EFIKASI HERBISIDA FLUROKSIPIR TERHADAP GULMA PADA GAWANGAN TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) BELUM MENGHASILKAN

(1)

EFIKASI HERBISIDA FLUROKSIPIR TERHADAP GULMA PADA GAWANGAN TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

BELUM MENGHASILKAN Oleh

Andes Afdila1, Darmaisam Mawardi2, dan Sugiatno2 ABSTRAK

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman introduksi yang berasal dari Afrika Barat yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri menggunakan bahan baku CPO, maka dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit salah satunya adalah dengan pengendalian gulma secara kimiawi dengan menggunakan herbisida fluroksipir. Pengendalian gulma dengan herbisida memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan cara pengendalian gulma yang lain. Penelitian ini dilaksanakan di lahan perkebunan kelapa sawit PTP N VII Unit Usaha Rejosari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan September sampai Desember 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas herbisida fluroksipir dalam mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan, dan untuk mengetahui perubahan komunitas gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan setelah aplikasi fluroksipir.

Perlakuan diterapkan pada petak percobaan dalam rancangan kelompok teracak sempurna yang terdiri dari 6 perlakuan yang diulang sebanyak 4 kali. Perlakuan tersebut adalah dosis bahan aktif fluroksipir 56 g/ha, 75 g/ha, 94 g/ha, 122 g/ha, metil metsulfuron 14 g/ha, dan kontrol. Homogenitas ragam diuji dengan Uji Bartlett dan aditivitas data diuji dengan Uji Tukey. Data dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) herbisida fluroksipir mampu meracuni gulma di gawangan tanaman kelapa sawit pada 2, 4, dan 6 minggu setelah aplikasi (MSA), tingkat keracunan gulma tertinggi dicapai pada dosis 112 g/ha, (2) herbisida fluroksipir pada dosis 112 g/ha efektif mengendalikan gulma di gawangan tanaman kelapa sawit pada 4 MSA, (3) herbisida fluroksipir pada semua taraf dosis mampu mengendalikan gulma golongan rumput dan gulma Mikania micrantha pada 4 MSA, (4) herbisida fluroksipir pada semua taraf dosis menyebabkan terjadinya perubahan komunitas gulma pada 4 MSA, sedangkan herbisida metil metsulfuron menyebabkan terjadinya perubahan komunitas gulma pada 4, 8, dan 12 MSA.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Herbisida fluroksipir mampu meracuni gulma di gawangan tanaman kelapa sawit pada 2, 4, dan 6 minggu setelah aplikasi (MSA), tingkat keracunan gulma tertinggi dicapai pada dosis 112 g/ha.

2. Herbisida fluroksipir pada dosis 112 g/ha efektif mengendalikan gulma di gawangan tanaman kelapa sawit pada 4 MSA.

3. Herbisida fluroksipir pada semua taraf dosis mampu mengendalikan gulma golongan rumput dan gulma Mikania micrantha pada 4 MSA.

4. Herbisida fluroksipir pada semua taraf dosis menyebabkan terjadinya perubahan komunitas gulma pada 4 MSA, sedangkan herbisida metil metsulfuron menyebabkan terjadinya perubahan komunitas gulma pada 4, 8, dan 12 MSA.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan peningkatan dosis herbisida fluroksipir untuk mendapatkan dosis yang efektif dalam mengendalikan gulma.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit (Elais guineensis Jacq.) merupakan tanaman introduksi yang berasal dari Afrika Barat yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO – crude palm

oil) dan inti kelapa sawit (PKO – palm kernel oil) merupakan salah satu

primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam

perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.

Industri kelapa sawit Indonesia telah tumbuh secara signifikan dalam empat puluh tahun terakhir. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia menguasai hampir 90% produksi minyak sawit dunia. Indonesia bukan merupakan tempat asal mula tanaman kelapa sawit, namun memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah perkelapasawitan. Dimulai dengan penanaman empat tanaman kelapa sawit di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848, tanaman kelapa sawit unggul menyebar ke seluruh dunia dan menjadi tanaman komersial sejak tahun 1911


(4)

2 Industri minyak sawit telah menjadi salah satu industri primadona bagi Indonesia. Dengan jumlah ekspor tahunan yang saat ini mencapai lebih dari 14 juta ton CPO pertahun, maka dalam setahun ekspor CPO telah menghasilkan devisa lebih dari US$10 Milyar (rata-rata harga CPO US$750 per MT di tahun 2008).

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terutama dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian Jaya. Pada tahun 2006, Indonesia telah mengungguli Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan industri pemproses CPO dalam negeri maka dilakukan berbagai cara untuk meningkatkan produksi kelapa sawit. Salah satunya adalah menekan kompetisi tanaman kelapa sawit dengan gulma.

Dalam budidaya tanaman kelapa sawit, salah satu masalah penting yang dihadapi adalah gulma. Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu kepentingan manusia sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian. Keberadaan gulma di sekitar tanaman dapat menimbulkan kerugian yang besar walaupun berlangsung secara perlahan-lahan. Persaingan antara tanaman dan gulma yang terjadi baik di atas permukaan tanah yang berupa persaingan dalam mendapatkan cahaya

matahari, CO2 dan ruang tumbuh maupun yang terjadi di dalam tanah dalam persaingan mendapatkan air dan unsur hara dan faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan lainnya dapat menekan jumlah produksi tanaman budidaya

(Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Oleh karena itu perlu adanya tindakan pengendalian untuk menekan perkembangannya di areal pertanaman.

Upaya untuk mengendalikan gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan menggunakan herbisida atau lebih dikenal dengan


(5)

3 pengendalian secara kimiawi. Efektivitas herbisida dalam penggunaan tenaga kerja dan biaya yang cenderung lebih ekonomis menyebabkan penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma di areal perkebunan sangat dominan. Selain itu keuntungan herbisida lainnya adalah mampu menekan pertumbuhan gulma tanpa mengganggu tanaman pokok (Sukman dan Yakup, 1995).

Konsumsi herbisida semakin tinggi seiring dengan semakin majunya teknologi budidaya tanaman. Maka upaya-upaya untuk mencari senyawa-senyawa kimia baru yang berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida komersial atau

memperoleh formulasi baru dari bahan aktif yang sudah ada atau juga hanya sekedar melakukan tindakan regulasi terus dilakukan. Fluroksipir merupakan salah satu jenis herbisida yang terus dikembangkan dalam upaya mengendalikan gulma di areal perkebunan kelapa sawit.

Herbisida fluroksipir merupakan herbisida yang bersifat sistemik dan purna tumbuh yang berbentuk pekatan yang dapat diemulsikan serta efektif dalam mengendalikan gulma terutama gulma daun lebar seperti Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, Mikania micrantha serta jenis kacang-kacangan seperti Pueraria javanica (Dowagro, 2007).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas herbisida fluroksipir dalam mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan?


(6)

4 2. Apakah terjadi perubahan komunitas gulma pada gawangan tanaman kelapa

sawit belum menghasilkan setelah aplikasi fluroksipir?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui efektivitas herbisida fluroksipir dalam mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Mengetahui perubahan komunitas gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan setelah aplikasi fluroksipir.

1.4 Landasan Teori

Gulma dapat menyebabkan kehilangan hasil yang diperkirakan mencapai 10-20%. Sifat kompetitif dari gulma terhadap tanaman budidaya merupakan penyebab dasar dampak negatif yang ditimbulkan. Gulma yang berada di areal pertanaman akan menyebabkan terjadinya kompetisi diantara keduanya. Kompetisi ini terjadi karena adanya persamaan kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan berkembang di alam. Ruang tumbuh, unsur hara, air, cahaya matahari dan CO2 merupakan beberapa hal yang diperebutan oleh keduanya. Namun persaingan atau lebih tepatnya kompetisi diantara gulma dan tanaman tidak akan terjadi apabila unsur-unsur yang diperebutkan dalam jumlah yang cukup. Apabila kebutuhan tanaman tidak terpenuhi secara optimal, maka hal inilah yang menyebabkan adanya penurunan hasil produksi dari tanaman budidaya (Moenandir, 1993).


(7)

5 Kehilangan hasil akibat gulma menyebabkan perlu dilakukannya tindakan

pengendalian. Pengendalian gulma pada dasarnya adalah menekan pertumbuhan gulma agar populasinya di areal pertanaman tidak mengganggu kepentingan manusia. Salah satunya adalah pengendalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan herbisida.

Lahan yang luas, efisiensi tenaga kerja dan waktu, hasil yang tampak lebih cepat, dan pertimbangan ekonomis menyebabkan pengendalian dengan herbisida lebih dipilih daripada pengendalian gulma dengan cara lainnya. Menurut Sukman dan Yakup (1995), pengendalian gulma secara kimiawi memiliki keuntungan antara lain dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu tanaman, mencegah kerusakan perakaran tanaman, lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar dan dapat meningkatkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan biasa. Selain itu cara aplikasi penting dalam penentuan derajat keberhasilan pengendalian gulma, seperti aplikasi yang mengurangi kontak dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan gulma sehingga herbisida tidak sampai meracuni tanaman pokok.

Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida akan menyebabkan

perubahan komunitas gulma di lahan tesebut. Perubahan jenis gulma yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan selektivitas yang lebih tinggi dari herbisida yang digunakan. Selain diduga karena adanya perbedaan tanggapan masing-masing jenis gulma terhadap perlakuan yang diberikan, serta masih


(8)

6 tersebut diakibatkan oleh pemencaran biji dari daerah sekitarnya dan tumbuh kembali bagian vegetatif yang tersisa dalam tanah (Sastroutomo, 1990).

Salah satu herbisida yang sering digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan sawit adalah herbisida dengan bahan aktif fluroksipir. Fluroksipir adalah herbisida pasca tumbuh yang bersifat sistemik. Herbisida sistemik yaitu herbisida yang dapat ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak pertama dengan organ gulma ke bagian tubuh lainnya yang menyebabkan seluruh bagian gulma tersebut akan mengalami kematian total (Sukman dan Yakup, 1995).

1.5 Kerangka Pemikiran

Gulma yang berada pada areal pertanaman dapat berdampak negatif apabila populasinya melewati ambang ekonomi. Terjadinya persaingan antara tanaman budidaya dengan gulma adalah dalam memperoleh faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan gulma berupa unsur hara, air, cahaya matahari, CO2 dan ruang tumbuh. Untuk mencegah atau menekan dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh gulma tersebut maka diperlukan adanya tindakan pengendalian. Salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian dengan cara kimiawi yakni dengan menggunakan herbisida.

Herbisida berbahan aktif fluroksipir merupakan herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar pada areal pertanaman kelapa sawit.

Herbisida jenis ini merupakan herbisida sistemik yang dapat ditranslokasikan dari tempat awal terjadinya kontak dengan tumbuhan menuju ke bagian tubuh lainnya atau lebih tepatnya menuju ke daerah sasarannya. Translokasi herbisida


(9)

7 fluroksipir dalam tumbuhan berlangsung secara simplastik yaitu melalui jaringan hidup dengan pembuluh utama floem bersamaan dengan hasil fotosintesis.

Herbisida fluroksipir merupakan herbisida dalam bentuk fluroksipir-meptyl. Namun setelah diaplikasikan ke tumbuhan maka ester akan terhidrolisis menjadi

parent acid’ sehingga herbisida berada dalam bentuk yang aktif. Herbisida ini

akan mengganggu kerja auksin yang banyak berada pada jaringan meristem. Adanya gangguan pada jaringan meristem inilah yang menyebabkan kematian pada gulma. Gejala keracunan yang ditimbulkan biasanya terlihat adanya daun-daun yang menggulung dan kemudian mati.

Keberhasilan aplikasi dalam pengendalian gulma ditentukan oleh beberapa ketepatan. Diantaranya adalah tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran dan tepat waktu. Tanpa adanya pertimbangan yang matang terhadap keempat hal tersebut di atas maka dapat dipastikan efikasi tidak akan berhasil dengan optimal. Efikasi yang berhasil tentunya akan menyebabkan adanya perubahan komposisi gulma. Perubahan komposisi ini disebabkan oleh herbisida yang digunakan hanya dapat mengendalikan gulma golongan tertentu, gulma yang menjadi sasaran akan terkendali, tetapi biji-biji gulma yang berada di dalam tanah yang tidak terkena herbisida akan berkecambah dan akan tumbuh menjadi gulma baru. Selain itu gulma memiliki kecepatan tumbuh dan ketahanan yang berbeda satu dengan yang lainnya.


(10)

8 1.6 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

1. Herbisida fluroksipir mampu mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.


(1)

pengendalian secara kimiawi. Efektivitas herbisida dalam penggunaan tenaga kerja dan biaya yang cenderung lebih ekonomis menyebabkan penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma di areal perkebunan sangat dominan. Selain itu keuntungan herbisida lainnya adalah mampu menekan pertumbuhan gulma tanpa mengganggu tanaman pokok (Sukman dan Yakup, 1995).

Konsumsi herbisida semakin tinggi seiring dengan semakin majunya teknologi budidaya tanaman. Maka upaya-upaya untuk mencari senyawa-senyawa kimia baru yang berpotensi untuk menjadi salah satu herbisida komersial atau

memperoleh formulasi baru dari bahan aktif yang sudah ada atau juga hanya sekedar melakukan tindakan regulasi terus dilakukan. Fluroksipir merupakan salah satu jenis herbisida yang terus dikembangkan dalam upaya mengendalikan gulma di areal perkebunan kelapa sawit.

Herbisida fluroksipir merupakan herbisida yang bersifat sistemik dan purna tumbuh yang berbentuk pekatan yang dapat diemulsikan serta efektif dalam mengendalikan gulma terutama gulma daun lebar seperti Ageratum conyzoides, Borreria latifolia, Mikania micrantha serta jenis kacang-kacangan seperti Pueraria javanica (Dowagro, 2007).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas herbisida fluroksipir dalam mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan?


(2)

2. Apakah terjadi perubahan komunitas gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan setelah aplikasi fluroksipir?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui efektivitas herbisida fluroksipir dalam mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.

2. Mengetahui perubahan komunitas gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan setelah aplikasi fluroksipir.

1.4 Landasan Teori

Gulma dapat menyebabkan kehilangan hasil yang diperkirakan mencapai 10-20%. Sifat kompetitif dari gulma terhadap tanaman budidaya merupakan penyebab dasar dampak negatif yang ditimbulkan. Gulma yang berada di areal pertanaman akan menyebabkan terjadinya kompetisi diantara keduanya. Kompetisi ini terjadi karena adanya persamaan kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan berkembang di alam. Ruang tumbuh, unsur hara, air, cahaya matahari dan CO2 merupakan beberapa hal yang diperebutan oleh keduanya. Namun persaingan atau lebih tepatnya kompetisi diantara gulma dan tanaman tidak akan terjadi apabila unsur-unsur yang diperebutkan dalam jumlah yang cukup. Apabila kebutuhan tanaman tidak terpenuhi secara optimal, maka hal inilah yang menyebabkan adanya penurunan hasil produksi dari tanaman budidaya (Moenandir, 1993).


(3)

Kehilangan hasil akibat gulma menyebabkan perlu dilakukannya tindakan

pengendalian. Pengendalian gulma pada dasarnya adalah menekan pertumbuhan gulma agar populasinya di areal pertanaman tidak mengganggu kepentingan manusia. Salah satunya adalah pengendalian secara kimiawi yaitu dengan menggunakan herbisida.

Lahan yang luas, efisiensi tenaga kerja dan waktu, hasil yang tampak lebih cepat, dan pertimbangan ekonomis menyebabkan pengendalian dengan herbisida lebih dipilih daripada pengendalian gulma dengan cara lainnya. Menurut Sukman dan Yakup (1995), pengendalian gulma secara kimiawi memiliki keuntungan antara lain dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu tanaman, mencegah kerusakan perakaran tanaman, lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar dan dapat meningkatkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan perlakuan biasa. Selain itu cara aplikasi penting dalam penentuan derajat keberhasilan pengendalian gulma, seperti aplikasi yang mengurangi kontak dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan gulma sehingga herbisida tidak sampai meracuni tanaman pokok.

Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida akan menyebabkan

perubahan komunitas gulma di lahan tesebut. Perubahan jenis gulma yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan selektivitas yang lebih tinggi dari herbisida yang digunakan. Selain diduga karena adanya perbedaan tanggapan masing-masing jenis gulma terhadap perlakuan yang diberikan, serta masih


(4)

tersebut diakibatkan oleh pemencaran biji dari daerah sekitarnya dan tumbuh kembali bagian vegetatif yang tersisa dalam tanah (Sastroutomo, 1990).

Salah satu herbisida yang sering digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan sawit adalah herbisida dengan bahan aktif fluroksipir. Fluroksipir adalah herbisida pasca tumbuh yang bersifat sistemik. Herbisida sistemik yaitu herbisida yang dapat ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak pertama dengan organ gulma ke bagian tubuh lainnya yang menyebabkan seluruh bagian gulma tersebut akan mengalami kematian total (Sukman dan Yakup, 1995).

1.5 Kerangka Pemikiran

Gulma yang berada pada areal pertanaman dapat berdampak negatif apabila populasinya melewati ambang ekonomi. Terjadinya persaingan antara tanaman budidaya dengan gulma adalah dalam memperoleh faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan gulma berupa unsur hara, air, cahaya matahari, CO2 dan ruang tumbuh. Untuk mencegah atau menekan dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh gulma tersebut maka diperlukan adanya tindakan pengendalian. Salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian dengan cara kimiawi yakni dengan menggunakan herbisida.

Herbisida berbahan aktif fluroksipir merupakan herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar pada areal pertanaman kelapa sawit.

Herbisida jenis ini merupakan herbisida sistemik yang dapat ditranslokasikan dari tempat awal terjadinya kontak dengan tumbuhan menuju ke bagian tubuh lainnya atau lebih tepatnya menuju ke daerah sasarannya. Translokasi herbisida


(5)

fluroksipir dalam tumbuhan berlangsung secara simplastik yaitu melalui jaringan hidup dengan pembuluh utama floem bersamaan dengan hasil fotosintesis.

Herbisida fluroksipir merupakan herbisida dalam bentuk fluroksipir-meptyl. Namun setelah diaplikasikan ke tumbuhan maka ester akan terhidrolisis menjadi

parent acid’ sehingga herbisida berada dalam bentuk yang aktif. Herbisida ini akan mengganggu kerja auksin yang banyak berada pada jaringan meristem. Adanya gangguan pada jaringan meristem inilah yang menyebabkan kematian pada gulma. Gejala keracunan yang ditimbulkan biasanya terlihat adanya daun-daun yang menggulung dan kemudian mati.

Keberhasilan aplikasi dalam pengendalian gulma ditentukan oleh beberapa ketepatan. Diantaranya adalah tepat dosis, tepat cara, tepat sasaran dan tepat waktu. Tanpa adanya pertimbangan yang matang terhadap keempat hal tersebut di atas maka dapat dipastikan efikasi tidak akan berhasil dengan optimal. Efikasi yang berhasil tentunya akan menyebabkan adanya perubahan komposisi gulma. Perubahan komposisi ini disebabkan oleh herbisida yang digunakan hanya dapat mengendalikan gulma golongan tertentu, gulma yang menjadi sasaran akan terkendali, tetapi biji-biji gulma yang berada di dalam tanah yang tidak terkena herbisida akan berkecambah dan akan tumbuh menjadi gulma baru. Selain itu gulma memiliki kecepatan tumbuh dan ketahanan yang berbeda satu dengan yang lainnya.


(6)

1.6 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

1. Herbisida fluroksipir mampu mengendalikan gulma pada gawangan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan.