general semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Teori Saussure dalam Nrgiantoro 1995 : 39 berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistim tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu
yang lain yang disebut makna. Dalam bahasa diinterpretasikan sebagai makna terdapat nilai sosiologis yang bertitik pangkal dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya. Dapat disimpulkan bahwa dalam menginterpretasikan sebuah karya sastra
dapat dilakukan melalui tanda-tanda yang terdapat dalam teks sastra tersebut. Hal ini berarti, apabila ingin melihat budaya yang terdapat didalam sebuah teks karya
sastra, dapat diinterpretasikan dengan cara memahami konsep dasar tentang budaya yang ingin diambil. Kemudian, menghubungkan konsep tersebut dengan
bagian-bagian teks yang menjadi tanda yang memiliki sifat indeksikal. Jadi, unsur budaya yang terdapat dalam karya sastra dapat dijadikan sebagai tanda untuk
diinterpretasikan dengan mengambil bagian-bagian teks dalam karya sastra tersebut.
2.4. Biografi Takshi Nagai
Takashi Nagai berasal dari keluarga dokter. Ayahnya, Noboru Nagai, sudah terlatih dalam pengobatan Barat. Kakek dari pihak ayah, Fumitaka Nagai, adalah
seorang praktisi jamu tradisional.
Nagai menjadi tertarik pada Kristen ketika di Universitas Kedokteran Nagasaki satu asrama dengan keluarga Moriyama, yang selama tujuh generasi
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi pemimpin turun-temurun sekelompok Kakure Kirishitans di Urakami. Setelah lulus, Nagai telah dilantik menjadi pembantu militer untuk
kampanye Manchukou, sementara itu putri Moriyama, Midori Moriyama, mengiriminya paket perawatan yang berisi Katolik Katekismus. Dia masuk
Katolik dan menikah Midori pada tahun 1934.
Nagai telah mulai merintis bekerja pada bagian radiologi pada tahun 1932 dan tetap meneruskan itu setelah kembali ke Nagasaki. Pada waktu itu, standar
keamanan yang kurang dipahami, menyebabkan tingkat korban yang tinggi dari paparan radiasi antara praktisi lapangan. Selama musim panas 1945, beberapa
bulan sebelum pengeboman Nagasaki, Nagai diagnosis leukemia dengan harapan hidup dua hingga tiga tahun.
Pada saat bom atom pada 9 Agustus 1945, Dr Nagai sedang bekerja di departemen radiologi rumah sakit Universitas Nagasaki. Dia mengalami cedera
serius yang memutuskan arteri temporal kanannya, tetapi dengan kepala diperban ia tetap bergabung dengan seluruh staf medis yang masih hidup dalam
mendedikasikan diri untuk merawat para korban bom atom. Kemudian ia menulis 100 halaman laporan medis tentang pengamatannya.
Istrinya, Midori telah mengirimkan dua anak mereka untuk tinggal bersama neneknya di daerah pedesaan, sementara ia tetap di Nagasaki untuk mendukung
pekerjaan suaminya. Tetapi kemudian istrinya menjadi korban bom atom dan ditemukan di tumpukan abu reruntuhan dapur rumah mereka dengan rosario di
dekatnya.
Universitas Sumatera Utara
Nagai pingsan dari penyakit akibat radiasi pada 8 September 1945 dan koma selama satu bulan. Setelah itu, ia membangun sebuah gubuk kecil dari potongan-
potongan rumah tuanya, dan terus tinggal di sana bersama kedua anaknya, ibu mertuanya, dan dua kerabat lainnya.
Beberapa tahun berikutnya, Nagai melanjutkan mengajar dan juga mulai menulis beberapa buku. Bukunya yang pertama, “Lonceng Nagasaki” diselesaikan
pada ulang tahun pertama pengeboman. Meskipun pada awalnya ia gagal untuk menemukan penerbit, namun akhirnya buku itu menjadi Best Beller dan masuk
Top Box-Office film di Jepang.
Pada tahun 1947 ia tinggal di sebah rumah yang sedikit lebih besar dari enam tatami yang dibangun untuknya oleh sebuah tukang kayu yang masih ada
hubungan keluarga dengan Moriyama. Ketika kelompok sosial Saint Vincent de Paul menawarkannya untuk membangun rumah lain, ia meminta mereka untuk
sedikit memperbesar gubuk yang ada untuk mengakomodasi saudaranya dan keluarga saudaranya, serta untuk membangun sebuah rumah teh sederhana dengan
dua tatami seperti bentuk rumah sebelumnya. Dia pun menghabiskan hidupnya dalam doa di gubuk kecil yang bergaya seperti pertapaan yang dinamai Nyoko-
dō.
Pada saat kematiannya pada tahun 1951, ia meninggalkan esai, memoar, gambar dan kaligrafi dengan berbagai tema termasuk Tuhan, perang, kematian,
obat-obatan, dan ke-yatiman sebagai warisan.
Universitas Sumatera Utara
Luhurnya semangat dan perdamaian yang telah diajarkanya meninggalkan jejak positif pada banyak orang bahkan hingga sekarang sekarang.
3 Februari, 1908 : Lahir di Matsue City. Pindah dengan keluarganya ke Iishi- mura sekarang Mitoya-cho.
Maret, 1932 : Lulus dari Sekolah Kedokteran Nagasaki.
Juni, 1932 : Ditunjuk untuk posisi asisten dengan spesialisasi dalam
radiologi. April, 1940
: Ditunjuk untuk posisi asisten profesor di Nagasaki Medical College dan Kepala Departemen Rehabilitasi Fisik.
Maret, 1944 : Menerima gelar Doktor bidang kedokteran.
5 Juni 1945 : Ditemukan menderita leukemia tetap hidup selama 3 tahun.
9 Agustus, 1945 : Terkena bom atom dengan arteri terpotong di sisi kanan kepalanya. Mengabdikan dirinya untuk membantu korban
bom meskipun dirinya menderita penyakit serius. Januari, 1946
: Ditunjuk menjadi profesor di Nagasaki Medical College. November, 1946 : Memberikan kuliah dengan judul Atomic illness and
Atomic Medicine di Nagasaki Medical Association. Maret, 1948
: Pindah rumah ke Nyokodo. Oktober, 1948
: Menerima kunjungan Helen Keller. Mei 1949
: Menerima kunjungan Kaisar Showa dan utusan dari Paus. 6 Desember, 1949 : Menjadi orang pertama yang ditunjuk sebagai warga
kehormatan Nagasaki.
Universitas Sumatera Utara
1 May,1951 : Masuk Rumah sakit universitas Nagasaki dan meninggal
pada pukul 09 : 50 dalam usia 43 tahun. 14 May,1951
: Dimakamkan di Pemakaman Internasional Sakamoto.
2.5. Sinopsis Cerita Novel Lonceng Nagasaki karya Takashi Nagai