Analisis Determinan Tingkat Kemiskinan Penduduk Kabupaten Karo Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS DETERMINAN TINGKAT KEMISKINAN

PENDUDUK KABUPATEN KARO

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

SODES SEMBIRING

087018061/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S E K

O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

ANALISIS DETERMINAN TINGKAT KEMISKINAN

PENDUDUK KABUPATEN KARO

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascsarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SODES SEMBIRING

087018061/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN TINGKAT KEMISKINAN PENDUDUK KABUPATEN KARO DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Sodes Sembiring Nomor Pokok : 087018061

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Drs. Rujiman, M.A)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Syaad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

Tanggal lulus : 4 Januari 2011


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 4 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 2. Drs. Rujiman, M.A

3. Dr. Rahmanta, M.Si

4. Irsyad Lubis, M.Soc.Sc., PhD 5. Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: “Analisis Determinan Tingkat Kemiskinan Penduduk Kabupaten Karo di Sumatera Utara”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Januari 2011 Yang membuat pernyataan,

Sodes Sembiring NIM. 087018061


(6)

ABSTRAK

Selama 30 tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus.

Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan akan membantu pembuat kebijakan memastikan atau mengetahui dampak kebijakan ekonomi terhadap kemiskinan. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Dengan menggunakan model, penelitian ini di ketahui secara bersama-sama beberapa variabel dengan periode 1989 sampai dengan 2008 yakni inflasi, pengangguran, anggaran kesehatan, dan pajak daerah mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin, sedangkan inflasi, pengangguran, dan pajak daerah berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.


(7)

ABSTRACT

In the past 30 years, the government of Indonesia has made many efforts to tackle poverty via sectoral, regional, and institutional approaches as well as through the use of specific strategies and policies.

Understanding about determinant factors of poverty will help policy maker to ensure that the poor get benefit from the economic policy. In general, this research aim to analyze the changes of determinant factors of poverty in Karo regency of North Sumatera. Using the model, this study found that in community factor there are some variables have change from 1989 to 2008, the variables are inflation, unemployment, government expenditure for health, and tax.

The simulation results show that government expenditure for health is able to decrease poverty in Karo regency, but inflation, unemployment, and tax is able to increase poverty in Karo regency.


(8)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang dapat penulis ucapkan, selain puji syukur yang sangat dalam kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena limpahan rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul: Analisis Determinan Tingkat Kemiskinan Penduduk Kabupaten Karo di Sumatera Utara.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Sudah tentu dalam penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Syaad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas


(9)

motivasi dan kesempatan yang diberi kepada kami untuk menyelesaikan pendidikan program magister.

4. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si dan Bapak Drs. Rujiman, M.A., sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat dibimbingnya dalam penulisan tesis ini dan meluangkan waktu, pemikiran dan arahannya kepada penulis.

5. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Irsyad Lubis, M.Soc.Sc., Ph.D, dan Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, sebagai Komisi Pembanding yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan XVI dan sebelumnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah mendorong dan memberikan bantuan moril kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Bapak Inspektur pada Inspektorat Kabupaten Karo dan rekan-rekan seluruhnya yang memberikan dukungan moril kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Kedua orang tua saya yang sangat saya sayangi dan hormati yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan moril serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.


(10)

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memberikan dorongan baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.

Mudah-mudahan penulisan tesis ini dapat memberikan banyak manfaat sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidang ekonomi pembangunan khususnya bagi rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang akan menyusun penulisan tesis. Akhir kata semoga segala usaha dan niat baik yang telah kita lakukan mendapat berkat dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Medan, Januari 2011 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Sodes Sembiring 2. Agama : Kristen Protestan

3. Tempat/Tgl. Lahir : Tigapanah, 09 September 1981 4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

5. Nama Orang Tua

Ayah : N. Sembiring Ibu : R. Br Ginting 6. Pendidikan

a. SD Inpres Desa Bunuraya Kabupaten Karo : Lulus Tahun 1994 b. SMP Maria Goretti Kabanjahe : Lulus Tahun 1997 c. SMAN 1 Kabanjahe : Lulus Tahun 2000 d. S-1 Ekonomi Universitas Sumatera Utara : Lulus Tahun 2004 e. Sekolah Pascasarjana USU : Lulus Tahun 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 11

1.3. Tujuan Penelitian... 11

1.4. Manfaat Penelitian... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Definisi Kemiskinan... 13

2.2. Mengukur Kemiskinan... 16

2.3. Penyebab Kemiskinan... 18

2.4. Program Penanggulangan Kemiskinan... 18

2.5. Mengukur Distribusi Pendapatan... 20

2.6. Inflasi... 21

2.6.1. Penyebab Inflasi... 21

2.6.2. Penggolongan Inflasi... 23

2.6.3. Mengukur Inflasi... 24

2.7. Pengangguran... 25

2.8. Pengeluaran Pemerintah... 27

2.8.1. Model Human Capital dan Pertumbuhan... 30

2.8.2. Mekanisme Transmisi Investasi Publik... 30

2.9. Pajak Daerah dan Kebijakan Fiskal... 32

2.10. Peneliti Terdahulu... 35

2.11. Kerangka Pemikiran... 37

2.12. Hipotesis... 38

BAB III METODE PENELITIAN... 39

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 39

3.2. Jenis dan Sumber Data... 39

3.3. Model Analisis Data... 39


(13)

3.5. Definisi Operasional Variabel ... 41

3.6 Uji Kesesuaian Model (Test of Goodness of Fit)…….. 42

3.6.1. Koefisien Determinasi R2... 42

3.6.2. Uji F-Statistik ... 42

3.6.3. Uji t-Statistik ... 43

3.7. Uji Asumsi Klasik... 44

3.7.1. Uji Multikolinearitas... 44

3.7.2. Uji Autokorelasi……... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

4.1. Deskripsi Wilayah Kabupaten Karo………. 47

4.1.1. Wilayah dan Iklim... 47

4.1.2. Kependudukan... 48

4.1.3. Penduduk Miskin... 49

4.2. Gambaran Pendidikan Penduduk Kabupaten Karo... 50

4.3. Gambaran Ketenagakerjaan di Kabupaten Karo... 52

4.3.1. Tingkat Partisipsi Angkatan Kerja (TPAK)... 52

4.3.2. Lapangan Pekerjaan... 53

4.4. Gambaran Inflasi Kabupaten Karo... 54

4.5. Gambaran Kesehatan Penduduk Kabupaten Karo... 56

4.5.1. Angka Kesakitan... 56

4.5.2. Angka Harapan Hidup... 56

4.5.3. Angka Kematian Bayi... 56

4.6. Gambaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kabupaten Karo... 57

4.7. Analisis Pembahasan Pengujian Hipotesis... 59

4.8. Koefisien Determinasi (R2)... 61

4.9. Uji Parsial (uji t)... 61

4.10 Uji Serempak (Uji F)... 63

4.11. Uji Asumsi Klasik... 63

4.11.1. Uji Multikolinieritas... 63

4.11.2. Uji Autokorelasi... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA... 69


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Karo Tahun 2003

s/d 2008 ... 6 1.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/

Kota di Sumatera Utara (Tahun 2004 s/d 2007)... 8 1.3. Indikator Makro Kependudukan Kab. Karo Tahun 2003 s/d 2008. 9 4.1. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kabupaten Karo

Tahun 2003-2008.... ... 48 4.2. Perkembangan Penduduk dan Jumlah Penduduk Miskin

di Kabupaten Karo Tahun 1989-2008... 49 4.3. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas Buta Huruf

di Kabupaten Karo Tahun 2005-2007... 52 4.4. Angkatan Kerja Berumur 15 Tahun ke atas Menurut Jenis

Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2007... 52 4.5. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut

Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin Tahun 2007... 54 4.6. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah

Kabupaten Karo Tahun 2007-2008... 58

4.7. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karo Tahun 2007-2008... 59 4.8. Estimasi Uji R2 (Hasil Regresi Antar Variabel Bebas)... 63


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Mekanisme Transmisi Investasi Publik ... 31 2.2. Pajak Mengurangi DI (Disposible Income) dan Menggeser Kurva

CC ke Kanan Bawah ... 34 2.3. Kerangka Pikir Analisis Determinan Tingkat Kemiskinan

Penduduk Karo ... 37 4.1. Laju Inflasi Tahunan Kabupaten Karo Tahun 2003-2007

(2002=100) ... 55 4.2. Statistik d Durbin – Watson ... 64


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Penduduk Miskin, Inflasi, Pengangguran, Anggaran Kesehatan dan Pajak Daerah di Kabupaten Karo

Tahun 1989/2008 ... 72 2. Output Regresi Determinan Tingkat Kemiskinan Penduduk


(17)

ABSTRAK

Selama 30 tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik melalui pendekatan sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus.

Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan akan membantu pembuat kebijakan memastikan atau mengetahui dampak kebijakan ekonomi terhadap kemiskinan. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Dengan menggunakan model, penelitian ini di ketahui secara bersama-sama beberapa variabel dengan periode 1989 sampai dengan 2008 yakni inflasi, pengangguran, anggaran kesehatan, dan pajak daerah mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin, sedangkan inflasi, pengangguran, dan pajak daerah berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.


(18)

ABSTRACT

In the past 30 years, the government of Indonesia has made many efforts to tackle poverty via sectoral, regional, and institutional approaches as well as through the use of specific strategies and policies.

Understanding about determinant factors of poverty will help policy maker to ensure that the poor get benefit from the economic policy. In general, this research aim to analyze the changes of determinant factors of poverty in Karo regency of North Sumatera. Using the model, this study found that in community factor there are some variables have change from 1989 to 2008, the variables are inflation, unemployment, government expenditure for health, and tax.

The simulation results show that government expenditure for health is able to decrease poverty in Karo regency, but inflation, unemployment, and tax is able to increase poverty in Karo regency.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan yang meluas merupakan tantangan terbesar dalam upaya Pembangunan (UN, International Conference on Population and Development, 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah adanya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan penurunan yang tajam dalam pendistribusian atau pemerataannya.

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah, kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan dan sandang secara terbatas.


(20)

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat untuk menjalankan spiritual dengan Tuhannya; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).

Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun menurut catatan Bank Dunia diperkirakan pada tahun 2001 terdapat 1,1 miliar orang di dunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang di dunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Berdasarkan standar tersebut 21 persen penduduk dunia berada dalam keadaan sangat miskin dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut miskin. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum internasional. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan perkapita di suatu negara dan juga tidak memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara. Terlebih bagi Indonesia, sebagai sebuah negara


(21)

berkembang, masalah kemiskinan adalah masalah yang sangat penting dan pokok dalam upaya pembangunannya.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2009, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari jumlah penduduk Indonesia, jumlah ini turun dari 34,96 juta atau 15,42 persen pada bulan maret 2008. Masyarakat miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, tingkat buta huruf yang tinggi, lingkungan yang buruk dan ketiadaan akses infrastruktur maupun pelayanan publik yang memadai. Daerah kantong-kantong kemiskinan tersebut menyebar di seluruh wilayah Indonesia dari dusun-dusun di dataran tinggi, masyarakat tepian hutan, desa-desa kecil yang miskin, masyarakat nelayan ataupun daerah-daerah kumuh di perkotaan.

Sebelum masa krisis pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu model pembangunan yang diakui karena berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS, dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari total penduduk menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen. Keberhasilan menurunkan tingkat kemiskinan tersebut adalah hasil dari pembangunan yang menyeluruh yang mencakup bidang pertanian, pendidikan, kesehatan termasuk KB serta prasarana pendukungnya.

Salah satu akar permasalahan kemiskinan di Indonesia yakni tingginya disparitas antar daerah akibat tidak meratanya distribusi pendapatan, sehingga kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin di Indonesia semakin


(22)

melebar. Misalnya saja tingkat kemiskinan antara Nusa Tenggara Timur dan DKI Jakarta atau Bali, disparitas pendapatan daerah sangat besar dan tidak berubah urutan tingkat kemiskinannya dari tahun 1999-2002.

Pemerintah sendiri selalu mencanangkan upaya penanggulangan kemiskinan dari tahun ketahun, namun jumlah penduduk miskin Indonesia tidak juga mengalami penurunan yang signifikan, walaupun data di BPS menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin, namun secara kualitatif belum menampakkan dampak perubahan yang nyata malahan kondisinya semakin memprihatinkan tiap tahunnya.

Dengan terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin kembali membengkak dan kondisi tersebut diikuti pula dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang telah diambil pemerintah berfokus pada: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui upaya padat karya, perdagangan ekspor serta pengembangan UMKM, (2) peningkatan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan (KB, kesejahteraan ibu, infrastruktur dasar, pangan dan gizi), (3) pemberdayaan masyarakat lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang bertujuan untuk membuka kesempatan berpartisipasi bagi masyarakat miskin dalam proses pembangunan dan meningkatkan peluang dan posisi tawar masyarakat miskin, serta (4) perbaikan sistem bantuan dan jaminan sosial lewat Program Keluarga Harapan (PKH). Beberapa proyek pemberdayaan masyarakat antara lain Program Pembangunan Prasarana


(23)

Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Sarana Pedesaan (P2D), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Community Empowerment for Rural Development (CERD), Support for Poor and Disadvantaged Areas Project (SPADA), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Water Supply and Sanitation

for Low Income Communities (WSSLIC), dan Proyek Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP)

Permasalahan utama dalam upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan ekonomi tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia, ini dibuktikan dengan tingginya disparitas pendapatan antar daerah. Selain itu kemiskinan juga merupakan sebuah hubungan sebab akibat (kausalitas melingkar) artinya tingkat kemiskinan yang tinggi terjadi karena rendahnya pendapatan perkapita, pendapatan perkapita yang rendah terjadi karena investasi perkapita yang juga rendah. Tingkat investasi perkapita yang rendah disebabkan oleh permintaan domestik perkapita yang rendah juga dan hal tersebut terjadi karena tingkat kemiskinan yang yang tinggi dan demikian seterusnya, sehingga membentuk sebuah lingkaran kemiskinan sebagai sebuah hubungan sebab dan akibat (teori Nurkse) dan telah dibuktikan untuk contoh kasus lingkar kemiskinan di Indonesia (Jaka Sumanta, 2005).

Salah satu wilayah otonom di Indonesia yang juga mengalami permasalahan pengurangan kemiskinan adalah Kabupaten Karo. Menurut data BPS Provinsi


(24)

Sumatera Utara jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008, bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Karo cenderung mengalami penurunan, yakni dari 23,79 persen pada tahun 2003 turun menjadi 21, 73 persen pada tahun 2004, dan persentase penurunan penduduk miskin ini bukan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, karena bila dilihat dari data diketahui bahwa telah terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin dari tahun 2005 ke tahun 2006 yakni sebesar 67.420 orang pada tahun 2005 menjadi 69.610 orang pada tahun 2006, angka penduduk miskin turun kembali pada tahun berikutnya, yakni dari 69.610 orang pada tahun 2006 menjadi sebesar 50.500 orang pada tahun 2007, terjadi lagi penurunan pada tahun 2008 yakni menjadi 48.490 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Karo Tahun 2003 s/d 2008

No Uraian Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 Jumlah Penduduk Miskin (ribu orang) 74,30 68,71 67,42 69,61 50,50 48,49

2 Persentase penduduk miskin (persen) 23,79 21,73 19,68 19,81 13,63 12,98

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara (2009)

Menurut data yang dipublikasikan BPS Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 penduduk Kabupaten Karo memiliki angka kemiskinan pada tingkat menengah yakni berada di bawah Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kota Medan, Kota Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, Kota Sibolga, Kabupaten Padang Sidempuan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Labuhan Batu, dan berada di atas Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah,


(25)

Kabupaten Samosir, Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Mandailing Natal, dan beberapa kabupaten lainnya di Sumatera Utara.

Dari data yang disajikan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 – 2007 juga diketahui bahwa persentase tingkat kemiskinan penduduk Kabupaten Karo pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 berada di atas persentase tingkat kemiskinan penduduk Provinsi Sumatera Utara yakni persentase tingkat kemiskinan penduduk di Kabupaten Karo 21,73% pada tahun 2004 dan 19,81% pada tahun 2006 sedangkan persentase tingkat kemiskinan penduduk Provinsi Sumatera Utara hanya 14,93% pada tahun 2004 dan 15,66% pada tahun 2006, namun pada tahun 2007 persentase tingkat kemiskinan penduduk Kabupaten Karo telah lebih baik dibandingkan tingkat kemiskinan Provinsi Sumatera Utara yakni 13,63%, sedangkan tingkat kemiskinan penduduk Provinsi Sumatera Utara sebesar 13,90%. Data tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini:


(26)

Tabel 1.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (Tahun 2004 s/d 2007)

No Kabupaten/Kota Jumlah (000 Jiwa/Orang) Persentase (%) 2004 2006 2007 2004 2006 2007

1 Nias 135,8 159,9 139,3 31,58 36,19 31,75

2 Mandailing Natal 80,2 84,4 77,44 21,31 20,4 18,74

3 Tapanuli Selatan 135,5 152,1 128,4 22,08 24,17 20,33

4 Tapanuli Tengah 87,1 93,1 83,1 31,47 31,26 27,47

5 Tapanuli Utara 48,9 55,7 52,4 19,16 21,73 20,06

6 Toba Samosir 32,2 30,2 25,6 19,21 17,85 15,28

7 Labuhan Batu 131,3 140,2 123,4 14,16 14,2 12,33

8 Asahan 129,6 138,9 91,8 12,91 13,38 13,17

9 Simalungun 146,3 163,1 124,4 17,94 19,39 14,84

10 Dairi 54,6 59,3 42,2 21,16 22,16 15,82

11 Karo 68,71 69,61 50,5 21,73 19,81 13,63

12 Deli Serdang 117,7 102,8 94,8 7,72 6,29 5,67

13 Langkat 189,2 199,2 185,8 19,89 19,65 18,23

14 Nias Selatan 90,2 102,1 91,1 32,15 37,66 33,84

15 Humbang Hasundutan 30,7 33,8 28,4 20,11 22,14 18,84

16 Pakpak Barat 7,7 8,2 8,6 22,62 23,67 22,42

17 Samosir 26,2 39,9 36,1 21,89 30,59 22,76

18 Sedang Bedagai 47,8 74,7 72,6 8,2 12,34 11,84

19 Batu Bara x x 67,7 x x 17,89

20 Padang Lawas Utara x x x x x x

21 Padang Lawas x x x x x x

22 Sibolga 7,8 9,3 9 9,01 10,09 9,73

23 Tanjung Balai 18,6 19,6 18,2 12,53 12,51 11,52

24 Pematang Siantar 26,2 28,4 22 11,55 12,07 9,46

25 Tebing Tinggi 13,5 14,4 13,4 10,1 10,42 9,67

26 Medan 142,6 160,7 148,1 7,13 7,77 7,17

27 Binjai 14,7 15,6 14 6,4 6,38 5,72

28 Padang Sidempuan 23,6 22,2 20 13,65 12,22 10,92

Sumatera Utara 1806,71 1977,41 1768,34 14,93 15,66 13,90 Sumber: BPS Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 - 2007

Dalam upaya pengurangan kemiskinan Pemerintah Kabupaten Karo telah memuat beberapa fokus, sasaran, program dan kegiatan di dalam perencanaan pembangunan di daerah. Dalam RPJM tahun 2006-2011 telah ditetapkan prioritas


(27)

pembangunan yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan di Kabupaten Karo, adapun fokus yang telah ditetapkan:

1. Pengurangan kemiskinan

Melalui fokus pengurangan kemiskinan ini ditetapkan sasaran yakni; berkurangnya jumlah penduduk miskin, terwujudnya percepatan pembangunan ekonomi wilayah tertinggal; pengurangan angka pengangguran, meningkatnya partisipasi masyarakat dan perantauan dalam penanggulangan kemiskinan, tersedianya data tipologi kemiskinan di seluruh wilayah kecamatan dan kelurahan.

Sasaran yang telah ditetapkan di atas direncanakan akan dicapai melalui kebijakan memperluas akses masyarakat miskin terhadap hak atas pangan; meningkatkan pelayanan pelayanan pendidikan terhadap keluarga miskin; mengoptimalkan perlindungan sosial kepada keluarga miskin, meningkatkan kesempatan kerja dan diversifikasi usaha; menyempurnakan data base dan kelembagaan penanggulangan kemiskinan; mengendalikan terpadu penanganan kemiskinan; menyediakan dukungan pengembangan usaha mikro.

2. Pengembangan ekonomi kerakyatan

Dengan sasaran mempermudah, memperlancar dan memperluas akses UMKM kepada sumber daya produktif agar mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya lokal serta menyesuaikan skala usahanya sesuai dengan tuntutan efisiensi; meningkatkan pendapataan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin dalam rangka memperoleh


(28)

pendapatan yang tetap melalui upaya peningkatan kapasitas usaha sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing. Pencapaian fokus tersebut direncanakan akan dicapai melalui arah kebijakan membangun lembaga keuangan mikro, memberikan pelatihan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) yang diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat. Berikut ini disajikan indikator makro kependudukan Kabupaten Karo Tahun 2003-2008:

Tabel 1.3. Indikator Makro Kependudukan Kab. Karo Tahun 2003-2008

No Indikator TAHUN

2003 2004 2005 2006 2007 2008

1. Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa) 312.300 316.207 342.555 351.368 370.619 373.539 2. Persentase Penduduk Miskin

(Persen)

23,79 21,73 19,68 19,81 13,63 12,98 3. Persentase Tkt Kesakitan

(Persen)

46,54 56,41 16,1 15,3 14,5 14,1 4. Angka Harapan Hidup (Thn) 72,8 70,7 71,7 72,8 72,9 72,9 5. Total Fertility Rate (TFR)

(Rata-rata Kelahiran) 2,61 2,28 2,41 2,25

2,24 2,21 6. Infant Mortality Rate (IMR)

(Per 1.000 Kelahiran Hidup)

19,00 18,60 16,60 16,21

16,07 15,89

7. IPM 71,9 72,3 73,5 74 74,1 74,2

8. Tingkat Melek Huruf (Persen) 97,6 96,6 97,2 98,1 98,1 98,3

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara (2009)

Untuk mengetahui tepat atau tidaknya berbagai kebijakan dalam pengurangan kemiskinan di Kabupaten Karo maka perlu diketahui faktor-faktor yang melingkupi kemiskinan itu sendiri sehingga dapat diramalkan penurunan tingkat kemiskinan di masa yang akan datang.


(29)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo?

2. Bagaimana pengaruh jumlah pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo?

3. Bagaimana pengaruh anggaran bidang kesehatan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo?

4. Bagaimana pengaruh pajak daerah terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh pengaruh inflasi terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

2. Untuk menganalisis pengaruh jumlah pengangguran terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

3. Untuk menganalisis pengaruh anggaran bidang kesehatan tehadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

4. Untuk menganalisis pengaruh pajak daerah terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.


(30)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Karo dan pihak terkait lainnya sebagai pengambil keputusan untuk dapat membuat kebijakan yang tepat dalam perekonomian kabupaten.

2. Sebagai bahan referensi bagi pihak pihak lain yang berniat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah kemiskinan secara lebih luas dan mendalam.

3. Menambah informasi ilmiah dan wawasan pengetahuan penulis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Karo.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kemiskinan

Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi kemiskinan menurut UNDP adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak


(32)

kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, pemahaman utamanya mencakup: 1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial,

ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Pada dasarnya kemiskinan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: a) Kemiskinan absolut

Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan


(33)

hidupnya. Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan di bawah $2/hari. Sementara itu Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai sebuah kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah pada kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi.

b) Kemiskinan relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan di negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sedangkan menurut Jhingan (2000), mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada


(34)

kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang

ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan

metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman.

2.2. Mengukur Kemiskinan

Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. Ukuran Garis Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa lainnya. Biaya untuk membeli 2.100 kilo kalori/hari disebut sebagai Garis Kemiskinan Makanan, sedangkan biaya untuk membayar kebutuhan minimum non-makanan disebut sebagai Garis Kemiskinan Non-Makanan. Mereka yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang


(35)

hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin. Standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, disesuaikan dengan perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realistis.

Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien Gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarakat miskin. Aksioma-aksioma atau prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan, yakni: anonimitas, independensi, maksudnya ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip

monotenisitas, yakni bahwa jika kita memberi sejumlah uang kepada seseorang yang

berada di bawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin. UNDP selain mengukur kemiskinan dengan parameter pendapatan pada tahun 1997 memperkenalkan apa yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) (Human Poverty Indeks-HPI) atau biasa juga disebut Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks-HDI), yakni


(36)

bahwa kemiskinan harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (three key

deprivations), yaitu kehidupan, pendidikan dan ketetapan ekonomi.

2.3. Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan; penyebab individual, atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari sisi orang miskin itu sendiri; penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga; penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar; penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi; penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil struktur sosial (The

World Bank, 2007).

2.4. Program Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya


(37)

kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang, dan keterampilan yang tidak memadai dilihat sebagai alasan dasar mengapa orang menjadi miskin. Faktor kultural dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesenjangan masyarakat. Tidak ada yang salah dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan (Sahdan, 2004).

Di berbagai negara program yang telah dilakukan dalam upaya pengurangan kemiskinan adalah bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin, pendekatan ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan; bantuan terhadap individual, yakni upaya yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukum, pendidikan, kerja sosial, pencari kerja; persiapan bagi yang lemah, yakni upaya yang dilakukan dengan menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan (The


(38)

2.5. Mengukur Distribusi Pendapatan

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif, yakni distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution

of income) merupakan ukuran yang secara langsung menghitung jumlah penghasilan

yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, biasanya semua individu diurut berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran dengan menggunakan Rasio Kuznets. Metode yang lazim digunakan untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan adalah dengan Kurva Lorenz yang memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama periode waktu tertentu. Jika Kurva Lorenznya semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah maka berarti tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di suatu negara semakin parah.

Terakhir untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relatif yakni dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan Kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat di mana Kurva Lorenz itu berada, dikenal dengan nama Koefisien Gini. Distribusi fungsional atau distribusi pendapatan perfaktor produksi berfokus pada bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, kerja dan modal) yakni dengan mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan dan


(39)

membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan laba, sehingga setiap faktor produksi akan menerima pembayaran mereka mereka sesuai dengan kontribusi mereka pada output nasional.

2.6. Inflasi

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP deflator. 2.6.1. Penyebab Inflasi

Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk


(40)

kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/ insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dan lain-lain. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan di mana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas di pasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan. Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan


(41)

normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi, aksi spekulasi (penimbunan), sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, di mana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu kenaikan harga, misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

2.6.2. Penggolongan Inflasi

Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang. Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang


(42)

tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi). Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan; (1) Inflasi ringan (kurang dari 10 persen/tahun); (2) Inflasi sedang (antara 10 persen sampai 30 persen/tahun); (3) Inflasi berat (antara 30 persen sampai 100 persen/tahun); (4) Hiperinflasi (lebih dari 100 persen/tahun).

2.6.3. Mengukur Inflasi

Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya:

1. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.

2. Indeks biaya hidup atau Cost of Living Index (COLI).

3. Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.


(43)

4. Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.

5. Indeks harga barang-barang modal.

6. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.

2.7. Pengangguran

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga


(44)

mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

Terdapat 3 (tiga) jenis Pengangguran, yakni; (1) Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerja penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya, (2) Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukang jualan durian yang menanti musim durian, (3) Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang


(45)

sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

2.8. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (pusat – provinsi – daerah). Pada masing-masing tingkatan dalam pemerintahan ini dapat mempunyai keputusan akhir proses pembuatan yang berbeda dan hanya beberapa hal pemerintah yang di bawahnya dapat dipengaruhi oleh pemerintah yang lebih tinggi (Lee Robert, Jr and Ronald W. Johnson, 1998). Oleh karena itu dalam memahami berbagai pengaturan pendanaan bagi pemerintah pusat (daerah) maka harus mengetahui keragaman fungsi yang dibebankannya. Fungsi tersebut adalah:

(1) Fungsi penyediaan pelayanan yang berorientasi pada lingkungan dan kemasyarakatan;

(2) Fungsi pengaturan, yakni merumuskan dan menegakkan pusat perundangan; (3) Fungsi pembangunan, keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam

bentuk-bentuk kegiatan ekonomi dan penyediaan prasarana;

(4) Fungsi perwakilan, yaitu menyatakan pendapat daerah di luar bidang tanggung jawab eksekutif;


(46)

(5) Fungsi koordinasi, yakni melaksanakan koordinasi dan perencanaan investasi dan tata guna tanah regional (daerah).

Menurut Arndt (1998) argumentasi mengenai kebijakan publik dalam kaitan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah didasarkan pada situasi bahwa pasar tidak bisa berperan sendiri mengaktifkan mobilisasi aktivitas ekonomi terutama untuk mencapai efisiensi. Adanya pengeluaran publik disebabkan adanya kegagalan pasar. Adapun menurut Rao (1998) kegagalan pasar tersebut disebabkan karena:

(1) Tidak semua barang dan jasa diperdagangkan.

(2) Barang-barang yang menyebabkan eksternalitas dalam produksi maupun konsumsi memaksa suatu pertentangan antara harga pasar dengan penilaian sosial dan pasar, dan pasar tidak bisa memastikan untuk memenuhi kondisi yang diinginkan.

(3) Beberapa barang mempunyai karakteristik increasing return to scale. Dalam kondisi monopoli alami seperti itu masyarakat dapat memperoleh harga lebih rendah dan output lebih tinggi apabila pemerintah berperan sebagai produsen atau ada subsidi pada sektor swasta untuk menutup biaya karena berproduksi secara optimal.

(4) Informasi asimetri antara produsen dan konsumen di bidang jasa seperti asuransi sosial dapat memberi peningkatan moral hazard dan pemilihan kurang baik, oleh karena itu intervensi negara diperlukan agar menjamin pendistribusian kembali pendapatan.


(47)

Mundle (1998) berpendapat bahwa kemajuan teori dan studi empiris mengenai intervensi kebijakan publik dalam pengembangan manusia mencerminkan tumbuhnya perhatian masyarakat terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pembangunan sosial. Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) adalah bagian dari kebijakan fiskal (Sadono Sukirno, 2000) yakni suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah tiap tahunnya yang tercermin dalam dokumen APBN untuk nasional dan APBD untuk daerah/regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka menstabilkan harga, tingkat output maupun kesempatan kerja Pengeluaran pemerintah adalah pengeluaran untuk membiayai kegiatan-kegiatannya (dengan ukuran milyar rupiah), di mana pengeluaran itu ditujukan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dengan menggunakan sejumlah

resources dan product maupun dengan menggunakan uang (Suparmoko, 2002).

Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas, di mana pertumbuhan produktivitas tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak pertumbuhan (engine of growth). Kenyataannya dapat dilihat bahwa dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak


(48)

dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan, oleh karena ini dirasa perlu untuk menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia terhadap pertumbuhan dan kemiskinan di Indonesia.

2.8.1. Model Human Capital dan Pertumbuhan

Model ini merupakan pengembangan dari model Solow, di mana fungsi produksi adalah (Romer, 1996):

Y(t) = K(t)á H (t)â [A(t)L(t)]1 - á - â

Persamaan di atas menyatakan bahwa Y(t) output suatu perekonomian merupakan fungsi dari K(t) kapital, H(t) modal manusia, A(t) teknologi dan L(t) tenaga kerja. Menurut Park (1995), modal manusia dapat diartikan sebagai spesialisasi keahlian yang disediakan tenaga kerja dan dapat diperoleh dengan mengalokasikan pendapatan untuk pendidikan dan kesehatan.

2.8.2. Mekanisme Transmisi Investasi Publik

Mekanisme transmisi investasi publik untuk mempengaruhi distribusi pendapatan dan kemiskinan ditampilkan pada Gambar 2.1 dari sisi pengeluaran, penurunan kemiskinan dan redistribusi pendapatan dapat dilakukan dengan tiga


(49)

instrumen alokasi anggaran pemerintah, yaitu (1) subsidi langsung atau subsidi individu yang ditargetkan pada rumah tangga berpendapatan rendah, (2) subsidi harga, subsidi komoditi yang digunakan oleh rumah tangga terutama untuk kebutuhan pokok, dan (3) pengeluaran langsung pemerintah terhadap pelayanan publik dan infrastruktur, terutama pada sektor kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan, yang diutamakan untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Fokus studi ini pada instrumen fiskal pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan. Dari sisi penerimaan, pembiayaan dapat bersumber dari domestik berupa pajak atau pinjaman luar negeri. Berikut ini disajikan gambar mekanisme transmisi publik.

Gambar 2.1. Mekanisme Transmisi Investasi Publik Growth lambat :

Penyesuaian di dalam pasar TK

Anggaran Pemerintah Pajak Produksi Pajak Penjualan Pajak Pendapatan Pinjaman Luar Tekanan pada Inflasi Work-leisure Preference switch

Transfer Subsidi

Penyesuaian Pendapatan

Penyesuaian Harga

Penyesuaian di dalam pendapatan dan pengeluaran Rumah tangga

Pengeluaran Pembangunan dan Infrastruktur, Terutama untuk kesejahteraan, kesehatan dan Pendidikan.

- Kemiskinan


(50)

2.9. Pajak Daerah dan Kebijakan Fiskal

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang dimaksudkan dengan Pajak Daerah adalah “iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, maka jenis pajak daerah dibedakan atas Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Adapun jenis pajak kabupaten/kota adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.

Tarif Pajak untuk pajak daerah ditetapkan dengan peraturan daerah. Ketentuan-ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak diatur dengan peraturan daerah. Selain jenis-jenis pajak daerah di atas, untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian di masa yang akan datang yang akan mengakibatkan pergeseran potensi pajak, maka dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak kabupaten/kota selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 asalkan memenuhi kriteria; bersifat pajak bukan retribusi, objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai


(51)

mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat, potensinya memadai, tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis pajak daerah yang dipungut di Kabupaten Karo adalah sesuai dengan Peraturan Daerah; Perda Nomor 02 Tahun 2006 tentang Pajak Penerangan Jalan, Perda Nomor 03 Tahun 2006 tentang Pajak Perizinan Pemasangan Reklame, Perda Nomor 04 Tahun 2006 tentang Pajak Hiburan, Perda Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pajak Hotel, Restoran, Rumah Makan, dan Kedai Kopi, Perda Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pajak Pengambilan dan Perizinan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C.

Selama berabad-abad ahli ekonomi telah mengerti peran alokasional dari kebijakan fiskal (program pengeluaran dan pajak pemerintah). Telah lama diketahui bahwa program fiskal adalah penting dalam menentukan bagaimana output bangsa dibagi antara konsumsi swasta dan kolektif dan bagaimana beban pembayaran untuk barang kolektif dibagi dalam populasi.

Hanya dengan berkembangnya teori ekonomi makro modern terbongkar sebuah fakta mengejutkan yang belum diketahui; kekuatan fiskal pemerintah juga mempunyai dampak utama ekonomi makro dalam pergerakan jangka pendek dari


(52)

efek kuat terhadap aktivitas ekonomi menimbulkan pendekatan keynesian pada kebijakan ekonomi makro, yang merupakan penggunaan aktif aksi pemerintah untuk melemahkan siklus usaha. Pendekatan ini digambarkan oleh ahli ekonomi makro James Tobin, sebagai berikut:

Gambar 2.2. Pajak Mengurangi DI (Disposible Income) dan Menggeser Kurva CC ke Kanan Bawah

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa setiap nilai pajak yang dipungut menggeser kurva CC ke kanan dari jumlah pajak. Pergeseran CC ke kanan juga berarti pergeseran CC ke bawah. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa pajak cenderung mengurangi permintaan agregat dan tingkat GDP. Pajak mengurangi DI (disposible income), dan DI yang lebih rendah cenderung mengurangi belanja konsumsi. Jika investasi dan pembelanjaan pemerintah tetap, maka pengurangan belanja konsumsi akan menurunkan GDP dan ketenagakerjaan. Karena itu, dalam

C

C

C

C’

C’

C

GDP K

o n s u m s i


(53)

model multiplier, pajak yang lebih tinggi tanpa peningkatan dalam pembelian pemerintah akan cenderung menurunkan GDP nyata. Kilasan Gambar 2.2 menegaskan hal tersebut. Pada gambar ini, kurva CC yang atas menggambarkan tingkat fungsi konsumsi tanpa pajak. Namun kurva di atas tersebut tidak dapat menjadi fungsi konsumsi karena konsumen pasti membayar pajak untuk pendapatan mereka. Anggap konsumen membayar pajak $ 300 milyar pada semua tingkat pendapatan; maka DI adalah tepat $ 300 milyar kurang dari GDP pada tiap tingkat

output. Seperti yang digambarkan tingkat pajak ini bisa digambarkan sebagai

pergeseran ke kanan dalam fungsi konsumsi sebesar $ 300 milyar. Pergeseran ke kanan ini akan muncul sebagai pergeseran ke bawah; jika MPC 2/3, maka pergeseran

ke kanan $ 300 milyar akan terlihat sebagai pergeseran ke bawah $ 200 milyar.

2.10. Peneliti Terdahulu

Usman, Bonar M. Sinaga, Hermanto Siregar (2006) dengan judul penelitian Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal bahwa Pos anggaran untuk pengeluaran yang sangat erat kaitannya dengan kemiskinan atau menjadi faktor penentu (determinan) solusi penanggulangan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan keluarga, kesejahteraan keluarga, dan infrastruktur.

Haris Munandar, Ferry Kurniawan, (2007) dengan judul penelitian Mencari Hubungan Antara Kebijakan Moneter dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Kajian menggunakan data regional Indonesia memperoleh kesimpulan


(54)

bertentangan dengan keyakinan umum bahwa kebijakan moneter longgar yang ekspansif adalah cara yang jitu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyelamatkan golongan miskin, penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata kebijakan moneter berhati-hati, yang mengusahakan inflasi yang rendah dan ekonomi makro yang stabil justru merupakan kebijakan yang menurunkan tingkat kemiskinan dan menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih baik.

Cuttler & Katz (1991) dalam penelitiannya An Examination of the Impact of

Inflation and Unemployment on Poverty memiliki kesimpulan bahwa adanya

pengaruh yang signifikan dan positif dari pengangguran dan inflasi terhadap kemiskinan.

Powers (1995) dengan judul penelitiannya Inflation, Unemployment, and

Poverty memiliki kesimpulan bahwa adanya pengaruh yang signifikan dan positif

dari pengangguran dan inflasi terhadap kemiskinan.

Fahma Sari Fatma (2005) dengan judul Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa inflasi, pengangguran, Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDRB), dan variabel demografis yaitu pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan.

Riko Marbun (2009) dengan judul penelitian Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, inflasi, berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia.


(55)

Halim (2001) dengan judul Kinerja Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan; pendekatan analisis jalur menunjukkan kemandirian dan pengelolaan secara ekonomis, efektif, dan efisien suatu daerah atau wilayah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan pada daerah tersebut.

2.11. Kerangka Pemikiran

Sehubungan dengan pemikiran ini, penulis membuat kerangka pemikiran yang dapat mengambarkan ruang lingkup penelitian ini sebagaimana tergambar pada Gambar 2.3 sebagai berikut:

Gambar 2.3. Kerangka Pikir Analisis Determinan Tingkat Kemiskinan Penduduk Kabupaten Karo

Inflasi (Persen)

)

Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Orang) Jumlah Pengangguran

(Orang)

Pajak Daerah (Juta Rupiah) Anggaran Kesehatan


(56)

2.12. Hipotesis

Dari uraian teori dan penelitian terdahulu yang dijelaskan dalam BAB II maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:

1. Inflasi berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo (ceteris paribus).

2. Jumlah pengangguran berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo (ceteris paribus).

3. Anggaran Bidang Kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo (ceteris paribus).

4. Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo (ceteris paribus).


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang kemiskinan yang dianalisis dalam penelitian ini diambil dengan alasan bahwa ada kekhawatiran angka kemiskinan akan kembali meningkat dan bertambah di Kabupaten Karo tidak hanya secara kuantitatif namun juga secara kualitatif, jika tidak segera diambil langkah strategis dan komprehensif dalam upaya pengurangannya. Data-data yang diambil antara tahun 1989-2008 yang diduga berpengaruh terhadap tingginya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin).

3.2. Jenis dan Sumber Data

Adapun data yang diambil dari penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari publikasi-publikasi resmi, Badan Pusat Statistik, Dinas Pendidikan Kabupaten Karo, Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Karo, serta penelitian sebelumnya. Tahun data adalah tahun 1989 sampai dengan 2008.

3.3. Model Analisis Data

Untuk melihat seberapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo selama kurun waktu 1989-2008 dianalisa dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), fungsi yang digunakan yaitu:


(58)

PM = f( I,P, AK, PD )……….………...(3.1) Model persamaan yang akan digunakan adalah model regresi linear ganda, bentuk persamaan linear yang diasumsikan adalah sebagai berikut:

PM=â0 + â1I + â2P + â3AK + â4PD + µ ...(3.2) Di mana:

PM = Jumlah penduduk miskin (ribu orang) I = Tingkat inflasi Kabupaten Karo (persen)

P = Jumlah pengangguran Kabupaten Karo pertahun (orang) AK = Anggaran kesehatan (juta rupiah)

PD = Pajak daerah (juta rupiah) â0 = Intersept

b1 ..b4 = Koefisien regresi

µ = Variabel pengganggu (error term)

3.4. Tehnik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, dengan analisis data sekunder dari publikasi resmi institusi yang berhubungan dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk data runtut waktu (time series) yaitu menggunakan data historis tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 1989 s/d 2008. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo. b. Inflasi di Kabupaten Karo.


(59)

c. Jumlah pengangguran di Kabupaten Karo.

d. Pajak Daerah yang dipungut Pemerintah Kabupaten Karo.

3.5. Definisi Operasional Variabel

Untuk menyeragamkan persepsi dalam penulisan ini, maka disajikan beberapa definisi operasional yang diuraikan sebagai berikut:

a. Penduduk miskin adalah jumlah keseluruhan populasi dengan pengeluaran perkapita berada di bawah ambang batas sesuai kriteria BPS sebesar Rp. 222.898,- perkapita perbulan. Di daerah perkotaan, garis kemiskinannya sebesar Rp. 247.547,- perkapita perbulan, dan daerah pedesaan sebesar Rp. 201.810,- perkapita per bulan, dihitung dengan ribu orang.

b. Inflasi adalah kenaikan harga umum secara terus menerus dan persisten dari suatu perekonomian dihitung dengan persen.

c. Pengangguran adalah statistik yang mengukur persentase orang-orang yang ingin bekerja tetapi tidak mempunyai pekerjaan dihitung dengan jumlah orang.

d. Anggaran Kesehatan adalah belanja publik sesuai Kepmendagri No. 29 Tahun 2002/Belanja Langsung sesuai Permendagri No. 17 Tahun 2006 yang dibelanjakan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo untuk urusan kesehatan yang dihitung berdasarkan juta rupiah.

e. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat


(60)

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah yang dihitung berdasarkan juta rupiah.

3.6. Uji Kesesuaian Model (Test of Goodness of Fit)

Selanjutnya untuk pengujian validitas dan hasil taksiran tersebut digunakan uji koefisien R2, uji (F statistik) dan uji (t statistik). Suatu perhitungan statistik disebut signifikan secara statistik apabila nilai statistiknya berada pada daerah di mana Ho ditolak. Sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji statistiknya

berada pada daerah di mana Ho diterima.

3.6.1. Koefisien Determinasi R2

Penilaian terhadap koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk melihat variasi kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel terikat. Bila R2 = 0, artinya variasi dari variabel terikat tidak dapat diterangkan variabel bebas sama sekali, sementara bila R2 = 1, artinya variasi dari variabel terikat 100 persen dapat diterangkan oleh variabel bebas, dengan kata lain maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi.

3.6.2. Uji F-Statistik

Uji signifikansi simultan pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel penjelas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara serentak terhadap variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji apakah semua parameter dalam model penelitian ini sama dengan nol, atau:


(61)

Ho : â1,â2, â3, â4, = o

Artinya, semua variabel penjelas bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatif (Ha), tidak semua parameter penelitian ini secara simultan sama dengan nol, atau:

Ha : â1,â2, â3 , â4 ≠ 0

Artinya, semua variabel penjelas secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

Menurut Kuncoro (2006) cara melakukan uji F adalah sebagai berikut:

1. Quick look. Bila nilal F lebih besar daripada 4 maka H 0 yang menyatakan â1, â2, â3, â4, = 0 dapat ditolak pada derajat kepercayaan

sebesar 5 persen, Dengan kata lain menerima hipotesis alternatif.

2. Membandingkan nilai statistik F dengan titik kritis F tabel; apabila nilai statistik F hasil perhitungan lebih tinggi dibandingkan nilai F tabel, maka hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa semua variabel penjelas secara serentak dan signifikan mempengaruhi variabel dependen.

3.6.3. Uji t-Statistik

Uji signifikansi parameter individual (uji t) pada dasarnya menunjukkan berapa jauh pengaruh variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji apakah parameter penelitian


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Variabel inflasi, berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

2. Variabel jumlah pengangguran, berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

3. Variabel anggaran kesehatan, berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

4. Variabel pajak daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran saran sebagai berikut:

1. Kepada Pemerintah Kabupaten Karo.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh inflasi, pengangguran, pajak daerah hal ini berarti semakin tinggi inflasi, jumlah


(2)

pengangguran, dan pajak daerah di Kabupaten Karo maka jumlah penduduk miskin akan bertambah pula secara signifikan. Dari hasil tersebut maka pemerintah daerah disarankan agar menjadikan perluasan lapangan kerja menjadi prioritas dalam arah kebijakan yang dilaksanakan dalam rangka pengurangan angka kemiskinan terutama menyerap pengangguran musiman dari sektor pertanian dengan menciptakan lapangan kerja baru berupa industri pengolahan hasil pertanian. Dalam hal ini pemerintah daerah harus mampu menarik investor atau mendirikan industri baru berupa perusahaan daerah yang bergerak di bidang pengolahan hasil pertanian sehingga dapat menopang pertanian di Kabupaten Karo.

Selain menciptakan lapangan kerja baru maka pemerintah daerah juga harus memperhatikan dampak pengenaan pajak daerah yang dikenakan ke masyarakat. Dalam peraturan daerah sebagai dasar pengenaan pajak tersebut agar memperhatikan dampak yang terjadi ke masyarakat miskin, selain itu pajak daerah agar diarahkan ke sektor yang tidak menyangkut kepentingan masyarakat miskin, dan diupayakan dari hasil penerimaan pajak daerah digunakan terutama untuk membiayai program pengurangan kemiskinan.

Anggaran kesehatan dari hasil pengolahan data menunjukkan signifikan mengurangi jumlah kemiskinan, hal ini dapat dijadikan bagian dalam mengambil keputusan dalam penetapan program dan anggaran berikutnya dalam rangka pengurangan jumlah kemiskinan di Kabupaten Karo.


(3)

2. Kepada peneliti selanjutnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi, jumlah pengangguran, anggaran kesehatan dan pajak daerah memiliki peran yang besar terhadap jumlah penduduk miskin, alangkah baiknya peneliti peneliti selanjutnya dapat meneliti secara lebih mendalam dampak anggaran pendidikan dan anggaran pertanian di Kabupaten Karo, atau apakah ada faktor lain di luar inflasi, pengangguran, anggaran kesehatan, dan pajak daerah yang bisa mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Karo.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, I., dan E. Pernia. (2003), “Infrastructure and Poverty Reduction: What is the Connection?”, ERD Policy Brief, No. 13, Economics and Research Department Asian Development Bank, Asian Development Bank.

Arndt, H.W. (1990), “Market Failure and Underdevelopment” National Centre for Development Studies, Australia National University, Canberra.

Bappenas. (2004), “Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan Desa”, Jakarta. Cuttler, Katz. (1991), “An Examination of Impact of Inflation and Unemployment on

Poverty”, Longman, London.

Fatma, S Fahma. (2005), “Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Indonesia” Universitas Indonesia, Jakarta.

Gujarati, Damodar. (2002), “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Surabaya.

Halim. (2001), “Kinerja Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan” Universitas Indonesia, Jakarta.

Marbun, Riko. (2009), “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mankiw, N Gregory. (2003), “Macroeconomics, Fifth Editions”, Worth Publishers, 41 Madison Avenue, New York.

Munandar, Haris,. dan Ferry Kurniawan. (2007), “Mencari Hubungan Antara Kebijakan Moneter dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nachrowi, D Nachrowi, Usman Hardius. (2003), “Penggunaan Teknik Ekonometrika” Rajawali Pers, Jakarta.

Narayan, Deepa, et.al. (2002), Can Anyone Hear Us?: Voice of the Poor”, Oxford University Press, Inc.

Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan dan Marzuki. (2002), “Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


(5)

Park, I. (1995), “Regional Integration Among the ASEAN Nations: A Computable General Equilibrium Model Study”, Praeger, Westport.

Rao, D. Baskara. (1998), “World Summit for Social Development”, Discovery Publishing House, New Delhi.

Romer, D. (1996), “Advanced Macroeconomics”, McGraw Hill Companies, Inc., New York.

Sahdan, G. (2004), “Kemiskinan Desa, Menanggulangi Kemiskinan Desa”, Jurusan STMP, APMD, Yogyakarta.

Samuelson, A. Paul, Nordhaus, D. William. (2004), “Ilmu Makro Ekonomi”, PT. Media Global Edukasi, Jakarta.

Sirojuzilam. (2008), “Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional”, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Sitepu, Rasidin,. dan Sinaga Bonaran. (2008), “Dampak Iinvestasi Sumberdaya Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium”, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sukirno, Sadono. (2002), “Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga”, Rajawali Pers, Jakarta.

Sumanta, Jaka. (2005), “Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, Jakarta.

Suparmoko. (2002), “Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah”, Andi Offset, Yogyakarta.

Todaro, M.P. (2003), “Economic Development in the Third World”, Longman, 6th Edition, London.

World Bank. (2003), “Langkah-langkah untuk Mencegah Krisis Infrastruktur di Indonesia, Siaran Pers World Bank, 2 Desember 2003.


(6)

Yao, Xianbin. (2003), “Infrastructure and Poverty Reduction: Making Market Works for the Poor”, ERD Policy Brief, No. 14, Economics and Research Department Asian Development Bank, Asian Development Bank.

Yustika, Ahmad Erani. (2003), “Negara vs Kaum Miskin”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.