Tujuan Penelitian EFIKASI HERBISIDA AMONIUM GLUFOSINAT TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENGHASILKAN

pascatumbuh. Herbisida tersebut bekerja dengan mempengaruhi proses fotosintesis, yaitu dengan cara menghambat sintesis glutamin, dan menyebabkan akumulasi amonia, serta secara tidak langsung akan menyebabkan aliran elektron pada fotosintesis terhambat sehingga fotosintesis terhenti. Dengan sifatnya yang nonselektif yaitu dapat meracuni berbagai jenis gulma baik golongan daun lebar maupun rumput, diharapkan herbisida amonium glufosinat dapat efektif mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit yang beragam jenisnya. Pemberian dosis tepat diperlukan agar herbisida dapat bekerja dengan efektif. Dosis yang tepat yaitu jumlah herbisida yang diaplikasikan ke suatu lahan mengikuti rekomendasi yang tertera pada label herbisida. Kekurangan atau kelebihan jumlah herbisida dari yang direkomendasikan akan menimbulkan kerugian, pada dosis yang kurang gulma tidak terkendali dengan baik atau pada dosis yang berlebihan herbisida akan terbuang cuma —cuma. Dosis amonium glufosinat yang tepat yaitu 3 Lha atau 450 gha yang digunakan di perkebunan kelapa sawit. Perubahan jenis gulma dapat diakibatkan karena adanya perbedaan tanggapan masing-masing jenis gulma terhadap pengendalian gulma yang dilakukan serta adanya pemecahan biji gulma dari daerah sekitar dan tumbuh kembalinya bagian vegetatif yang tersisa dalam tanah. Pengendalian gulma menggunakan herbisida terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan metode pengendalian gulma lainnya. Selain metode pengendalian gulma, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan perubahan komposisi gulma yang lain yaitu pengelolaan air, pemupukan, perubahan dalam tanaman pokok, varietas dan sistem penanaman.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan maka disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Herbisida amonium glufosinat dosis 450 gha efektif untuk mengendalikan gulma pada lahan kelapa sawit. 2. Terjadi perubahan komposisi jenis gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat dilakukan. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia

Belanda pada tahun 1848. Penanaman dilakukan dengan menanam di Kebun Raya Bogor, dan di tepi-tepi jalan ditanami sisa benihnya sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Permintaan minyak nabati meningkat pada saat yang bersamaan akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Ide membuat perkebunan kelapa sawit muncul dari hal tersebut, dan berdasarkan seleksi tumbuhan dari Bogor dan Deli maka dikenallah jenis sawit “Deli Dura”. Tanaman kelapa sawit yang dalam bahasa ilmiahnya Elaeis guineensis Jacq ini adalah tanaman sejenis palma, yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Klasifikasi botani tanaman kelapa sawit sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Embyophyta Siphonagama Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili: Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Pahan, 2008. Di Indonesia, kelapa sawit pada umumnya ditanam varietas nigrercens dengan warna buah ungu kehitaman saat mentahbuah muda. Setelah 5 —6 bulan penyerbukan buah akan matang dengan warna kulit berubah menjadi orange kemerahan. Brondolan yang melekat pada janjangan merupakan buah yang tersusun atas biji —biji yang dalam istilah perkebunan disebut Tandan Buah Segar TBS. Dalam 1 tandan ada 600 —2000 bijibrondolan, dengan berat perbiji 13-30 gram Kelapa Sawit Indonesia, 2012. Daerah tropik dataran rendah yang panas dan lembab merupakan daerah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Curah hujan yang baik adalah 2.500 —3.000 mmtahun yang turun merata sepanjang tahun. Distribusi hujan yang merata merupakan hal yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Kekeringan tanah di daerah perakaran yang relatif dangkal akibat kemarau yang panjang menyebabkan kelembaban tanah bisa berada di bawah titik