Studi deskriptif pengalaman ayah yang ikut serta dalam merawat anak pertama.

(1)

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini NIM : 069114105

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini NIM : 069114105

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan identitas di bawah ini:

Nama : Laurensia Wulan Kusuma Anggraini

NIM : 069114105

Fakultas/Jurusan/Prodi : Psikologi

menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan guna mencapai derajat kesarjanaan di perguruan tinggi manapun. Karya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah. Jika terdapat bukti adanya plagiasi, saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Yogyakarta, 24 Juni 2013 Yang menyatakan,


(6)

v

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini

ABSTRAK

.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman seorang ayah yang ikut merawat anak pertama. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskripttif. Penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang difokuskan pada suatu fenomena tertentu (penelitian fenomenologis), yaitu mendeskripsikan pemahaman pengalaman hidup beberapa orang tentang konsep/fenomena. Pengambilan data dalam penelitian yaitu menggunakan teknik wawancara. Teknik wawancara adalah percakapan dengan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: Pola pertama, yaitu merawat anak pertama menyita tenaga, waktu dan emosi ayah. Seseorang yang baru memerankan satu peran tertentu akan sangat kesulitan. Demikian juga di dalam pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama akan merasakan pengalaman baru. Perasaan yang dirasakan oleh ayah yang ikut mengurus anak pertama yaitu capek, waktu habus sampai timbul emosi yang cenderung berakibat pada mudah marah-marah. Mengurus anak cukup sulit. Pola kedua, ayah yang ikut merawat anak pertama merupakan pengalaman baru dan menjadi keharusan karena tuntutan ekonomi. Pada umumnya menjadi urusan para ibu di dalam keluarga Jawa. Namun karena pergeseran kebudayaan serta faktor-faktor lainnya yang mulai merasuki kebudayaan Jawa, maka terjadi perubahan pola hidup di masyarakat, salah satunya dalam hal pengasuhan anak.


(7)

vi

A DESCRIPTIVE STUDY OF THE EXPERIENCE OF FATHER WHO PARTICIPATES CARING A CHILD

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini

ABSTRACT

This study was aimed to describe the experience of a father who participates caring a child. This research was a descriptive study, which produced and processed data descriptively. The descriptive research used in this research was a descriptive qualitative research focused on a particular phenomenon (phenomenological research), which describes some of the life experiences to understand the concept / phenomena. Data collection technique was using interview. The interview technique was a conversation with questions and answers which were directed to achieve certain goals. The results showed that: The first pattern, which was caring for the first child seized power, time and emotion of a father. Someone who has played a particular role would be very difficult. Similarly, in the experience of fathers who took care for the first child would become a new experience. The feeling of a father who took care of the first child was tired, spent the time which resulting emotions that tend to arise the anger. The child care was quite difficult. The second pattern, the father who took care for the first child was becomes a new experience and a must for economic reasons. Generally, caring child was a matter for the mothers in the Java family. However, due to a shift in culture as well as other factors that began to permeate the culture of Java, then a change in the pattern of life in the community, one of them in child care.


(8)

vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

NAMA : LAURENSIA WULAN KUSUMA ANGGRAINI NIM : 069114105

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA

supaya dipergunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan akademis.

Dengan demikian, pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma berhak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Terima kasih.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal: 24 Juni 2013 Yang menyatakan,


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan Yesus Kristus kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Halangan dan gangguan terkadang menghampiri, namun adanya dukungan dari orang-orang yang selalu menyayangi dan mencintai saya membuat saya bertahan dan dapat menyelesaikan halangan dan kendala. Sebagai orang yang belum terampil dalam melakukan penelitian, saya menerima banyak dukungan serta bimbingan baik secara moril maupun materil yang sangat berharga. Maka dengan hormat secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dan sekaligus selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, kesempatan, saran, dan kesabaran dalam membimbing skripsi saya selama hampir 3 tahun.

2. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan kebijaksanaannya mendidik dan mengajar saya selama menempuh bangku perkuliahan.

3. Ibu A. Tanti Arini selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu setia dengan sabar mendengarkan keluhan-keluhan para mahasiswa tingkat akhir ini

4. Staf Fakultas : Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie, atas bantuannya selama saya menuntut ilmu di Fakultas Psikologi.


(10)

ix

5. Mama yang tidak bosan-bosannya selalu mengingatkan dan mendoakan agar anaknya bisa cepat selesa skripsinya, dan akhirnya doa mama terkabul juga. 6. Adik-adikku tersayang Lintang dan Bagas yang juga senantiasa sebagai

penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Keluarga besar rumah Jogja; Eyang putri, Bude Emi, Mba Cici, Oscar yang tidak bosan-bosan nya selalu memberikan dukungan dan doa, agar aku bisa cepat menyelesaikan skripsi yang sekian lama aku tunda.

8. Pacarku, kekasihku Raden Emmanuel Natalino Kusumo Anggoro, terimakasih atas perhatian dan kasih sayangmu yang luar biasa hingga saat ini, mau mendampingiku dengan banyak cobaan dan rintangan dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Semua pihak-pihak yang memberikan data dalam penelitian ini : Bapak-bapak para subjek ku yang mau direpotkan berkali-kali untuk bisa ditemui dan diwawancarai, terimakasih atas waktu nerharga yang sudah mau diberikan kepada saya.

10. Semua teman-temanku di Psikologi angkatan 2006 dan 2007 yang sudah dibatas akhir dalam menyelesaikan studi, ayoek semangat temaann..waktu kita hampir habis!!

11. Sahabat-sahabat dan teman-teman sosialitaku Devi, Dita, Lili, Wandan, Sasa, Dhea yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat agar aku bisa menyelesaikan skripsi ini.


(11)

x

12. Keluarga besar P2TKP Pak Tony, Mba Tia, Mba Diana, yang juga sudah memberikan kesempatan untuk aku bisa belajar dan mengaplikasikan ilmu Psikologi yang kudapat.

13. Semua teman-temanku di Psikologi di semua angkatan yang sudah memberikan kesempatan untuk bisa berdinamika, dan mengenal bersama, bermain, berkumpul, dan bercanda bersama Paimun, Abe, Endi, Arya, Timo, Anggit, Manto, Eva, Noy, Sella, Tia, Uline, Ayu, Eek, Guntur dan semua teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu kalian semua luar biasa!!

14. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya tulis ini. Terima Kasih.

Yogyakarta, 24 Juni 2013 Laurensia Wulan Kusuma Anggraini


(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I. PENDAHULUAN………..………….. 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B.Rumusan Masalah………. 7

C.Tujuan Penelitian...……….…. 8

D.Manfaat Penelitian... 8

1.Manfaat Praktis... 8

2.Manfaat Praktis... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

A.Pengertian Gender... 9


(13)

xii

C.Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak... 18

D.Peran Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa... 22

E.Pertanyaan Penelitian... 24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 25

A. Jenis Penelitian... 25

B.Batasan Istilah... 25

C.Subjek Penelitian... 28

D. Teknik Pengambilan Data... 29

E.Analisis Data... 30

1.Organisasi Data... 30

2.Koding dan Analisis... 31

3.Melakukan Kategorisasi, Interpretasi, dan Pembahasan Hasil Penelitian... 31

F.Keabsahan Data... 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 35

A.Pandangan Subjektif Peneliti Mengenai Peran Ayah dalam Merawat Anak Pertama... 35

B.Pelaksanaan Penelitian... 36

C.Hasil Peneltian…………... 38

1.Deskripsi Informan Penelitian... 38

2.Hasil Analisis Data Penelitian... 40


(14)

xiii

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 58

A.Kesimpulan... 58

B.Saran... 60

1.Bagi Ayah Baru atau Calon Ayah Baru... 60

2.Bagi Peneliti Selanjutnya... 60

DAFTAR PUSTAKA... 61


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara... 26 Tabel 2. Pengalaman Ayah yang Ikut Merawat Anak Pertama... 40 Tabel 3. Sintesis Pengalaman menjadi Seorang Ayah Baru... 47


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 1……….. 63

Lampiran 2. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 2... 75

Lampiran 3. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 3... 94


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi laki-laki, menjadi ayah merupakan salah satu pengalaman besar dalam hidupnya. Menyandang status sebagai ayah berarti memiliki tanggungjawab lebih besar dibandingkan dengan masa sebelum-sebelumnya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, figur ayah memiliki tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya dan menjadi pemimpin bagi keluarga tersebut. Sedangkan ibu memegang kendali dalam menyelesaikan urusan-urusan domestik, salah satunya dalam pengasuhan dan atau perawatan anak.

Dalam keluarga, kehadiran anak di satu sisi dapat menjadi berkah, namun di sisi lain akan mendatangkan kesulitan bagi orang tua karena harus menyesuaikan segala hal, terutama soal bagaimana merawatnya kelak. Dengan lahirnya anak berarti orangtua akan memiliki tanggungjawab yang harus dipikul untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak itu sampai ia dewasa nanti.

Bagi sebagian orangtua, terutama pasangan yang baru saja menikah, tanggungjawab untuk merawat dan membesarkan anak bukanlah sesuatu yang mudah. Pekerjaan ini memiliki tantangan yang besar dan bisa membuat stress, apalagi pada masa-masa awal setelah melahirkan. Mereka harus menghadapi suatu rutinitas yang baru dan jika tidak ditangani dengan benar, mengasuh bayi akan menjadi rutinitas yang membuat stress terutama bagi


(18)

ibu. Seperti diketahui bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengasuh dan membesarkan anak, terlepas perannya sebagai wanita karir atau ibu rumah tangga. Dua-duanya tetap memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu mengasuh anak. Tetapi, tanggungjawab yang harus dihadapi oleh wanita karir lebih banyak dibandingkan dengan ibu rumah tangga karena mereka masih harus membagi waktu untuk anak-anak dengan pekerjaan mereka.

Suhapti (1995) mengatakan di dalam kehidupan keluarga orang Indonesia telah lama terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa perempuan lebih pantas mengurus urusan keluarga (peran domestik). Lebih lanjut dijelaskan Retno Suhapti bahwa jika perempuan dan laki-laki seimbang, maka Indonesia akan lebih indah. Temuan Retno tersebut menunjukkan bahwa perempuan menanggung beban pekerjaan merawat dan membesarkan anak. Selaras dengan Retno, Henny (2012) dalam hasil penelitiannya menulis bahwa ibu terikat dengan nilai-nilai kebudayaan dalam merawat anak. Oleh karena itu, ibu akan sekuat tenaga untuk dapat berperan sebagai seorang ibu yang baik. Dalam kebudayaan Jawa, profil ibu yang baik ditunjukkan dengan kemahirannya menyelesaikan urusan keluarga, termasuk merawat anak.

Namun seiring dengan kemajuan di bidang sosial, ekonomi serta budaya, maka persepsi peran serta figur ayah tidak hanya menjadi satu-satunya yang sumber-sumber penghidupan bagi keluarga. Saat ini, banyak


(19)

juga pada ibu yang bekerja di luar rumah. Bahkan di tempat-tempat kerja tidak ada lagi pandangan minor tentang perempuan yang bekerja.

Dalam mengakses ekonomi di sektor publik, antara laki-laki dan perempuan bersaing ketat untuk mendapatkan sumber daya ekonomi. Demikian juga seiring dengan perubahan regulasi yang memberikan perlindungan lebih di masyarakat berdampak langsung pada tatanan kehidupan di dalam keluarga, namun di sisi lain masyarakat masih belum siap sepenuhnya.

Dampak perubahan relasional terutama di ruang-ruang publik tersebut, maka laki-laki dan perempuan hanya dibedakan dalam segi produktifitas kerjanya. Karena itu, figur ibu dan ayah yang sering dibedakan dalam kehidupan keluarga semakin berkurang. Urusan keluarga - termasuk dalam hal mengurus anak, tidak lagi hanya menjadi urusan ibu semata, akan tetapi juga menjadi tugas bersama antara ibu dengan ayah.

Mengutip pendapat Schumacher & Meleis dalam penelitiannya, Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling (2004) mengatakan bahwa dalam kehidupan keluarga selalu dihadapkan dengan berbagai bentuk transisi sepanjang hidup keluarga itu. Salah satunya adalah transisi menjadi orang tua. Dalam kesimpulannya, Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling (2004) menjelaskan perlunya transisi dimulai selama kehamilan, periode pasca kehamilan, hingga usia anak 18 bulan.

Oleh karena itu, seiring dengan perubahan peran di dalam mencari nafkah, maka hal tersebut berdampak langsung terhadap kehidupan di dalam


(20)

keluarga. Figur ayah dapat berperan dalam berbagai hal terkait dengan urusan rumah tangga seperti pengasuhan, partisipasi dalam aktivitas dan masalah pendidikan anak. Kebijakan yang dulu lebih berfokus pada ibu, mulai memberikan kesempatan serta ruang bagi figur ayah untuk mengekspresikan diri dalam proses parenting (pengasuhan).

Dalam keadaan dimana sumber penghasilan ayah tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga, maka menjadi tuntutan bagi ayah untuk membantu mengurus urusan rumah tangga, yaitu mengurus anak. Sedangkan tugas mencari nafkah dapat dilakukan oleh Ibu. Namun demikian, Reynolds, et al (2003) mengatakan bahwa pengaruh dari ibu bekerja selain menambah penghasilan, mendapat penghargaan dari keluarga, juga berdampak pada stress, kelelahan, dan konflik keluarga.

Berdasarkan uraian di atas, perubahan peran di dalam keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah faktor ekonomi. Seorang ayah yang berpenghasilan rendah akan menyulitkan kehidupan keluarga apabila hanya bergantung pada penghasilan dari ayah. Oleh karena itu, bantuan dari ibu untuk menambah pemasukan bagi keluarga sangatlah penting, namun hal tersebut akan mengurangi kebersamaan ibu di dalam keluarga. Akibatnya, peran di dalam mengasuh anak yang semula dipegang oleh ibu, secara otomatis harus diambil oleh ayah.

Menurut Palkovits (dalam Hidayati, dkk, 2011) keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak antara lain dalam hal berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan


(21)

serta berdoa bagi anaknya. Dalam hal pengasuhan, salah seorang informan penelitian, Mj mengatakan perannya yang dijalankan di dalam mengasuh anak yaitu mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak, dan lain sebagainya. Akan tetapi ada pembagian tugas dengan isteri untuk merawat anak, agar terlihat lebih ringan beban isteri.

Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan dengan ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu, kepedulian, dukungan dan rasa aman. Menurut Palkovits (dalam Hidayati, 2011), anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sangat penting dalam pertumbuhan seorang anak. Ikatan emosional antara ayah dan anak, ditentukan salah satunya oleh interaksi antara ayah dan anak itu sendiri. Interaksi yang baik antara anak dan ayah ini, dikatakan sangat mempengaruhi kecerdasan emosional seorang anak yang membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang berhasil.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asa Premberg, Anna-Lena Hellstrom and Marie Berg pada tahun 2007 di Swedia tentang peran ayah dalam mengasuh anak pertama selama setahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak akan membantu dalam mendekatkan hubungan antara anak dengan ayahnya, namun menambah beban bagi ayah. Ayah yang berperan mencari nafkah dengan sendirinya memiliki peran ganda yaitu mengurus anak.


(22)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah di dalam pengasuhan anak turut memberikan kontribusi penting bagi perkembangan anak, pengalaman yang dialami bersama dengan ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya. Peran serta perilaku pengasuhan ayah mempengaruhi perkembangan serta kesejahteraan anak dan masa transisi menuju remaja. Perkembangan kognitif, kompetensi sosial dari anak-anak sejak dini dipengaruhi oleh kelekatan, hubungan emosional serta ketersediaan sumber daya yang diberikan oleh ayah

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki dampak yang positif dalam konteks membangun ikatan emosional antara ayah dan anak. Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak di dalam keluarga, maka akan mempengaruhi siklus kehidupan di dalam keluarga. Anggota keluarga harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan hubungan yang berkembang di dalam keluarga. Kehadiran anak berarti menambah pekerjaan para orang tua, termasuk ayah. Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak pertama maka dibutuhkan transisi. Ayah yang ikut merawat anak pertama, sedikit demi sedikit harus menyesuaikan dengan kondisi yang baru.

Selain karena penting bagi diri anak, keterlibatan ayah di dalam mengasuh anak telah menjadi tuntutan bagi keluarga baru untuk meringankan beban ibu, terutama ibu yang bekerja. Apalagi jika penghasilan ayah tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Demikian juga, penambahan peran bagi seorang ayah dari semula sebagai pencari nafkah keluarga menjadi


(23)

pengasuh anak merupakan suatu keharusan. Peran ayah di dalam mencari nafkah dapat digantikan oleh Ibu.

Di dalam kultur Jawa peran ganda yang dijalankan ayah tentu menjadi masalah tersendiri, mengingat bahwa seoranag ayah tidak terbiasa untuk terlibat di dalam pengasuhan anak. Seorang ayah di dalam kultur Jawa, umumnya mencari nafkah. Seiring dengan adanya tuntutan ekonomi seperti dialami oleh ketiga keluarga informan, maka ayah dituntut untuk menjalankan peran ganda yaitu mencari nafkah dan mengasuh anak seperti yang dialami oleh ketiga informan. Hal tersebut memberikan pengalaman baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Aktifitas mengasuh anak cukup menyita banyak waktu, tenaga dan emosi tersendiri bagi seorang ayah. Karena itu, ayah yang terlibat di dalam mengasuh anak akan merasakan pengalaman baru.

Penulis tertarik meneliti pengalaman seorang ayah yang terlibat di dalam mengasuh anak pertama. Pengalaman seorang ayah yang terlibat mengasuh anak pertama memberikan gambaran dan pelajaran bagaimana seorang ayah mengatur antara pekerjaan dan pengasuhan anak. Berdasarkan uraian tersebut, maka judul penelitian ini adalah sebagai berikut: “Pengalaman Seorang Ayah yang Merawat Anak Pertama”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimana pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama?.


(24)

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Bagi calon ayah baru

Memberikan informasi mengenai gambaran pengalaman subyektif seorang ayah yang ikut berperan serta dalam merawat anak pertama.

b. Bagi masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat untuk menambah wacana mengenai gambaran pengalaman seorang ayah yang ikut serta dalam merawat anak pertamanya.

2. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah menambah keragaman penelitian psikologi terutama mengenai pengalaman subjektif seorang ayah yang ikut merawat anak pertamanya yang baru lahir.


(25)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Gender

Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set perilaku- perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan. Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender. Dalam pengertian ini, gender berbeda dengan maskulin.

Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Maskulinitas dan femininitas ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi manusia.

O'Neal, Good dan Holmes (1995) menyatakan bahwa konflik peran-peran gender merupakan suatu keadaan psikologis, dimana sosialisasi peran-peran gender memiliki konsekuensi negatif terhadap orang tersebut atau orang lain. Konflik peran gender tampil bila peran-peran gender yang kaku, seksis, atau terbatas, menimbulkan pribadi yang terbatas, merendahkan atau mengganggu orang lain atau dirinya. Hasil akhir dari konflik ini adalah suatu keterbatasan


(26)

dari potensi kemanusiaan pada seseorang yang mengalami konflik atau keterbatasan dari potensi orang lain.

Konflik peran gender merupakan konsep yang multidimensional dan kompleks. Bagaimana peran gender dipelajari, diinternalisasikan dan dialami, mulai dari anak-anak sampai dewasa akhir, sangat kompleks, khas dan bersifat individual. Terdapat perbedaan-perbedaan generasi, ras, orientasi jenis kelamin, usia dan etnik dalam pengalaman konflik peran gender. Secara keseluruhan, konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidaksadaran, atau perilaku yang disebabkan oleh sosialisasi peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang siksis dan patriarchal.

Konflik peran gender beroperasi pada empat tingkatan yang saling tumpang tindih dan kompleks, yakni kognisi, pengalaman-pengalaman afektif, perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalaman ketidaksadaran. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin. Sikap-sikap yang stereotip dan pandangan dunia tentang laki-laki dan perempuan hasil dari keterbatasan kognitif. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminin.

Perasaan senang atau tidak senang yang selalu mnyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang lemah tau kadang-kadang-kadang-kadang tidak jelas (samar-samar). Dalam hal warna


(27)

afetif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mnedalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito, 1982:59). Di samping perasaan seneng atau tidak seneng, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cintah, marah, takut, cemas dan benci.

Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi.

Adapun kondisi emosional seseorang terdiri atas hal-hal berikut: 1. Cinta/Kasih Sayang

Faktor penting dalam diri seseorang adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting. Seorang ayah yang baru memiliki anak pertama akan merasakan bagaimana perasaan cinta dan sayangnya kepada anak.

2. Gembira

Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami. Kehadiran anak pertama juga dapat menghadirkan kegembiraan bagi keluarga baru, apalagi


(28)

keluarga yang sudah lama menunggu-nununggu kehadiaran anak pertamanya.

3. Keamarahan dan Permusuhan

Di dalam menjalani hari-hari di awal-awal minggu, bulan, perasaan seorang ayah terkadang bercampur baur antara senang dan marah. Karena harus membagi waktu bekerja yang terkadang menyita waktu dengan ikut terlibat di dalam merawat anak pertama. Ayah terutama sekali dituntut untuk menghasilkan pemasukan ekonomi bagi keluarga, juga merasa ingin terlibat dalam pegnmasuhan anak pertama.

4. Ketakutan Dan Kecemasan

Seiring dengan perjalanan waktu di dalam merawat anak biasanya ayah yang kurang istirahat dihantui rasa kecemasan di dalam dirinya. Rasa cemas tersebut wajar timbul karena kurangnya waktu istirahat bagi ayah yang terlibat di dalam mengasuh anak.

Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminism.

Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan perilaku berasal dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas sebagai mana kita berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri kita sendiri dan orang lain.

Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran merepresentasikan konflik intrapsikis dan konflik-konflik yang direpresi ke


(29)

alam bawah kesadaran mengenai maskulinitas dan femininitas. Mengevaluasi dan memahami tingkatan-tingkatan yang berbeda dari konflik peran gender sebagaimana beroperasi secara simultan pada kehidupan manusia merupakan hal yang kompleks.

Seorang laki-laki mengalami konflik peran gender langsung maupun tidak langsung melalui enam hal, yakni bila mereka : (1) berbeda dari atau melanggar norma-norma peran gender (Pleck, 1981) (2) mencoba menemukan atau gagal menemukan norma-norma peran maskulin (3) mengalami adanya jarak antara konsep dirinya yang nyata dan yang ideal, yang didasarkan atas stereotip peran gender (Garnets & Pleck, 1979) (4) secara personal merendahkan, membatasi dan merusak diri sendiri (O'Neil, 1990; O'Neil, Fishman & Kinsella-Shaw, 1987) (5) mengalami perendahan nilai, keterbatasan atau gangguan dari orang-orang lain (6) secara pribadi merendahkan, membatasi atau mengganggu orang lain karena stereotip peran gender.

Keenam konteks dan keempat tingkatan dari konflik peran gender yang diutarakan di atas, merupakan pondasi konseptual terhadap pengalaman individu pada konflik. Berdasarkan hal tersebut O'Neil dan kawan-kawan membentuk skema diagnostik yang mengandung tiga pengalaman personal dari konflik peran gender pada konteks tiga situasi. Konteks yang tumpang tindih termasuk konflik peran gender di dalam diri sendiri, konflik peran gender yang disebabkan oleh orang lain dan konflik peran gender yang diekspresikan kepada orang lain. Konteks ini menampilkan konflik peran


(30)

gender yang dialami secara internal pada diri seseorang, dipengaruhi oleh konflik orang-orang atau diekspresikan terhadap orang lain.

Pengalaman personal dari konflik peran gender didefinisikan sebagai konsekuensi negatif dari peran gender dalam peristilahan perendahan, keterbatasan dan gangguan-gangguan peran gender. Bila individu-individu terendahkan, terbatasi, dan terganggu yang disebabkan oleh seksisme dan konflik peran gender dapat beresiko pada kesehatan fisik maupun psikis. Contohnya bila seorang laki-laki yang konform dengan norma-norma maskulin dalam hal secara emosional tidak ekpresif bisa jadi beresiko pada permasalahan kesehatan dan masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan. Pada sisi lain seorang laki-laki yang bebas mengekspresikan emosinya direndahkan oleh orang-orang lain karena mengekspresikan emosi adalah stereotip feminin.

Proses kognisi, emosi, perilaku dan ketidaksadaran dapat berinteraksi menyebabkan seseorang merasa jelek tentang dirinya atau menghasilkan hubungan yang negatif dengan orang lain. Hasil personal dari konflik peran gender termasuk kecemasan, depresi, self esteem yang rendah dan stres. Hasil dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal bisa berupa keterbatasan intimasi, ketidakbahagiaan dalam berhubungan, konflik pekerjaan, kekuasaan dan kontrol dalam hubungan serta bisa sampai pada serangan fisik dan seksual. Aspek-aspek negatif dari stereotip maskulin merupakan sistem mistik dan nilai, yang diartikan sebagai suatu set kompleks dari nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang mendefenisikan maskulinitas optimal.


(31)

Menurut O'Neil dan kawan-kawan Mistik Maskulin dan sistem nilai merupakan aspek-aspek negatif dari stereotip maskulin. Mistik Maskulin dan sistem nilai didefenisikan sebagai set dari nilai-nilai dan kepercayaan yang kompleks dalam mengartikan maskulinitas. Nilai-nilai ini, dipelajari sejak tahap awal sosialisasi, yang didasarkan pada stereotip dan kepercayaan-kepercayaan yang kaku tentang laki-laki, maskulin dan feminin. Mistik Maskulin dan sistem nilai ini menghasilkan ketakutan akan femininitas pada kehidupan pria.

Sosialisasi peran gender, sistem mistik dan nilai maskulin serta ketakutan akan femininitas berhubungan dengan pola-pola konflik peran gender yaitu konflik antara pekerjaan dan hubungan keluarga. Mengalami kesulitan dalam mengimbangi pekerjaan-pekerjaan dan hubungan-hubungan keluarga, yang dapat menghasilkan masalah kesehatan, kelebihan kerja, stres dan suatu ketidakmampuan untuk bersenang-senang dan relaks.

Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak sebenarnya mengalami konflik sebagaimana disebutkan dalam pola keempat di atas. Norma yang melekat kepada ayah sebagai pencari nafkah bagi keluarga tetap menjadi beban spikologis, namun di sisi lain seiring dengan bergesernya budaya serta struktur sosial ayah mulai ikut terlibat dalam urusan-urusan domestik rumah tangga.

Konflik yang dirasakan oleh ayah dalam kaitannya dengan perannya merawat anak serta mencari nafkah untuk keluarga secara langsung akan menambah beban psikologis. Beban dan tanggungjawab untuk merawat anak


(32)

seperti dialami oleh para ibu bukanlah pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Namun demikian, karena keinginan dan atau karena menumpuknya beban Ibu, sehingga ayah perlu terlibat dalam urusan domestik salah satunya dengan mengurus anak.

B. Peranan Budaya pada Sosialisasi Peran Gender

Menurut Frieze (1978), peran budaya pada perkembangan peran gender, dimulai dengan peran yang mendikte pengkategorisasian dan penggeneralisasian dalam proses kognitif seorang anak. Selanjutnya melalui berbagai alternatif, model budaya juga menyediakan suatu daya dorong dalam perubahan skemata kognitif seseorang.

Peran budaya ini dimulai dari keluarga, dimana anak mengamati adanya perbedaan perilaku pada keluarga ke dalam sistem kategorinya. Pada skala yang lebih besar, struktur dan organisasi sosial, misalnya struktur keluarga dalam suatu masyarakat merupakan sumber data dimana seorang anak mempergunakannya untuk membentuk stereotip peran gender. Jadi aspek-aspek budaya dari suatu masyarakat mendikte perilaku melalui model peran anak yang pertama. Selain itu budaya juga mendikte perilaku dari model-model peran yang diproyeksikan dalam setiap kenyataan pada jaringan media. Karakter TV, memerankan stereotip budaya.

Media massa menunjukkan konsekwensi dari pelanggaran norma-norma gender, menggambarkan hadiah bagi yang conform (menyesuaikan diri) dengan norma gender dan hukuman bagi yang melakukan


(33)

penyimpangan. Teman-teman sebaya anak juga menyingkapkan informasi budaya yang sama, budaya mempengaruhi perilaku dari model teman-teman sebaya. Budaya juga mempengaruhi respons-respons orang lain terhadap anak. Dimana kemudian respons masyarakat secara luas juga memberikan masukan sebagai dasar dari stereotip anak.

Kesimpulannya menurut Frieze (1978, dalam Nauly, 1993) bila anak berhadapan dengan pola-pola stimulus sosial, ia akan membentuk suatu stereotip gender yang konform dengan stereotip yang ada pada masyarakat tersebut. Namun bila terdapat model yang tidak sesuai dengan pola stereotip yang ada pada masyarakat tersebut, anak akan memiliki alasan untuk bertanya tentang kebenaran stereotip dan menyesuaikan skemata peran- peran gender yang dimilikinya.

Jadi dalam hal ini budaya berinteraksi dengan perkembangan kognitif dalam perolehan peran gender. Melalui perilaku model-model dan melalui respons-respons terhadap anak, budaya memberikan masukan sensoris yang menyajikan dasar dari stereotip gender pada anak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis dan dapat dipengaruhi oleh faktor sosialisasi yang terjadi secara intens mempengaruhi suatu masyarakat. Demikian juga dengan cara pandang tentang perempuan dan laki-laki dan kompleksitas peran-peran yang dimainkan olehnya mulai berubah seiring dengan sosialisasi intens melalui media maupun yang lainnya.


(34)

C. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak

Definisi ayah mengalami variasi diantara budaya-budaya, hal ini disebabkan antar kelompok budaya membentuk definisi mengenai fungsi pengasuhan yang berbeda baik itu bagi ayah maupun ibu (Lamb, dalam Frogman, dkk, 2000). Fathering merupakan peran yang dimainkan seseorang yang berkaitan dengan anak, bagian dari sistem keluarga, komunitas, dan budaya (Lynn, dalam Frogman, dkk, 2002). Good fathering merefleksikan keterlibatan positif ayah dalam pengasuhan melalui aspek afektif, kognitif, dan perilaku.

Ayah bertanggung jawab secara primer terhadap kebutuhan finansial keluarga. Ibu bertanggung jawab terhadap pengasuhan dasar. Bermain dengan anak, dukungan emosional, monitoring, dan hal yang berkaitan dengan disiplin dan aturan cenderung dibagi bersama oleh ayah dan ibu. Lamb, dkk (dalam Palkovits, 2002) membagi keterlibatan ayah dalam 3 komponen yaitu; 1. Paternal engagement: pengasuhan yang melibatkan interaksi langsung antara ayah dan anaknya, misalnya lewat bermain, mengajari sesuatu, atau aktivitas santai lainnya.

2. Aksesibiltas atau ketersediaan berinteraksi dengan anak pada saat dibutuhkan saja. Hal ini lebih bersifat temporal.

3. Tanggung jawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi anak. Pada komponen ini ayah tidak terlibat dalam pengasuhan (interaksi) dengan anaknya.


(35)

Palkovits (2002) menyimpulkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki beberapa definisi, diantaranya:

1. Terlibat dengan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak (McBride & Mills,1993).

2. Melakukan kontak dengan anak 3. Dukungan finansial

4. Banyaknya aktivitas bermain yang dilakukan bersama-sama.

Keterlibatan dalam pengasuhan juga diartikan sebagai seberapa besar usaha yang dilakukan oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan serta berdoa bagi anaknya (Palkovits, 2002). Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan dengan ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu, kepedulian, dukungan dan rasa aman. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi (Palkovits, 2002).

Hal ini terjadi bila ayah mengembangkan model pengasuhan yang positif. Keterlibatan akan menimbulkan efek yang negatif apabila dalam praktek pengasuhannya, ayah menunjukkan perilaku negatif, dan melibatkan hukuman fisik. Dari hal di atas dapat disimpulkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan membawa manfaat besar bagi perkembangan anak, hanya apabila keterlibatan tersebut cocok, hangat, bersifat positif, membangun dan memfasilitasi anak untuk berkembang.


(36)

Adapun manfaat keterlibatan pengasuhan ayah bagi anak adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan kognitif.

Bayi yang telah menerima perlakuan serta pengasuhan dari figur ayah akan menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif pada usia 6 bulan. Pada saat menginjak usia 1 tahun, mereka akan menunjukkan peningkatan fungsi kognitif, baik dalam hal pemecahan masalah, pada usia 3 tahun memiliki tingkat intelegensi lebih tinggi dari seusianya. Ketika diperbandingkan dengan ibu, pola pembicaraan ayah dengan balita lebih diarahkan ke hal yang sifatnya pertanyaan misalnya apa, kemana; hal ini mengakibatkan anak akan lebih komunikatif dalam berinteraksi, menggunakan kosakata dan kalimat yang lebih bervariasi.

Mereka yang mendapat pengasuhan dari ayah, akan menunjukkan prestasi akademik. Dukungan akademik yang diberikan oleh ayah, berkorelasi positif dengan motivasi akademik remaja. Mereka akan termotivasi untuk melakukan performansi akademik terbaik, dan mengutamakan nilai akademik dalam hidup. Secara jangka panjang, anak yang dibesarkan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan memiliki prestasi akademik serta ekonomi yang baik, kesuksesan dalam karir, pencapaian pendidikan terbaik, dan kesejahteraan psikologis.

2. Perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis

Menurut Hidayati, Kaloeti, dan Karyono (2011), keterlibatan ayah dalam kehidupan anak berkorelasi positif dengan kepuasan hidup anak,


(37)

kebahagiaan dan rendahnya pengalaman depresi. Penerimaan ayah secara signifikan mempengaruhi penyesuaian diri remaja, salah satu faktor yang memainkan peranan penting bagi pembentukan konsep diri dan harga diri. Secara keseluruhan kehangatan yang ditunjukkan oleh ayah akan berpengaruh besar bagi kesehatan dan kesejahteraan psikologis anak, dan meminimalkan masalah perilaku yang terjadi pada anak (Rohner & Veneziano, 2001).

3. Perkembangan sosial

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara positif berkorelasi dengan kompetensi, inisiatif, kematangan sosial dan relatedness (Hidayati, Kaloeti, dan Karyono, 2011). Partisipasi langsung ayah dalam pengasuhan anak membawa pengaruh bagi perkembangan perilaku prososial bagi anak usia tiga tahun. Kehangatan, bimbingan serta pengasuhan yang diberikan oleh ayah memprediksi kematangan moral, yang diasosiasikan dengan perilaku prososial dan perilaku positif yang dilakukan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki.

Kesehatan fisik Ayah secara tidak langsung berperan terhadap kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis anak, ketika memberikan dukungan optimal terhadap pasangannya (istri). Suami yang memberikan dukungan emosional kepada istri yang hamil, mengakibatkan terjadinya kondisi kehamilan prima dan proses persalinan normal serta anak yang sehat. Horn dan Sylvester (2002) menyatakan anak-anak yang tidak tinggal bersama ayah sebagian besar mengalami masalah kesehatan.


(38)

Selain bermanfaat bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga bermanfaat bagi ayah yaitu:

1. Lebih matang secara sosial

2. Merasa lebih puas dengan kehidupan mereka

3. Mampu memahami diri dan berempati dengan orang lain, serta mengelola emosi dengan baik

Pengalaman keterlibatan seorang ayah dalam mengasuh anak pertama juga menjadi beban tersendiri bagi seorang ayah. Ayah yang dalam kepercayaan tradisional masyarakat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga dan bergeser terlibat dalam urusan pengasuhan anak secara langsung akan memberikan pengalaman yang baru. Ikut terlibat dalam perawatan anak akan melibatkan emosi, kognisi, fisik, dan perilaku bagi seorang ayah.

Sebagai pengalaman baru, merawat anak dapat mempengaruhi emosi ayah. Merawat anak yang baru lahir membutuhkan perhatian serta menyita banyak waktu. Urusan anak dimulai dari menyediakan dan memberi makan, memandikan, dan memakaikan pakaian. Ayah yang terlibat dalam merawat anak juga sekaligus tetap memikirkan nafkah bagi keluarga. Karena itu, ayah yang terlibat dalam mengurus anak bebannya dua kali dibandingkan denan ayah yang tidak ikut merawat anak.

D. Peran dalam Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa

Franz Magnis Suseno mendeskripsikan pola pengasuhan dalam kultur Jawa menunjuk pada adanya perbedaan antara anak laki-laki dan wanita. Anak


(39)

laki-laki dipersiapkan untuk bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya. Anak laki-laki dididik untuk dapat mencari nafkah dan diberi kesempatan untuk mempunyai cita-cita tinggi sehingga orientasinya lebih keluar rumah dan untuk itu dia dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, anak laki-laki tidak dibekali dengan keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah. Anak wanita sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi ibu dan istri yang berbakti pada suami. Untuk itu ia banyak dibekali keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah tangga (Franz Magnis Suseno, 2003).

Pola pengasuhan ini telah membiasakan laki-laki untuk lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas yang bersifat abstrak, sedangkan wanita justru langsung terlibat dalam tugas-tugas konkret. Akibatnya, laki-laki menjadi gagap ketika harus terjun ke masyarakat, sementara wanita lebih terampil dan luwes karena sudah terbiasa mengelola rumah tangga. Pembiasaan ini juga membuat laki-laki dan wanita jawa ketika dewasa dan membangun rumah tangga memiliki perbedaan dalam cara menyelesaikan masalah; laki-laki cenderung berorientasi abstrak, sedangkan wanita justru bisa lebih taktis dan praktis (Franz Magnis Suseno, 2003).

Dalam budaya Jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sedemikian besar sebagaimana tampak dalam cerita-cerita sehari-hari. Peran yang besar dari wanita ini didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Jawa, seperti orang tua lebih memilih ikut anak


(40)

wanita dibandingkan anak laki-laki, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik. Meskipun aturan normatif Jawa menunjukan bahwa posisi wanita di bawah laki-laki (cenderung paternalistik), di dalam pertalian kekerabatan justru yang lebih sering dipakai adalah sistem bilateral dengan tetap memperhitungkan baik garis bapak maupun ibu (Franz Magnis Suseno, 2003).

Akibat dari penentuan peran-peran yang diharapkan baik ayah maupun ibu dalam kebudayaan Jawa, maka hal ini dibentuk dari sejak kecil. Sehingga ketika dewasa dan menjadi seorang ayah, maka hal tersebut terus terbawa. Ayah lebih banyak berperan di dalam sektor-sektor publik, sementara ibu lebih banyak bersinggungan dengan tugas-tugas di dalam keluarga.

Dari peran-peran yang diharapkan bagi seorang ayah maupun seorang ibu maka timbullah permasalahan di dalam keluarga ketika ayah harus terlibat di dalam pengasuhan anak. Ayah dalam kebudayaan Jawa yang tidak dibiasakan untuk membantu urusan keluarga akan kesulitan dalam menyesuaikan diri di dalam keterlibatannya dalam pengasuhan anak.

E. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: Bagaimana makna pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama?


(41)

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya. Suryabrata (1990) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau kejadian-kejadian.

Penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang difokuskan pada suatu fenomena tertentu (penelitian fenomenologis), yaitu mendeskripsikan pemahaman pengalaman hidup beberapa orang tentang konsep/fenomena (Creswell, 1998). Fenomena yang diteliti adalah gambaran pengalaman seorang ayah muda yang ikut serta dalam merawat anak pertamanya. Pengalaman ini berkaitan dengan kesiapan menghadapi kelahiran anak pertama, peran yang diambil dalam merawat anak, dan masalah serta resiko dalam merawat anak.

B. Batasan Istilah

Pengalaman seorang ayah yang ikut serta dalam merawat anak pertama adalah sebuah esensi dari pengalaman-pengalaman seorang laki-laki


(42)

dalam menjalankan perannya sebagai ayat terkait dengan pergeseran peran ayah, serta pengalaman emosional ayah dalam ikut merawat anak pertama.

Tabel 1. Panduan Wawancara anduan Pertanyan

Pergeseran Peran a. Pengambilan Peran

1. Bagaimana peran serta bapak dalam merawat anak pertama? Mengapa anda berkeinginan seperti itu?

2. Bagaimana pengalaman bapak saat merawat bayi? seperti mengganti popok, memberi makan atau memandikan bayi?

3. Bagaimana pengalaman bapak mengasuh anak anda ketika bapak harus berbagi waktu dengan isteri anda, sedangkan anda sendiri harus bekerja?

4. Saat bayi anda menangis bagaimana cara bapak menenangkan bayi anda tersebut?

b. Resiko dan Masalah

1. Bagaimana perubahan yang anda rasakan ketika anda harus ikut serta dalam merawat anak anda?Jelaskan!

2. Ketika anda harus meluangkan waktu untuk merawat anak anda?Bagaimana cara anda bisa membagi waktu antara bekerja dan di rumah?


(43)

harus bersama-sama merawat anak anda? c. Pengatasan Masalah

1. Saat isteri Bapak sakit, dan anda harus merawat bayi anda, padahal seharusnya anda harus bekerja, Bagaimana cara anda untuk mengatasi ini?

2. Bagaimana cara anda membagi waktu, ketika harus merawat anak anda dengan kegiatan anda lainnya, seperti bekerja atau kesibukan anda yang lainnya?

3. Dalam merawat anak, bagaimana anda dan isteri berkomunkasi dan bekerja sama agar bisa merawat anak anda bersama-sama?

engalaman Ayah

a. Pengalaman Emosional

1. Bagaimana perasaan bapak ketika mengetahui istri anda mengandung anak anda yang pertama?

2. Bagaimana perasaan bapak ketika istri anda melahirkan? 3. Bagaimana proses melahirkan yang dialami oleh isteri bapak?

4. Saat isteri bapak dalam proses melahirkan, situasi seperti apa yang bapak alami saat itu?

5. Bagaimana perasaan bapak ketika anak pertama bapak lahir dan bapak melihat bayi kecil yang baru lahir tersebut?

b. Kognitif


(44)

kelahiran anak pertama tersebut?Jelaskan!

2. Ketika berada di rumah, bagaimana bapak mengatasi situasi saat harus menghadapi anak yang rewel?

c. Fisiologis

1. Bagaimana pengalaman bapak ketika harus merawat bayi yang baru saja lahir?dalam hal ini, bapak mengalami kesulitan dalam merawat tidak?

2. Bagaimana situasi yang bapak alami dan rasakan ketika merawat anak?

d. Perilaku

2. Lalu apabila bapak mengalami hal tersebut, tindakan apa yang bapak lakukan untuk mengurangi gejala-gejala yang kurang menyenangkan?

3. Bagaiamana anda membagi waktu jam tidur ketika anda harus ikut serta dalam merawat anak anda?

C. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Purposif sampling yaitu teknik memilih informan yang disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Peneliti terlegih dahulu menentukan karakteristik informan, kemudian dicari informan yang sesuai dengan karakteristik tersebut.


(45)

Adapun karakteristik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seorang ayah yang baru memiliki satu anak 2. Memiliki rentang usia antara 20-30 tahun

3. Memiliki pengalaman dalam merawat anak pertama dan sekaligus sebagai kepala keluarga yang ikut serta dalam menafkahi keluarganya.

Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dengan melibatkan tiga orang informan. Ketiga informan semuanya berdomisili di Yogyakarta. Alasan memilih inorman tersebut adalah karena waktu dan jarak yang cukup dekat dengan lokasi.

D. Teknik Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian yaitu menggunakan teknik wawancara. Teknik wawancara adalah percakapan dengan Tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pengumpulan data penelitian ini dengan menggunakan metode wawancara. Teknik yang digunakan adalah dengan wawancara dengan pedoman umum, Patton (1990, dalam buku Poerwandari 2005)

Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang dicantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara hanya digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek


(46)

apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Wawancara ini juga dapat berbentuk wawancara mendalam dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam.

E. Analisis Data

Karena data penelitian ini banyak berbentuk narasi dan deskripsi tertulis yang berasal dari transkrip wawancara dengan pedoman umum, catatan laporan hasil observasi dan wawancara informal, maka analisis data yang dilakukan adalah analisis konten/ analisis isi Poerwandari (2005).

Langkah-langkah anallisis data dalam penelitian ini adalah: 1. Organisasi Data

Data-data yang telah didapatkan disusun dengan rapi, sistenmatis, dan selengkap mungkin. Tentang hal ini, Highlen dan Finley (1996) mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal yang penting untuk mengorganisasikan data antara lain:

a. Data mentah seperti catatan lapangan dan kaset hasil rekaman, b. Data yang sudah diproses sebagiannya seperti transkip wawancara


(47)

c. Data yang sudah ditandai kode spesifik, dapat terdiri dari beberapa tahapan pengolahan,

d. Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori 2. Koding dan Analisis

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisir dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Langkah-langkah koding sendiri diawali dengan menyusun transkrip wawancara, kemudian mengurutkan dan melakukan penomoran pada baris-baris transkip, dan terakhir melabeli masing-masing berkas dengan kode tertentu.

3. Melakukan Kategorisasi, Interpretasi, dan Pembahasan Hasil Penelitian

F. Keabsahan Data

Dengan kriteria ini data dan informasi yang dikumpulkan harus mengandung nilai kebenaran, yang berarti bahwa hasil penelitian kualitatif harus dapat dipercaya oleh para pembaca yang kritis dan dapat diterima oleh orang-orang informan yang memberikan informasi yang dikumpulkan selama informasi berlangsung. Dan teknik pemeriksaan dalam kredibilitas ini, antara lain (Moleong, 2006):

1. Perpanjangan keikutsertaan

Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.


(48)

Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan dalam penelitian ini bermaksud memungkinkan peneliti terbuka terhadap pengaruh ganda, yaitu faktorfaktor konstektual dan pengaruh bersama pada peneliti dan subjek yang akhirnya mempengaruhi fenomena yang diteliti.

2. Ketekunan pengamatan

Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif. Mencari suatu usaha membatasi berbagai pengaruh. Mencari apa yang dapat diperhitungkan dan apa yang tidak dapat. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

3. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Melakukan triangulasi, baik triangulasi metode (menggunakan lintas metode pengumpulan data), triangulasi sumber data (memilih berbagai sumber data yang sesuai), dan triangulasi pengumpulan data (beberapa peneliti yang mengumpulkan datas secara terpisah). Dengan teknik triangulasi ini, peneliti


(49)

dapat me-recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori dan juga memungkinkan diperoleh variasi informasi seluas-luasnya atau selengkap-lengkapnya.

4. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekanrekan sejawat. Teknik ini mengadung beberapa maksud sebagai salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data, yaitu: pertama, untuk membuat agar peneliti tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran. Kedua, untuk memberikan suatu kesempatan awal yang baik untuk menjajaki dan menguji hipotesis kerja yang muncul dari pemikiran peneliti. Dengan pemeriksaan sejawat berarti pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekan-rekan yang sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang diteliti, sehingga bersama mereka paneliti dapat mereview persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.

5. Analisis kasus negatif

Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.

6. Pengecekan anggota

Pengecekan dengan anggota yang telibat dalam proses pengumpulan data sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan.


(50)

Yang dicek dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analitis, penafsiran, dan kesimpulan.


(51)

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pandangan Subjektif Peneliti Mengenai Peran Ayah dalam Merawat Anak Pertama

Derasnya arus perubahan di tengah-tengah masyarakat berdampak langsung terhadap kehidupan dalam keluarga, salah satunya soal peran merawat anak. Terbukanya akses pekerjaan bagi perempuan menyebabkan semakin banyaknya perempuan-perempuan yang bekerja di luar, apalagi bagi perempuan single dan atau yang belum memiliki anak. Bagi perempuan single, hal tersebut tidak menjadi masalah, namun bagi para ibu yang memiliki anak akan menjadi permasalahan tersendiri, terutama menyangkut perawatan anak di rumah. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya di masyarakat, perawatan anak biasanya menjadi tanggungjawab ibu.

Seiring dengan perkembangan di masyarakat terutama soal perempuan profesional, maka bagi keluarga yang memiliki anak sangat membutuhkan peran ayah. Saat ini telah banyak ayah yang terlibat dalam perawatan anak. Figur ayah tidak lagi hanya bertanggungjawab dan atau memerankan sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Apalagi banyak para ibu yang sudah mampu untuk mencari nafkah keluarga. Hal tersebut tidak menjadi masalah, bahkan figur ayah yang rasional akan lebih baik dalam mendampingi anak selama proses perawatan.


(52)

B. Pelaksanaan Penelitian

Sebuah penelitian ilmiah umumnya dilaksanakan dengan prosedur ilmiah. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan penulis ini. Dalam melakukan penelitian ini terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh peneliti kepada informan. Pertama peneliti melakukan pendekatan terhadap informan. Pendekatan ini penting sebagai proses awal perkenalan lebih jauh serta memahami karakter dari informan. Pendekatan yang dilakukan peneliti memungkinkan untuk cairnya suasana, sehingga peneliti lebih mudah mengorek informasi dari informan. Pendekatan yang dilakukan misalnya dengan menanyakan secara pelan-pelan pribadi informan. Dengan mengetahui pribadi informan maka peneliti dapat masuk ke dalam kehidupan pribadi tanpa disadari oleh informan. Hal tersebut berhasil membuat informan nyaman dimintai keterangan oleh peneliti

Kedua, setelah proses pertama dirasakan sudah selesai dan informan telah terkondisikan, kemudian melakukan wawancara dengan metode semi terstruktur. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu menyiapkan panduan. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi yang dibutuhkan serta tidak melebar. Wawancara dilakukan secara langsung atau tatap muka. Kelebihan wawancara langsung, yaitu peneliti memahami reaksi informan terhadap setiap pertanyaan peneliti.

Demi kepentingan dokumentasi, peneliti mempersiapkan alat perekam/digital recorder. Penggunaan alat perekam memungkinkan tidak ada informasi yang missing atau hilang selama proses wawancara. Dibandingkan


(53)

dengan tulisan, dokumentasi melalui alat perekam dalam wawancara memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1) informasi lebih lengkap; dan 2) wawancara lebih mengalir.

Ketiga, Pembuatan verbatim masing-masing informan. Setelah

mendengarkan dan atau melakukan transkripsi terhadap hasil wawancara digital hasil rekaman, maka penulis menyalin ke dalam bentuk verbatim untuk masing-masing informan. Tabel verbatim ini berguna untuk mengklasifikasi data-data yang diperoleh selama proses pencarian data terutama hasil wawancara di lapangan.

Keempat, Membuat tabel ringkasan wawancara untuk masing-masing informan. Tabel wawancara digunakan untuk menentukan tema dari hasil wawancara setiap pertanyaan yang diajukan (pembuatan koding). Tabel ringkasan wawancara memudahkan peneliti dalam memilah dan memilih informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam laporan skripsi.

Kelima, Mengumpulkan keseluruhan hasil verbatim pada tabel

ringkasan, untuk menentukan tema secara keseluruhan dari hasil verbatim keseluruhan informan. Keenam, Membuat horizonaliting (menghilangkan pernyataan yang tumpang tindih/ tidak sesuai dengan topik). Ketujuh, Membuat tabel pengalaman (apa yang dialami dan bagaimana fenomena itu dialami). Penjelasan naratif dari hasil tabel pengalaman yang dibuat.

Kedelapan Membuat pembahasan dari setiap pengalaman informan kemudian membuat kesimpulan dari keseluruhan hasil yang diperoleh dari


(54)

informan. Langkah ini merupakan akhir dari proses kegiatan penelitian. Langkah ini juga paling menentukan daripada langkah-langkah sebelumnya.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Informan Penelitian a. Informan 1 (Ad)

Usia : 29

Pendidikan Terakhir : SMA

Aktifitas saat ini : Mahasiswa Usia pernikahan : 1 tahun

Usia anak : 12,5 bulan

Agama : Katholik

Suku : Jawa

b. Informan 2 (Mj)

Usia : 27

Pendidikan Terakhir : S1

Aktifitas saat ini : Karyawan Bank Usia pernikahan : 7 tahun

Usia anak : 9 Bulan

Agama : Islam


(55)

c. Informan 3 (St)

Usia : 30

Pendidikan Terakhir : D3

Aktifitas saat ini : Wiraswasta Usia pernikahan : 2 tahun

Usia anak : 5 Bulan

Agama : Islam

Suku : Jawa

Berdasarkan data demografi di atas, informan terdiri atas 3 orang pria yang statsusnya sudah menikah dan memiliki anak pertama semua. Rentang usia yang dimiliki adalah antara 21-30 tahun. Subjek satu berusia 29 tahun, subjek dua 27 tahun dan subjek tiga berusia 30 tahun. Pendidikan terakhir yang dimilikipun beragam, ada yang jenjang pendidikannya masih SMA, sarjana dan ada yang berpendidikan terakhir D3.

Selain ikut serta langsung dalam merawat anak, informan juga memiliki pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ada yang bekerja sebagai karyawan bank, wiraswasta/wirausaha dan adapula yang masih berstatuskan mahasiswa. Dua dari informan menganut agama Islam dan salah satu menganut agama Katholik. Keseluruhan informan termasuk dalam suku Jawa.

Kemudian untuk usia pernikahan dan usia anak masing-masing informan juga bervariasi, informan pertama sudah menikah selama 1 tahun


(56)

dengan usia anak 12,5 bulan, informan kedua 9 tahun dengan usia anak 5,6 bulan dan informan ketiga sudah menjalani usia pernikahan selama 5 tahun dengan usia anak sekarang 22 bulan.

2. Hasil Analisis Data Penelitian

a. Apa yang dialami oleh seorang ayah yang ikut merawat anak pertama dan bagaimana hal tersebut dialami?

Dari hasil wawancara dengan ketiga informan, diperoleh data mengenai fenomena keikutsertaan ayah yang merawat anak pertama. Uraian detail tentang pengalaman ayah yang ikut merawat anak bertama dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.

Pengalaman Ayah yang Ikut Merawat Anak Pertama

Apa yang dialami Bagaimana Dialami

1. Keharusan untuk ikut merawat anak karena adanya tuntutan ekonomi di dalam keluarga.

2. Keinginan untuk berperan mengasuh anak demi perkembangan anak dan meringankan beban isteri.

1. Perasaan ayah

a. Lebih dekat dengan anak b. Sangat susah

c. Capek

d. Lebih emosional dan suka marah-marah

2. Peran Ganda Ayah

a. Peran yang diambil hampir sama besar dengan isteri, dengan cara pembagian tugas masing-masing;

b. Mengambil peran yang masih bisa dilakukan, seperti mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak;

c. Ikut serta langsung menjaga anak, sementara isteri membantu mencari nafkah di luar.


(57)

Keharusan untuk ikut merawat anak karena adanya tuntutan ekonomi di dalam keluarga dan keinginan ayah untuk berperan demi perkembangan anak dan meringankan beban isteri.

1. Perasaan Ayah

Ada dua pengalaman berkaitan dengan pengambilan peran dalam merawat anak ini. Pengalaman pertama, informan merasa bahwa mereka ingin mengambil peran yang besar, ikut andil dalam merawat anak. Hal ini dilakukan karena para informan ini memiliki pemikiran bahwa ikut merawat anak itu juga menjadi tanggung jawab yang harus dijalani. Kemudian ada perasaan khawatir apabila tidak memiliki kelekatan dengan anak.

“Nggak juga sich maksudnya e ketika anak saya sangat dekat

dengan ibunya dan saya kalah dalam kedekatan itu banyak omongan saya kan nanti bisa kurang digugu yo. Emm. Maksudnya kurang diperhatikan karena dia terlalu dekat dengan ibunya lalu saya saya memang melihat banyak e yo itu karakter wanita sich rata-rata kalau ada apa-apa kan menangis. Ya. Ya memang saya memang saya diminta itu maksud e saya tidak suka melihat anak saya itu lemah dan

cengeng..” (Mj)

“Yach itu karena menurut saya, memang banyak laki-laki yang

apa namanya, ga ikut mengurus anaknya, Karena itu akan berdampak psikologis yang pertama..heeh..itu yang saya alami. Jadi, saya tidak dekat dengan ayah saya, karena memang dulu saya pernah denger cerita, ibu saya itu mengurus saya sendirian, dan saya tidak ingin itu terulang pada anak saya. Yang pertama itu, itu dorongan yang

terbesar…” (Al)

“He eh. Merawat anak itu yo tanggungan juga. Tanggungan kedua orangtua. Dan menurut saya peran yang saya alami itu cukup besar juga..sama juga halnya dengan isteri saya .Gini karena pemikiran itu beda-beda. He em. Pemikiran orang kan bea-beda, kalau saya kan ini gini, dia juga


(58)

anakku. He em. Kemarin istriku sudah bawa ke mana-mana di dalamperut selama sepuluh bulan. He eh. Itu aalah wis apik to? Iya.. Nah kita juga ada rasa kasihan juga kan sama istri. Nah karena saya itugasnya tidak repot, kerjaan bisa dibagi-bagi” (St)

“Yang pertama itu saya lihat, saya lihat dulu, ya kadang emang

mangkel segh tiba-tiba nangisatau rewel gitue..pengennya tue didiamkan gitue. Tapi karena saya ingat tujuan pertama saya, ingin dekat dengan anak, saya deketin trus saya tempelin jari deket mulutnya, tapi kalau dia mangap, berarti, mau ga mau ibunya menyusui. Tapi kalau dia ga merespon, akan saya gendong, saya ajak keliling.Diem.. biasanya

diem..” (Al)

Masalah yang biasa dialami oleh seorang ayah baru adalah terkait dengan pengalamannya ikut serta dalam merawat anak, sehingga berakibat pada diri informan. Masalah yang dihadapi oleh para informan ini terdapat dua macam masalah, yaitu masalah yang dapat dikelola dengan baik dan masalah yang memiliki resiko bagi diri informan.

Masalah yang sudah bisa dikelola dengan baik oleh informan, meliputi mampu menahan emosi dengan melihat anak tertawa, manajemen waktu dalam merawat anak, tugas pekerjaan, dan tugas sebagai kepala keluarga Pembagian tugas dengan isteri dalam merawat anak.

“Kalau capek saya tidur. He eh. Karena anu sekarang kan sudah

lagi lucu-lucunya. Nah itu kan menghibur sebenernya. Oh ya. Padahal sudah capek, tapi menghibur. He eh. Iya. Itu walaupun kita badan e nggak enak,tapi malahan anaknya sakit, nah kita juga nggak enak malahan. Nah walaupun badan kita sakit, capek tetapi anak kita itu sehat. Itu yang


(59)

“Kadang tue..belajar bagi waktu lebih baik satu, dan yang kedua

masih pembagian tugas. Memang segh kadang muncul pusing, itu kadang..kadang tapi emang ga banyak, cuman kalo kita capek, sambil gendong itu rasanya pusing dibelakang itu, saking capeknya. Tapi untuk mengatasinya yo saya bagi tugas seperti itu tadi, Trus..yang pasti mempelajari kalau misalnya besok ada waktu luang sedikit,

saya gunakan sebaik mungkin.” (Al)

Kemudian resiko yang dialami informan akibat dari kelelalahan menjaga anak yaitu tugas-tugas lainnya menjadi terbengkalai, terkadang melampiaskan emosi dengan (berkata kasar secara tidak sadar), dan pola tidur menjadi sedikit kacau.

“..capek sama sebel itu pasti, yo kalau saya sich e e ya mungkin

karena capek atau apa ya yo kadang sering njur beberapa otomatis yo mungkin pernyataan yang sedikit kasar itu keluar, sedikit kasar maksudnya mungkin neblek pantat atau apa e ataupun mengeluarkan apa seperti bulu, ancaman atau apa itu ya memang terjadi ya tapi saya gini ketika setelah saya pokoknya memberikan kata yang kurang enak

bagi anak..”(Mj)

“..emang capek pasti..trus yang kedua itu mudah menyerah, mudah menyerah dalam arti mungkin, mungkin tugas-tugas itu menjadi sedikit terabaikan agak keteteran, tapi setelah bayi itu tidur, saya baru bisa menyentuh pekerjaan saya. Biasanya juga setelah bayi itu tidur, aku ikut tidur gitue..Jadi ya lebih mudah menyerah akhir-akhir ini” (Al) 2. Peran Ganda Ayah

Kemudian untuk pengambilan peran yang kedua, peran yang diambil tidak begitu besar. Informan mengambil peran yang masih bisa dilakukan, seperti mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak, dan lain sebagainya. Akan tetapi ada pembagian tugas dengan isteri untuk merawat anak, agar terlihat lebih ringan beban isteri.


(60)

“Ya itu tadi e ketika beberapa hal yang tidak mampu dilakukan oleh istri saya dalam arti karena dia kecapekan, biasanya saya mengambil alih itu. Ya gantiin popok malam, lalu juga ketika anak sudah bisa jalan atau apa, nah nemenin main. Istri saya memasak atau apa itu. Saya tidak begitu besar memang mengambil alih sebenarnya mungkin lebih baik banyak ke ibunya tapi ya nggak tahu, ya ada ketakutan tersendiri ketika saya nggak bisa ikut serta ngerawat anak saya.” (Mj)

“Kalau bagi saya sendiri segh hamper fifty-fifty. Maksudnya,

memang lebih banyak isteri saya, karena yang harus intens itu adalah air susu ibu itu. Bagi saya segh sebenernya kalau tidak air susu, kita sama-sama besar dalam mengasuh. Mandiin, saya juga bisa mandiin, gantiin popok, dan ganti lain-lainnya saya juga bisa. Hanya yang saya ga bisa itu memberi asi. Jadi, memang lebih besar, tapi saya kira fifty-fifty.” (Ad)

“Ya sementara hanya menggantikan popok itu. Memberikan

makan, memberi makan saat anak udah gedhe, karena ini ketakutan salah dalam porsi atau apa, karena kalau bayi itu gini kalau nelen nyleneh itu sangat berbahaya, e nanti bisa maksudnya kayak buat makanan tetapi malah salah takaran makanan yang kita bnikin sendiri lalu dimasukkan bisa saja sulit buang air besarnya atau dia mencret lah seperti itu kan yang biasanya, ya saya hanya ikut mendulang saja. Nalurinya udah dapat tetapi saya kurang paham ini. Dan sebelumnya memang belum ada

pengalaman ke situ, langsung otodidak.” (Mj)

“Yo, kan kalau malem gantian tidurnya. H em. Jadi kalau

malem minta susu yo gantian to buat e. Kalau istri saya sakit gitu.. mau ga mau saya ambil peran isteri. Ya harus buatin susu, yo nyuci ini, nyuci popok, mandiin, nagsih makan. Rasanya saat itu yo capek lah..tapi karena ada si keci, seneng liat anak sehat, lucu. He eh. Jadinya capeknya

itu hilang..” (St)

Tuntutan untuk mengasuh anak merupakan suatu keharusan bagi informan karena faktor ekonomi. Dimana informan sebagai ayah tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena itu, perubahan peran dari mencari nafkah menjadi pengasuh anak


(61)

berdampak pada penghasilan keluarga. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara dengan ketiga informan berikut ini:

“Yah..mbak kalau selama ini penghasilan saya dan isteri itu ya

sudah mencukupi, untuk kebutuhan sehari-hari, untuk anak, untuk biaya keluarga saya, dan untuk smua kebutuhan lainnya. Itu, sudah bisa dibilang cukup. Untuk biaya bulanan itu yang paling banyak keluar ya untuk kebutuhan bayar listrik,air,dll. Dan untuk kebutuhan susu anak, makan, kebtuhuan-kebutuhan tak terduga.” (Mj)

“Untuk penghasilan tiap bulan itu pengeluaran cukup banyak,

apalagi sekarang uda ada anak. Kebutuhan2 ga diduga itu sering muncul. Lalu untuk ngatasin nya saya punya sampingan usaha, selain saya sendiri bekerja.” (Ad)

“Penghasilan saya sebulan sudah bisa mencukupi kalau buat

memenuhi hidup isteri dan anak. Kalau sekarang yang paling banyak keluar ya untuk susu anak itu paling banyak, soalnya dia kalau minum susu tu sehari bisa 4-5 kali.Jadi sebulan tu bisa abis 5 kaleng susu yang

besar-besar.” (St)

Ketiga informan mengakui bahwa tuntutan ekonomi dalam keluarga menjadi penyebab ayah harus terlibat di dalam pengasuhan anak pertama. Namun dengan dibantu oleh isteri yang bekerja di luar, ayah tidak mampu seratus persen mengatasi permasalahan yang terkait dengan pengasuhan anak.

“Iyah mba, saya dan isteri itu pulang jam4, yah jam5 sudah

sampai di rumah lah..itu jadi kurang pengawasan anak-anak. Maka nya saya sebenarnya kurang setuju isteri bekerja. Tapi karena isteri juga dari sebelum saya menikah sudah suka bekerja, yah uda mau gimana lagi..dan ini karena juga anak masih bisa lah diawasi ama simbahnya, jadi saya percaya aja. Nah kadang itu kalau sudah sampai rumah, dua2 nya uda capek. Saya capek, isteri juga. Tapi kan harus masih ngurusi anak. Jadi saya kasian sebenernya sama anak saya, ko ya kurang perhatian. Isteri masih harus masak, dulang, dan mandiin anak. Tapi kalau uda sampai rumah, saya usahain


(1)

bapak ketika harus merawat bayi yang baru saja lahir

bayi, harus hati-hati karena ringkih

anak sampai umur 1 tahun,karena takut resiko kalau menyakiti anak.

anak, jadi lebih hati-hati dan tidak terlalu berani ambil resiko

Ada keinginan/kemauan untuk ikut merawat anak hanya lebih berhati-hati Sadar untuk berbagi peran dengan isteri dalam mengurus anak Yang bisa dilakukan

mengganti popok dan ikut menjaga.

Bergantian membuat susu di malam hari dengan isteri ketika anak terbangun

Menyuci popok bayi Ikut memandikan anak

Melakukan kegiatan yang sekiranya bisa dilakukan untuk mengurangi beban isteri seperti :

Menyuci popok Ikut memandikan anak Membuatkan susu Mengikuti kemauan anak

seperti apa, bayi itu maunya seperti apa Situasi yang dialami dan dirasakan saat harus merawat bayi

Awalnya ada rasa ga terima dengan keadaan yang sekarang,dimana harus ikut serta mengurus anak.

Situasi kebanyakan yang muncul adalah capek dan efek dari capek itu bermacam-macam:

-tugas menjadi terbengkalai - muncul pernyataan kasar yang keluar secara tidak sadar

Efek/ akibat dari rasa lelah saat mengurus anak

Pengalihan rasa leelah dengan melihat senyum anak

Kurang menerima dengan keadaan yang terjadi.

Ada rasa keterpaksaan untuk melakukan kegiatan tersebut.

Rasa capek hilang dengan melihat anak tertawa.

Capek dengan mengurus bayi dan akhirnya tugas-tugas lainnnya jadi

Capek dan sebal sehingga terkadang pernyataan kasar jadi keluar

Capek, namun capek jadi hilang setelah melihat sang anak tertawa

Ada rasa tidak terima saat harus merawat bayi sehingga terpaksa dalam melakukan


(2)

terbengkalai. Menepuk pantat anak kegiatan tersebut. Tindakan yang

dilakukan untuk mengurangi gejala-gejala yang kurang menyenangkan

Megatur pembagian tugas untuk merawat anak dengan isteri dan belajar untuk membagi waktu lebih baik

Melakukan pembagian tugas dengan isteri

Membagi waktu agar tugas lain juga tidak terbengkalai

Manajemen waktu Pembagian tugas

Berusaha menjauh dari sumber masalah.

Rasionalisasi positif (keinginan untuk anak tetap sehat)

Langsung menjauh atau menghindar dari anak,dan memberikan anak ke isteri atau neneknya, agar tidak semakin menjadi marahnya saat sedang kesal.

Menghindar dan menjauhi anak agar anak tidak menjadi korban.

Menggunakan waktu luang untuk istirahat

Menyempatkan diri untuk tidur jika sudah merasa lelah

Badan terasa sakit/capek tapi jika anak sehat dan tidak sakit, rasa capek itu hilang sendiri.

Membagi waktu jam tidur

Bergantian dengan isteri untuk masalah jam tidur, jadi tetap harus ada salah

Mengatasi waktu tidur dengan tidur pada sore hari, untuk berjaga di tengah

Ada pembagian waktu tidur dengan istri. Pembuatan jadwal tidur

Memiliki berbagai cara/alternative dalam pembagian waktu tidur:

Memiliki pola tidur tersendiri untuk mengatasi jadwal tidur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

satu yang terjaga malam bergantian dengan isteri.

-bergantian dengan isteri -mengatasi ngantuk dengan tidur pada sore hari untuk berjaga di tengah malam

yang kacau

Ada kesadaran untuk menjaga anak Siapa yang tidak repot,

langsung berinisiatif untuk menjaga anak.

Memiliki kesadaran untuk langsung menjaga anak tanpa harus disuruh. Seberapa besar

peran serta dalam merawat anak.

Peran yang diambil hanmpir fifty-fifty dengan isteri, namun memang lebih banyak ke isteri

Peran yang diambil serta merawat anak cukup besar, sama juga dengan isteri.

Peran yang diambil hampir sama besar dengan isteri, dengan cara pembagian tugas masing-masing.

Mengkomunikasikan dengan baik semua hal yang berkaitan dengan anak.

Adanya pengertian antara suami-istri dalam merawat anak.

Tidak berani mengambil resiko terlalu besar. Kalau isteri tidak bangun,

baru saya yang mengambil alih, sampai menunggu bayi dan isteri tidur.

Mengambil alih anak ketika isteri sedang

kecapekan,mengerti kondisi isteri yang capek langsung ikut serta dalam mengurus anak

Secara langsung ikut serta langsung menjaga anak, ketika kondisi istri sedang tidak fit.

Tugas-tugas kecil seperti Memandikan, mengganti popok, dan membuatkan susu, masih bisa dihandle sendiri

Mengambil peran yang masih bisa dilakukan, seperti mengganti popok, membaut susu, memandikan anak.

Alasan keinginan ikut serta merawat

Ingin ikut mengurus anak, karena ingin supaya anak nantinya dekat dengan ayah

Memiliki ketakutan ketika tidak ikut serta merawat anak,takut jauh dari anak

Ada perasaan takut apabila nanti tidak memiliki kelekatan dengan anak

Keinginan supaya nantinya anak juga bisa dekat degan ayah


(4)

anak (kelekatan terhadap anak kurang)

Ingin anaknya menjadi anak

yang kuat, tidak cengeng Adanya keinginan kelekatan anak yang kuat dengan ayah Idealisme sebagai seorang ayah yang baik. Trauma di masa kecil Merasa kasihan dengan

isteri, yang selama 9 bulan sudah mengandung jadi ada kesadaran untuk ikut merawat anak.

Mearasa kasihan dengan isteri.

Pernah ada pengalaman dulu tidak dekat dengan ayah, tidak ingin terulang dengan anaknya sekarang.

Tidak ingin pengalaman yang dulu terulang pada anaknya sekarang.

Memiliki idealisme seoerang suami dan ayah yang baik, jadi ingin membantu istri selama masih bisa dilakukan.

Memiliki pemikiran bahwa ikut merawat anak itu juga menjadi tanggung jawab yang harus dijalani. Pengalaman

saat merawat anak/bayi

Memiliki insting yang kuat, yakin bahwa bisa

menggendong anak dan lama-lama terbiasa untuk memandikan

Berani melakukan hal-hal yang dirasa mampu, untuk ikut serta merawat anak.

Awalnya berdasarkan insting kemudian lama-kelamaan menjadi terbiasa.

Mengggunakan insting dalam merawat anak Menjadi terbiasa Ada kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk ikut merawat anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA

DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini

ABSTRAK

.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman seorang ayah yang ikut merawat anak pertama. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskripttif. Penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang difokuskan pada suatu fenomena tertentu (penelitian fenomenologis), yaitu mendeskripsikan pemahaman pengalaman hidup beberapa orang tentang konsep/fenomena. Pengambilan data dalam penelitian yaitu menggunakan teknik wawancara. Teknik wawancara adalah percakapan dengan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: Pola pertama, yaitu merawat anak pertama menyita tenaga, waktu dan emosi ayah. Seseorang yang baru memerankan satu peran tertentu akan sangat kesulitan. Demikian juga di dalam pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama akan merasakan pengalaman baru. Perasaan yang dirasakan oleh ayah yang ikut mengurus anak pertama yaitu capek, waktu habus sampai timbul emosi yang cenderung berakibat pada mudah marah-marah. Mengurus anak cukup sulit. Pola kedua, ayah yang ikut merawat anak pertama merupakan pengalaman baru dan menjadi keharusan karena tuntutan ekonomi. Pada umumnya menjadi urusan para ibu di dalam keluarga Jawa. Namun karena pergeseran kebudayaan serta faktor-faktor lainnya yang mulai merasuki kebudayaan Jawa, maka terjadi perubahan pola hidup di masyarakat, salah satunya dalam hal pengasuhan anak.


(6)

A DESCRIPTIVE STUDY OF THE EXPERIENCE OF FATHER

WHO PARTICIPATES CARING A CHILD

Laurensia Wulan Kusuma Anggraini

ABSTRACT

This study was aimed to describe the experience of a father who participates caring a child. This research was a descriptive study, which produced and processed data descriptively. The descriptive research used in this research was a descriptive qualitative research focused on a particular phenomenon (phenomenological research), which describes some of the life experiences to understand the concept / phenomena. Data collection technique was using interview. The interview technique was a conversation with questions and answers which were directed to achieve certain goals. The results showed that: The first pattern, which was caring for the first child seized power, time and emotion of a father. Someone who has played a particular role would be very difficult. Similarly, in the experience of fathers who took care for the first child would become a new experience. The feeling of a father who took care of the first child was tired, spent the time which resulting emotions that tend to arise the anger. The child care was quite difficult. The second pattern, the father who took care for the first child was becomes a new experience and a must for economic reasons. Generally, caring child was a matter for the mothers in the Java family. However, due to a shift in culture as well as other factors that began to permeate the culture of Java, then a change in the pattern of life in the community, one of them in child care.

Key words: Experience of A Father, Child Care, A New Father

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI