NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULANG PISAU TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI KABUPATEN PULANG PISAU OLEH

MIRZA SATRIA BUANA, S.H, M.H, (Cand) PhD

H. MAHYUNI, S.H, M.H LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN

JUNI 2016

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat (indigenous peoples) kembali mengemuka ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) pada akhir tahun 2012 sampai awal tahun 2013 menyidangkan uji materiil (judicial review) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Uji publik tersebut digagas oleh kelompok-kelompok aktivis masyarakat adat yang terhimpun dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). MK RI mengabulkan sebagian klaim atas konstitutionalitas beberapa pasal-pasal dalam UU tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (selanjutnya disebut MK

35) mendekonstruksi konsep kepemilikan ‘hutan adat’ dengan

mengeluarkannya dari kategori ‘hutan negara’. 1

Reformasi hukum lewat jalur judicial review tersebut tidak hanya berdampak legal-formal dan sosiologis, namun juga psikologis bagi masyarakat adat diseluruh wilayah Nusantara. Aspirasi masyarakat adat yang disalurkan lewat corong gerakan civil society menjadi lebih progresif bergerak dalam merespon momentum baik tersebut. Pasca putusan MK

35 tersebut, pemerintah daerah baik dalam level propinsi maupun kabupaten/kota kebanjiran klaim kepemilikan tanah (hutan) adat dan menuntut pemerintah daerah untuk mengakui eksistensi, keberagaman dan keunikan dari kearifan lokal (local genius) masyarakat adat

setempat. 2 Esensi legal-formal dari pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat sejatinya telah terpatri dalam Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945 sebagai berikut. Dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah Pasal 18B Ayat 2, yang menyatak an: “Negara mengakui dan

1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, hal 57-69. 2 Huma,

Kesejahteraan Rakyat <http://huma.or.id/penetapan-hutan-adat-demi-terwujudnya-kesejahteraan- masyarakat>.

Penetapan Hutan

Adat

demi

Terwujudnya Terwujudnya

perkembangan zaman dan peradaban.” Norma yang terakhir dinyatakan dalam rumusan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 32 Ayat 1 yang menyebutkan: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan

masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Pembacaan terhadap ketiga pasal-pasal diatas yang menormakan pengakuan terhadap masyarakat adat harus dibaca dalam perspektif doktrinal atau legislator’s intent terlebih dulu. Setiap pasal-pasal tersebut memiliki arah politik hukum yang berbeda-beda, walaupun memiliki

‘benang merah’ yang sama yaitu adanya ikhtiar konstitutional untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat di Indonesia.

Pasal 18B Ayat 2 menitik beratkan pada aspek formal kelembagaan adat dalam bingkai pemerintahan tradisional atau desa, yang hal tersebut ditan dai dengan penggunaan diksi ‘kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat’ yang merupakan terjemahan tekstual dari Bahasa Belanda,

adatrechtsgemeemschappen. Aspek legalitas formal sangat ditekankan pada pasal ini, dengan menekankan pentingnya identifikasi terhadap masyarakat adat yang bercirikan hukum (legally-based indigenous peoples) dan bukan semata masyarakat sosiologis dan kultural. Sedangkan Pasal 28I Ayat 3 menitik beratkan pada aspek HAM terutama hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat. Pasal terakhir, Pasal

32 Ayat 1 menekankan pada aspek budaya bangsa yang wajib untuk dijaga kelestariannya. Lewat perspektif makro-nasional diatas, Rancangan Peraturan Daerah Pulang Pisau tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat menemukan relevansinya. Pemerintah daerah beserta jajaran anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Pulang Pisau) berinisiatif untuk memberikan ‘payung hukum’ terhadap eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak asasi mereka.

Berdasarkan latar belakang diatas, Naskah Akademik ini mengidentifikasikan beberapa masalah-masalah sebagai berikut:

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan filosofis- teoritis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau?

2. Bagaimana menjaga keseimbangan antara hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak dengan supremasi hukum negara di Kabupaten Pulang Pisau?

3. Apa sasaran yang coba diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah Naskah Akademik tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau?

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan Naskah Akademik tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan atau landasan filosofis-teoritis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau.

2. Untuk

guna menjaga keseimbangan antara hak-hak masyarakat hukum adat dengan supremasi hukum negara.

3. Untuk mengetahui sasaran yang coba diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah Naskah Akademik tentang

Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau?

D. Metode Yang Dipergunakan

Naskah Akademik ini disusun dengan menggunakan metodologi penelitian sosial-yuridis atau socio-legal, dimana penelitian hukum doktrinal-normatif dipadukan dengan pendekatan ilmu sosial dan kemasyarakatan. Paradigma penelitian ini bukan bertujuan untuk mencampur-adukkan antara isu hukum dengan isu sosial dan kemasyarakatan, namun bertujuan untuk memperkaya khasanah ilmu hukum dengan bantuan ilmu-ilmu sosial-kemasyarakatan. Dengan kata lain, pendekatan socio-legal dalam penelitian, bukanlah singkretisme

penelitian. 3 Pertanyaan berdimensi hukum-normatif tetap akan dijawab dengan menggunakan pendekatan doktrinal-normatif, sedangkan pertanyaan empiris akan dijawab dengan menggunakan pendekatan sosial dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, socio-legal bukan lah sinkretisme metodologi.

Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dikembangkan, adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan dan mengkaji beberapa literatur terkait hukum adat dan pengakuan hak sosial, ekonomi dan budaya Masyarakat Hukum Adat Dayak.

2. Mengumpulkan dan mengkaji berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan isu pengakuan dan perlindungan masyarakat hokum adat baik di tingkat nasional maupun lokal.

3. Melakukan tinjauan akademis dan pencarian data empiris melalui Uji Publik guna mendapatkan masukan dari berbagai pihak baik yang berkepentingan dalam penyusunan Naskah Akademik dan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau.

3 Yakub Adi Krisanto, Penelitian Hukum: Tolak Tarik antara Positivisme Hukum dengan Empirisme Hukum (Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM, 2008) 45.

4. Finalisasi Dokumen Naskah Akademik dan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau.

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Hukum Adat yang Hidup (Living adat Law)

Beberapa literatur baik yang ditulis oleh akademisi hukum asing maupun yang ditulis oleh orang Indonesia, telah banyak memberikan

definisi atau pengertian tentang ‘hukum’ yang diaplikasikan dalam konteks masyarakat-masyarakat tradisional atau adat di Indonesia. Definisi terkait ‘hukum’ tersebut sangatlah majemuk dan terkait dengan konteks tradisi hukum akademisi-akademisi tersebut. Akademisi hukum

yang terpengaruh tradisi hukum common law, semisal Jain 4 and Allot 5 kerap memakai istilah atau konsep ‘customary law’ atau hukum

kebiasaan untuk menggambarkan fenomena ‘hukum’ tersebut. Dilain pihak, sarjana hukum Eropa Kontinental terutama dari negeri Belanda

yang melakukan penelitian di Indonesia, cenderung menggunakan bahasa lokal ‘hukum adat’ atau ‘hukum adat yang hidup’ untuk menggambarkan

fenomena tersebut. Semisal Cornelis van Vollenhoven 6 yang karya agungnya banyak dipengaruhi oleh alirah hukum historis dari Savigny. 7

Beliau mendefinisikan hukum adat sebagai ‘hukum yang hidup’ atau hukum yang masih diaplikasikan dan ditaati oleh warga masyarakat adat

tersebut. Hukum yang dinamis dan fleksibel dalam karakter dan

4 M.P. Jain, ‘Custom as Source of Law in India’ dalam Alison Dundes Renteln (ed), Folk Law: Essay in the Theory and Practice of Lex Non Scripta (1994) 49-82.

5 A.N. Allott, ‘The Judicial Ascertainment of Customary Law in British Africa’ dalam Alison Dundes Renteln (ed) Folk Law: Essay in the Theory and Practice of Lex Non Scripta

(University of Winsconsin Press, 1995) 295-312. 6 Cornelis van Vollenhoven, ‘The Study of Indonesian Customary Law’ (1919) Celebration

Legal Essay<http://heinonline.org.ezproxy.library.uq.edu.au/HOL/Page?handle=hein.hoil/war ob0001&id=1&collection=hoil> 58. Lihat juga, Franz and Keebet von Benda-Beckmann, ‘The Social Life of Living Law in Indonesia’ in Marc Hertogh (ed), Living Law:

Reconsidering Eugen Ehrlich (Hart Publishing, 2009) 180. 7 David Bourchier, ‘Positivism and Romanticism in Indonesia Legal Thought’ dalam Tim

Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society (The Federation Press, 2 nd Ed, 2008) 54.

penerapannya. Definisi hukum adat lebih luas dari ‘hukum kebiasaan’. 8 Sarjana hukum dari Australia MB. Hooker menambahkan bahwa hukum

adat bisa terwujud sebagai hukum, aturan, preskripsi, moralitas, kebiasaan, perjanjian, konvensi, prinsip dasar, kegiatan seremonial dan ritual keagamaan setempat ( ‘it can mean any one of the following: law, rule, precept, morality, usage, custom, agreement, conventions, principles, the act of conforming to the usage of society, decent behaviour, ceremonial,

the practice of sorcery and ritual.) 9

Konsep hukum adat sangat dekat dengan konsep living law atau hukum yang hidup dari sarjana hukum Austria, Eugen Ehrlich. Beliau mendefinisiakan living law sebagai hukum yang mendominasi segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, yang mana hukum tersebut tidak harus diadopsi secara legal-formal oleh negara ( ‘the law which dominates life itself even though it has not been posited in legal

proposition’). 10 Dalam konsepsi pemikiran Ehrlich, hukum yang hidup dimasyarakat tidak selalu harus dihubungkan dan diadopsi oleh hukum negara; bahkan hukum tersebut bisa bergerak bebas dalam konstelasi sosial dan kemasyarakatan tanpa harus mendapatkan pengakuan legal-

formal dari negara. Definisi tersebut cenderung menyamakan antara ‘hukum yang hidup’ dengan norma-norma sosial dimasyarakat yang tidak

memerlukan pengakuan legal-formal negara untuk dapat eksis di ruang- ruang sosial dan kemasyarakatan suatu komunitas. 11 Ehrlich juga menolak klaim kalangan positivisme hukum yang beranggapan bahwa satu-satunya hukum yang valid adalah peraturan perundang-undangan, yang telah dilegislasi oleh lembaga parlementer atau legislatif, dan juga

putusan hakim di pengadilan negeri. 12

Lebih lanjut, pasangan suami-istri sarjana hukum Belanda, Franz dan Keebet Benda-Beckmann lebih memilih menggunakan konsep

8 Cornelis van Vollenhoven, Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law (J.F.Holleman trans, Springer-Science+Business Media, 1981) 3-7 [terjemahan dari: Het Adatrecht van

Nederlandsch-Indie (vol I, 1919; vol II, 1931]. 9 MB Hooker, Adat Law in Modern Indonesia (Oxford University Press, 1978) 50

10 Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law (Walter L Moll trans, Harvard University Press, 1936) 68, 69.

11 Ibid 488. 12 Ibid 137.

‘hukum yang hidup’ daripada menggunakan konsep hukum adat, dikarenakan hukum tersebut harus “tidak tua, tapi harus kekinian,

bukan hukum diatas kertas, namun hukum yang masih tetap dipakai dan dipatuhi” (“it is not old but contemporary law, not law on paper but

actually valid and practiced”). 13 Walaupun konsep ‘hukum adat’ dan ‘hukum yang hidup’ memiliki banyak kesamaan dan juga perbedaan, Naskah Akademik ini akan menggunakan konsep ‘hukum adat yang hidup’ sebagai terminologi, karena tidak ada yang bisa merefleksikan dan

menjelaskan secara akurat tentang nilai-nilai tradisional bangsa Indonesia, selain bahasa Indonesia itu sendiri. 14 Terma ‘hukum yang hidup’ digunakan untuk menekankan elemen kekinian kepada hukum adat.

Naskah Akademik ini akan menggabungkan dua konsep, yakni konsep ‘hukum adat’ dengan konsep ‘hukum yang hidup’, sebagai manifestasi dari kondisi multikultural dan pluralisme hukum di

Indonesia. Konsep yang merefleksikan budaya hukum masyarakat, yang mana merupakan konsep yang bertentangan dengan konsep sentralisme hukum negara. Hukum adat yang hidup merupakan hukum yang tidak tertulis dan otentik lahir dari rahim kebudayaan Nusantara yang terpengaruh anasir-anasir agama dan kepercayaan. Ahli hukum adat Indonesia, Soepomo menyebutkan, walaupun hukum adat dianggap sebagai hukum yang tradisional, hukum adat memiliki beberapa konsep- konsep umum, elemen-elemen memaksa, dan bagian-bagian hukum yang tertata secara konsisten. Oleh sebab itu, hukum adat bisa disebut sebagai

sistem hukum. 15

Walaupun konsep hukum adat memiliki kesamaan teoretik dengan konsep living law yang merupakan konsep sarjana hukum Barat, hukum adat sebagai hukum asli Indonesia juga memiliki beberapa kriteria- kriteria khas. Menurut Mohammad Koesnoe, hukum adat dapat dikategorikan menjadi dua (2) kategori besar. Pertama adalah ‘adat yang

13 Franz and Keebet von Benda-Beckmann, The Social, op.cit 6, 177. 14 A.B. Messier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and their Languages 1915-2000 (KILTV Press, 2008) 10. 15 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat [Chapters on Adat Law] (Penerbitan Universitas, 1962) 34.

berbuhul mati’ atau yang berarti hukum yang diikat mati. Ini adalah hukum adat yang ketat, yang tidak bisa dinegosisikan atau diubah-ubah

berdasarkan konteks kekinian. Hukum adat ini berdimensi doktrinal dan normatif. 16 Konsep hukum adat ini juga ada padanannya dalam teori living law oleh Ehrlich yang merupakan hukum yang ditetapkan dalam ruang internal kesadaran suatu asosiasi sosial ( ‘inner order of social

association’). 17 Hukum adat ini bernuansa hukum kodrat dimana hukum dicandra dari perspektif meta-fisika, a priori, dan memakai kacamata nilai-nilai moralitas internal. Kategori kedua adalah ‘adat yang bertali hidup’ atau ‘adat pusaka’ yang memiliki karakteristik yang lebih fleksibel dan ‘cair’. Hukum diturunkan dari generasi ke generasi, dan hukum tersebut terbuka untuk dirubah berdasarkan atas tuntutan jaman. Hukum adat ini berkarakter sosiologis, hukum tumbuh dan berkembang

dari masyarakat. 18

Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri dalam dinamika hukum-hukum adat yang hidup dimasyarakat, keunikan atau ciri khas tersebut bersumber pada pengalaman Indonesia dalam mengalami proses kolonialisasi, de-kolonialisasi dan kemudian modernisasi. Lewat ketiga fase tersebut, Indonesia mengalami banyak persinggungan dengan tradisi-tradisi hukum. Kebanyakan dari tradisi hukum tersebut adalah tradisi hukum yang sekarang dan masih diberlakukan secara formal di Indonesia, yaitu tradisi hukum Eropa Kontinental. Menurut pakar hukum adat, Soetandyo Wignjosoebroto, hukum adat yang ada di Indonesia sangat berbeda karakternya dengan hukum negara yang diadopsi dari hukum Belanda (Eropa Kontinental) yang berkarakter keras dan tegas. Hukum Eropa Kontinental bersifat doktrinal dan deduktif dalam pola pikir, sedangkan hukum adat cenderung pragmatis, fleksible, konkrit dan induktif dalam pola pikir. Sejatinya hukum adat lebih cocok disandingkan dengan tradisi hukum common law.

16 Mohammad Koesnoe, ‘Dasar-Dasar Formal Ilmu Hukum Adat’ (FH UII Press, 1998) 45

17 Ehrlich, op.cit 10, 26. 18 Mohammad Koesnoe, ‘Dasar-Dasar Formal Ilmu Hukum Adat’ [‘The Formal Fundamental of Adat La w’] in Hukum Adat and Modernisasi Hukum [Adat Law and Modernisation] (FH UII Press, 1998) 45

Dalam konteks historis, pendekatan doktrinal terhadap hukum adat pernah dilawan oleh Van Vollenhoven. Beliau menolak tegas kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan hukum kolonial Belanda, terutama Hukum Perdata kepada semua warga Indonesia. Kebijakan unifikasi tersebut digagas oleh Pemerintahan Kabinet Kuyper,

gagasan tersebut langsung ditolak oleh Van Vollenhoven. 19 Kritik Van Vollenhoven berhasil menghentikan gagasan memberlakukan kebijakan unifikasi, dan pemerintah kolonial Belanda menerima gagasan Van Vollenhoven untuk memberlakukan sistem hukum dualism semenjak tahun 1927 sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. Namun sistem dualisme tersebut juga memiliki kebaikan dan juga keburukan. Dibawah sistem dualisme, pemerintah kolonial Belanda berjanji untuk melestarikan dan mengakui secara formal hukum-hukum adat yang hidup dimasyarakat dan juga institusi adatnyta. Namun kebijakan ini juga berdampak negatif, karena warga bumiputera dan juga masyarakat adat tidak memiliki akses kepada hukum perdata modern, terutama hukum dagang dan hukum bisnis. Lewat sistem Indonesia, secara samar warga bumiputera dan masyarakat adat mengakui pemerintah kolonial

sebagai ‘tuan’, dan warga bumiputera sebagai ‘bawahan’. Kebijakan tersebut cenderung diskriminatif dan menjaga benteng penghalang modernisasi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

Pembahasan tentang ‘hukum adat yang hidup’ dalam masyarakat perlu untuk dilengkapi dengan setting kondisi yang responsif dengan

keberagaman. Hidup atau tidaknya hukum-hukum non-negara ditentukan oleh derajat responsif atau tidaknya setting kondisi tersebut. Kondisi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya hukum- hukum non-negara disebut sebagai kondisi pluralisme hukum.

2. Masyarakat Hukum Adat

Sama halnya dengan konsep ‘hukum adat’, subyek ‘masyarakat adat’ juga kerap diperdebatkan baik dalam ranah internasional maupun

19 Mohammad Koesnoe, ‘Dasar-Dasar Formal Ilmu Hukum Adat’ [‘The Formal Fundamental of Adat Law’] in Hukum Adat and Modernisasi Hukum [Adat Law and Modernisation] (UII Press, 1998) 45.

nasional. Sebagai contoh, ILO Convention No 107 mendefinisikan masyarakat adat lewat perspektif patronasi (patron-client) dan

kecenderungan untuk melakukan politik integrasi. 20 Konvensi internasional tersebut berdampak pada derasnya aspirasi untuk membaurkan masyarakat adat dalam komunitas mayoritas, dan cenderung abai memperhatikan keunikan dan pembeda kultural- sosiologis mereka. Lewat advokasi yang gencar dari gerakan masyarakat adat internasional, pada tahun 1980an, ILO merevisi konvensi diatas dengan mengeluarkan ILO Convention No 169. Konvensi internasional ini jauh lebih responsive dari sebelumnya, dimana ada membeda antara

‘tribal people’ (masyarakat kesukuan) dengan ‘indigenous peoples’ (masyarakat adat), namun dikotomi tersebut tidak ‘hitam-putih’ dimana antara kedua konsep tersebut ada kecenderungan untuk saling

melingkupi dan mempengaruhi. 21 Namun, Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi ILO Convention No 169, sehingga konvensi internasional tersebut tidak mengikat secara hukum.

Pada tahun 2007, Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang secara tegas mengakui hak-hak dasar masyarakat

adat. 22 Namun UNDRIP tidaklah mengikat secara hukum, karena hanya berfungsi sebagai ajakan moral semata. Baik Both Konvensi ILO dan UNDRIP kurang bisa memuaskan publik terkait definisi dari masyarakat adat itu sendiri. Namun sejatinya, definisi masyarakat adat kadang hanya digunakan untuk membatasi kedualatan masyarakat adat itu sendiri,

hegemoni ‘definisi’ terkadang memiliki agenda tersembunyi oleh para

kelompok-kelompok kepentingan. 23

Dalam konteks nasional, definisi masyarakat adat juga menjadi hal yang problematik, dimana masyarakat adat dibagi dalam dua spektrum

20 Convention No 107, ILO art 1 (3), and art 2 (1) (2). 21 Convention No 169, ILO art 1 (a) and (b). 22 The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.

23 Safroedin Bahar, ‘Kebijakan Negara dalam rangka Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia [‘Legal Reform for Achieving Recognition and Protection of Indigenous People in Indonesia’] (Paper presented at Human Right Workshop, Centre for Human Rights, Islamic University of Indonesia and

Norwegian Centre for Human Rights , 2008) 25.

besar. Pertama adalah masyarakat (hukum) adat atau kesatuan masyarakat (hukum) adat yang merupakan terjemahan langsung dari rechtsgemeemschappen, yang berdimensi politik dan berfungsi didalam

struktur negara. 24 Dalam hukum positif negara, hanya definisi pertama ini yang diakui negara sebagai subyek hukum. Masyarakat (hukum) adat ini kemudian dibagi dalam sub-kategori, yakni geneologis, teritorial, dan gabungan antara keduanya. Kedua adalah masyarakat adat yang lebih

bersifat kultural dan terpisah dalam struktur negara. 25 Diksi ‘hukum’ sejatinya tidaklah diperlukan dikarenakan ‘adat’ sendiri sudah berdimensi ‘hukum’.

Tidak bisa dinafikan, definisi pertama dipengaruhi paham positivisme hukum, dimana Ter Haar menekankan pentingnya rekognisi oleh negara agat masyarakat adat diakui sebagai entitas hukum (legal entity). Masyarakat adat harus terbentuk lewat dinamika politik dan hukum, bukan semata kultural. Ter Haar dan kemudian diikuti oleh hukum positif memaparkan empat prasyarat dari masyarakat (hukum) adat (rechtsgemenschappen), sebagai berikut: (1) komunitas tersebut harus tertata secara organisatoris (politis dan hukum); (2) komunitas tersebut harus memiliki teritori (tanah, sungai atau laut); (3) komunitas tersebut memiliki institusi adat (terutama institusi penyelesaian sengketa); dan (4) komunitas tersebut memiliki harta benda materil maupun immateril (spiritual). Keempat prasyarat ini semuanya harus dipenuhi untuk dapat diakui sebagai masyarakat (hukum) adat. Namun kemudian prasyarat ketat diatas dibantah oleh Jimly Asshiddiqqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa prasyarat- prasyarat diatas tidak harus dipenuhi semua (namun prasyarat wajib

adalah harus memiliki teritori). 26

24 Bernard Ter Haar, Adat Law in Indonesia (Institute of Pacific Relations, 1948) 5-41. Lihat juga, Soejono Soekamto, Hukum Adat Indonesia [Indonesian Living Law]

(RajaGrafindo Persada, 1998) 11. 25 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Masyarakat Desa [‘Constitution of Villagers’] (12 April

2015) <http://www.jimly.com/pemikiran/namefile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf >.

26 Yando Zakaria, ‘Konstitutionalitas dan Urgensi Penetapan kriteria dan Indikator serta Meka nisme Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat’ [‘Constitutionalism

Jimly Asshiddiqqie menekankan dikotomi terhadap masyarakat adat dalam dua spektrum, yakni masyarakat adat yang terbentuk secara kultural dan masyarakat (hukum) adat dimana masyarakat tersebut harus memiliki unit-unit operasional yang berdimensi hukum. Masyarakat adat yang tidak memiliki unit-unit organisasi berdimensi

hukum tidak bisa dianggap sebagai entitas hukum (legal entity). 27 Jimly Asshiddiqqie berkeyakinan bahwa masyarakat (hukum) adat harus memiliki pembagian kerja yang jelas (strict division of labour), 28 sebagaimana dicontohkan dalam pemerintahan adat berjenjang atau

hirarkhis di Sumatera Barat. 29

Dalam perspektif yang berbeda, kalangan sosiologis berpendapat bahwa masyarakat adat bukanlah komunitas semi atau modern dimana spesifikasi kerja dan pemisahan kekuasaan telah jamak dilakukan. Masyarakat adat di Indonesia (terutama di Kalimantan) masih berdimensi komunal dimana tidak ada pembagian kerja dan kekuasaan yang jelas. Merujuk pada konsep solidaritas dari Durkheim, semua warga masyarakat adat terikat dalam ‘solidaritas’ yang cair, kekeluargaan dan

fleksibel. Solidaritas ini disebut sebagai solidaritas mekanik (mechanic solidarity), dimana integrasi masyarakat bersumber dari homogenitas tiap-tiap warga masyarakat. Dalam masyarakat ini, warga memiliki nilai etika, kepercayaan, dan gaya hidup yang relatif sama. Semua variable itu diikat dengan jalinan kekeluargaan yang kuat. Sedangkan pada tipe masyarakat semi dan/atau modern, solidaritas berdasar pada kemandirian masing-masing warga masyarakat untuk melakukan tugas dan kerja mereka sendiri. Tipe masyarakat ini disebut sebagai solidaritas

organik. 30 Selain itu adalah hal yang sangat terburu-buru jika menyamakan praktik pemerintah adat di Minangkabau dengan praktek masyarakat adat di tempat lain di Indonesia. Karakteristik masyarakat adat di Indonesia sangat pluralistik, konsep adat Minangkabau mungkin

of Criteria of Indigenous Peoples’] (Paper presented in Watch Indonesia (FWI) Forum, 11- 12 Agustus 2014), 77. 27 Ibid.

28 Ibid. 29 Keebet von Benda-Beckmann, The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and

State Courts in Minangkabau (Foris Publication, 1984) 22. 30 Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (Macmillan, 1893) 32.

tidak akan sama dengan praktek masyarakat adat di wilayah tengah dan timur kepulauan Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan teoritis-konseptual diatas, Naskah Akademik ini akan menggunakan diksi Masyarakat Hukum Adat Dayak.

Penggunaan kata ‘hukum’ untuk menekankan aspek politik-legal dalam masyarakat adat dimaksud, namun tidak dengan serta merta menafikan aspek kultural-sosiologis dalam masyarakat adat dimaksud. Sejatinya, konsep masyarakat adat haruslah dimaknai secara holistik melingkupi aspek kultural, politik dan hukum. Untuk menekankan konteks sosial

kemasyarakatan, kata ‘Dayak’ dipakai guna merujuk pada sub-sub Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kabupaten Pulang Pisau.

3. Hak-hak (Ulayat) Masyarakat Hukum Adat

Mengenai hak-hak adat yang melekat pada masyarakat hukum adat dikenal dua konsep hak adat, yaitu hak adat yang bersifat komunal dan yang bersifat individual. Hak komunal adalah suatu obyek hak yang kepemilikan, penggunaan, pemanfaatannya dan pengambilan hasilnya dilakukan bersama-sama oleh masyarakat adat yang bersangkutan sebagaimana dilakukan oleh para leluhur mereka sebelumnya. Pemanfaatan atau pengambilan hasil atas suatu obyek hak komunal hanya dapat dilakukan dari dan oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan, tidak boleh dilakukan oleh orang luar kelompoknya (orang asing). Khusus untuk pengambilan hasil dari hak komunal pun terbatas hanya untuk konsumsi anggota kelompok yang bersangkutan dan keluarganya. Jadi pengambilan hasil tidak dalam jumlah yang banyak, misalnya untuk dijual. Bertahannya dan lamanya suatu hak komunal tergantung dari kelompok masyarakat hukum adat itu sendiri, artinya semakin kuat dari masyarakat/anggotanya terhadap obyek haknya maka semakin lama pula hak komunal itu dapat bertahan. Akan tetapi semakin lemah rasa pemilikan dan penguasaan atas obyek hak komunal maka secara gradual sifat hak komunal tersebut akan berkurang dan bahkan dapat hilang. Jika hak komunal itu pada akhinya hilang, maka hak komunal dimaksud dapat beralih menjadi hak individual.

Sedangkan hak individual adalah hak yang obyeknya dikuasai dan dimiliki oleh seseorang atau suatu keluarga secara perseorangan atau pribadi. Hak individual statusnya dapat diperoleh sejak awal bahwa hak tersebut adalah hak individual dan dapat pula peralihan hak komunal yang sudah beralih hak menjadi hak individual.

Hak-hak masyarakat hukum adat kerap bersinggungan dengan masalah kepemilikan tanah, dikarenakan masyarakat adat adalah kelompok mayoritas yang berbasis pada penguasaan tanah (land-based minority group). Di dalam hukum adat benda dibagi 2 (dua) golongan, yaitu tanah dan bukan tanah. Termasuk dalam artian tanah meliputi hutan beserta tanaman yang tumbuh diatasnya, padang penggembalaan, sungai besar dan kecil serta danau. Sedangkan benda bukan tanah adalah benda selain seperti diuraikan di atas.

Di dalam beberapa literatur, penyebutan untuk hak ulayat ada beberapa istilah. Prof. Soepomo menyebutnya sebagai hak pertuanan, Prof. M.M. Djojodogoeno mengartikannya sebagai hak purba. Vollenhoven dalam konsep hukum Belanda menyebutnya beschikkingsrecht, masyarakat adat di pulau Sumatera kerap menyebutnya tanah marga, orang Ambon menyebutnya tanah dati, masyarakat Jawa menyebutnya memengkon, orang Bali menyebutnya prabumian dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutnya hak ulayat dan hak yang serupa dengan itu. Pada dasarnya dari istilah-istilah tersebut di atas menunjukkan bahwa penguasaan dan kepemilikan atas tanah tersebut adalah bersifat kolektif.

Dalam perspektif peraturan perundang-undangan, ada beberapa hak-hak adat atas tanah, semisal: (1) hak ulayat, dalam Pasal 3 Undang- Undang (UUPA) No. 5 Tahun 1960; (2) Hak membuka tanah, dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang (UUPA) No. 5 Tahun 1960; dan (3) Hak Atas Tambang Secara Tradisional, dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967.

Selain itu ada beberapa hak-hak adat selain tanah, semisal: (1) Hak memungut hasil hutan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA; (2) Hak guna air, Selain itu ada beberapa hak-hak adat selain tanah, semisal: (1) Hak memungut hasil hutan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA; (2) Hak guna air,

Hak-hak adat juga diatur diluar UUPA, semisal dalam Undang- Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, semisal: (1) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (2) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (3) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Hak ulayat terdiri dari dua suku kata, yaitu hak dan ulayat. Hak artinya adalah hak, kepunyaan, benar dan ulayat (Minang) artinya wilayat, kawasan. Jadi hak ulayat adalah hak atas suatu wilayah atau kawasan. Akan tetapi dari segi peristilahan, pengertian hak ulayat juga ada dikemukakan baik menurut para ahli, maupun perundang- undangan.

Guna lebih jelas memahami hak-hak ulayat masyarakat hukum adat, berikut dipaparkan beberapa peristilahan dan definisi hak ulayat. (1) Hak Purba, adalah istilah yang digunakan oleh Prof. M.M. Djojodigoeno) yang berarti hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.

(2) Menurut Ter Haar, hak ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan (sungai, danau, perairan pantai, laut), tanam-tanaman dan binatang yang ada di wilayah hukum adat masyarakat yang bersangkutan.

(3) Menurut Prof. Boedi Harsono, hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak di dalam lingkungan wilayahnya dan menjadi pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

(4) Menurut Kelompok Pembaruan Agraria, hak ulayat adalah hak-hak masyarakat adat yang meliputi hutan, padang penggembalaan (4) Menurut Kelompok Pembaruan Agraria, hak ulayat adalah hak-hak masyarakat adat yang meliputi hutan, padang penggembalaan

(5) UUPA tidak secara tegas memberi batasan tentang hak ulayat, akan tetapi UUPA dengan tegas ada menyebutkan pengaturan hak ulayat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 nya, yaitu: “dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lainnya yang lebih tinggi. ”

4. Penyelesaian Sengketa Adat

Di Indonesia, semula penyelesaian sengketa adat atau yang kerap disebut sebagai peradilan adat bersifat formal. Akan tetapi semenjak dihapusnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1950 yang mengatur dan mengakui eksistensi peradilan adat, maka semenjak itulah penyelesaian sengketa adat bersifat volanter, dimana negara tidak lagi mengurus badan peradilan adat. Selanjutnya penyelesaian sengketa adat yang ada dimasyarakat sebagian besar ada yang sama sekali tidak berjalan lagi, dan adapula yang masih bertahan. Sejalan dengan berkurangnya lembaga penyelesaian sengketa adat, negara perlahan perlahan namun pasti menggantinya dengan peradilan negara yang setiap tahun perangkatnya dibangun dan personilnya ditambah. Akan tidak semua warga masyarakat memperoleh keadilan dari lembaga peradilan yang dibentuk negara. Bagi daerah yang masih kental dengan kehidupan hukum adatnya, maka penyelesaian sengketa adat masih dipertahankan, salah satu diantara di daerah Kalimantan Tengah.

Komunitas masyarakat yang masih mempertahankan penyelesaian sengketa adat, operasionalisasinya dijalankan dengan kemampuan seadanya, khususnya sarana dan biaya. Untuk Kalimantan Tengah Komunitas masyarakat yang masih mempertahankan penyelesaian sengketa adat, operasionalisasinya dijalankan dengan kemampuan seadanya, khususnya sarana dan biaya. Untuk Kalimantan Tengah

Ada 2 (dua) fungsi utama lembaga Kadamangan di Kalimantan Tengah, yaitu:

1. Sebagai sarana melestarikan dan mempertahankan adat dan budaya membantu pemerintah daerah;

2. Sebagai sarana menyelesaikan perselisihan yang terjadi di wilayahnya.

Untuk alat perlengkapan yang ada di lembaga Kadamangan antara lain, adalah:

1. Musyawarah adat di wilayahnya ;

2. Badan Penyelesaian Sengketa ; Badan penyelesaian sengketa adat diketuai oleh Damang Kepala Adat itu sendiri, dengan dibantu oleh: mantir adat, dan Let adat. Bentuk perkara atau perselisihan yang ditangani tidak diklasifikasikan sebagai perkara perdata atau pidana, semua perkara yang masuk dan ditangani namanya perkara. Diantara perkara yang ditangani di kedamangan antara lain adalah:

1. Perceraian;

2. Warisan;

3. Perkelahian biasa;

4. Perkelahian karena wanita;

5. Perzinahan;

6. Kasus tanah;

7. Sesekali perkara pembunuhan, dengan catatan Polisi belum menanganinya dan pihak pelaku dan keluarga korban meminta Damang dan Kepala Desa untuk menyelesaikannya secara adat.

Untuk subyek-subyek yang berperkara dapat terjadi :

1. Warga dengan warga;

2. Warga dengan orang asing (orang luar daerah);

3. Warga perseorangan dengan pemerintah (perkara tanah);

4. Kelompok masyarakat dengan pemerintah (perkara tanah);

5. Warga dengan perusahaan (perkara tanah);

6. Kelompok warga dengan perusahaan. Putusan Damang Kepala Adat berifat final and binding, tetapi untuk perkara tanah apabila ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan putusan damang, dapat melanjutkannya dengan berperkara ke Pengadilan Negeri.

Untuk sanksi atau hukuman yang diberikan atas pelanggaran yang dilakukan umumnya adalah berupa sanksi denda atau jipen. Besar kecilnya jumlah denda atau jipen tergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh warga. Sedangkan untuk penyelesaian perkara tanah antara warga dengan orang asing (pihak luar), biasanya adalah berupa penggantian sejumlah uang kepada warga atau kelompok warga yang disebut inting pali. Uang dari hasil inting pali dipergunakan untuk biaya pelaksanaan upacara adat dalam rangka “pemulihan keseimbangan” yang terjadi di tempat mereka bertempat tinggal selama ini.

5. Pluralisme Hukum

Pluralisme hukum tidak hanya sebatas kondisi empiris, namun juga menjadi teori pijakan untuk memahami kontestasi hukum-hukum non- negara dengan hukum negara. Teori pluralisme hukum mendukung eksistensi ‘hukum adat’ dan living law. Lewat deskripsinya, teori

pluralism hukum mengakui sebuah fakta bahwa didalam suatu setting negara, ada banyak ‘hukum-hukum’ yang beroperasi dan dituruti sebagai

sebuah sistem nilai. 31 John Griffith, adalah orang pertama yang secara

31 John Griffith, ‘What is Legal Pluralism’ (1986) 24 Journal of Legal Pluralism 35.

detail memberi pengertian dan kategorisasi antara ‘pluralisme hukum kuat’ (‘strong legal pluralism’) dengan ‘pluralisme hukum negara’ (‘state

law pluralism’). 32 Kategori terakhir adalah pluralism hukum ya ng ‘lemah’ dimana sering dianggap sebagai paradoks dari pluralism hukum itu

sendiri. Dalam kondisi ini, hukum-hukum yang hidup sudah dipengaruhi dan terkontaminasi oleh formalitas hukum negara, dimana tidak ada lagi orisinalitas hukum, hanya keberagaman sumber-sumber hukum. Pluralisme hukum negara kerap hanya dianggap sebagai doktrin hukum

semata, dimana ada pluralisme dalam hukum negara. 33 Dengan kata lain, kondisi ini sama dengan sentralisme hukum yang lemah, dimana negara dikonstruksikan dengan hirarki top-down dimana negara diletakkan sebagai posisi dominan, dan hukum-hukum yang hidup diletakkan dalam posisi yang lemah. Strategi hukum ini dijalankan dengan memberi pengakuan legal-formal kepada hukum-hukum non-negara tersebut.

Disisi lain, pluralisme hukum yang kuat adalah situasi dimana tidak semua hukum adalah hukum negara,dan tidak semua hukum diadministrasikan oleh perangkat tunggal hukum negara. Dengan kata lain, tidak sistematisasi dan uniformasi hukum. Pluralisme hukum yang

kuat adalah fakta sosial yang bisa diamati. 34 Dalam setting ini, ada tapal batas yang jelas antara hukum negara dengan hukum-hukum non-

negara yang hidup dimasyarakat. 35

Walaupun kedua tipe pluralisme hukum diatas memiliki perbedaan posisi yang krusial, namun keduanya tetap berada dalam posisi berseberangan dengan paradigm sentralisme hukum. Sehingga bisa disimpulkan bahwa hukum-hukum non-negara yang hidup dimasyarakat adalah elemen terpenting dari pluralisme hukum.

Secara filosofis, kategorisasi dari pluralisme hukum bersumber dari perdebatan klasik antara paradigma positivisme-analitik hukum yang perkenalkan oleh John Austin dengan sarjana sosiologi-hukum. Yang pertama menekankan pada pentingnya peran hukum negara untuk

32 Ibid 5. 33 Ibid 9-10. 34 Ibid.

35 Gordon R Woodman, ‘Legal Pluralism and the Search for Justice’ (1996) 40 2 Journal of African Law, 159.

‘mengatur’ dan ‘menata’ hukum-hukum non-negara yang hidup dimasyarakat lewat strategi pluralisme hukum negara. Yang kedua

menekankan pada perlunya kebebasan dan menjaga keaslian hukum- hukum yang hidup dimasyarakat dari hegemoni dan kontaminasi hukum negara. Sebagaimana telah dicatat oleh Gordon Woodman, beberapa sarjana sosiologi-hukum berbeda pendapat tentang kategorisasi pluralisme hukum. Gillisen, Vanderlinden dan Hooker menerima konsep pluralism hukum negara sebagai bagian dari pluralisme hukum. Sedangkan Griffith menolak pluralism hukum negara sebagai pluralism

hukum. 36 Lebih lanjut, diksi ‘hukum’ dalam ‘pluralisme hukum’ juga

mengundang kritik dari Brian Tamanaha, yang menyebut diski ‘hukum’ tersebut ambigu karena pluralism hukum cenderung untuk menyamakan semua bentuk kontrol sosial sebagai hukum, dan menanggap hukum sama dengan kontrol atau norma sosial. Tamanaha berpendapat bahwa

‘hukum’ sejatinya hanya dipakai untuk merujuk hukum negara saja. 37 Pendekatan Tamanaha terhadap pluralisme hukum jelas berdimensi

positivistik. MB.Hooker, peneliti anthropologi hukum dari Australia melakukan

penelitian mendalam tentang ‘the system of legal pluralism’ sebagai sebuah produk dari kolonialisasi. Ketika negara-negara memasuki masa post-kolonial, negara-negara tersebut mengalami dilema bagaimana

merespon kondisi empiris pluralisme hukum diwilayah negaranya. 38 Pilihan antara dua tipe pluralisme hukum diatas, memiliki kebaikan dan keburukan masing-masing. Ambillah contoh, Gordon Woodman yang mengkritisi pluralisme hukum negara yang dapat membahayakan prinsip kesamaan hak didepan hukum (the principle of equality before the law), dikerenakan negara dapat membuat norma-norma hukum yang berbeda untuk diaplikasikan bagi orang/individu/kelompok yang berbeda dalam

36 Gordon R Woodman, ‘Ideological Combat and Social Observation: Recent Debate about Legal Pluralism’ (1998) 42 Journal of Legal Pluralism and Unoficial Law, 36.

37 Brian Tamanaha, ‘The Folly of the Social Scientific Concept of Legal Pluralism’ (1993)

34 Journal of Law and Society 208. 38 M.B.Hooker, Legal Pluralism: An Introduction to Colonial and Neo-Colonial Laws,

(Clarendon Press , 1975), 1.

satu kondisi yang sama. 39 Namun, strategi pluralisme hukum negara juga mengisyaratkan kemauan dan niat baik negara untuk mengakui dan menghormati aspirasi hukum-hukum non-negara yang hidup di masyarakat, walaupun dengan beberapa prasyarat dan batasan-batasan. Strategi ini juga bertujuan agar hukum-hukum yang hidup dapat beradaptasi bertahap gerak langkah modernisasi. Hukum-hukum non-

negara yang hidup tersebut harus menjadi faktor ‘penggerak’ modernisasi, bukan penghambat. Diharapkan lewat strategi ini, jurang pemisah antara

hukum negara dengan hukum-hukum non-negara bisa dijembatani lewat mengayaan postulat-postulat hukum yang diwacanakan oleh para pengambil kebijakan dan praktisi-praktisi hukum sehingga dapat

mewujudkan akses terhadap keadilan (access to justice). 40 Disisi lain, implementasi strategi pluralisme hukum kuat (strong legal pluralism) bisa menjadi penggerak untuk melindungi dan melestarikan keaslian hukum-hukum yang hidup dimasyarakat. Namun hal tersebut dapat membahayakan kedaulatan hukum negara, dikarenakan negara tidak memiliki akses langsung dan tidak bisa mengontrol dinamika hukum-hukum yang hidup dimasyarakat tersebut. Strategi ini juga dapat menghalangi proses modernisasi, dikarenakan hukum-hukum non-negara tersebut mutlak terpisah dari hukum negara, sehingga hukum-hukum non-negara tersebut tidak dapat digunakan sebagai penghubung atau corong antara negara dengan masyarakat- masyarakat adat.

Perdebatan filosofis-teoritis diatas semata berkisar pada isu kondisi co- eksistensi atau ‘hidup bersama’ antar tradisi-tradisi hukum. Pembacaan tersebut menghasilkan pengkategorian atau dikotomi antara

‘hukum negara’,’hukum non-negara’, dan perbedaan antara ‘pluralisme hukum kuat’ dan ‘pluralisme hukum (lemah) negara’. Pengkategorian ini disebut sebagai sebuah ikhtiar untuk melakukan pemetaan hukum (mapping the legal universe).

39 Woodman, Legal, op.cit 35, 160. 40 Masaji Chiba, ‘Intermediate Variable of Legal Concepts’ (1998) 41 Journal of Legal

Pluralism and Unofficial Law 134.

Namun penting untuk ditekankan bahwa, perkembangan kontemporer tentang pluralisme hukum dan metodologinya sudah banyak berubah. Dalam konteks kekinian, pranata hukum/sosial, dan tradisi hukum sudah saling terikat dan membutuhkan satu sama lain, dan bahkan ada kecenderungan saling berkelindan dan menyatu. Dalam setting dunia yang semakin mengglobal, sulit untuk bisa melakukan purifikasi terhadap hukum-hukum non-negara yang hidup dimasyarakat, terutama memproteksinya dari pengaruh hukum negara. Pluralisme hukum kontemporer tidak semata melakukan pembacaan terhadap kondisi co-eksistensi dan melakukan perbandingan antara norma-norma sosial/hukum dan juga tradisi-tradisi hukum. Fokus dari pluralisme hukum kontemporer adalah untuk memahami bagaimana norma-norma sosial/hukum dan juga tradisi-tradisi hukum tersebut berinteraksi, berkompetisi dan saling mempengaruhi aturan, proses dan institusi masing-masing norma-norma sosial/hukum dan juga tradisi-tradisi

hukum tersebut. 41

Dalam hal memilih antara dua strategi pluralisme hukum diatas, Gordon Woodman mengajukan konsep pluralisme hukum selektif (selective legal pluralism) yang mana tidak bertujuan untuk memilih dan

kemudian menafikan strategi lain dari pluralisme hukum. 42 Namun Naskah Akademik ini cenderung untuk mengaplikasikan pluralisme hukum selektif dalam konteks pluralisme hukum negara, dikarenakan strategi pluralisme hukum selektif tersebut memerlukan dukungan kuat dari kedaulatan politik negara guna memilih dan memilah hukum-hukum non-negara nama yang layak masuk sistem negara dan mana yang tidak layak. Pendapat serupa juga dipaparkan oleh Eugene Ehrlich yang mengatakan bahwa negara perlu memperkuat otoritas hukumnya sembari memperkuat akar sosialnya, dan bekerjasama dengan hukum- hukum yang hidup dimasyarakat, baik dengan mengadopsi atau mengakomodasi aspirasi mereka. Hukum negara harus mampu berpartisipasi secara luwes dalam arena wacana dan kontestasi hukum-

41 Martha- Marie Kleinhans and Roderick A MacDonald, ‘What is a Critical Legal Pl uralism’ (1997) 12 2 Canadian Journal of Law and Society 31. 42 Woodman, Legal op.cit 35, 166.

hukum yang hidup dimasyarakat. 43 Dengan kata lain, hukum negara harus berperan sesuai pepatah kuno Nusantara, tut wuri handayani, dari

belakang seorang ‘guru’ harus bisa memberikan dorongan dan arahan.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Dikarenakan objek kajian Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah bersinggungan erat dengan aspek keadilan sosial, maka pendekatan yang digunakan dalam pembuatan Raperda tersebut harus juga mempertimbangkan aspek filosofis kenegaraan dan kebangsaan.

1. Pancasila

Prinsip ini merupakan norma dasar (groundnorm) dari semua pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pancasila memiliki peran penting tidak hanya sebagai falsafah luhur negara namun juga sebagai arah politik hukum nasional Indonesia. Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak juga harus berkesesuaian dan selaras dengan 5 (lima) sila dalam Pancasila.

2. Bhinneka Tunggal Ika

Sebagai sebuah negara yang besar dalam kuantitas jumlah penduduk, luas wilayah, beragamnya etnis, suku dan agama menjadikan fakta pluralisme atau multikultural menjadi hak yang tidak dapat dinafikan begitu saja di Indonesia. Prinsip pengikat dan pemersatu

bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda- beda namun tetap satu jua’, dalam prinsip ini tersirat makna filosofis

bahwa semua corak khas keberagaman masyarakat Indonesia haruslah diakui sebagai sebuah fakta atau ‘sunatullah’ yang wajib untuk

disyukuri, dijaga dan dilindungi eksistensinya. Namun keberagaman

43 Ehrlich, above n 32, 11.

tersebut harus pandai dikelola oleh negara/pemerintah. Jangan sampai keberagaman tersebut berubah menjadi unsur pemecah belah bangsa dan negara Indonesia. Oleh sebab itu, negara disatu sisi harus mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai asli dan luhur bangsa Indonesia, sementara disisi lain negara harus mampu memberi batasan-batasan dan kepastian hukum tentang budaya-budaya apa saja yang cocok dengan kebutuhan zaman dan menunjang kemajuan bangsa.

3. Kenusantaraan

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERATURAN PEMERINTAH NO.58 TAHUN 2005 TERHADAP AKUNTABILITAS KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO

2 44 15

EFEKTIFITAS ISI PESAN MEDIA BANNER DALAM SOSIALISASI PERATURAN PENERTIBAN BERPENAMPILAN PADA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa FISIP UMM)

2 59 22

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

2 64 102

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI (PTKLN) BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NO.2 TAHUN 2004 BAB II PASAL 2 DI KABUPATEN BONDOWOSO (Studi Kasus pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupa

3 68 17

IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA TERHADAP PEMERINTAHAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

0 31 5

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

PERSEPSI PESERTA DIDIK TERHADAP OPTIMALISASI PELAYANAN PENDIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DI SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG

0 13 72

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 17 50

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN KEMENTERIAN AGAMA DALAM PELAKSANAAN PERATURAN AKAD NIKAH DI KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

13 79 90