1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi laki-laki, menjadi ayah merupakan salah satu pengalaman besar dalam hidupnya. Menyandang status sebagai ayah berarti memiliki
tanggungjawab lebih besar dibandingkan dengan masa sebelum-sebelumnya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, figur ayah memiliki tanggungjawab
untuk mencari nafkah bagi keluarganya dan menjadi pemimpin bagi keluarga tersebut. Sedangkan ibu memegang kendali dalam menyelesaikan urusan-
urusan domestik, salah satunya dalam pengasuhan dan atau perawatan anak. Dalam keluarga, kehadiran anak di satu sisi dapat menjadi berkah,
namun di sisi lain akan mendatangkan kesulitan bagi orang tua karena harus menyesuaikan segala hal, terutama soal bagaimana merawatnya kelak.
Dengan lahirnya anak berarti orangtua akan memiliki tanggungjawab yang harus dipikul untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak itu sampai ia
dewasa nanti. Bagi sebagian orangtua, terutama pasangan yang baru saja menikah,
tanggungjawab untuk merawat dan membesarkan anak bukanlah sesuatu yang mudah. Pekerjaan ini memiliki tantangan yang besar dan bisa membuat
stress, apalagi pada masa-masa awal setelah melahirkan. Mereka harus menghadapi suatu rutinitas yang baru dan jika tidak ditangani dengan benar,
mengasuh bayi akan menjadi rutinitas yang membuat stress terutama bagi
ibu. Seperti diketahui bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengasuh dan membesarkan anak, terlepas perannya sebagai wanita karir atau ibu rumah
tangga. Dua-duanya tetap memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu mengasuh anak. Tetapi, tanggungjawab yang harus dihadapi oleh wanita karir
lebih banyak dibandingkan dengan ibu rumah tangga karena mereka masih harus membagi waktu untuk anak-anak dengan pekerjaan mereka.
Suhapti 1995 mengatakan di dalam kehidupan keluarga orang Indonesia telah lama terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan
tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa perempuan lebih pantas mengurus
urusan keluarga peran domestik. Lebih lanjut dijelaskan Retno Suhapti bahwa jika perempuan dan laki-laki seimbang, maka Indonesia akan lebih
indah. Temuan Retno tersebut menunjukkan bahwa perempuan menanggung beban pekerjaan merawat dan membesarkan anak. Selaras dengan Retno,
Henny 2012 dalam hasil penelitiannya menulis bahwa ibu terikat dengan nilai-nilai kebudayaan dalam merawat anak. Oleh karena itu, ibu akan sekuat
tenaga untuk dapat berperan sebagai seorang ibu yang baik. Dalam kebudayaan Jawa, profil ibu yang baik ditunjukkan dengan kemahirannya
menyelesaikan urusan keluarga, termasuk merawat anak. Namun seiring dengan kemajuan di bidang sosial, ekonomi serta
budaya, maka persepsi peran serta figur ayah tidak hanya menjadi satu- satunya yang sumber-sumber penghidupan bagi keluarga. Saat ini, banyak
juga pada ibu yang bekerja di luar rumah. Bahkan di tempat-tempat kerja tidak ada lagi pandangan minor tentang perempuan yang bekerja.
Dalam mengakses ekonomi di sektor publik, antara laki-laki dan perempuan bersaing ketat untuk mendapatkan sumber daya ekonomi.
Demikian juga seiring dengan perubahan regulasi yang memberikan perlindungan lebih di masyarakat berdampak langsung pada tatanan
kehidupan di dalam keluarga, namun di sisi lain masyarakat masih belum siap sepenuhnya.
Dampak perubahan relasional terutama di ruang-ruang publik tersebut, maka laki-laki dan perempuan hanya dibedakan dalam segi
produktifitas kerjanya. Karena itu, figur ibu dan ayah yang sering dibedakan dalam kehidupan keluarga semakin berkurang. Urusan keluarga - termasuk
dalam hal mengurus anak, tidak lagi hanya menjadi urusan ibu semata, akan tetapi juga menjadi tugas bersama antara ibu dengan ayah.
Mengutip pendapat Schumacher Meleis dalam penelitiannya, Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling 2004 mengatakan bahwa dalam
kehidupan keluarga selalu dihadapkan dengan berbagai bentuk transisi sepanjang hidup keluarga itu. Salah satunya adalah transisi menjadi orang
tua. Dalam kesimpulannya, Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling 2004 menjelaskan perlunya transisi dimulai selama kehamilan, periode pasca
kehamilan, hingga usia anak 18 bulan. Oleh karena itu, seiring dengan perubahan peran di dalam mencari
nafkah, maka hal tersebut berdampak langsung terhadap kehidupan di dalam
keluarga. Figur ayah dapat berperan dalam berbagai hal terkait dengan urusan rumah tangga seperti pengasuhan, partisipasi dalam aktivitas dan masalah
pendidikan anak. Kebijakan yang dulu lebih berfokus pada ibu, mulai memberikan kesempatan serta ruang bagi figur ayah untuk mengekspresikan
diri dalam proses parenting pengasuhan. Dalam keadaan dimana sumber penghasilan ayah tidak dapat
mencukupi kebutuhan keluarga, maka menjadi tuntutan bagi ayah untuk membantu mengurus urusan rumah tangga, yaitu mengurus anak. Sedangkan
tugas mencari nafkah dapat dilakukan oleh Ibu. Namun demikian, Reynolds, et al
2003 mengatakan bahwa pengaruh dari ibu bekerja selain menambah penghasilan, mendapat penghargaan dari keluarga, juga berdampak pada
stress, kelelahan, dan konflik keluarga. Berdasarkan uraian di atas, perubahan peran di dalam keluarga
dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah faktor ekonomi. Seorang ayah yang berpenghasilan rendah akan menyulitkan kehidupan
keluarga apabila hanya bergantung pada penghasilan dari ayah. Oleh karena itu, bantuan dari ibu untuk menambah pemasukan bagi keluarga sangatlah
penting, namun hal tersebut akan mengurangi kebersamaan ibu di dalam keluarga. Akibatnya, peran di dalam mengasuh anak yang semula dipegang
oleh ibu, secara otomatis harus diambil oleh ayah. Menurut Palkovits dalam Hidayati, dkk, 2011 keterlibatan ayah
dalam pengasuhan anak antara lain dalam hal berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan
serta berdoa bagi anaknya. Dalam hal pengasuhan, salah seorang informan penelitian, Mj mengatakan perannya yang dijalankan di dalam mengasuh
anak yaitu mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak, dan lain sebagainya. Akan tetapi ada pembagian tugas dengan isteri untuk merawat
anak, agar terlihat lebih ringan beban isteri. Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan dengan
ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu, kepedulian, dukungan dan rasa aman. Menurut Palkovits dalam Hidayati, 2011, anak
yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sangat penting dalam pertumbuhan seorang anak. Ikatan emosional antara ayah dan anak,
ditentukan salah satunya oleh interaksi antara ayah dan anak itu sendiri. Interaksi yang baik antara anak dan ayah ini, dikatakan sangat mempengaruhi
kecerdasan emosional seorang anak yang membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang berhasil.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asa Premberg, Anna-Lena Hellstrom and Marie Berg pada tahun 2007 di Swedia tentang peran ayah
dalam mengasuh anak pertama selama setahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak akan membantu
dalam mendekatkan hubungan antara anak dengan ayahnya, namun menambah beban bagi ayah. Ayah yang berperan mencari nafkah dengan
sendirinya memiliki peran ganda yaitu mengurus anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah di dalam pengasuhan anak turut memberikan kontribusi
penting bagi perkembangan anak, pengalaman yang dialami bersama dengan ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya. Peran serta
perilaku pengasuhan ayah mempengaruhi perkembangan serta kesejahteraan anak dan masa transisi menuju remaja. Perkembangan kognitif, kompetensi
sosial dari anak-anak sejak dini dipengaruhi oleh kelekatan, hubungan emosional serta ketersediaan sumber daya yang diberikan oleh ayah
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki dampak yang positif dalam konteks membangun ikatan emosional antara ayah dan anak.
Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak di dalam keluarga, maka akan mempengaruhi siklus kehidupan di dalam keluarga. Anggota keluarga harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan hubungan yang berkembang di dalam keluarga. Kehadiran anak berarti menambah pekerjaan para orang tua,
termasuk ayah. Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak pertama maka dibutuhkan transisi. Ayah yang ikut merawat anak pertama, sedikit demi
sedikit harus menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Selain karena penting bagi diri anak, keterlibatan ayah di dalam
mengasuh anak telah menjadi tuntutan bagi keluarga baru untuk meringankan beban ibu, terutama ibu yang bekerja. Apalagi jika penghasilan ayah tidak
dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Demikian juga, penambahan peran bagi seorang ayah dari semula sebagai pencari nafkah keluarga menjadi
pengasuh anak merupakan suatu keharusan. Peran ayah di dalam mencari nafkah dapat digantikan oleh Ibu.
Di dalam kultur Jawa peran ganda yang dijalankan ayah tentu menjadi masalah tersendiri, mengingat bahwa seoranag ayah tidak terbiasa untuk
terlibat di dalam pengasuhan anak. Seorang ayah di dalam kultur Jawa, umumnya mencari nafkah. Seiring dengan adanya tuntutan ekonomi seperti
dialami oleh ketiga keluarga informan, maka ayah dituntut untuk menjalankan peran ganda yaitu mencari nafkah dan mengasuh anak seperti
yang dialami oleh ketiga informan. Hal tersebut memberikan pengalaman baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Aktifitas mengasuh anak
cukup menyita banyak waktu, tenaga dan emosi tersendiri bagi seorang ayah. Karena itu, ayah yang terlibat di dalam mengasuh anak akan merasakan
pengalaman baru. Penulis tertarik meneliti pengalaman seorang ayah yang terlibat di
dalam mengasuh anak pertama. Pengalaman seorang ayah yang terlibat mengasuh anak pertama memberikan gambaran dan pelajaran bagaimana
seorang ayah mengatur antara pekerjaan dan pengasuhan anak. Berdasarkan uraian tersebut, maka judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Pengalaman Seorang Ayah yang Merawat Anak Pertama”.
B. Rumusan Masalah