yang rendah, serta kurang memadainya sarana kesehatan sehingga pada negara berkembang diagnosis RB menjadi tertunda Rodriguez-Galindo, dkk., 2010.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, dijumpai bahwa pasien
Retinoblastoma RB berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang 52,2 dan perempuan sebanyak 22 orang 47,8. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 31 orang 50,8 dan perempuan 30 49,1 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar jenis kelamin Rosdiana,
N., 2011. Hal ini sesuai dengan penelitian Kaiser yang memaparkan bahwa RB adalah tumor ganas intraokular yang dapat mengenai perempuan dan laki-laki dengan
perbandingan yang sama Kaiser, dkk., 2014.
5.2.3. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan
Status Gizi
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan,
dijumpai bahwa
pasien Retinoblastoma RB status gizi dengan frekuensi tertinggi pada status gizi kurang
sebanyak 34 orang 73,9, status gizi normal 12 orang 26, 1, dan tidak ada anak dengan status gizi lebih. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya
yang menyebutkan bahwa pemeriksaan keadaan gizi pasien RB umumnya masih baiknormal sebanyak 24 kasus 39,3, walaupun pasien dengan tumor padat
mempunyai insidensi tinggi untuk terjadinya malnutrisi. Pada penelitian ini, temuan frekuensi tertinggi pada status gizi kurang diduga berhubungan dengan kondisi
sosioekonomi yang rendah Rodriguez-Galindo, dkk., 2010. Selain itu, pada pasien dengan tumor padat terjadi peningkatan Basal Metabolic Rate sampai 50 terkait
dengan penurunan status nutrisi dan jenis serta besar tumor. Pada pasien tumor padat, terjadi perubahan pada metabolisme lemak yang paling utama sehingga penurunan
berat badan pada pasien sebagian besar disebabkan deplesi lemak tubuh Gatot, D., 2012.
Universitas Sumatera Utara
5.2.4. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Klasifikasi Retinoblastoma
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tidak bisa ditentukan bentuk mutasi RB apakah didapat atau diturunkan. Hal ini disebabkan karena belum adanya alat
screening genetika orang tua yang membawa mutasi gen RB1 di Indonesia. Akan tetapi berdasarkan teori yang ada, lebih dari 90 kasus RB terjadi secara didapat
Parulekar, M., 2010 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dijumpai klasifikasi RB dari segi
lateralisasi terlihat bahwa dari total 46 kasus, dijumpai kasus unilateral sejumlah 41 kasus 89,1 lebih banyak ditemukan, dibandingkan bilateral sejumlah 5 kasus
10,9. Hal ini sesuai dengan prevalensi dunia yang dikemukakan pada penelitian Aerts bahwa kasus unilateral dijumpai sebanyak 60 kasus lebih banyak, sedangkan
kasus bilateral dijumpai sebanyak 40 kasus Aerts, dkk., 2006. Perbedaan persentase dihubungkan dengan perbedaan pola genetik dalam pewarisan suatu
penyakit keganasan di masing-masing negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dijumpai klasifikasi RB dari segi
arah perkembangan terlihat bahwa frekuensi tertinggi pada kelas ekstraokular sejumlah 38 kasus 82,6, sedangkan intraokular dan campuran memiliki frekuensi
yang sama yaitu sejumlah masing-masing 4 kasus 8,7. Hal ini bertentangan dengan prevalensi di negara maju seperti Amerika, Inggris, Swiss, dan Finlandia
dengan jumlah kasus intraokular sebanyak 80 kasus, sedangkan esktrokular sebanyak 20 kasus. Akan tetapi, di negara berkembang seperti Indonesia,
prevalensi kasus RB lebih banyak pada kasus ekstraokular. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Dini, yaitu kasus ekstraokular ditemukan 39 kasus 60
lebih banyak, sedangkan kasus intraokular sebanyak 26 kasus 40 Dharmawadiarini, D., 2010. Perbedaan prevalensi ini diduga berhubungan dengan
tingkat pendidikan dan kondisi sosioekonomi yang rendah, serta kurang memadainya
Universitas Sumatera Utara
sarana kesehatan sehingga pada negara berkembang diagnosis RB menjadi tertunda Rodriguez-Galindo, dkk., 2010.
5.2.5. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan