EFIKASI HERBISIDA AMONIUM GLUFOSINAT TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENGHASILKAN

(1)

ABSTRAK

EFIKASI HERBISIDA AMONIUM GLUFOSINAT TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) MENGHASILKAN

Oleh MUTOHAROH

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Salah satu kendala dalam pengembangan tanaman kelapa sawit yaitu permasalahan gulma yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit. Penggunaan herbisida merupakan pengendalian gulma secara kimiawi dan

herbisida yang berpotensi mengendalikan gulma secara efektif adalah ammonium glufosinat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan gulma, dan mengetahui perubahan komposisi jenis gulma setelah aplikasi herbisida. Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PTPN VII Unit Usaha Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan di Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni sampai dengan September 2013. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna. Perlakuan terdiri dari 4 dosis amonium glufosinat yaitu 225, 300, 375, 450 g/ha, penyiangan mekanis, dan kontrol dengan 4 ulangan. Homogenitas ragam diuji dengan uji Barttlet,


(2)

MUTOHAROH

additivitas data diuji dengan Tukey, dan perbedaan nilai tengah diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) herbisida ammonium glufosinat dosis 225—450 g/ha menekan bobot kering gulma total pada 4 dan 12 MSA, gulma daun lebar pada 4 dan 8 MSA, gulma rumput dan gulma Cyrtococcum acrescens pada 4 MSA, serta dosis 375 dan 450 g/ha menekan bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 4 MSA, (2) aplikasi herbisida amonium glufosinat pada dosis 225—450 g/ha mengakibatkan perubahan komposisi jenis gulma yaitu dengan terjadinya perubahan gulma dominan pada 4 MSA dari Ichaemum timorense menjadi Cyperus rotundus, pada 12 MSA dari Ageratum conyzoides menjadi Otochloa nodosa, dan Ichaemum timorense.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten

Tanggamus pada tanggal 5 Juni 1992 yang merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Nursalim (Alm.) dan Ibu Sulasmi. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Sukamaju, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Ngarip, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Pringsewu dan lulus pada tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa reguler Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama di bangku perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademis. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma. Penulis juga pernah menjadi juara 1 kompetisi futsal putri dalam rangka HUT Agroteknologi ke 5. Pada bulan Juli 2013, penulis melaksanakan kegiatan Praktik Umum di Balai Penelitian Tanah Kebun Percobaan Taman Bogo, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur. Kemudian pada bulan Januari 2014 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata Universitas Lampung di Kabupaten Pringsewu.


(8)

Dengan rasa syukurku kepada Allah subhanahu wa ta’ala Ku persembahkan karyaku untuk:

Keluarga tercinta

Almarhum bapak, mamak, mamas, mbak, dan keponakanku yang senantiasa selalu mendoakan dan mengharapkan keberhasilanku serta atas kasih sayang,

perhatian, semangat, dan nasihat yang takkan pernah terlupakan.

Sahabat-sahabatku

Atas dukungan dan bantuannya sehingga karya ini dapat terselesaikan.

Serta

Almamater tercinta Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas lampung


(9)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (QS. Al Insyirah : 5—6)

Ilmu itu bagaikan nur, cahaya. Cahaya tidak bisa datang dan tidak ada di tempat yang gelap. Karena itu bersihkan hati dan kepalamu, supaya cahaya itu bisa


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu melaksanakan penelitian dan dapat menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M.S., selaku pembimbing utama yang telah membimbing penulis, memberikan saran, masukan, nasehat, dan motivasi kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan pengarahan, saran, bantuan, nasehat, dan motivasi dalam melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Ir. Herry Susanto, M.P., selaku pembahas yang telah memberikan masukan-masukan yang membangun dalam penyusunan skripsi.

4. Prof. Dr. Ir.Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(11)

6. Ir. Didin Wiharso, M.Si., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis hingga sampai saat ini.

7. Keluarga penulis terkasih Bapak H. Nursalim (Alm.), Ibu Sulasmi, Mas Makmun, Mas Ibrahim, Mbak Iqoh, Mbak Robik, Mbak Binti, Mas Lukman, Mas Hambali, Mas Sulam, Mas Hendra, Mbak Nur, Mbak Uut, Ghofar, Azhar, Fira, Ruha, Fathir dan Zidan, atas dukungan, doa dan kasih sayang yang besar yang telah diberikan kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis Adila Utamako, S.P., Fina D. Rahmawati., S.P., Immas Nurisma, S.P., Insyia Syahila, S.TP., Sucipto, S.P., Nurul Hidayati, S.P., dan Resti Kartini, S.P., atas bantuan dan semangat yang diberikan selama perkuliahan dan penelitian hingga penyusunan skripsi.

9. Teman-teman Agroteknologi 2010 kelas C, atas kebersamaannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun supaya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, Oktober 2014


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Landasan Teori ... 4

1.4 Kerangka Pemikiran ... 7

1.5 Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tanaman Kelapa Sawit ... 10

2.2 Gulma pada Lahan Perkebunan ... 12

2.3 Herbisida dan Amonium Glufosinat ... 13

III. BAHAN DAN METODE ... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16


(13)

ii

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 17

3.4.1 Pembuatan Petak Percobaan ... 17

3.4.2 Aplikasi Herbisida Amonium Glufosinat ... 18

3.4.3 Penyiangan Mekanis dan Kontrol ... 19

3.4.4 Pengambilan Sampel Gulma ... 19

3.5 Pengamatan ... 21

3.5.2 Bobot Kering Gulma ... 21

3.5.2 Summed Dominance Ratio (SDR) ... 20

3.5.3 Persentase Penutupan Gulma ... 23

3.5.4 Persentase Keracunan Gulma ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAAN ... 24

4.1 Persen Penutupan Gulma Total ... 24

4.2 Persen Keracunan Gulma Total ... 25

4.3 Bobot Kering Gulma Total ... 26

4.4 Bobot Kering Gulma Pergolongan ... 27

4.4.1 Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar ... 27

4.4.2. Bobot Kering Gulma Golongan Rumput ... 28

4.4.3 Bobot Kering Gulma Golongan Teki ... 30

4.5 Bobot Kering Gulma Dominan ... 31

4.5.1 Bobot Kering Gulma Digitaria ciliaris ... 32

4.5.2 Bobot Kering Gulma Axonopus compressus ... 33

4.5.3 Bobot Kering Gulma Cyrtococcum acrescens ... 35


(14)

iii

4.7 Jenis dan Tingkat Dominan Gulma ... 38

4.8 Perubahan Komunitas Gulma ... 41

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 46

PUSTAKA ACUAN ... 47

LAMPIRAN ... 50


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan herbisida Amonium Glufosinat pada lahan tanaman

kelapa sawit menghasilkan. ... 17

2. Kebutuhan herbisida amonium glufosinat yang digunakan untuk setiap petak percobaan. ... 19

3. Pengaruh herbisida terhadap penutupan gulma total. ... 24

4. Pengaruh herbisida terhadap persentase keracunan gulma total. ... 25

5. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma total. ... 27

6. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma daun lebar. ... 28

7. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma rumput. ... 29

8. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma teki. ... 31

9. Jenis dan tingkat dominansi gulma awal (0 MSA). ... 32

10. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma Digitaria ciliaris. ... 33

11. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma Axonopus compressus. ... 34

12. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens. ... 36

13. Pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma Cyperus kyllingia. ... 37


(16)

v

15. Jenis dan tingkat dominansi gilma 8 MSA. ... 40

16. Jenis dan tingkat dominansi gilma 12 MSA. ... 41

17. Pengaruh herbisida terhadap nilai koefisiensi komunitas (C). ... 42

18. Penutupan gulma total pada 2 MSA. ... 51

19. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma total pada 2 MSA. ... 51

20. Analisis ragam untuk penutupan gulma total pada 2 MSA. ... 51

21. Penutupan gulma total pada 4 MSA. ... 52

22. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma total pada 4 MSA. ... 52

23. Analisis ragam untuk penutupan gulma total pada 4 MSA. ... 52

24. Penutupan gulma total pada 8 MSA. ... 53

25. Analisis ragam untuk penutupan gulma total pada 8 MSA. ... 53

26. Penutupan gulma total pada 12 MSA. ... 53

27. Analisis ragam untuk penutupan gulma total pada 12 MSA. ... 54

28. Keracunan gulma total pada 2 MSA. ... 54

29. Transformasi √√√(x+0,5) keracunan gulma total pada 2 MSA. ... 54

30. Analisis ragam untuk keracunan gulma total pada 2 MSA. ... 55

31. Keracunan gulma total pada 4 MSA. ... 55

32. Transformasi √√√(x+0,5) keracunan gulma total pada 4 MSA. ... 55

33. Analisis ragam untuk keracunan gulma total pada 4 MSA. ... 56

34. Keracunan gulma total pada 8 MSA. ... 56

35. Transformasi √√√(x+0,5) keracunan gulma total pada 8 MSA. ... 56

36. Analisis ragam untuk keracunan gulma total pada 8 MSA. ... 57

37. Keracunan gulma total pada 12 MSA. ... 57


(17)

vi

39. Analisis ragam untuk keracunan gulma total pada 12 MSA. ... 58

40. Bobot kering gulma total pada 4 MSA. ... 58

41. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma total pada 4 MSA. ... 58

42. Analisis ragam untuk bobot kering gulma total pada 4 MSA. ... 59

43. Bobot kering gulma total pada 8 MSA. ... 59

44. Analisis ragam untuk bobot kering gulma total pada 8 MSA. ... 59

45. Bobot kering gulma total pada 12 MSA. ... 60

46. Analisis ragam untuk bobot kering gulma total pada 12 MSA. ... 60

47. Bobot kering gulma daun lebar pada 4 MSA. ... 60

48. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma daun lebar pada 4 MSA. ... 61

49. Analisis ragam untuk bobot kering gulma daun lebar pada 4 MSA. ... 61

50. Bobot kering gulma daun lebar pada 8 MSA. ... 61

51. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma daun lebar pada 8 MSA. ... 62

52. Analisis ragam untuk bobot kering gulma daun lebar pada 8 MSA. ... 62

53. Bobot kering gulma daun lebar pada 12 MSA. ... 62

54. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma daun lebar pada 12 MSA. ... 63

55. Analisis ragam untuk bobot kering gulma daun lebar pada 12 MSA. ... 63

56. Bobot kering gulma rumput pada 4 MSA. ... 63

57. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma rumput pada 4 MSA. ... 64

58. Analisis ragam untuk bobot kering gulma rumput pada 4 MSA. ... 64


(18)

vii

60. Analisis ragam untuk bobot kering gulma rumput pada 8 MSA. ... 65

61. Bobot kering gulma rumput pada 12 MSA. ... 65

62. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma rumput pada 12 MSA. ... 65

63. Analisis ragam untuk bobot kering gulma rumput pada 12 MSA. .... 66

64. Bobot kering gulma teki pada 4 MSA. ... 66

65. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma teki pada 4 MSA. .... 66

66. Analisis ragam untuk bobot kering gulma teki pada 4 MSA. ... 67

67. Bobot kering gulma teki pada 8 MSA. ... 67

68. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma teki pada 8 MSA. ... 67

69. Analisis ragam untuk bobot kering gulma teki pada 8 MSA. ... 68

70. Bobot kering gulma teki pada 12 MSA. ... 68

71. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma teki pada 12 MSA. ... 68

72. Analisis ragam untuk bobot kering gulma teki pada 12 MSA. ... 69

73. Bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 4 MSA. ... 69

74. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 4 MSA. ... 69

75. Analisis ragam bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 4 MSA. ... 69

76. Bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 8 MSA. ... 70

77. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 8 MSA. ... 70

78. Analisis ragam bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 8 MSA. ... 70

79. Bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 12 MSA. ... 71

80. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada 12 MSA. ... 71


(19)

viii

81. Analisis ragam bobot kering gulma Digitaria ciliaris pada

12 MSA. ... 72 82. Bobot kering gulma Axonopus compressus pada 4 MSA. ... 72 83. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Axonopus compressus

pada 4 MSA. ... 72 84. Analisis ragam bobot kering gulma Axonopus compressus

pada 4 MSA. ... 73 85. Bobot kering gulma Axonopus compressus pada 8 MSA. ... 73 86. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Axonopus compressus

pada 8 MSA. ... 73 87. Analisis ragam bobot kering gulma Axonopus compressus

pada 8 MSA. ... 74 88. Bobot kering gulma Axonopus compressus pada 12 MSA. ... 74 89. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Axonopus compressus

pada 12 MSA. ... 74 90. Analisis ragam bobot kering gulma Axonopus compressus pada

12 MSA. ... 75 91. Bobot kering gulma Cyrtococum acresceus pada 4 MSA. ... 75 92. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Cyrtococcum

acrescens pada 4 MSA. ... 75 93. Analisis ragam untuk bobot kering gulma pada Cyrtococcum acrescens 4 MSA. ... 76 94. Bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens pada 8 MSA. ... 76 95. Analisis ragam untuk bobot kering gulma pada

Cyrtococcum acrescens 8 MSA. ... 76 96. Bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens pada 12 MSA. ... 77 97. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Cyrtococcum

acrescens pada 12 MSA. ... 77 98. Analisis ragam untuk bobot kering gulma pada Cyrtococcum acrescens 12 MSA. ... 77


(20)

ix

99. Bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 4 MSA. ... 78 100. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma Cyperus kyllingia

pada 4 MSA. ... 78 101. Analisis ragam bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada

4 MSA. ... 78 102. Bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 8 MSA. ... 79 103. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Cyperus kyllingia

pada 8 MSA. ... 79 104. Analisis ragam bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada

8 MSA. ... 79 105. Bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 12 MSA. ... 80 106. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma Cyperus kyllingia

pada 12 MSA. ... 80 107. Analisis ragam bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus kimia amonium glufosinat. ... 15

2. Tata letak petak percobaan di lapangan. ... 18

3. Petak pengambilan contoh gulma. ... 20

4. Gulma Digitaria ciliaris. ... 33

5. Gulma Axonopus compressus. ... 35

6. Gulma Cyrtococcum accrescens. ... 36


(22)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan

perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Luas lahan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2009 yaitu 48.880.000 ha, pada 2010 yaitu

51.616.000 ha, pada 2011 yaitu 53.498.000 ha, pada tahun 2012 59.957.000 ha, dan pada tahun 2013 yaitu 61.707.000 ha (BPS, 2013)

Indonesia adalah negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia, kelapa sawit ditanam di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut data perdagangan KBRI Kairo, dalam periode Januari—Oktober 2012, nilai ekspor minyak kelapa sawit ke Mesir mencapai US$294,69 juta atau menguasai 66,40% pangsa pasar. Nilai ekspor minyak kelapa sawit pada Januari—Oktober 2012 menurun 18,45% dibanding periode sama tahun 2011 tercatat US$361,38 juta (Metronews, 2013).


(23)

2

Produksi minyak kelapa sawit Indonesia tahun 2009 yaitu 13.872,6 ton. Pada tahun 2010 produksi total minyak kelapa sawit adalah 14.038,10 ton. Pada tahun 2011 produksi total minyak kelapa sawit meningkat menjadi 14.632,40 ton, dan pada tahun 2012 produksi total minyak kelapa sawit mencapai 14.788,27 ton (BPS, 2013). Produksi minyak kelapa sawit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hal tersebut dibarengi dengan bertambahnya luas lahan kelapa sawit, dan tentunya meningkatkan biaya produksi sehingga diperlukan pengelolaan perkebunan yang tepat dan efisien untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa sawit.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kelapa sawit yaitu dengan intensifikasi lahan. Namun, dalam intensifikasi lahan terdapat kendala yaitu permasalahan budidaya. Dalam budidaya kelapa sawit, salah satu faktor yang menghambat produktivitas kelapa sawit yaitu gulma.

Gulma merupakan suatu tumbuhan yang pertumbuhanya tidak diinginkan dan merugikan bagi petani sehingga perlu dikendalikan. Kerugian yang ditimbulkan akibat adanya gulma pada umumnya adalah persaingan dalam hal nutrisi, ruang hidup, CO2, air, dan cahaya matahari. Kerugian akan semakin besar jika gulma menghasilkan zat alelopati yang dapat menekan pertumbuhan tanaman budidaya. Pengendalian gulma yang sering kali dilakukan pada perkebunan rakyat ataupun negara dan swasta antara lain pengendalian secara manual, mekanik, serta

kimiawi.

Beberapa metode pengendalian gulma telah dilakukan di perkebunan, baik metode manual, mekanis, kultur teknis, biologis, maupun metode kimiawi, bahkan


(24)

3

menggabungkan beberapa metode sekaligus. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode kimiawi dengan menggunakan herbisida. Metode ini dianggap lebih praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang lain, terutama jika ditinjau dari segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksanaan yang relatif singkat (Barus, 2007). Salah satu herbisida yang digunakan pada pertanaman kelapa sawit adalah amonium glufosinat.

Amonium glufosinat merupakan herbisida kontak yang digunakan untuk

mengendalikan gulma dengan skala luas setelah tanaman budidaya muncul atau untuk pengendalian vegetasi pada lahan yang tidak digunakan untuk pertanaman. Amonium glufosinat digunakan untuk mengendalikan gulma daun lebar tahunan dan semusim, serta gulma rumput pada perkebunan buah, karet, dan kelapa sawit (Tomlin, 2009). Dalam penggunaan herbisida perlu diketahui dosis yang tepat untuk mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit.

Menurut Mawardi dkk. (1996), penggunaan herbisida merupakan salah satu cara pengendalian yang dapat menekan jenis gulma tertentu, tetapi mengakibatkan terjadinya perubahan komposis jenis gulma dan populasi gulma atau tumbuhnya spesies-spesies baru. Perubahan komposisi jenis gulma dapat dilihat dari

berubahnya gulma dominan baik dari golongan rumput, daun lebar, dan teki. Perubahan tersebut dapat terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jenis dan resistensi gulma terhadap herbisida yang diaplikasikan.


(25)

4

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah berikut ini:

1. Berapakah dosis herbisida amonium glufosinat yang efektif mengendalikan gulma pada budidaya kelapa sawit menghasilkan?

2. Apakah terjadi perubahan komposisi jenis gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat dilakukan?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka disusun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Menentukan dosis herbisida amonium glufosinat yang efektif mengendalikan gulma pada budidaya kelapa sawit menghasilkan.

2. Mengetahui adanya perubahan komposisi jenis gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat dilakukan.

1.3 Landasan Teori

Untuk menjelaskan pertanyaan dalam perumusan masalah maka disusun landasan teori sebagai berikut:

Gulma adalah jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan tanaman budidaya dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma dikenal dalam ilmu pertanian karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam habitat buatan manusia tersebut (Moenandir, 2010). Gulma adalah tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia. Karena gulma bersifat merugikan manusia maka manusia berusaha untuk mengendalikannya (Sembodo, 2010).


(26)

5

Pengendalian gulma di perkebunan dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya pengendalian secara mekanis, kultur teknis, fisis, biologis, kimia dan terpadu. Karena situasi dan kondisi perkebunan kelapa sawit yang ada, umumnya pengendalian gulma di perkebunan tersebut dilakukan secara mekanis dan kimia. Sebelum melakukan pengendalian gulma di perkebunan, perlu diketahui keadaan pertumbuhan gulma di lapangan melalui kegiatan identifikasi dan penilaian gulma (weed assessment) (Syahputra dkk., 2011).

Herbisida adalah bahan kimia atau kultur hayati yang dapat menghambat

pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida tersebut mempengaruhi satu atau lebih proses—proses (misalnya proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Sembodo, 2010).

Amonium glufosinat merupakan herbisida pasca tumbuh dan nonselektif yang artinya dapat mengendalikan berbagai jenis gulma baik daun lebar maupun rumput. Cara kerja herbisida amonium glufosinat yaitu secara kontak, hanya meracuni bagian yang terkena herbisida. Mekanisme kerja herbisida amonium glufosinat yaitu menghambat sintesa glutamin, menyebabkan akumulasi ion amonium, dan menghambat fotosintesis (Tomlin, 2009). Akumulasi amonia di dalam jaringan daun (kloroplas) mencapai kadar toksik yang menyebabkan fotosintesis terhenti dan mati (Jewell dan Buffin, 2001).

Transportasi amonium glufosinat di xilem atau floem terbatas, sehingga penyemprotan secara menyeluruh diperlukan untuk membunuh gulma yang


(27)

6

ditargetkan. Amonium glufosinat tidak bisa pindah ke rimpang dan stolon. Setelah aplikasi amonium glufosinat, kadar amonia pada tumbuhan meningkat secara drastis, yang mengakibatkan gangguan metabolisme dan kematian tumbuhan. Amonium glufosinat mengganggu banyak metabolisme nitrogen penting (asimilasi nitrogen) reaksi pada tanaman dengan menghambat sintesis glutamin dan secara tidak langsung menghambat aliran elektron dalam

fotosintesis. Gejala keracunan seperti klorosis dan layu biasanya terjadi dalam waktu 3-5 hari setelah aplikasi amonium glufosinat, diikuti oleh nekrosis dalam 1-2 minggu (Krishna dkk., 1-2011)

Dosis amonium glufosinat yang digunakan yaitu 400—1000 g/ha (Tomlin,2009). Dalam aplikasi herbisida, pertimbangan dosis yang tepat lebih diutamakan

dibandingkan dengan konsentrasi yang tepat. Aplikasi herbisida pada dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis tumbuhan. Herbisida pada dosis yang lebih rendah, akan membunuh tumbuhan tertentu dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya (Sembodo, 2010).

Pengendalian gulma dapat mengakibatkan perubahan komposisi jenis gulma. Menurut Radosevich dan Holt (1984) yang dikutip oleh Kamiri (2011) bahwa perubahan komposisi gulma yang diakibatkan penggunaan herbisida lebih terlihat secara jelas apabila dibandingkan dengan metode pengendalian gulma lainnya. Ditambahkan oleh Mercado (1979) yang dikutip oleh Kamiri (2011), faktor utama yang mampu mempengaruhi perubahan komposisi gulma adalah metode

pengendalian gulma, perubahan pengelolaan air, pemupukan, perubahan dalam tanaman pokok, varietas, dan sistem pertanaman. Penggunaan herbisida yang


(28)

7

kurang tepat dalam pengendalian gulma menyebabkan timbulnya suatu jenis gulma yang resisten dan lebih sulit dikendalikan dari gulma sebelumnya.

1.4 Kerangka Pemikiran

Untuk menjelaskan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka di susun kerangka pemikiran sebagai berikut:

Keberadaan gulma disekitar tanaman budidaya tidak dapat dihindarkan, terutama bila lahan pertanaman tersebut tidak dikelola. Gulma bersaing dengan tanaman budidaya dalam hal memanfaatkan sarana tumbuh seperti cahaya, ruang tumbuh, nutrisi, dan air. Persaingan tersebut terjadi apabila sarana tumbuh yang tersedia terbatas. Selain hal tersebut, gulma juga dapat mengganggu pemeliharaan tanaman seperti pemupukkan dan proses pemanenan serta hasil panen yang tercampur oleh gulma dapat menurunkan kualitas hasil tanaman kelapa sawit menjadi rendah.

Untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan gulma maka diperlukan upaya pengendalian. Salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Pengendalian gulma terutama bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma sampai batas toleransi merugikan secara ekonomis. Jadi, usaha pengendalian gulma bukan merupakan upaya pemusnahan total.

Herbisida berbahan aktif amonium glufosinat merupakan herbisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan gulma karena herbisida amonium glufosinat merupakan herbisida nonselektif dan kontak yang diaplikasikan


(29)

8

pascatumbuh. Herbisida tersebut bekerja dengan mempengaruhi proses

fotosintesis, yaitu dengan cara menghambat sintesis glutamin, dan menyebabkan akumulasi amonia, serta secara tidak langsung akan menyebabkan aliran elektron pada fotosintesis terhambat sehingga fotosintesis terhenti. Dengan sifatnya yang nonselektif yaitu dapat meracuni berbagai jenis gulma baik golongan daun lebar maupun rumput, diharapkan herbisida amonium glufosinat dapat efektif

mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit yang beragam jenisnya.

Pemberian dosis tepat diperlukan agar herbisida dapat bekerja dengan efektif. Dosis yang tepat yaitu jumlah herbisida yang diaplikasikan ke suatu lahan mengikuti rekomendasi yang tertera pada label herbisida. Kekurangan atau kelebihan jumlah herbisida dari yang direkomendasikan akan menimbulkan kerugian, pada dosis yang kurang gulma tidak terkendali dengan baik atau pada dosis yang berlebihan herbisida akan terbuang cuma—cuma. Dosis amonium glufosinat yang tepat yaitu 3 L/ha atau 450 g/ha yang digunakan di perkebunan kelapa sawit.

Perubahan jenis gulma dapat diakibatkan karena adanya perbedaan tanggapan masing-masing jenis gulma terhadap pengendalian gulma yang dilakukan serta adanya pemecahan biji gulma dari daerah sekitar dan tumbuh kembalinya bagian vegetatif yang tersisa dalam tanah. Pengendalian gulma menggunakan herbisida terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan metode pengendalian gulma lainnya. Selain metode pengendalian gulma, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan perubahan komposisi gulma yang lain yaitu pengelolaan air, pemupukan, perubahan dalam tanaman pokok, varietas dan sistem penanaman.


(30)

9

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan maka disusun hipotesis sebagai berikut:

1. Herbisida amonium glufosinat dosis 450 g/ha efektif untuk mengendalikan gulma pada lahan kelapa sawit.

2. Terjadi perubahan komposisi jenis gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat dilakukan.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Penanaman dilakukan dengan menanam di Kebun Raya Bogor, dan di tepi-tepi jalan ditanami sisa benihnya sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an.

Permintaan minyak nabati meningkat pada saat yang bersamaan akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Ide membuat perkebunan kelapa sawit muncul dari hal tersebut, dan berdasarkan seleksi tumbuhan dari Bogor dan Deli maka dikenallah jenis sawit “Deli Dura”.

Tanaman kelapa sawit yang dalam bahasa ilmiahnya Elaeis guineensis Jacq ini adalah tanaman sejenis palma, yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah.


(32)

11

Klasifikasi botani tanaman kelapa sawit sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Embyophyta Siphonagama Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae Famili: Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq. (Pahan, 2008).

Di Indonesia, kelapa sawit pada umumnya ditanam varietas nigrercens dengan warna buah ungu kehitaman saat mentah/buah muda. Setelah 5—6 bulan penyerbukan buah akan matang dengan warna kulit berubah menjadi orange kemerahan. Brondolan yang melekat pada janjangan merupakan buah yang tersusun atas biji—biji yang dalam istilah perkebunan disebut Tandan Buah Segar (TBS). Dalam 1 tandan ada 600—2000 biji/brondolan, dengan berat perbiji 13-30 gram (Kelapa Sawit Indonesia, 2012).

Daerah tropik (dataran rendah yang panas dan lembab) merupakan daerah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Curah hujan yang baik adalah 2.500—3.000 mm/tahun yang turun merata sepanjang tahun. Distribusi hujan yang merata merupakan hal yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Kekeringan tanah di daerah perakaran yang relatif dangkal akibat kemarau yang panjang menyebabkan kelembaban tanah bisa berada di bawah titik


(33)

12

layu permanen yang akan menyebabkan tanaman kelapa sawit tumbuh lambat dan produksinya kecil.

Pada tanah dengan pH 4,0—6,5 kelapa sawit dapat tumbuh baik, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan adalah antara 5,0—5,5. Tanah yang memiliki pH rendah biasanya dijumpai pada daerah pasang surut, terutama tanah gambut. Tanah organosol atau gambut mengandung lapisan yang terdiri atas lapisan mineral dengan lapisan bahan organik yang belum terhumifikasi lebih lanjut dan memiliki pH rendah (Tim Bina Karya Tani, 2009).

2.2 Gulma pada Lahan Perkebunan

Gulma adalah jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan tanaman budidaya dan beradaptasi pada habitat buatan manusia. Gulma dikenal dalam ilmu pertanian karena bersaing dengan tanaman budidaya dalam habitat buatan manusia tersebut. Kompetisi antara gulma dan tanaman terjadi karena keterdekatan dalam ruang tumbuh yang berakibat pada terjadinya interaksi. Interaksi yang terjadi antara gulma dan tanaman budidaya dapat terjadi baik interaksi positif maupun interaksi negatif. Interaksi negatif ialah peristiwa persaingan antar dua jenis spesies yang berbeda, yaitu persaingan antara gulma dan tanaman budidaya. Kompetisi tersebut terjadi apabila bahan faktor tumbuh yang dipersaingkan berada di bawah kebutuhan para pesaing tersebut (Moenandir, 2010).

Tumbuhan yang berstatus gulma selalu dinilai merugikan manusia. Batasan gulma yang paling tepat adalah tumbuhan yang merugikan manusia. Kerugian yang ditimbulkan oleh gulma meliputi beberapa aspek kehidupan manusia dan bersifat langsung maupun tidak langsung. Kerugian yang bersifat langsung,


(34)

13

misalnya menjadi kontaminan produk pertanian, melukai petani, menaikkan biaya produksi, menyita waktu petani, atau merusak alat—alat pertanian. Kerugian yang bersifat tidak langsung misalnya menjadi pesaing tumbuh tanaman sehingga menurunkan hasil pertanian, pencemaran lingkungan akibat herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma, atau mempengaruhi organisme asli suatu daerah akibat habitatnya diganggu oleh gulma (Sembodo, 2010).

Karena dianggap merugikan, maka gulma oleh manusia dikendalikan. Ada enam metode pengendalian gulma, yaitu preventif atau pencegahan, mekanik atau fisik, kultur teknis, hayati, kimia, dan terpadu. Dalam praktik budidaya tanaman, berbagai metode sudah lazim digunakan, baik oleh petani kecil maupun perusahaan besar. Langkah ini ditempuh karena tidak satupun metode pengendalian dapat mengatasi masalah gulma di lapangan secara tuntas dan ekonomis bila dilakukan secara terpisah (Sembodo, 2010). Pada perkebunan besar pada umumnya metode yang sering digunakan yaitu metode kimia, yaitu menggunakan herbisida. Contoh gulma yang dominan di areal pertanaman kelapa sawit adalah Imperata cylindrica, cyperus rotundus, Otthochloa nodosa,

Melostoma malabatricum, Lantana camara, Gleichenia linearis, dan sebagainya (Sumaryanto, 2008).

2.3 Herbisida dan Amonium Glufosinat

Herbisida adalah zat kimia yang dapat menekan pertumbuhan gulma dan bahkan dapat mematikannya. Zat kimia yang berperan sebagai herbisida tersebut


(35)

14

Herbisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pada areal

pertanaman kalapa sawit yaitu Assault 100 AS, Basta 150 WSC, Ally 20 WDG, Sun Up 480 AS, Gramaxone, Herbatop 276 AS, Polaris 200 AS, Polmax 240 AS, Topstar 50/300 ME, Harpon 240 AS, Strane 200 EC, Touchdown 480 AS (Komisi Pestisida, 2000).

Amonium glufosinat merupakan herbisida kontak yang digunakan untuk

mengendalikan gulma dengan skala luas setelah tanaman budidaya muncul atau untuk pengendalian vegetasi pada lahan yang tidak digunakan untuk pertanaman. Amonium glufosinat adalah nama umum dari garam amonium yang berasal dari posphinitricin, sebuah racun mikroba alami yang diisolasi dari dua spesies jamur Streptomyces. Amonium glufosinat menghambat aktivitas enzim yaitu enzim yang berperan dalam sintesis glutamin, enzim tersebut diperlukan untuk

memproduksi asam amino glutamin dan untuk detoksifikasi amonia (Jewell dan Buffin, 2001).

Hasil berbagai studi laboratorium menunjukkan bahwa waktu paruh herbisida amonium glufosinat dalam tanah adalah 3—42 hari sampai 70 hari. Waktu paruh terpendek ditanah tergantung dari kandungan bahan organik dan liat yang tinggi (Jewell dan Buffin, 2001).

Amonium glufosinat adalah herbisida yang bersifat non selektif artinya herbisida ini akan mematikan semua jenis gulma tanpa mengenal jenis kelompok gulmanya sehingga dapat digunakan dalam kondisi gulma apa saja. Herbisida ini juga bersifat kontak artinya herbisida ini tidak disalurkan ke seluruh bagian gulma atau tanaman yang terkena sehingga kekhawatiran tentang residu herbisida ini di


(36)

15

seluruh tanaman tidak akan terjadi (Marveldanidkk, 2007 yang di kutip oleh Silaban, 2009).

Amonium glufosinat bekerja dalam jaringan tumbuhan dengan menghambat aktivitas enzim yaitu sintesa glutamin. Glumamine penting bagi produksi asam amino glutamin dan detoksifikasi amoniak. Dengan adanya glufosinat dalam jaringan tumbuhan menyebabkan glutamin berkurang dan meningkatkan amoniak dalam jaringan pembuluh. Hal ini menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung dan dalam beberapa hari tumbuhan tersebut akan mati (Silaban, 2009).

Menurut Tomlin (2009) gejala herbisida amonium glufosinat yang diaplikasikan muncul hanya pada bagian daun, meracuni daun dari daun dasar sampai dengan ujung. Amonium glufosinat digunakan untuk mengendalikan gulma daun lebar, musiman, dan tahunan serta rerumputan pada perkebunan buah, anggur, karet, dan kelapa sawit, semak, lahan non-pertanian dan pre-emergence pada sayuran.

Amonium glufosinat juga digunakan sebagai desikan kentang, bunga matahari, dan sebagainya. Berikut merupakan rumus bangun herbisida amonium glufosinat (Gambar 1).


(37)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PTPN VII Unit Usaha Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan di Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Juni sampai dengan September 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kelapa sawit menghasilkan varietas Tenera yang berumur seragam yaitu 8 tahun di perkebunan kelapa sawit PTPN VII Unit Usaha Rejosari, herbisida Amonium Glufosinat 150 g/L (Basta 150 SL), dan air sebagai pelarut. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah knapsack sprayer, nosel warna biru, ember plastik, pipet, kantong plastik, meteran, cangkul, oven, jerigen, gelas ukur, kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m, dan timbangan digital.


(38)

17

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan (Gambar 2). Masing-masing perlakuan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan herbisida amonium glufosinat pada lahan tanaman kelapa sawit menghasilkan.

No. Perlakuan

Dosis Formulasi (L/ha)

Dosis Bahan Aktif (g/ha) Bahan Aktif

1 Amonium glufosinat 1,5 225

2 Amonium glufosinat 2,0 300

3 Amonium glufosinat 2,5 375

4 Amonium glufosinat 3,0 450

5 Penyiangan mekanis - -

6 Kontrol - -

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlett dan addivitas data diuji dengan uji Tukey. Data diolah dengan analisis ragam, dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Petak Percobaan

Petak perlakuan dibuat sebanyak 6 petak dengan 4 ulangan. Setiap petak terdiri dari 3 tanaman kelapa sawit dengan masing-masing piringan memiliki diameter 3 m dengan jari—jari 1,5 m dari pangkal batang. Pada setiap petak percobaan, penutupan gulma lebih dari 75%.


(39)

18

Kelompok Perlakuan

I P1 P2 P3 P4 P5 P6

II P6 P2 P1 P5 P3 P4

III P6 P3 P1 P5 P4 P2

IV P4 P1 P6 P2 P5 P3

Gambar 2. Tata letak petak percobaan di lapangan.

Keterangan:

P1 = Amonium Glufosinat 225 gha P2 = Amonium Glufosinat 300 g/ha P3 = Amonium Glufosinat 375 g/ha P4 = Amonium Glufosinat450 g/ha P5 = Penyiangan Mekanis

P6 = Kontrol

3.4.2 Aplikasi Herbisida Amonium Glufosinat

Aplikasi herbisida dilakukan satu kali dengam menggunakan knapsack sprayer punggung dengan nozzle kipas berwarna biru. Metode kalibrasi yang digunakan adalah metode luas. Berdasarkan hasil kalibrasi diperoleh volume semprot 353 L/ha (3 L/ 84,78 m2), kebutuhan herbisida amonium glufosinat yang digunakan untuk setiap petak percobaan pada Tabel 2.


(40)

19

Tabel 2. Kebutuhan herbisida amonium glufosinat yang digunakan untuk setiap petak percobaan.

No. Perlakuan

Dosis Formulasi (L/ha)

Kebutuhan Pestisida (ml/84,78 m2) Bahan Aktif

1 Amonium Glufosinat 1,5 12,72

2 Amonium Glufosinat 2,0 16,96

3 Amonium Glufosinat 2,5 21,20

4 Amonium Glufosinat 3,0 25,43

5 Penyiangan Mekanis - -

6 Kontrol - -

Dosis masing-masing herbisida yang telah ditentukan untuk setiap perlakuan dilarutkan dalam air sesuai dengan volume semprot hasil kalibrasi, kemudian dimasukkan ke dalam tangki. Penyemprotan dilakukan merata pada petak percobaan mengenai bagian gulma yang berada di dalam piringan kelapa sawit.

3.4.3 Penyiangan Mekanis dan Kontrol

Penyiangan mekanis dilakukan dengan cara membabat gulma atau membersihkan gulma pada piringan kelapa sawit yang terdiri dari 3 tanaman pada setiap petak percobaan dilakukan satu kali yaitu pada saat aplikasi herbisida. Sedangkan petak kontrol percobaan dibiarkan atau gulmanya tidak dikendalikan.

3.4.4 Pengambilan Sampel Gulma

Pengambilan sampel gulma setelah perlakuan diterapkan dilakukan sebanyak 3 kali yaitu : 4 minggu setelah aplikasi (MSA), 8 MSA, dan 12 MSA. Gulma diambil dengan menggunakan kuadran dengan berukuran 0,5 m x 0,5 m pada tiga titik pengambilan yang berbeda untuk setiap petak percobaan dan setiap waktu pengambilan sampel. Gulma yang berada pada petak kuadran dipotong tepat


(41)

20

setinggi permukaan tanah. Gulma yang masih hidup atau berwarna hijau lalu dipilah menurut spesiesnya kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven selama ± 48 jam dengan suhu 800C. Pengeringan gulma dilakukan di

Laboratorium Ilmu Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Berikut merupakan gambar petak pengambilan contoh gulma:

3 m

Gambar 3. Petak pengambilan contoh gulma. Keterangan:

Gulma pada petak contoh diambil pada 4 MSA. Gulma pada petak contoh diambil pada8 MSA. Gulma pada petak contoh diambil pada 12 MSA.

Tanaman kelapa sawit.

2

3 1

1

3 2


(42)

21

3.5 Pengamatan

Peubah yang diamati pada setiap petak percobaan meliputi:

3.5.1 Bobot Kering Gulma

3.5.1.1 Sebelum aplikasi

Pengambilan contoh gulma untuk data biomassa dilakukan sebelum aplikasi herbisida. Data tersebut digunakan untuk menentukan gulma dominan berdasar nilai nisbah jumlah dominansi (NJD atau SDR). Gulma diambil pada petak percobaan dengan perlakuan penyiangan mekanis untuk semua ulangan dengan metode kuadran.

3.5.1.2 Setelah aplikasi

Pengambilan contoh gulma untuk data biomassa setelah aplikasi herbisida dilakukan pada 4, 8, dan 12 MSA. Bobot kering gulma yang diperoleh meliputi bobot kering gulma setiap jenis, bobot kering gulma total, dan bobot kering gulma dominan. Data yang diperoleh digunakan untuk mengetahui pengaruh herbisida terhadap bobot kering gulma yang telah diaplikasi.

3.5.2 Summed Dominance Ratio (SDR)

Setelah didapat nilai bobot kering gulma, maka dapat dihitung SDR (Summed Dominance Ratio) untuk masing-masing spesies pada petak percobaan dengan menggunakan rumus :


(43)

22

a. Dominansi Mutlak (DM)

Bobot kering jenis gulma tertentu dalam petak contoh.

b. Dominansi Nisbi (DN)

Dominansi Nisbi = DM satu spesies x 100% DM semua spesies

c. Frekuensi Mutlak (FM)

Jumlah kemunculan gulma tertentu pada setiap ulangan.

d. Frekuensi Nisbi (FN)

Frekuensi Nisbi (FN) = FM jenis gulma tertentu x 100% Total FM semua jenis gulma

e. Nilai Penting (NP)

Jumlah nilai semua peubah nisbi yang digunakan (DN + FN)

f. Summed dominance ratio (SDR)

Nilai Penting = NP Jumlah peubah nisbi 2

Nilai SDR yang didapatkan akan digunakan untuk menghitung nilai koefisien komunitas (C) yang dihitung dengan rumus:


(44)

23

C = (2W)/(a+b) x 100 %

Ketrangan :

C = koefisien komunitas

W = jumlah dari dua nilai SDR terendah yang dibandingkan untuk masing-masing komunitas

a = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas I

b = jumlah dari seluruh nilai SDR pada komunitas II (kontrol)

Koefisien komunitas dihitung untuk melihat terjadi perubahan komposisi jenis gulma atau tidak.

3.5.3 Persentase Penutupan Gulma

Persentase penutupan gulma diamati oleh 3 orang dengan menggunakan metode visual yang dilakukan pada 2, 4, 8, dan 12 MSA. Persentase penutupan gulma diamati untuk mengetahui dominansi gulma dalam menguasai lahan.

3.5.4 Persentase Keracunan Gulma

Persentase keracunan gulma diamati bersamaan dengan persentase penutupan gulma dengan metode visual. Pengamatan persentase keracunan gulma tiap perlakuan ini akan dibandingkan dengan kontrol. Ciri-ciri gulma yang teracuni yaitu mengering dan menguning. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi penunjang dan pendukung bagi data bobot kering gulma yang menggambarkan keefektifan herbisida dalam mengendalikan berbagai jenis gulma, baik


(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdsarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Herbisida ammonium glufosinat dosis 225—450 g/ha menekan bobot kering gulma total pada 4 dan 12 MSA, gulma daun lebar pada 4 dan 8 MSA, gulma rumput dan gulma Cyrtococcum acrescens pada 4 MSA, serta dosis 375 dan 450 g/ha menekan bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 4 MSA. 2. Aplikasi herbisida amonium glufosinat pada dosis 225—450 g/ha

mengakibatkan perubahan komposisi jenis gulma yaitu dengan terjadinya perubahan gulma dominan pada 4 MSA dari Ichaemum timorense menjadi Cyperus rotundus, pada 12 MSA dari Ageratum conyzoides menjadi Otochloa nodosa, dan Ichaemum timorense.


(46)

46

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis menyarankan dalam aplikasi herbisida amonium glufosinat di perkebunan sebaiknya menggunakan dosis 225 g/ha karena secara umum dosis herbisida tersebut mampu mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit dan sebelum aplikasi herbisida sebaiknya perlu diketahui keadaan pertumbuhan gulma di lapangan melalui kegiatan identifikasi dan penilaian gulma.


(47)

PUSTAKA ACUAN

Adriadi, A.,Chairul, dan Solfiyeni. 2012. Analisis vegetasi gulma pada perkebunan kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) di Kilangan, Muaro Bulian, Batang Hari. J. Bio. UA.1(2): 108-115.

Barus, E. 2007. Pengendalian Gulma di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 105 hlm.

Barus, E. 2010. Pengendalian Gulma di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 103 hlm.

BPS. 2013. Produksi Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton), 1995 – 2012. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013.http//:bps.go.id//.

Jewell, T. and D. Buffin. 2001. Health and enviromental impact of glufosinate Ammonium. Edited by Pete Riley, M. Warhurst, E. Diamand, and H. Barron. Friends of the Earth: the Pestcides Action network UK.

Kamiri. 2011. Perubahan Komposisi Jenis Gulma Akibat Pemberian Campuran Herbisida Atrazine dan Mesotrione Pada Tanaman Jagung (Zea Mays). Proposal Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Syiah

KualaDarussalam, Banda Aceh. 1-9 hlm.

Kelapa Sawit Indonesia. 2012. Morfologi Tanaman Kelapa Sawit. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013.http://pertanianindonesiamasadepan.blogspot.com/ 2012/10/morfologi-tanaman-kelapa-sawit-part-1.html.

Komisi Pestisida. 2000. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Komisi Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta. 277hlm.

Konsultasi Sawit. 2012. Prospek Bisnis Kelapa Sawit Dunia. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. http://konsultasisawit.blogspot.com/2012/02/ prospek-bisnis-kelapa-sawit-dunia.html.


(48)

48

Krishna N. Reddy, M. Robert. Zablotowicz, N. Bellaloui, and W. Ding. 2011. Glufosinate effects on nitrogen nutrition, growth, yield, and seed composition in glufosinate-resistant and glufosinate-sensitive soybean. International Journal of Agronomy. 2 (11): 9.

Lubis, L. A., E. Purba, dan R. Sipayung.2012. Respons dosis biotip eleusine indica resisten-glifosat terhadap glifosat, parakuat, dan glufosinat. J. Online Agrotektropika. 1(1):109—123.

Marveldani, M. Barmawi, K. Setyawan, dan S. D. Utomo. 2007. Pengembangan kedelai transgenik yang toleran herbisida amonium-glufosinat dengan agrobacterium. Jurnal Akta Agrosia. 10 (1): 54.

Mas’ud, H. 2009. Komposisi dan efisiensi pengendalian gulma pada pertanaman kedelai dengan penggunaan bokashi. J. Agroland 16 (2):118—123.

Mawardi, D., H. Susanto, Sunyoto, A.T. Lubis. 1996. Pengaruh sistem olah tanah dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan gulma dan produksi padi sawah (Oryza sativa L.). Prosiding II. Koferensi XIII dan Seminar Ilmiah HIGI. Bandar Lampung: 712—715.

Metronews. 2013. Indonesia kuasai ekspor minyak sawit. Diakses pada 9 September 2013.

http://www.metronews.com/mobile- site/read/news/2013/01/30/127064/Indonesia-Kuasai-Ekspor-Minyak-Sawit.

Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. Edited by D. Y. Hersanjaya. Universitas Brawijaya Press. Malang. 162 hlm.

Pahan, I. 2008. Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Bogor. 411 hlm.

Pestisida Info. 2014. Detail chemical. Diakses pada 2 Mei 2014.

http://www.pesticideinfo.org/Detail_Chemical.jsp?Rec_Id=PC35896

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 236 hlm.


(49)

49

Sembodo, D. R. J. 2010. Gulma dan Pengeloloaannya. Graha Ilmu Yogyakarta.163 hlm.

Silaban, S. A. 2009. Pengendalian syngonium podophyllum dengan paraquat, trialsulfuron, ammonium glufosinat, dan fluroksipir secara tunggal dan campuran pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. 51 hlm.

Sumaryanto. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Diakses pada 26 Juni 2014. http;//litbang.deptan.go.id.

Syahputra, E, Sarbino, dan S. Dian. 2011. Weed Assessment di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut. J.Tek. Perkebunan & PSDL (1) :7-42.

Tim Bina Karya Tani. 2009. Pedoman Bertanam Kelapa Sawit. Yrama Widya. Bandung. 128 hlm.

Tjitrosoedirdjo, S., I, H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia. Jakarta. 207 hlm.

Tomlin, C.D.S. 2009. The Pesticide Manual Version 5.0 (fifthteen edition). British Crop Protection Council. 589 hlm.


(50)

(1)

5.1 Kesimpulan

Berdsarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Herbisida ammonium glufosinat dosis 225—450 g/ha menekan bobot kering gulma total pada 4 dan 12 MSA, gulma daun lebar pada 4 dan 8 MSA, gulma rumput dan gulma Cyrtococcum acrescens pada 4 MSA, serta dosis 375 dan 450 g/ha menekan bobot kering gulma Cyperus kyllingia pada 4 MSA. 2. Aplikasi herbisida amonium glufosinat pada dosis 225—450 g/ha

mengakibatkan perubahan komposisi jenis gulma yaitu dengan terjadinya perubahan gulma dominan pada 4 MSA dari Ichaemum timorense menjadi

Cyperus rotundus, pada 12 MSA dari Ageratum conyzoides menjadi Otochloa


(2)

46

5.2 Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis menyarankan dalam aplikasi herbisida amonium glufosinat di perkebunan sebaiknya menggunakan dosis 225 g/ha karena secara umum dosis herbisida tersebut mampu mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit dan sebelum aplikasi herbisida sebaiknya perlu diketahui keadaan pertumbuhan gulma di lapangan melalui kegiatan identifikasi dan penilaian gulma.


(3)

PUSTAKA ACUAN

Adriadi, A.,Chairul, dan Solfiyeni. 2012. Analisis vegetasi gulma pada

perkebunan kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) di Kilangan, Muaro

Bulian, Batang Hari. J. Bio. UA.1(2): 108-115.

Barus, E. 2007. Pengendalian Gulma di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi

Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 105 hlm.

Barus, E. 2010. Pengendalian Gulma di Perkebunan : Efektivitas dan Efisiensi

Aplikasi Herbisida. Kanisius. Yogyakarta. 103 hlm.

BPS. 2013. Produksi Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton), 1995 – 2012. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013.http//:bps.go.id//.

Jewell, T. and D. Buffin. 2001. Health and enviromental impact of glufosinate

Ammonium. Edited by Pete Riley, M. Warhurst, E. Diamand, and H.

Barron. Friends of the Earth: the Pestcides Action network UK.

Kamiri. 2011. Perubahan Komposisi Jenis Gulma Akibat Pemberian Campuran Herbisida Atrazine dan Mesotrione Pada Tanaman Jagung (Zea Mays). Proposal Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Syiah

KualaDarussalam, Banda Aceh. 1-9 hlm.

Kelapa Sawit Indonesia. 2012. Morfologi Tanaman Kelapa Sawit. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013.http://pertanianindonesiamasadepan.blogspot.com/

2012/10/morfologi-tanaman-kelapa-sawit-part-1.html.

Komisi Pestisida. 2000. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Komisi Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta. 277hlm.

Konsultasi Sawit. 2012. Prospek Bisnis Kelapa Sawit Dunia. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. http://konsultasisawit.blogspot.com/2012/02/


(4)

48

Krishna N. Reddy, M. Robert. Zablotowicz, N. Bellaloui, and W. Ding. 2011. Glufosinate effects on nitrogen nutrition, growth, yield, and seed

composition in glufosinate-resistant and glufosinate-sensitive soybean.

International Journal of Agronomy. 2 (11): 9.

Lubis, L. A., E. Purba, dan R. Sipayung.2012. Respons dosis biotip eleusine

indica resisten-glifosat terhadap glifosat, parakuat, dan glufosinat. J.

Online Agrotektropika. 1(1):109—123.

Marveldani, M. Barmawi, K. Setyawan, dan S. D. Utomo. 2007. Pengembangan kedelai transgenik yang toleran herbisida amonium-glufosinat dengan

agrobacterium. Jurnal Akta Agrosia. 10 (1): 54.

Mas’ud, H. 2009. Komposisi dan efisiensi pengendalian gulma pada pertanaman

kedelai dengan penggunaan bokashi. J. Agroland 16 (2):118—123.

Mawardi, D., H. Susanto, Sunyoto, A.T. Lubis. 1996. Pengaruh sistem olah tanah dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan gulma dan produksi padi

sawah (Oryza sativa L.).Prosiding II. Koferensi XIII dan Seminar Ilmiah

HIGI. Bandar Lampung: 712—715.

Metronews. 2013. Indonesia kuasai ekspor minyak sawit. Diakses pada 9 September 2013.

http://www.metronews.com/mobile- site/read/news/2013/01/30/127064/Indonesia-Kuasai-Ekspor-Minyak-Sawit.

Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. Edited by D. Y. Hersanjaya. Universitas Brawijaya Press. Malang. 162 hlm.

Pahan, I. 2008. Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Bogor. 411 hlm.

Pestisida Info. 2014. Detail chemical. Diakses pada 2 Mei 2014.

http://www.pesticideinfo.org/Detail_Chemical.jsp?Rec_Id=PC35896

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 236 hlm.


(5)

Sembodo, D. R. J. 2010. Gulma dan Pengeloloaannya. Graha Ilmu Yogyakarta.163 hlm.

Silaban, S. A. 2009. Pengendalian syngonium podophyllum dengan paraquat, trialsulfuron, ammonium glufosinat, dan fluroksipir secara tunggal dan campuran pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. 51 hlm.

Sumaryanto. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Diakses pada 26 Juni 2014. http;//litbang.deptan.go.id.

Syahputra, E, Sarbino, dan S. Dian. 2011. Weed Assessment di Perkebunan

Kelapa Sawit Lahan Gambut.J.Tek. Perkebunan & PSDL (1) :7-42.

Tim Bina Karya Tani. 2009. Pedoman Bertanam Kelapa Sawit. Yrama Widya. Bandung. 128 hlm.

Tjitrosoedirdjo, S., I, H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma

di Perkebunan. Gramedia. Jakarta. 207 hlm.

Tomlin, C.D.S. 2009. ThePesticide Manual Version 5.0 (fifthteen edition). British Crop Protection Council. 589 hlm.


(6)