%) ... 42

4.2LajuPertumbuhanEkonomiKabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 44

4.3 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 46

4.4Indeks Williamson Provinsi Sumatera Utara Tahun 2004-2013 ... 51

4.5Indeks Williamson Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2013 ... 52

4.6 HasilPengujian ADF dan PP ... 55

4.7 HasilUji Kointegrasi dengan Metode Johansen ... 56


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No.Lampiran Judul Halaman

1 LajuPertumbuhanEkonomiKabupaten/Kota

Provinsi Sumatera Utara ... 63 2 PersentasePendudukMiskinKabupaten/Kota


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 1990 - 2013, dan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui tingkat ketimpangan daerah, metode Granger Causality, dan Uji Kointegrasi.

Hasil dari Indeks Williamson di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2006-2013 menunjukan kecenderungan kenaikan.Pada tahun 2013 nilai indeks Williamson sebesar 1.5287 atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,5459. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Selanjutnya hasil dari uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan timbal balik antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara.Dan hasil dari uji Kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara.

Kata Kunci :Ketimpangan Daerah, Tingkat Kemiskinan, Granger Causality, Kointegrasi dan Indeks Williamson.


(13)

ABSTRACT

This research has a purpose to reciprocal relationship between regional inequality with poverty in Province North Sumatera regency. This research used secondary data as data time series started from 1990-2013, and using Williamson Indexs to know about regional inequality, Granger Causality method, and Cointegration test.

The result of the Williamson Indexs in Province of North Sumatera during the started from 2006-2010 showed predisposition rise. At 2013 Williamson Indexs value as big as 1,5287 or more increase be compared at 2004 as big as 0,5459. This inequality condition is worrying in view of Indexs nominal almost 1 show inequality is widening. Next the result from Granger Causality test found the reciprocal relationship between regional inequality with poverty in Province North Sumatera. And the result of Cointegration test showed variables regional inequality and poverty used in this study has a long term relationship between regional inequality and poverty.

Key Word: Inequality, Poverty, Granger Causality, Cointegration, and Williamson Indexs


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah dikenal cukup lama di Indonesia.Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi.Ketimpangan pembangunan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah.

Ketimpangan timbul dikarenakan tidak adanya pemerataan dalampembangunan ekonomi.Ketidakmerataan pembangunan ini disebabkan karenaadanya perbedaan antara wilayah satu dengan lainnya.Hal ini terlihat dengan adanyawilayah yang maju dengan wilayah yang terbelakang atau kurang maju.Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampakpositif dari adanya ketimpangan adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkankesejahteraannya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan yang ekstrim antaralain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, sertaketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro,2003).

PDRB per kapita merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkatkesejahteraan penduduk di suatu provinsi, dimana jika semakin besar PDRBperkapitanya maka bisa diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan


(15)

masyarakatnya.Begitu juga sebaliknya apabila PDRB semakin kecil maka bisa diartikan semakinburuk tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Daerah tertentu yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripadadaerah lain akan menghadapi beban yang terus meningkat karena banyak penduduk daridaerah lain terus berpindah ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi karena adanya tarikanpeluang kesempatan kerja yang lebih banyak di daerah perkotaan tersebut.Daerahperkotaan secara terus menerus mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggikarena sumberdaya yang potensial terus berpindah ke daerah maju sebagai pusatpertumbuhan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.Kondisi ini selanjutnyamenyebabkan daerah pusat pertumbuhan mengalami akumulasi pertumbuhan yanglebih tinggi karena didukung oleh sumberdaya potensial yang telah berpindahtersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan denganrumus indeks Williamson, dapat diketahuitingkat ketimpangan di sembilan Provinsi diIndonesia selama tahun 2002-2011mengalami keaadan yang berfluktuasi. Bahwa antar Sembilan Provinsi di Indonesia selama periode 2002-2011 tingkat pemerataan pendapatan berada ditingkat ketimpangan sangat tinggi yaitu nilai indeks lebih besar dari 0,39 atau mendekati satu (1).Indeks williamson pendapatan terendah terdapat pada tahun 2002 dan 2010 yaitu sebesar 0,91. Dan yang paling tinggi terdapat pada tahun 2008 dengan nilai indeks williamson pendapatan sebesar 0,99.

Dan tingkat ketimpangan pendapatan perkapita masyarakat Sumatera Utara berdasarkan Indeks Gini/Lorenz Curve, rationya adalah moderat yakni sebesar 0,362. Ini mengindikasikan bahwa disparitas pendapatan di Sumatera Utara masih


(16)

lebih besar bila dibandingkan dengan Gini Ratio Nasional yang berada pada angka 0,33.

Disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama periode 2000-2010 yang dihitung menggunakan Williamson Index menunjukkan kecenderungan kenaikan. Pada tahun 2010, Williamson Index untuk Provinsi Sumatera Utara tercatat sebesar 0,7148 atau jauh meningkat dibandingkan tahun 2000 yang hanya sebesar 0,5749. Kondisi disparitas pendapatan ini cukup mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang semakin mendekati 1 menunjukkan disparitas yang semakin lebar.

Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari proses pembangunan yang merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan mendominasi pengaruh yang menguntungkan terhadap pertumbuhan daerah. Selain pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar wilayah, proses pembangunan juga bertujuan untuk menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran.

Masalah kemiskinan merupakan hal yang sangat serius dan menjadi ketakutan tersendiri bagi daerah yang kondisi perekonomiannya yang masih tertinggal.Strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak selalu di ikuti oleh penurunan kemiskinan, bahkan sebaliknya dapat diikuti oleh membengkaknya kemiskinan. Selain itu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat yang hanya mengandalkan kemampuan fisik tanpa diikuti oleh perubahan


(17)

pola pikir akan menjadikan masyarakat tidak memiliki pandangan bahwa peningkatan kesejahteraan ekonomi dapat dilakukan melalui human investment.

Kemiskinan mengindikasikan bahwa sebagian anggota masyarakat yang belum ikut serta dalam proses perubahan karena tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam kepemilikan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai. Akibatnya kelompok ini tidak mendapat manfaat dari proses pembangunan.

Dalam perkembangan perekonomian, Sumatera Utara sejak masa krisis ekonomi tahun 1998 terus mengalami perbaikan dengan ditandai oleh pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yang terus mengalami peningkatan, tapi juga banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat. Permasalahan yang masih menonjol adalah kemiskinan dan ketimpangan perkembangan antar sektor-sektor ekonomi.Sumatera Utara memiliki 25 kabupaten dan 8 kota, memiliki sumber daya alam yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan sumber daya alam ini telah dipertajam pula oleh perbedaan tingkat pengetahuan mengenai pengolahan kekayaan alam, sehingga tidak dapat dielakkan lagi terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah.

Pada bulan Maret 2014 di Indonesia jumlah penduduk miskin sebesar 28,28 juta orang, bila dibandingkan dengan September 2013 terjadi penurunan dari 28,60 juta orang dan prensentasenya juga menurun dari 11,46 menjadi 11,25 persen (Kepala BPS; Suryamin, 2014).


(18)

Nampaknya tidak ada yang meragukan keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan.Namun terdapat berbagai macam pandangan mengenai pola keterkaitan tersebut. Sebagian ekonom memandang bahwa hubungan antara keduanya merupakan hubungan kausal secara timbal balik: ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya, pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan (Kaldor, 1960; Jha, 1999; Barro, 2000; Svedberg, 2002; dan Bourguignon, 2004 dalam Agussalim, 2010).

Ravallion (1997), Son dan Kakwani (2003), dan Bourguignon (2004) dalam (Agussalim, 2010) melakukan review hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan dan ketimpangan, dan mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi. Dengan kata lain, negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan yang sedang, apalagi rendah dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan relatif tidak signifikan.

Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan.Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang yang semakin lebar, maka implikasi kebijaksaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat (Suryana, 2000: 29 dalam Fadilla, 2008).

Pembangunan yang telah berjalan di Sumatera Utara berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 1,97 juta atau 15,66 % pada tahun 2006 turun menjadi 1.42 juta atau 10,83 % pada tahun 2011. Adapun untuk angka penduduk


(19)

di Sumatera Utara yang berada di atas garis kemiskinan setiap tahun terus mengalami perbaikan, dimana pada tahun 2008 sebesar 87,45%, tahun 2009 sebesar 88,47%, tahun 2010 sebesar 86,69%, tahun 2011 sebesar 89,17% dan tahun 2012 menjadi 89,59%. Namun banyak juga yang harus dilalukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Persoalan yang masih menonjol adalah kemiskinan dan ketimpangan antar sektor-sektor ekonomi (sumutprov.go.id).

Dari uraian diatas pertumbuhan ekonomi antar sektor tersebut bermuara pada munculnya masalah ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Utara.Dan dari pola pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan antar wilayah dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap tiga aspek tersebut. Dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian melalui penulisan skripsi dengan judul “Analisis Hubungan Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat digunakan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang akan dilakukan, antara lain:

1. Bagaimana tingkat ketimpangan antardaerahdi Sumatera Utara? 2. Bagaimana tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara?

3. Apakah terdapat hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian


(20)

1. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan antar daerah di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara.

1.4. Manfaat penelitian

1. Secara akademis, peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkulihan dan penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan dan referensi bagi mahasiswa/i Ekonomi Pembangunan.

2. Penelitian ini dapat menjadiharapan kepada pemerintah daerah provinsi Sumatera Utara sebagai bahan pertimbangan dalam rangka meyempurnakan strategi-strategi pembangunan dan memberikan pemikiran dalam upaya memperkecil ketimpangan antar daerah di provinsi Sumatera Utara.

3. Dari hasil penelitian ini dapat mengetahui hubungan yang terjadi antara ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan dan pengaruhnya terhadap perekonomian di provinsi Sumatera Utara.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yangmenyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalamjangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).Menurut Meier (1995) dalam Kuncoro (2006), pembangunan ekonomi merupakansuatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurunwaktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah “Garis Kemiskinan Absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatantidak semakin timpang. Peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjangmerupakan kunci dalam melihat suatu pengertian pembangunan ekonomi, dalam (Dhyatmika, 2013).

Suatu proses pembangunan tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai.Menurut Todaro (2006) proses pembangunan paling tidak memiliki tiga tujuaninti yaitu 1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barangkebutuhan hidup yang pokok; 2) peningkatan standar hidup; dan 3) perluasanpilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Disamping memiliki tujuan inti,pembangunan secara garis besar memiliki indikator-indikator kunci yang padadasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu indikator ekonomi danindikator sosial. Yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP


(22)

perkapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index (HDI) dan Physical Quality Life Index (PQLI) atau indeks mutu hidup (Kuncoro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013).

Pembangunan regional mengacu pada pertumbuhan dan perubahan di berbagai aspek dalam suatu daerah. Menurut Meier (1995), pembangunan ekonomi merupakan”suatu proses dimana pendaptan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang dengan catatan jumlah penduduk yang hidup di bawah ‘garis kemiskinan absolute” tidak dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (dalam kuncoro, 2010). Karena merupakan suatu proses, pembangunan ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan perubahan (growth plus change) dalam perubahan struktur ekonomi dan perubahan kelembagaan. Perubahan struktur ekonomi dapat dicontohkan ketika ada perubahan dari pertanian menuju industri dan jasa.Sedangkan perubahan kelembagaan terjadi melalui reformasi kelembagaan itu sendiri.

Arsyad (2010) dalam (Dhyatmika, 2013), mengartikan pembangunan ekonomi daerah sebagai suatuproses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yangada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsangperkembangan ekonomi dengan wilayah tersebut.

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembanguan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk


(23)

dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru (Arsyad, 2010) dalam (Dhyatmika, 2013).

Menurut Arsyad (2010) keadaan sosial ekonomi yang berbeda disetiap daerah akan membawa implikasi bahwa cakupan campur tangan pemerintah untuktiap daerah berbeda pula.Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah,mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan daerah. Ekspansi ekonomi suatudaerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain,karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan, akan pindah kedaerah yangmelakukan ekspansi tersebut seperti yang diungkapkan Myrdal (1957) dalamJhingan (2010) mengenai dampak balik pada suatu daerah.

Menurut Gant (1971) dalam Pakhpahan (2009) ada dua tahap dalam tujuan pembangunan yaitutahap pertama bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan.Jika tujuan ini sudahtercapai maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagiwarganya untuk mencukupi segala kebutuhannya.

Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akanmenyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.


(24)

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatanmasyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikanseluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).

Perhitungan pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam hargaberlaku.Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalamharga konstan.Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktorproduksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, danteknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerahtersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambahyang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transferpayment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapataliran dana dari luar wilayah.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu dari indikator keberhasilan suatu proses pembangunan ekonomiyang terjadi pada suatu negara atau wilayah. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya salah satu syarat dari banyak syarat yang diperlukan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan kapasitas penawaran atau produksi barang dan jasa yang berdasarkan pada peningkatan teknologi, penyesuaian ideologi dan kelembagaan yang dibutuhkan. Sedangkan pembangunan ekonomi mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan dan alokasi sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi


(25)

kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh (Todaro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013).

Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari faktor-faktor yangmempengaruhi. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo,Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik sepertiRobert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empatfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2)jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkatteknologi yang digunakan, sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yangmenyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi atau wiraswasta(entrepreneur) (Pratama, 2010). Suatu perekonomian dikatakan mengalamipertumbuhan atau bekembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Kuncoro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013).

2.3. Ketimpangan Daerah

Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat.Sebab ketimpangan antar wilayah disebabkan adanya perbedaan faktor anugerah awal (Endowmwnt Factor).Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda,sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sadono, 1997 dalam Andono, 2011).

Menurut Mydral (1957) dalam Andono (2011), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antara daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang


(26)

merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan kesenjangan antar daerah (Arsyad,1999). Adelman dan Moris (1973) berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan di daerah ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukan oleh ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi structural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi (Mudrajad, 1999).

2.4. Penyebab Ketimpangan Daerah

Myrdal (1957) dalam Fadilla (2008) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999).

Menurut Neo-Klasik Ketimpangan Pembangunan Wilayah terjadi karena adanya perbedaansumberdaya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap daerah adalah berbeda-beda.HipotesaNeo-Klasik merupakan dasar teoritis terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah.Termasuk dalam hal ini adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengujianterhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah


(27)

akanberkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik berpendapat bahwa dalam awal pembangunan yangdilaksanakan di negara yang sedang berkembang justru ketimpangan meningkat, hal inidikarenakan pada saat proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang,kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerahyang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangatterbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan sarana dan prasarana sertarendahnya kualitas sumber daya manusia.Selain faktor ekonomi, faktor sosial-budaya juga turutmempengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal. 1976) dalam (Harun, 2012).

Pembangunan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembangaan dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemertaan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain yaitu:

a. Distribution Income Disparities;

Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk, yaitu

1) Gini Index


(28)

Dimana:

Pi = % kumulatif jumlah penduduk; Qi = % kumulatif jumlah pendapatan; Gi = 0, perfect Equality;

Gi = 1, perfect inequlity.

2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat.

3) Kriteria Bank

Berdasarkan kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi 3 kategori yaitu:

- 20% penduduk pendapatan tinggi; - 40% penduduk pendapatan sedang; - 40% penduduk pendaptan rendah.

b. Reginal Income Disparities;

Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.

Beberapa perbedaan antara wilayah dapat dilihat dari beberapa persoalan seperti, potensi wilayah, pertumbuhan ekonomi, investasi (domestik dan asing), luas wilayah, konsentrasi industry, transportasi, pendidikan, budaya dan sebagainya (Sirojuzilam, 2010).

Lipshitz (1996) melakukan kajian tentang ketimpangan regional di Canada menyatakan bahwa ketimpangan terjadi sebagai akibat dari adanya internal


(29)

migration yang tidak saja menyebabkan bertambahnya jumlah tempat tinggal (residen) akan tetapi juga terhadap mutu atau kualitas mereka (Sirojuzilam, 2010).

Banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar tentang bagaimana ketimpangan terjadi dalam proses pembangunan. Kuznets (1955) membuat suatu hipotesis U terbalik (inverted U curve) yang menyatakan bahwa pada awal pembangunan ditandai oleh ketimpangan akan semakin meningkat, namun setelah mencapai pada suatu tingkat pembangunan tertentu ketimpangan akan menurun (Sirojuzilam, 2010).

Disisi lain banyak pula pakar mengatakan adanya trade off diantara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. Fei dan Ranis (1964), Kuznets(1966), Adelman dan Moris (1973) menyatakan bahwa disparitas atau ketimpangan pendapatan ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang diindikasikan oleh luas wilayah (negara), sumber daya alam sebagai endowment factordan kebijakan yang dilaksanakan(Sirojuzilam, 2010).

Meluasnya ketimpangan antara wilayah kuat dan lemah dalam fase awal pembangunan bersumber dari keberadaan efek crowding-out antar wilayah kuat dan wilayah lemah dalam bentuk(Nopriansyah, 2010):

1. Emigrasi tenaga kerja skill wilayah yang relatif lemah ke wilayah yang lebih kuat;

2. Arus masuk kapital ke wilayah kaya karena permintaan yang lebih tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan pelayanan publik dan potensi pasar, kondisi lingkungan yang lebih baik bagi perusahaan;


(30)

3. Alokasi investasi publik lebih besar ke wilayah kuat dalam merespon permintaan potensial dan aktual;

4. Keterbatasan perdagangan sumberdaya antar wilayah sehingga pada tahap awal, perkembangan yang terjadi wilayah kaya tidak menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah miskin.

Menurut(Tambunan,2003) dalam Nopriansyah (2010) beliau berkesimpulan faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di indonesia adalah sebagai berikut:

a) Kosentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan kosentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh cepat. Sedangkan kosentrasi kegiatan ekonomi rendah akan cenderung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

b) Alokasi investasi

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar adanya korelasi positif antara investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, kurangnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan dan pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah. Karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

c) Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah.

Kurang lancarnya mobilitas produksi seperti L dan K antar provinsi juga terjadinya ketimpangan ekonomi regional.


(31)

d) Perbedaan SDA.

Dasar pemikiran klasik sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakat lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA.

e) Perbedaan kondisi sosial demografis antar wilayah.

Ketimpangan ekonomi regional di indonesia juga di sebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antar provinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakadan etos kerja.

f) Kurangnya lancarnya perdagangan antar provinsi.

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah merupakan unsur yang menciptakan ketimpangan ekonomi regional di indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi.

2.5. Pengukur Ketimpangan Antar Wilayah

Mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau daerahbukanlah hal yang mudah karena hal ini akan dapat menimbulkan perdebatan yang panjang.Namun pada umumnya metode yang lazim digunakan dalam mengukur ketimpanganpembangunan antar wilayah adalah dengan menggunakan metode Williamson Index.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan adalahWilliamson Index. Dalam Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnya adalah


(32)

coefficient of variation yanglazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagaipenghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang pertama kali menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

1. Williamson Index (Vw)

Williamson Index adalah suatu ukuran yang digunakan agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai dinikmati secara merata diantara wilayah dalam suatu negara. Pemerataan dapat dilihat melalui indeks williamson yang menunjukkan nilai mendekati 1 maka pembangunan semakin tidak merata, dan sebaliknya jika mendekati 0 maka pembangunan semakin merata.

Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Y

n Fi Y Yi

VW =

( − ) / 2

Dimana:

VW : Koefisien ketimpangan

Yi : Pendapatan perkapita di daerah Y : Pendapatan perkapita provinsi Fi : Penduduk di daerah

N : Jumlah penduduk

2. Indeks Entropy Theil

Indeks lain yang juga lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah Theil Index. Data yang diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang diperlukan untuk menghitung williamson index yaitu PDRB per kapita untuk setiap wilayah dan jumlah


(33)

penduduk. Demikian pula halnya dengan penafsiran yang juga sama yaitu bila indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila indeks mendekat 0 artinya sangat merata. Sedangkan formulasi Theil Index (Td) adalah sebagai berikut:

{

y Y

} {

y Y

} {

n N

}

Td ij ij

n

i n

j

ij / log / / /

1 1

∑∑

= =

= Dimana:

yj : PDRB perkapita per provinsi ke-j xj : jumlah penduduk per provinsi ke-j Y : PDB nasional

X : jumlah penduduk nasional

Namun demikian, penggunaan Theill Index sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihitung ketimpangan propinsi dan kabupaten/kota serta antar propinsi, kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitung kontribusi (dalam persentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.

2.6.Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006 : 253) mengatakan bahwa pada tahapawal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk(ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi


(34)

pendapatanakan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets“U-terbalik” (Hipotesis Kuznets).

Dalam hal ini, pembuktian hipotesis Kuznets dilakukan dengan membuatgrafik antara pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan(IndeksWilliamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebutmenunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa padatahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan padatahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktuketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya.

Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapapada tahap-tahap awal pembangunan ditribusi pendapatan cenderung memburuk,namun kemudian membaik.Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannyadengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut modelLewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yangmempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitasterhitung tinggi.

Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhanberkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring denganperkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomianmodern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yangmuncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurunkarena penawaran tenaga terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidakterdidik menurun. Jadi, walaupun


(35)

Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yangdapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebutkonsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihatbahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpanganpendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan netopada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurvaKuznets masih patut dipertanyakan.

Terlepasdari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunantetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunanketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.

2.7. Teori Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuanindividu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak.Pengertian lainnya Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawahgaris nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (povertythreshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiapindividu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori perorang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Usaha pembangunan yang dilakukan tidak lain bertujuan untuk memperbaiki sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi upaya itu


(36)

terkadang kurang dapat dilaksanakan dengan baik atas beberapa kendala, sehingga tidak urung menimbulkan masalah yaitu kemiskinan (Sirojuzilam, 2008).

Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan.Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memilikisasaran dan target yang jelas. Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tigakategori, yaitu 1) Kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidakdapat memenuhi kebutuhan dasarnya), 2) Kemiskinan relatif (situasi kemiskinan di atasgaris kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatukomunitas), dan 3) Kemiskinan struktural (kemiskinan ini terjadi saat orang ataukelompok masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai adabantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut) dalam (Achmad firman, Linda Herlina).

Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut Friedman (Suharto, dkk, 2004:6), basis kekuasaan sosial meliputi (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (kopersi, parta politik, organisasi sosial), (d) jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup(Agus, 2014).

Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk,2004). David Cox (2004: 1-6) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi (Agus, 2014):


(37)

a. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengalah. Pemanang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

c. Kemiskinan sosial: kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas.

d. Kemiskinan konsekuensial: kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut SMERU (Suharto, 2004) (Agus, 2014), kemiskinan memiliki berbagai dimensi:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan trasnportasi).

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).


(38)

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupunmental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002: 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold).Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002 : 4) dalam(Agus, 2014).

2.8.Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan 2.8.1 Ciri-ciri Kemiskinan


(39)

1. Mereka yang tidak mempunyai faktor produksi sendiri (sperti modal dan keterampilan);

2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki asset produksi dengan kekuatan sendiri;

3. Rata-rata pendidikan mereka rendah;

4. Sebagian besar mereka tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai buruh tani b. Menurut Juoro, (1985: 8), golongan miskin yang tinggal di kota ialahmereka

yang hidup di suatu perekonomian yang biasa disebut slum. Mereka bukanlah gelandangan karena mempunyai pekerjaan, tempat tinggal, aturan hidup bermasyarakat dan memiliki aspirasi.

c. Menurut Tumanggor dalam Ismail (1999: 3), ciri-ciri masyarakat yangberpengahasilan rendah/miskin adalah :

1. Pekerjaan yang menjadi mata pencarian mereka umumnya merupakanpekerjaan yang menggunakan tenaga kasar;

2. Nilai pendapatan mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlahjam kerja yang mereka gunakan;

3. Nilai pendapatan yang mereka terima umumnya habis untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari;

4. Karena kemampuan dana yang sangat kurang, maka untuk rekreasi,pengobatan, biaya perumahan, penambahan jumlah pakaian semuanya itu hampir tidak dapat dipenuhi sama sekali.


(40)

Pada umumnya terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan relatif (Tulus, 2011 dalam Andono (2011).

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolute merupakan ketidakmampuan seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya mencukupi kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap hari.Kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subjektif. Mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif.Kemiskinan relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. a. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan


(41)

persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan.Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu.

b. Menurut Bank Dunia

Suatu masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapitanyasetara dengan 1/3 dari pendapatan nasional per kapita.

c. Menurut BAPPENAS Tahun 1990, kemiskinan diukur dengan menggunakan ukuran dasar barang setara dengan 30 Kg beras per kapita per bulan untuk masyarakat perkotaan (Zadjuli, 1993: 9).

d. Ukuran kemiskinan juga sering dihubungkan dengan Kebutuhan layakHidup (KHL) per kapita atau Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) perkapita Masyarakat. (BPS: 2001).

2.9. Hubungan Ketimpangan Dengan Kemiskinan

Masalah pokok Negara berkembang, Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan atau tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.

Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan : a. Pertumbuhan;


(42)

c. Struktur ekonomi.

Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam:

Log Gkt= α + βLog Wkt+ αt + ∑kt

Dimana:

Gkt :Indeks gini untuk wilayah k pada periode t

Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t

αt :Efek lokasi yang tetap

∑kt :Term kesalahan

Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.

g :efek bruto (ketimpangan konstan)

l :efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) b :elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan d :elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan

maka,

Λ = γ + βδ

Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan:

Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt

Dimana:

Pkt : Kemiskinan diwilayah k pada periode t Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t

Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t

Wk : efek-efek yang tetap vkt :term kesalahan


(43)

Studi empiris di LDC’s menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu.

2.10. Penelitian Sebelumnya

Jurnal penelitian yang di tulis oleh Lia Maharani Fadilla (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara”.Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel jumlah penduduk (JP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.Sedangkan variable PDRB berpengaruh negatif dan signifikan dan pengeluaran pemerintah (PP) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.

Lukman Harun dan Ghozali Maski (2012) yang berjudul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah”.Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari Pengeluaran Pemerintah Daerah danPertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah di seluruh kabupaten dankota di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2007-2011. Ketimpangan Pembangunan Wilayah sebagaivariabel dependen diukur dengan menggunakan metode pengukuran Indeks Williamson.Berdasarkan tujuan tersebut metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis


(44)

regresidata panel dengan pendekatan Random Effect Model.Hasil empiris penelitian ini menunjukkan bahwa Pengeluaran Pemerintah Daerahberpengaruh negatif dan signifikan terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah danPertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ketimpangan PembangunanWilayah.

Nopriansyah (2010) yang berjudul “Analisis Hubungan Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jambi Periode Tahun 2000-2009“Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat di ketahui bahwa tingkat ketimpangan antar daerah di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009 berada pada Vw 0,477 – Vw 0,406 dengan rata-rata 0,417. Tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi pada periode tahun 2000-2009 di Provinsi Jambi memiliki presentase sebesar 4,85 – 4,44 dengan rata-rata 6,31. Perkembangan penduduk miskin di Provinsi Jambi pada periode ini mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Berdasarkan hasil korelasi antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan dengan mengunakan perhitungan person memiliki hubungan positif antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan dan mempunyai tingkat hubungan yang sedang dengan koefisien korelasi person sebesar 0,552.

Berdasarkan hasil penelitian dengan mengunakan perhitungan kausalitas dan mengunakan program microfit antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009 adanya hubungan positif antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan sebesar (4,1458>2,228), artinya H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukan bahwa


(45)

tingkat ketimpangan antar daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemisikinan di Provinsi Jambi. Sebaliknya dengan mengunakan alat analisis yang sama bahwa tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan antar daerah juga memiliki hubungan yang positif sebesar (2,5998>2,228), artinya H0 ditolak dan

Ha diterima. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh

signifikan terhadap tingkat ketimpangan antar daerah di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009.

2.11. Kerangka Koseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota

Pendapatan Perkapita

Ketimpangan Antar Daerah

Tingkat Kemiskinan

Kesejahteraan Masyarakat


(46)

2.12.Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban yang disusun oleh penulis yang kemudian akan diuji kebenarannya melalui penelitian yang akan dilakukan, hipotesis nya adalah:

1. Terdapat hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara.

2. Terdapat pengaruh yang positif antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara.


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari buku referensi, jurnal, penelitian terdahulu, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Sumatera Utara.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatra Utara dengan kurun waktu di bulan Desember sampai dengan selesai.

3.3. Definisi Operasional

1. Ketimpangan Daerah (VW), Ketimpangan antar wilayah diukur dengan menggunakan rumus Indeks Williamson dengan kisaran 0-1.

2. Tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara serta Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 1990-2013.

3. Pertumbuhan ekonomi ialah besarnya laju pertumbuhan PDRB di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 1990-2013.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan.Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data-data yang bersumber dari jurnal,


(48)

buku-buku, artikel, skripsi, internet dan lain-lain yang berhubungan dengan topik yang diteliti.

3.5. Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer E-Views 5.0 untuk mengolah data dalam skripsi.

3.6. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi yang di pilih oleh penulis yaitu di Provinsi Sumatera Utara dan menurut data BPS (2013) jumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara adalah 33 kabupaten/kota.

3.7. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan Granger Causality Test. Digunakan metode ini adalah untuk melihat hubungan kausalitas antar ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinandi Sumatera Utara.Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengujian terhadap perilaku data runtun waktu (time series) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat bagi digunakan metode Granger Causality Test.

Sebelum dilakukan estimasi terhadap metode Granger Causality Test diatas, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Uji akar unit (Unit roots test)

Sebelum melakukan uji kointegrasi dan uji granger causality dengan menggunakan data time series, maka perlu dilakukan uji stasioner terhadap seluruh variable yang ada dalam penelitian. Pengertian stasioner terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Data time series dikatakan


(49)

stasioner jika data tersebut tidak mengandung akar-akar unit (unit root). Secara sederhana suatu data stasioner akan bergerak stabil dan konvergen disekitar nilai rata-rata dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa pergerakan tren positif maupun negatif. Apabali data time series tidak stasioner maka model yang tepat bagi data time series tersebut adalah model regresi kesalahan atau ECM (Error Correction Model).

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji akar-akar unit (unit roots test) yang bertujuan untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit roots atau tidak. Jika variabel tersebut mengandung unit roots, maka data tersebut dikatakan data yang tidak stasioner.

Terdapat beberapa metode pengujian untuk uji akar unit dan diantarannya adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips Perron (PP), adapun model dari uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dengan intercept (β1) dapat dinyatakan sebagai berikut:

m

∆Yt= β1+ δYt-1+ α1∑ ∆Yt-1+ εt ……… (1)

i=1

Sedangkan model untuk uji Phillips Perron (PP) dengan intercept (β1) adalah: ∆Yt= β1 + λYt-1 + εt………. (2)

Kedua uji dilakukan dengan hipotesis null δ = 0 untuk ADF dan λ = 1 untuk

PP. Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik ADF dan PP yang diperoleh dari nilai t statistik δ dan λ dengan nilai kritis statistik dari Mac Kinnon. Jika nilai absolute statistik ADF dan PP lebih besar dari nilai kritis Mac Kinnon maka data stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner.


(50)

2. Uji Kointegrasi (Cointegrasi test)

Uji kointegarsi bertujuan untuk melihat hubungan jangka panjang antara 2 variabel atau lebih.Maka uji kointegrasi ini bertujuan untuk mengetahui ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang atau tidak dengan menggunakan Johansen test.Johansen dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel, maka Johansen menyarankan untuk melakukan 2 uji statistik.

Uji statistik pertama adalah uji trace (trace test, λtrace) yaitu menguji Ho yang

mengsyaratkan bahwa jumlah dari arah kointegrasi adalah kurang dari atau sama dengan pdan uji ini dapat dilakukan sebagai berikut:

p

λtrace(r) = T∑ in (1-λi) ……… (3) i=r+i

dimana λr+1, …….. λn adalah nilai eigenvectors terkecil (p – r). Null hypothesis

yang disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan banyaknya r. dengan kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau sama dengan (≤) r, dimana r = 0,1,2 dan seterusnya.

Uji statistik yang keduaadalah uji maksimum eigenvalue (λmax) yang

dilakukan dengan formula sebagai berikut:

λmax(r, r + 1) = T in (1- λr+1) ………..(4)

Uji ini menyangkut kepada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vektor kointegrasi yang berlawanan (r+1) dengan vektor kointegrasi.Untuk melihat


(51)

hubungan kointegarsi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilat Tracestatistic dan Max Eigen statistik dibandingkan dengan nilai critical value pada tingkat kepercayaan 5 persen.

3. Uji Granger Causality (Granger Causality test)

Uji ini digunakan untuk melihat hubungan kausalitas atau timbal balik diantara dua variabel penelitian sehingga dapat diketahui apakah kedua variabel tersebut secara statistik saling mempengaruhi (hubungan dua arah atau timbal balik), memiliki hubungan searah atau sama sekali tidak ada hubungan (tidak saling mempengaruhi). Model yang digunakan untuk menguji Granger Causality test sebagai berikut:

m n

KTt = ∑ ə1 KT t-1 + ∑ bj TKt-j + µt ………... (5)

i=1 j=1

r s

TKt = ∑ c1 KT t-1 + ∑ dj TKt-j + vt ……… (6)

i=1 j=1

dimana Ut dan Vt adalah error terms yang diasumsikan tidak mengandung korelasi serial dan m = n = r = s. Berdasarkan hasil regresi dari kedua bentuk model regresi linear di atas akan menghasilkan 4 kemungkinan mengenal nilai koefisien-koefisien regresi dari persamaan (5) dan (6) adalah sebagi berikut:

n s

1. Jika ∑ bj ≠ 0 dan ∑ dj = 0, maka terdapat kausalitas satu arah dari Y ke X.

j=1 j=1

n s

2. Jika ∑ bj = o dan ∑ dj ≠ 0, maka terdapat kausalitas satu arah dari X ke Y.

j=1 j=1

n s


(52)

j=1 j=1

n s

4. Jika ∑ bj≠ 0 dan ∑ dj ≠ 0, maka terdapat kausalitas dua arah antara Y dan X.

j=1 j=1

Untuk memperkuat indikasi keberadaan berbagai bentuk kausalitas seperti yang disebutkan diatas maka dilakukan F-test untuk masing-masing model regresi.


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambar Umum Provinsi Sumatera Utara 4.1.1. Lokasi dan Keadaan Geografis

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia. Provinsi ini berbatasan dengan daerah perairan dan laut serta dua provinsi lain: di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, di sebelah Timur dengan Negara Malaysia di Selat Malaka, di sebelah Selatan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagaian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, baik di bagian barat maupun bagian timur pantai Pulau Sumatera. Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah kabupaten Mandailing Natal dengan luas 6.620,70 km2 atau sekitar 9,23% dari total luas Sumatera Utara, diikuti kabupaten Langkat dengan luas 6.263.29 km2 atau 8,74%, kemudian kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,60 km2 atau sekitar 6,12%. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 km2 atau sekitar 0,02% dari total luas wilayah Sumatera Utara.Sumatera Utara memiliki kabupaten/kota sebanyak 33 kabupaten/kota.


(54)

4.1.2 Jumlah Penduduk

Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Kepadatan penduduk pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km2kemudian pada tahun 2000 meningkat menjadi 161 jiwa per km2 dan selanjutnya pada tahun 2010 menjadi 188 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 % per tahun, dan pada tahun 2000-2010 menjadi 1,22 % per tahun.

Pada tahun 2013 penduduk Sumatera Utara berjumlah 13.326.307 jiwa yang terdiri dari 6.648.190 jiwa penduduk laki-laki dan 6.678.117 jiwa perempuan atau dengan ratio jenis kelamin/sex ratio sebesar 99,55.

Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara mengalami perubahan dari tahun 1999-2010. Akibat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, penduduk miskin tahun 1999 meningkat tajam menjadi 1,97 jiwa atau sebesar 16,74 % dari total penduduk Sumatera Utara. Pada tahun 2003 terjadi penurunan penduduk miskin secara absolut maupun secara persentase, yaitu menjadi 1,89 juta jiwa atau 15,89 %, sedangkan tahun 2004 jumlah dan persentase turun menjadi sebanyak 1,80 juta jiwa atau 14,93 %, kemudian pada tahun 2005 penduduk miskin turun menjadi 1,84 juta jiwa (14,68%), namun akibat dampak kenaikan harga BBM pada bulat Maret dan Oktober 2005 penduduk miskin tahun 2006 meningkat menjadi 1,98 juta jiwa (15,66%).

Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1,77 juta atau 13,90 %. Angka ini menurun pada tahun 2008 menjadi 1,61 juta jiwa atau 12,55 %. Pada tahun 2009 angka kemiskinan ini kembali turun menjadi 1,50 juta jiwa


(55)

atau 11,51%. Selanjutnya pada bulan September 2013 jumlah penduduk miskin menjadi 1,39 juta jiwa atau 10,39 %.

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Sumatera Utara 2003-2013 (%)

No. Tahun Angka

1 2003 15,89

2 2004 14,93

3 2005 14,68

4 2006 15,66

5 2007 13,90

6 2008 12,55

7 2009 11,51

8 2010 11,31

9 2011 10,83

10 2012 10,41

11 2013 10,39

Sumber: BPS SUMUT

4.1.3Perkembangan Perekonomian di ProvinsiSumatera Utara

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator membaiknya ekonomi Sumatera Utara.Pertumbuhan ekonomi juga merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijakan pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.

Perekonomian Sumatera Utara tumbuh sebesar 5,07% pada tahun 2009. Kemudian pertumbuhan perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2010-2011 meningkat menjadi 6,35% dan 6,63%. Pada tahun 2012 perekonomian Sumatera Utara menurun menjadi 6,22%, kemudian pada tahun 2013 menurut drastis menjadi 6,01%.

Perkembangan dan pertumbuhan di Kabupaten/Kota Sumatera Utara mengalami perkembangan yang cukup besar. Pada tahun 2009 pertumbuhan


(56)

ekonomi di Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang tertinggi ialah Kota Gunung Sitoli sebesar 7,45%, diikuti Kabupaten Nias Utara sebesar 6,69%, Kota Medan sebesar 6,56% serta Kabupaten Mandailing Natal sebesar 6,41%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kabupaten Nias Selatan sebesar 4,08%. Untuk tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang tertinggi ialah Kota Medan sebesar 7,16%, diikuti Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 6,77%, Kabupaten Nias sebesar 6,75% serta Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar 6,74%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kabupaten Nias Selatan sebesar 4,12%.

Untuk tahun 2011 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang tertinggi ialah Kota Medan sebesar 7,69%, diikuti Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar 6,81%, Kabupaten Nias Barat sebesar 6,76% serta Kabupaten Nias Utara sebesar 6,68%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kabupaten Nias Selatan sebesar 4,46%.

Untuk tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang tertinggi ialah Kota Medan sebesar 7,63%, diikuti Kota Tebing Tinggi sebesar 6,75%, Kota Binjai sebesar 6,61% serta Kabupaten Mandailing Natal sebesar 6,41%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kabupaten Batu Bara sebesar 4,37%.

Selanjutnya untuk tahun 2013 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang tertinggi ialah Kabupaten Deli Serdang sebesar 12,79%, diikuti Kota Tebing Tinggi sebesar 6,91%, Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar


(57)

6,85% serta Kota Binjai sebesar 6,48%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kabupaten Batu Bara sebesar 3,35%.

Berikut tabel pertumbuhan PDRB kabupaten/kota dan PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga konstan tahun 2009-2013 (%).

Tabel 4.2

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga konstan tahun 2009-2013(%)

No Kabupaten/ Kota 2009 2010 2011 2012 2013

1 Nias 6,04 6,75 6,61 6,24 6,43

2 Mandailing Natal 6,40 6,41 6,40 6,41 6,41

3 Tapanuli Selatan 4,05 5,06 5,27 5,74 5,21

4 Tapanuli Tengah 5,76 6,15 6,27 6,35 6,85

5 Tapanuli Utara 4,98 5,56 5,54 6,95 6,05

6 Toba samosir 5,30 5,73 5,26 5,52 5,14

7 Labuhanbatu 4,88 5,15 5,72 6,13 6,00

8 Asahan 4,67 4,97 5,37 5,57 5,83

9 Simalungun 4,92 5,12 5,81 6,06 4,48

10 Dairi 4,72 5,02 5,28 5,44 5,46

11 Karo 5,17 6,03 6,57 6,35 4,72

12 Deli Serdang 5,42 5,98 6,01 6,06 12,79

13 Langkat 5,04 5,74 5,84 6,05 5,97

14 Nias Selatan 4,08 4,12 4,46 5,78 5,16

15 Humbang Hasundutan 5,32 5,45 5,94 5,99 6,03

16 Pakpak Bharat 5,83 6,77 5,98 6,02 5,86

17 Samosir 5,10 5,59 5,96 6,07 6,46

18 Serdang Bedagai 5,92 6,14 5,98 6,00 5,97

19 Batu Bara 4,30 4,65 5,11 4,37 3,35

20 Padang Lawas 5,72 5,53 6,39 6,31 6,12

21 Padang Lawas Utara 5,14 6,74 6,81 6,38 6,13

22 Labuhan Batu Selatan 4,94 5,61 6,13 6,33 6,05

23 Labuhan Batu Utara 5,29 5,68 6,21 6,38 6,33

24 Nias Utara 6,69 6,73 6,68 5,88 6,25

25 Nias Barat 5,92 6,28 6,76 4,93 5,81

26 Sibolga 5,70 6,04 5,09 5,35 5,80

27 Tanjungbalai 4,17 4,93 4,86 4,98 4,52


(58)

29 Tebingtinggi 5,95 6,07 6,67 6,75 6,91

30 Medan 6,55 7,16 7,69 7,63 4,30

31 Binjai 5,87 6,07 6,56 6,61 6,48

32 Padangsidimpuan 5,83 5,74 5,88 6,23 6,20

33 Gunung Sitoli 7,45 6,73 6,46 6,33 6,35

Sumatera Utara 5,07 6,35 6,63 6,22 6,01 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumut

4.1.4 Perkembangan Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Utara

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara mengalami penyusutan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebesar 11,51%, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 11,31% tetapi pada tahun 2011 mengalami sedikit kenaikan sebesar 11,33%. Kemudian pada tahun 2012-2013 jumlah penduduk miskin kembali mengalami penurunan sebesar 10,67% dan 10,06%.

Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2013 mengalami fluktuasi yang sangat tidak menggembirakan. Jumlah penduduk miskin untuk Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yangtertinggi pada tahun 2009 adalah Kabupaten Nias sebesar 22,57%, untuk tahun 2010 persentase nya naik menjadi 33,87% di Kabupaten Gunung Sitoli. Dan pada tahun 2011-2012 mengalami penurunansebesar 32,12% dan 30,84% di Kota Gunung Sitoli, kemudian tahun 2013 jumlah persentase penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 30,94 % di Kabupaten Gunung Sitoli dan Nias Utara.


(59)

Untuk jumlah penduduk miskin Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang terendah pada tahun 2009-2013 adalah Kabupaten Deli Serdang. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebesar 5,17%, dan pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 5,34%. Kemudian pada tahun 2011-2013 mengalami penurunan menjadi 5,10% , 4,78% dan 4,71%.

Tabel 4.3

Persentase Penduduk MiskinKabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara tahun 2009-2013 (%)

No Kabupaten/ Kota 2009 2010 2011 2012 2013

1 Nias 22,57 19,98 19,11 18,67 17,28

2 Mandailing Natal 13,02 12,6 11,98 11,57 9,62

3 Tapanuli Selatan 12,67 11,96 11,40 11,10 11,33

4 Tapanuli Tengah 17,83 16,74 15,96 15,03 15,41

5 Tapanuli Utara 13,1 12,5 11,89 11,55 11,68

6 Toba samosir 10,07 10,15 9,67 9,43 9,54

7 Labuhanbatu 9,85 10,67 10,15 9,61 8,53

8 Asahan 12,09 11,42 10,85 10,52 11,60

9 Simalungun 12,67 10,73 10,21 9,96 10,45

10 Dairi 10,03 9,97 9,48 9,28 8,68

11 Karo 11,42 11,02 10,49 9,93 9,79

12 Deli Serdang 5,17 5,34 5,10 4,78 4,71

13 Langkat 12,75 10,85 10,31 10,02 10,44

14 Nias Selatan 22,19 20,73 19,71 19,04 18,83

15 Humbang Hasundutan 11,31 10,61 10,09 9,72 10,00

16 Pakpak Bharat 13,99 13,81 13,16 12,4 11,28

17 Samosir 17,55 16,51 15,67 15,16 14,01

18 Serdang Bedagai 9,51 10,59 10,07 9,89 9,35

19 Batu Bara 12,87 12,29 11,67 11,24 11,92

20 Padang Lawas 11,9 11,13 10,56 9,80 8,59

21 Padang Lawas Utara 11,83 11,19 10,64 9,98 10,28

22 Labuhan Batu Selatan - 15,58 14,86 13,85 12,36

23 Labuhan Batu Utara - 12,32 11,17 11,34 11,34

24 Nias Utara - 31,94 30,44 29,49 30,94

25 Nias Barat - 30,89 29,32 28,56 29,65


(60)

27 Tanjungbalai 17,1 16,32 15,52 14,85 14,85

28 Pematangsiantar 12,25 11,72 11,15 10,79 10,93

29 Tebingtinggi 14,58 13,06 12,44 11,93 11,74

30 Medan 9,58 10,05 9,63 9,33 9,64

31 Binjai 7,04 7,33 7,00 6,72 6,75

32 Padangsidimpuan 9,77 10,53 10,08 9,60 9,04

33 Gunung Sitoli - 33,87 32,12 30,84 30,94

Sumatera Utara 11,51 11,31 11,33 10,67 10,06 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumut

Gambar 4.1

Tipologi Antar Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

Sumber: pengolahan spss

II

I

III

IV


(61)

Dari gambar diatas di hitungmetode kuadran daerah masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dan masing-masing kabupaten/kota dapat diketahui posisinya pada kuadran berapa kabupaten/kota itu berada.

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa proporsi persebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tidak merata yaitu berada pada Kuadran II (1 Kabupaten) dan Kuadran III (32 Kabupaten).Sedangkan pada Kuadran I dan Kuadran IV belum ada satupun Kabupaten/Kota yang mencapai kondisi tersebut di tahun 2013.

Apabila dianalisis lebih lanjut, Kabupaten/Kota yang berada pada Kuadran II adalah Kabupaten/Kota Deli Serdang (12).Posisi ini menggambarkan daerah maju tapi tertekan. Karena pada tahun 2013 tingkat kemiskinan Kabupaten Deli Serdang sebesar 4,71 sedangkan Laju Pertumbuhan Ekonomi sebesar 12,79 ini dikarenakanangka kemiskinan di Deli Serdang tidak terlepas dari gencarnya pemkab setempat merealisasikan sejumlah program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas hingga ke pelosok desa.

Pemkab Deli Serdang juga bekerja sama dengan masyarakat dan sektor swasta berhasil merealisasikan sejumlah paket pembangunan, termasuk sarana infrastruktur jalan raya dan sarana pendidikan.Deli Serdang saat ini telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai kawasan jasa, perdagangan dan industri.Deli Serdang hingga saat ini masih mengandalkan potensi ekonomi di sektor pertanian pangan dan perkebunan. (sumber: Theglobejournal).


(62)

Sedangkan pada Kuadran III ditempati pada Kab. Nias Barat (25), Kab. Nias Utara (24),Kab. Nias (1), Kab. NiasSelatan (14) dan Kab.Tapanuli Tengah (4).Kab. Mandailing Natal (2), Kab. Tapanuli Selatan (3), Kab. Tapanuli Utara (5), Kab. Toba Samosir (6), Kab. Labuhanbatu (7), Kab. Asahan (8), Kab. Simalungun (9), Kab. Dairi (10), Kab. Karo (11), Kab. Langkat (13), Kab. Humbang Hasundutan (15), Kab. Pakpak Bharat (16), Kab. Samosir (17), Kab. Serdang Bedagai (18), Kab. Batu Bara (19), Kab. Padang Lawas (20), Kab. Padang Lawas Utara (21), Kab. Labuhanbatu Selatan (22), Kab. Labuhanbatu Utara (23), Kota Sibolga (26), Kota Tanjungbalai (27), Kota Pematangsiantar (28), Kota Tebingtinggi (29), Kota Medan (30), Kota Binjai (31), Kota Gunung Sitoli (33), dan Kota Padangsidimpuan (32), posisi ini menggambarkandaerah berkembang cepat.

Pada tahun 2013 32 Kabupaten/Kota memiliki tingkat kemiskinan berada diantara 5% – 35 % dan Laju Pertumbuhan Ekonomi nya berada pada 3% - 8%. Kabupaten/Kota yang tingkat kemiskinan nya tertinggi adalah Kota Gunung Sitoli Sebesar 30,94disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah, cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal-hal baru, mentalitas dan etos kerja yang kurang baik, keadaan alam yang kurang mendukung, keterisoliran secara geografis dari pusat, tiadanya potensi atau produk andalan, dan rendahnya kinerja dan budaya korupsi aparatur pemerintah daerah.


(63)

Sedangkan Laju Pertumbuhan terendah berada pada Kabupaten Batu bara sebesar 3,35 ini dikarenakan oleh sumber daya manusiaKabupaeten Batubara belum benar-benar berkualitas dan pembangun ekonomi yang kuat agar menjadi tumbuh melalui peningkatan peranserta, produktivitas rakyat, dan efisiensi yang selanjutnya menjadi kekuatan dinamis masyarakat yang memungkinkan pembangunan berkelanjutan. Selain itu pembangunan Batubara juga diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah kecamatan, dan desa, dari berbagai bidang sektor untuk percepatapembukaan pembangunan, terutama di daerah pesisir.

4.1.5 Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara

Untukmemberikan gambaran terhadap ketimpangan daerah antar di Sumatera Utara, maka alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson (Vw).Ketimpangan pendapatan Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2004-2013 yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Provinsi Sumatera Utara menunjukan kecenderungan peningkatan.

Pada tahun 2013 nilai indeks Williamson provinsi Sumatera Utara sebesar 0,7923 atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,5459. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.

Tingginya tingkat ketimpangan ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam perkembangan ekonomi antar wilayah yang memiliki aktifitas ekonomi yang berbeda di setiap wilayah dan tidak semua daerah mempunyai daya tarik yang mendorong investor menanamkan modalnya sehingga distribusi pendapatan


(64)

antar daerah tidak merata.Ketidakmerataan distribusi pendapatan yang diterima masyarakat menjadi salah satu penyebab ketimpangan antar daerah pada tahun tersebut.

Ketimpangan antar wilayah dapat di tekan kenaikannya dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan baru pada wilayah kurang berkembang, munculnya penanaman modal investasi pada sektor wilayah tersebut sehingga dapat mendukung perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. Perkembangan sarana transportasi akan membantu mobilitas masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga ketimpangan antar daerah menyusut.

Tabel 4.4

Indeks Williamson Provinsi Sumatera Utara Tahun 2004-2013

No Tahun Indeks Vw

1. 2004 0,5459

2. 2005 0,6487

3. 2006 0.6627

4. 2007 0,6570

5. 2008 0,7216

6. 2009 0,7254

7. 2010 0,7148

8. 2011 0,6748

9 2012 0,7719

10. 2013 0,7923


(1)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Laju Pertumbuhan Ekonomi dengan Tingkat Kemiskinan memiliki hubungan 2 arah, yakni Laju Pertumbuhan Ekonomi mempengaruhi Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Kemiskinan mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil estimasi dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:

1. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara mengalami penyusutan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebesar 11,51%, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 11,31% tetapi pada tahun 2011 mengalami sedikit kenaikan sebesar 11,33%. Kemudian pada tahun 2012-2013 jumlah penduduk miskin kembali mengalami penurunan sebesar 10,67% dan 10,06%. 2. Diketahui bahwa proporsi persebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Utara tidak merata yaitu berada pada Kuadran II (1 Kabupaten) dan Kuadran III (32 Kabupaten). Sedangkan pada Kuadran I dan Kuadran IV belum ada satupun Kabupaten/Kota yang mencapai kondisi tersebut di tahun 2013.

3. Ketimpangan pendapatan Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2004-2013 yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Provinsi Sumatera Utara menunjukan kecenderungan kenaikan. Pada tahun 2013 nilai indeks Williamson provinsi Sumatera Utara sebesar 0,7923 atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,5459. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.


(3)

4. Darihasil Uji Kointegrasi terdapat hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara. 5. Dari hasil uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan timbal balik

antara ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara. 5.2 Saran

Dari beberapa kesimpulan diatas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Sumatera Utara, maka perlu peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sehingga menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dan untuk daerah-daerah yang terisolir, diperlukan infrastruktur yang merata disetiap daerah sehingga akan mengurangi tingkat kemiskinan serta mengurangi ketimpangan antar daerah.

2. Beberapa kebijakan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi dengan lebih memperhatikan aspek pemerataan. Tingginya ketimpangan antar wilayah cenderung disebabkan pada daerah yang termasuk dalam kuadran I. Maka dari itu pemerintah daerah harus lebih serius untuk menangani disparitas pendapatan dengan kebijakan lebih bervisi pada: Kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pada daerah yang relatif tertinggal (daerah pada kuadran 4) tanpa mengabaikan daerah yang sudah maju dan tumbuh pesat pada kuadran 1 dan Pembangunan sektor-sektor potensial yang telah menjadi sektor basis di masing-masing daerah.


(4)

3. Dimana pemerintah daerah sebaiknya lebih banyak lagi mempromosikan potensi ekonominya kepada para investor. Untuk mengurangi ketimpangan perlu diamati secara cermat sektor ekonomi mana yang perlu dikembangkan untuk memperkecil gap aktivitas perekonomian antar wilayah. Untuk daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang tinggi dapat lebih memaksimalkan penggunaan sumber daya alam tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sementara untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai dapat mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi pada sektor lain yang potensial di daerah tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agussalim, 2010.Pertumbuhan dan Kemiskinan (Sanggupkah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki Ketimpangan Dan Mereduksi Kemiskinan?).

Andono, Ari Widi, 2011. Analisis Faktor Penentu Dan Tingkat Ketimpangan Ketimpangan Kemiskina Antar Wilayah Di Indonesia Periode 2007-2009. SKRIPSI Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara dalam Angka 2013.

Baldwin, Robert E, 1986. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di negara-negara Berkembang, PT.Bina Aksara.

Dhyatmika, Ketut Wahyu, 2013. Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi Banten Pasca Pemekaran. SKRIPSI Universitas Diponegoro, Semarang. Fadilla, Lia Maharani, 2008. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten

Pemekaran Di Sumatera Utara. Skripsi FE USU, Medan.

Fakultas Ekonomi UI. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan.

Harun, Lukman dan Ghozali Maski, 2012.Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah (Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur).Jurnal FEB Universitas Brawijaya.

Kuncoro, Mudrajad, Ph.D, 2009. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi 3, Erlangga, Jakarta.

Leksono, S,E., M.S. , Prof. Dr. Ir. Sonny, 2013. Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi : Dari Metodologi ke Metode, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta. Mahyudi, Akhmad, 2004. Ekonomi Pembangunan & Analisis Data Empiris,

Ghalia Indonesia.

Maryanti, Sri, 2009. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Dan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Riau. Jurnal FE Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru.

Nopriansyah, 2010.Analisis Hubungan Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jambi Periode 2000-2009.Skripsi FE Unja.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2010.Pedoman Praktis Penggunaan Eviews Dalam Ekonometrika, USU Press, Medan.

Putra, Linggar Dewangga, 2011. Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa tengah


(6)

Sirojuzilam dan Kasyful Mahali, 2010.Regional (Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi), USU Press, Medan.

Sirojuzilam, SE, 2008. Disparitas Ekonomi & Regional, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Sjafari, Agus, 2014. Kemiskinan dan Pemberdayaan Kelompok, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sjafrizal, 2012.Ekonomi Wilayah Dan Perkotaan, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 2011. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan, Kencana, Jakarta.

Sumutprov.go.id

Tjiptoherijanto, Dr Prijono, 1987. Perspektif Daerah Dalam Pembangunan

Nasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,

Jakarta.

Yeniwati, 2013.Ketimpangan Ekonomi Antar Provinsi Di Sumatera.Jurnal FE Universitas Negeri Padang, Padang.