Peran dalam Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa

Selain bermanfaat bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga bermanfaat bagi ayah yaitu: 1. Lebih matang secara sosial 2. Merasa lebih puas dengan kehidupan mereka 3. Mampu memahami diri dan berempati dengan orang lain, serta mengelola emosi dengan baik Pengalaman keterlibatan seorang ayah dalam mengasuh anak pertama juga menjadi beban tersendiri bagi seorang ayah. Ayah yang dalam kepercayaan tradisional masyarakat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga dan bergeser terlibat dalam urusan pengasuhan anak secara langsung akan memberikan pengalaman yang baru. Ikut terlibat dalam perawatan anak akan melibatkan emosi, kognisi, fisik, dan perilaku bagi seorang ayah. Sebagai pengalaman baru, merawat anak dapat mempengaruhi emosi ayah. Merawat anak yang baru lahir membutuhkan perhatian serta menyita banyak waktu. Urusan anak dimulai dari menyediakan dan memberi makan, memandikan, dan memakaikan pakaian. Ayah yang terlibat dalam merawat anak juga sekaligus tetap memikirkan nafkah bagi keluarga. Karena itu, ayah yang terlibat dalam mengurus anak bebannya dua kali dibandingkan denan ayah yang tidak ikut merawat anak.

D. Peran dalam Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa

Franz Magnis Suseno mendeskripsikan pola pengasuhan dalam kultur Jawa menunjuk pada adanya perbedaan antara anak laki-laki dan wanita. Anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggungjawab terhadap istri dan anak- anaknya. Anak laki-laki dididik untuk dapat mencari nafkah dan diberi kesempatan untuk mempunyai cita-cita tinggi sehingga orientasinya lebih keluar rumah dan untuk itu dia dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, anak laki-laki tidak dibekali dengan keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah. Anak wanita sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi ibu dan istri yang berbakti pada suami. Untuk itu ia banyak dibekali keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah tangga Franz Magnis Suseno, 2003. Pola pengasuhan ini telah membiasakan laki-laki untuk lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas yang bersifat abstrak, sedangkan wanita justru langsung terlibat dalam tugas-tugas konkret. Akibatnya, laki-laki menjadi gagap ketika harus terjun ke masyarakat, sementara wanita lebih terampil dan luwes karena sudah terbiasa mengelola rumah tangga. Pembiasaan ini juga membuat laki-laki dan wanita jawa ketika dewasa dan membangun rumah tangga memiliki perbedaan dalam cara menyelesaikan masalah; laki-laki cenderung berorientasi abstrak, sedangkan wanita justru bisa lebih taktis dan praktis Franz Magnis Suseno, 2003. Dalam budaya Jawa, ibu wanita menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sedemikian besar sebagaimana tampak dalam cerita-cerita sehari-hari. Peran yang besar dari wanita ini didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Jawa, seperti orang tua lebih memilih ikut anak wanita dibandingkan anak laki-laki, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik. Meskipun aturan normatif Jawa menunjukan bahwa posisi wanita di bawah laki-laki cenderung paternalistik, di dalam pertalian kekerabatan justru yang lebih sering dipakai adalah sistem bilateral dengan tetap memperhitungkan baik garis bapak maupun ibu Franz Magnis Suseno, 2003. Akibat dari penentuan peran-peran yang diharapkan baik ayah maupun ibu dalam kebudayaan Jawa, maka hal ini dibentuk dari sejak kecil. Sehingga ketika dewasa dan menjadi seorang ayah, maka hal tersebut terus terbawa. Ayah lebih banyak berperan di dalam sektor-sektor publik, sementara ibu lebih banyak bersinggungan dengan tugas-tugas di dalam keluarga. Dari peran-peran yang diharapkan bagi seorang ayah maupun seorang ibu maka timbullah permasalahan di dalam keluarga ketika ayah harus terlibat di dalam pengasuhan anak. Ayah dalam kebudayaan Jawa yang tidak dibiasakan untuk membantu urusan keluarga akan kesulitan dalam menyesuaikan diri di dalam keterlibatannya dalam pengasuhan anak.

E. Pertanyaan Penelitian