POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT (Kasus Kemitraan Usahatani Kelapa Sawit Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Mitra Di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)
POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT
(Kasus Kemitraan Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Kelapa Sawit Mitra Di Desa Tanjung Jaya
Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)
Oleh
AGUSTINA IRENE PASARIBU
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
(2)
ABSTRAK
POLA KEMITRAAN DAN PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT
(Kasus Kemitraan Usahatani Kelapa Sawit Antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan Petani Mitra Di Desa Tanjung Jaya
Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah)
Oleh
Agustina Irene Pasaribu
Penelitian bertujuan untuk (1) mengetahui sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit pola kemitraan, (2) mengetahui pelaksanaan pola
kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan, dan (3) menganalisis kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra. Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah. Jumlah petani sampel dalam penelitian ini adalah 36 petani responden atas dasar umur tanaman kelapa sawit. Untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani kelapa sawit pola kemitraan digunakan metode analisis data, yaitu Gross B/C Ratio, Net B/C Ratio, NPV (Net Present Value), IRR(Internal
Rate of Return), dan Pp(Payback Period). Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
(1) sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan antara PT Perkebunan Nusantara VII dan petani mitranya sudah berjalan dengan baik ditinjau dari aspek personel, sistem norma, maupun peralatan fisiknya, (2) pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan adalah pola kemitraan inti plasma, dan (3) usahatani kelapa sawit petani mitra secara finansial layak untuk dikembangkan yang ditunjukkan oleh nilai Gross B/C sebesar 1,6573; Net B/C sebesar 1,9483; NPV sebesar 187.818.007,5674; IRR sebesar 23,3195; dan Payback period
selama 9 tahun.
(3)
(4)
(5)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ...,... 9
C. Kegunaan Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 11
1. Tinjauan Biologi Tanaman Kelapa Sawit ... 11
2. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit ... 13
3. Analisis Usahatani ... 22
4. Kemitraan dan Kelembagaan ... 31
5. Kesejahteraan Petani Plasma ... 40
6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 41
B. Kerangka Pemikiran ... 42
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional ... 50
B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian ………… 57
(6)
D. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 59
1. Analisis Deskriptif ... 60
2. Analisis Kelayakan Finansial ... 60
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah ... 65
B. Gambaran Umum PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri ... 71
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden …...………..… 82
1. Umur Responden ... 82
2. Mata Pencaharian Responden ... 83
3. Tingkat Pendidikan Formal Responden ... 85
4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden ... 86
5. Status Penguasaan dan Kepemilikan Lahan Petani ... 87
B. Budidaya Kelapa Sawit di Daerah Penelitian ……….……..… 88
1. Persiapan Bibit ... 88
2. Persiapan Lahan, Pembuatan Lubang Tanam, dan Penanaman ... 89
3. Pemeliharaan ... 90
4. Pemanenan ... 93
5. Produksi ... 93
C. Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Usahatani Kelapa Sawit ... 96
D. Pelaksanaan Pola Kemitraan antara Petani dan Perusahaan ... 107
E. Usahatani Kelapa Sawit ...………...… 125
1. Biaya Investasi ... 126
2. Biaya Tetap ... 127
3. Biaya Tidak Tetap ... 128
4. Penerimaan Usahatani ... 130
(7)
c. Analisis Net Present Value (NPV) ... 134 d. Analisis Internal Rate Return (IRR) ... 134 e. Analisis Payback Period (Pp) ... 135
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...……..…..… 138 B. Saran ……...………...……..… 139 DAFTAR PUSTAKA
(8)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara agraris menjadikan sektor pertanian sebagai faktor dominan dalam menyediakan bahan baku industri,
menyediakan lapangan kerja, menjadi sumber pendapatan sekaligus devisa negara, dan upaya pengentasan kemiskinan khususnya yang berada di daerah perdesaan serta terwujudnya ketahanan pangan daerah maupun nasional.
Perekonomian di Provinsi Lampung berkaitan erat dengan sektor pertanian. Pengaruh sektor ini dapat dilihat dari berbagai sub-sektor yaitu tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Besarnya distribusi produk domestik bruto Indonesia menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku dari masing-masing sub-sektor tersebut dari tahun 2006 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.
(9)
Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 *
(%) (%) (%) (%) (%)
1. Tanaman Bahan Makanan 7,01 6,82 6,82 6,84 6,55
2. Tanaman Perkebunan 2,24 2,20 2,15 2,09 2,04
3. Peternakan 1,81 1,74 1,70 1,68 1,65
4. Kehutanan 0,90 0,84 0,79 0,77 0,75
5. Perikanan 2,24 2,22 2,20 2,19 2,19
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2011 Keterangan:
* = angka sementara
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perkebunan menempati urutan ketiga sebagai penyumbang PDB Indonesia dari sektor pertanian dan diharapkan mampu menjadi penghasil devisa bagi negara. Sumbangan sub-sektor perkebunan dalam pembentukan PDB Indonesia cenderung stabil dengan rata-rata persentase kontribusi sebesar 2,14 % sejak tahun 2006 hingga 2010. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perbaikan dan penyempurnaan iklim usaha dan struktur pasar komoditas perkebunan dari sektor hulu sampai hilir. Komoditi-komoditi perkebunan tersebut antara lain kopi, kapuk, jambu mete, aren, cabe jawa, cengkeh, kelapa hibrida, kelapa dalam, kakao, lada, karet, kelapa sawit, nilam, tembakau, tebu, dan wijen.
Salah satu komoditi sub-sektor perkebunan adalah tanaman kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang paling efisien dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya di dunia. Di Indonesia tanaman ini merupakan komoditas andalan ekspor, dan sangat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional terutama
(10)
3
merupakan usaha yang sangat menjanjikan untuk menghasilkan profit, sehingga banyak diminati (Hakim, 2007).
Peningkatan produktivitas juga menjadi tujuan utama bagi para pelaku usahatani untuk mendapatkan laba yang maksimal. Upaya meningkatkan produktivitas adalah masalah yang lazim dihadapi petani. Kendala teknis, biologis, dan kendala sosial ekonomi seringkali dipakai oleh para peneliti untuk mengidentifikasi masalah produktivitas ini. Tinggi rendahnya produktivitas kelapa sawit juga tergantung dari komposisi umur tanaman. Semakin banyak komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Begitu pula dengan hal sebaliknya,
apabila semakin banyak tanaman dewasa dan taruna, maka semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya.
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit terdapat di beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Lampung Tengah. Sebaran luas areal dan produksi perkebunan rakyat kelapa sawit di Kabupaten Lampung Tengah disajikan pada Tabel 2. Tabel sebaran luas areal dan produksi perkebunan rakyat tersebut
menunjukkan bahwa produktivitas kelapa sawit di Kabupaten Lampung Tengah mengalami peningkatan sejak tahun 2009 dan naik sebesar
2.494 kg/ha di tahun 2010 hingga produktivitas mencapai 2.557 kg/ha pada tahun 2011.
(11)
2009 1.658 7.889 15 9.562 22.450 2.347
2010 1.606 8.389 17 10.012 24.975 2.494
2011 1.206 8.789 19 10.007 25.575 2.557
Tahun TBM TM TR Jumlah Produksi Produktivitas
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ton) (Kg/Ha)
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2012 Keterangan:
TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan
TR = Tanaman Rusak
Kondisi kegiatan usahatani kelapa sawit masih memerlukan dukungan kelembagaan untuk memperbaiki sistemnya baik dari perusahaan-perusahaan besar negara, perusahaan-perusahaan besar swasta, hingga pemerintah daerah setempat. Pelaku usaha BUMN yang ikut ambil bagian dalam hal menjalankan usaha agrobisnis perkebunan dengan komoditas karet, teh, tebu, dan kelapa sawit adalah PT Perkebunan Nusantara VII. Salah satu unit usaha PTPN VII yang telah dipilih menjadi lokasi penelitian adalah PTPN VII Unit Usaha Bekri karena pertimbangan adanya terjalin kemitraan unit usaha dengan petani kelapa sawit. Hasil panen PTPN VII Unit Usaha Bekri adalah berupa Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Pencapaian produksi TBS PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri mengalami peningkatan sejak tahun 2005. Peningkatan jumlah TBS yang dihasilkan kemudian terus berlanjut hingga tahun 2009. Pencapaian produksi TBS tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
(12)
5
Tahun Luas (ha) TBS (Kg) Produktivitas (Kg/ ha)
2003 2.159 30.630.500 14.187
2004 2.547 39.938.460 15.680
2005 2.481 32.567.990 13.127
2006 2.977 40.101.550 13.470
2007 3.278 45.481.570 13.875
2008 3.695 60.139.590 16.276
2009 4.259 71.122.340 16.699
Tabel 3. Pencapaian produksi Tandan Buah Segar (TBS) PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri tahun 2003-2009
Sumber: Profil PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri, 2010
Pelaku usaha agribisnis di tingkat masyarakat banyak berada di sub-sistem agribisnison-farm. Kegiatan usahanya cenderung marginal, dalam arti adanya keterbatasan dukungan pendanaan serta relatif masih sederhananya teknis produksi yang dipergunakan, menyebabkan pelaku usaha ini kurang dapat berkembang.
Pengusaha di sub-sistem yang lain, rata-rata merupakan pengusaha non marginal, dalam arti memiliki kapasitas usaha yang relatif cukup besar serta dukungan permodalan yang cukup baik. Ketimpangan kedua kelompok pelaku usaha ini semakin parah dengan adanya penyebaran demografis yang kurang mendukung perkembangan sektor agribisnis pada umumnya.
Akibatnya, pelaku usahaon-farm sering terdiskriminasikan dalam hal penentuan harga jual produknya karena faktor jarak distribusi, tingginyacost
structure, serta kesulitan memperoleh dukungan pendanaan (Sutrisno, 2010).
Upaya untuk dapat meningkatkan kinerja para pelaku sektor agribisnis khususnya para petanion-farm, harus dipahami bahwa kegiatan tiga
(13)
sub-sistem pengolahan) yang ada sebenarnya saling terkait dan saling mendukung yang apabila dibiarkan masing-masing seolah terkotak-kotak dalam aktivitas usahanya, dapat berakibat kepada terjadinya diskriminasi usaha.
Menurut Sutrisno (2010), alternatif yang dapat diambil untuk mengatasi kendala terkotaknya masing-masing subsistem agribisnis, khususnya dalam rangka meningkatkan peran pelaku usahaon-farmadalah melalui pola kemitraan. Kemitraan yang dilakukan adalah sistem kelembagaan yang merupakan komponen-komponen dari pranata sosial dan terkait antara satu dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 2002).
Di bidang pertanian, kerjasama antara rakyat dengan perusahaan sangat diharapkan, dimana rakyat menjadi produsen dan produknya kemudian ditampung dan diolah oleh pihak perusahaan dan menjadi produk yang sempurna yang dapat dipasarkan. Adanya modernisasi pertanian rakyat yang dibekali PTPN VII dengan ilmu manajemen usahatani kelapa sawit (meliputi faktor-faktor usahatani seperti komoditi, modal, luas lahan, tenaga kerja, pembinaan, dan lain-lain), kerjasama rakyat dengan pihak perusahaan diperluas, perusahaan bukan hanya menampung dan mengolah hasil
tanaman rakyat tetapi menyediakan input dengan kredit, mengolah tanahnya, dan memberikan bantuan lain yang diharapkan mampu meningkatkan
(14)
7
Lampung Tengah dengan perusahaan diharapkan dapat memberi efek positif terhadap peningkatan pendapatan petani tersebut.
Pengelolaan kebun PT Perkebunan Nusantara VII yang tidak hanya komoditi kelapa sawit melainkan meliputi kebun karet, teh dan juga tebu. Kecuali teh (komoditi yang dikelola PTPN VII yang berada di Sumatera Selatan, Distrik Muara Enim Unit Usaha Pagar Alam), kebun-kebun kelapa sawit, tebu, dan karet dikelola dengan menggunakan pola kemitraan. Luas areal kebun cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan luas areal juga diikuti dengan jumlah produksi dari tahun 1996 bahkan melebihi target hingga tahun 2001. Pada tahun 2002 terjadi penurunan produktivitas secara drastis dari tahun sebelumnya. Hal ini diakibatkan banyaknya faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat produktivitas lahan antara lain perubahan iklim, perawatan yang kurang, serta terjadinya penambahan luas lahan kemitraan tetapi masih belum menghasilkan sehingga jumlah produksi dibagi luas lahan yang ada mengakibatkan menurunnya produktivitas
per tahun. Penurunan produktivitas secara langsung berdampak buruk terhadap perusahaan. Hal ini mengakibatkan ada kecenderungan tidak terpenuhinya target produksi dan petani mitra pun cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan pengembalian pinjaman serta berkurangnya pendapatan. Produksi TBS kemitraan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dapat dilihat pada Tabel 4.
(15)
No. Tahun Luas
Produksi TBS %
(ha) Target Realisasi Target
1. 1996 248 - 409.800
-2. 1997 248 1.240.000 1.118.830 90
3. 1998 1.252 1.080.000 2.907.610 269
4. 1999 2.400 5.672.000 15.250.390 269
5. 2000 2.406 16.770.000 30.322.017 181
6. 2001 3.479 35.000.000 42.271.720 121
7. 2002 5.640 49.000.000 29.358.090 60
8. 2003 5.640 289.127.440 10.743.460 4
9. 2004 6.788 64.990.000 11.843.170 18
10. 2005 8.515 130.049.000 7.133.250 5
11. 2006 8.334 10.498.000 6.033.680 57
12. 2007 8.334 15.600.000 25.572.600 164
13. 2008 8.731 52.799.000 37.228.830 71
14. 2009 8.371 93.393.000 9.609.560 10
Sumber: Profil PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri, 2010 Pola pengelolaan usahatani petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan ini merupakan fenomena yang menarik untuk dilakukan penelitian. Dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana sistem kelembagaan dan pelaksanaan pola kemitraan yang diterapkan oleh PTPN VII juga pengaruh yang ditimbulkan, serta kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah. Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan sistem kelembagaan dan kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo maka masalah yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah:
(16)
9
1. Bagaimanakah sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah?
3. Apakah usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah layak untuk diusahakan?
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini memiliki tujuan, antara lain:
1. Mengetahui sistem kelembagaan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang menerapkan pola kemitraan di Desa Tanjung Jaya,
Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.
2. Mengetahui pelaksanaan pola kemitraan dalam usahatani kelapa sawit antara petani dan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.
3. Mengetahui kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan perusahaan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.
(17)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan :
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi penentuan kebijakan pola kemitraan dengan petani sebagai mitra perusahaan dan bentuk kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pengusaha
perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
(18)
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Biologi Tanaman Kelapa Sawit a. Klasifikasi Kelapa Sawit
Semua tumbuhan memiliki klasifikasi sesuai dengan genus dan
spesiesnya. Klasifikasi tumbuhan bertujuan untuk memudahkan dalam mengenali atau mengidentifikasi secara ilmiah. Menurut Pahan (2008), tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae) Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : 1. E. guineensis Jacq.
2. E. oleifera (H.B.K.) Cortes
(19)
b. Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/ industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas pertanian yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komoditas kelapa sawit baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi negara setelah karet dan kopi. Hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah bahkan tanpa kolesterol.
Menurut Sihotang ( 2010), bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga dapat diolah menjadi bahan baku minyak alkohol, sabun, lilin, dan industri kosmetika. Sisa pengolahan buah sawit sangat
potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos. Tandan kosong dapat dimanfaatkan untuk mulsa tanaman kelapa sawit, sebagai bahan baku pembuatan pulp dan pelarut
(20)
13
organik, dan tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pembuatan arang aktif.
2. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit a. Syarat Tumbuh
1) Iklim
Sihotang (2010) mengungkapkan bahwa daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai berada pada 15°LU-15°LS. Ketinggian pertanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 1-500 m dpl. Lama penyinaran matahari rata-rata 5-7 jam /hari. Curah hujan tahunan 1.500-4.000 mm. Temperatur optimal 24-280C. Kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Kelembaban optimum yang ideal sekitar 80-90%.
2)Tanah
Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol. Nilai pH yang optimum adalah 5,0-5,5. Kelapa sawit baik dibudidayakan pada tanah yang gembur, subur, datar, memiliki drainase yang baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o (Sihotang, 2010).
(21)
b. Teknis Budidaya
Keberhasilan budidaya suatu tanaman dipengaruhi banyak faktor, antara lain:
1) Kondisi lingkungan lahan
Risza (1994) memgemukakan bahwa tanaman kelapa sawit sering ditanam pada areal/ lahan bekas hutan (new planting), bekas perkebunan karet atau lainnya (konversi), bekas tanaman kelapa sawit (replanting). Pembukaan lahan secara mekanis pada areal bukaan baru dan konversi terdiri dari beberapa pekerjaan, yakni: a) menumbang; yaitu memotong pohon besar dan kecil dengan mengusahakan agar akarnya terlepas dari tanah; b) merumpuk, yaitu mengumpulkan dan menumpuk hasil tebangan untuk memudahkan pembakaran; c) merencek dan membakar, yaitu memotong dahan dan ranting kayu yang telah ditumpuk agar dapat disusun sepadat mungkin, setelah kering lalu dibakar; dan d) pengolahan tanah secara mekanis.
2) Penyediaan benih
a. Penyediaan benih kelapa sawit diperoleh dari sumber benih kelapa sawit, yakni sumber benih yang baik dapat diperoleh dari balai-balai penelitian kelapa sawit, terutama oleh Marihat Research Station dan Balai Penelitian Perkebunan Medan. Dalam penyediaan benih kelapa sawit, balai-balai penelitian
(22)
15
tersebut mempunyai kebun induk yang baik dan terjamin dengan pohon induk tipe Delidura dan pohon bapak tipe Pisifera terpilih. b. Penyediaan benih sendiri, yakni untuk memperoleh buah/ benih
yang baik, penyerbukan yang terjadi pada bunga betina dari pohon induk harus dilakukan secara terkontrol. Penyerbukan harus dilaksanakan secara buatan. Dalam penyerbukan secara buatan, pohon induk untuk bunga betina yang digunakan adalah tipe Dura atau Delidura terpilih seperti terdapat di Marihat Research Station, sedangkan sebagai pohon induk bunga jantan digunakan tipe Pisifera yang juga tersedia di Marihat Research Station.
3) Persediaan dan persiapan bibit
Persediaan bibit kelapa sawit menurut Risza (1994) adalah sebagai berikut:
a. Bibit harus tersedia cukup dalam kondisi umur yang sesuai. b. Bibit yang normal untuk dipindahtanamkan ke lapangan adalah
umur 10-12 bulan.
c. Khusus untuk areal tanaman baru (TB) bekas hutan, bibit umur 12-18 bulan lebih baik, karena bibit yang lebih tua kurang
disenangi tikus, babi, dan landak (Risza, 1994). Pembibitan kelapa sawit
Pahan (2008) berpendapat bahwa lokasi/ areal untuk pelaksanaan pembibitan dengan persyaratan harus datar dan rata, dekat dengan
(23)
sumber air, dan letaknya sedapat mungkin di tengah-tengah areal yang akan ditanami dan mudah diawasi. Lahan pembibitan harus diratakan dan dibersihkan dari segala macam gulma dan dilengkapi dengan instalasi penyiraman (misalnya tersedia springkle irrigation), serta dilengkapi dengan jalan-jalan dan parit-parit drainase. Luas kompleks pembibitan harus sesuai dengan kebutuhan. Membangun pembibitan terutama ditujukan untuk menghasilkan bibit kelapa sawit yang bermutu tinggi dan tersedia untuk penanaman di lapangan pada saat persiapan lapangan telah selesai dilakukan (Pahan, 2008). 4) Pemeliharaan tanaman kelapa sawit
a. Penyulaman
Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbuh kurang baik. Saat menyulam yang baik adalah pada musim hujan. Bibit yang digunakan harus seumur dengan tanaman yang disulam yaitu bibit berumur 10-14 bulan.
Banyaknya sulaman biasanya sekitar 3-5% setiap hektarnya. Cara melaksanakan penyulaman sama dengan cara menanam bibit.
b. Penanaman tanaman penutup tanah
Tanaman penutup tanah (tanaman kacangan, Legume Cover Crop) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi dan mempertahankan kelembaban tanah, serta menekan pertumbuhan gulma. Penanaman tanaman kacangan
(24)
17
sebaiknya dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Jenis-jenis tanaman kacangan yang umum di perkebunan kelapa sawit adalah Centrosema pubescens, Colopogonium
mucunoides dan Pueraria javanica. Biasanya penanaman
tanaman kacangan ini dilakukan tercampur (tidak hanya satu jenis).
c. Membentuk piringan (bokoran, circle weeding)
Piringan di sekitar pokok (pohon kelapa sawit) harus tetap bersih. Oleh karena itu tanah di sekitar pokok dengan jari-jari 1-2 meter dari pokok harus selalu bersih dan gulma yang tumbuh harus dibabat, disemprot dengan herbisida. d. Pemupukan
Jenis pupuk yang diberikan adalah pupuk N, P, K, Mg dan B (Urea, TSP, Kcl, Kiserit dan Borax). Pemupukan ekstra dengan pupuk Borax pada tanaman muda sangat penting, karena kekurangan Borax (Boron deficiency) yang berat dapat mematikan tanaman kelapa sawit. Dosis pupuk yang
digunakan disesuaikan dengan anjuran Balai Penelitian untuk TBM (Tanaman Belum Menghasilkan). Untuk tanaman
menghasilkan dosis yang digunakan berdasarkan analisis daun. Dosis pemupukan tergantung pada umur tanaman.
e. Pemangkasan daun
Maksud pemangkasan daun adalah untuk memperoleh pokok yang bersih, jumlah daun yang optimal dalam satu pohon dan
(25)
memudahkan panenan. Memangkas daun dilaksanakan sesuai dengan umur/ tingkat pertumbuhan tanaman.
f. Pengendalian hama dan penyakit
Pahan (2008) juga mengungkapkan bahwa pengendalian hama dan penyakit merupakan keputusan secara sadar dalam
memanfaatkan materi, energi, dan tenaga untuk memperoleh keuntungan tertentu. Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah ulat api, ulat kantong, tikus, rayap,
Adoretus dan Apogonia, serta babi hutan. Adapun penyakit
yang menjadi masalah tanaman kelapa sawit antara lain, penyakit-penyakit daun pada pembibitan, penyakit busuk pangkal batang (ganoderma), penyakit busuk tandan buah (marasmius), dan penyakit busuk pucuk (spear rot).
c. Panen
Dalam melakukan pemanenan kelapa sawit terdapat beberapa kriteria matang panen untuk memastikan kualitas tandan buah segar yang dipanen. Kriteria matang panen antara lain:
i. Kriteria matang panen ditentukan pada saat kandungan minyak dalam daging buah maksimal dan kandungan asam lemak bebas terendah.
ii. Berdasarkan penyelidikan, kriteria matang panen yang paling baik adalah 2 brondolan/kg berat tandan.
(26)
19
iii. Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan adalah masalah pencurian buah dan banyaknya pengusaha yang membuka tanah miring berat sebagai kebun. Oleh karena itu dalam menentukan kriteria matang panen ada 4 alternatif lain, yakni:
1. Untuk areal rata dengan kemiringan 0o-12o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 2 brondolan/ kg tandan.
2. Untuk areal sedang dengan kemiringan 12o-20o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 1 brondolan/ kg tandan.
3. Untuk areal terjal dengan kemiringan > 20o dan tidak ada gangguan pencurian menggunakan kriteria 0,5 brondolan/ kg tandan.
4. Untuk areal rawan pencurian, tenaga kerja sulit dan mahal menggunakan kriteria 2 brondolan/ tandan (Risza, 1994). iv. Keempat alternatif tersebut di atas sebaiknya diuji coba, mana yang
paling efektif dan sesuai dengan daerah tersebut: Apakah 2 brondolan/kg tandan atau 1 brondolan/ kg tandan atau 0,5 brondolan/ kg tandan atau 2 brondolan/ tandan.
v. Sebagai tolok ukur penilaian buah kelapa sawit telah matang saat panen adalah perolehan minyak dan inti kelapa sawit per hektar (Risza, 1994).
(27)
d. Produksi
Pahan (2007) mengungkapkan bahwa kurva profil produksi kelapa sawit selama 1 siklus dimulai dari saat tanaman menghasilkan TBS sampai saat-saat akan diremajakan (replanting) berbentuk kuadratik seperti lonceng. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkat tajam dari umur 3-7 tahun (periode tanaman muda, young), mencapai tingkat produksi maksimal pada umur sekitar 15 tahun (periode tanaman remaja, prime), dan mulai menurun secara gradual pada periode tanaman tua (old) sampai saat-saat menjelang peremajaan (replanting).
Masing-masing genetik tanaman kelapa sawit D x P yang dikeluarkan oleh institusi penghasil benih kelapa sawit mempunyai karakteristik tersendiri dalam produksi TBS. Sebagai contoh, pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa varietas D x P Marihat memperlihatkan kecenderungan peningkatan hasil yang lebih progresif pada tahun-tahun awal mulai menghasilkan.
(28)
21
Tabel 5. Produksi tanaman kelapa sawit D x P Marihat pada berbagai umur tanaman
Umur (tahun) Produksi TBS (ton)
3 5,0
4 9,0
5 13,5
6 15,0
7 18,0
8 21,0
9 22,0
10 22,1
11 22,3
12 22,4
13 22,5
14 21,0
15 21,0
16 20,0
17 19,8
18 18,5
19 18,0
20 16,5
21 16,0
22 15,0
23 14,5
24 13,5
25 13,0
Sumber: Syukur dan Lubis, 1989
Bahan tanaman kelapa sawit unggul merupakan faktor penentu dalam peningkatan produksi. Bahan tanaman kelapa sawit yang umum ditanama di perkebunan komersial yaitu persilangan dura x pisifera (D x P) yang disebut tenera. Pengendalian mutu kecambah sangat diperlukan dari proses persilangan sampai panen di lapangan (tanpa kontaminasi), pengujian viabilitas dan embrio di laboratorium, serta proses pengecambahan sampai pengemasan. Penggunaan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman kelapa sawit yang mampu
(29)
berproduksi 30% lebih banyak dari tanaman biasa. Dengan teknik pemuliaan tanaman konvensional, PT Socfindo menghasilkan
kecambah legitim dari 3 siklus Reciprocal Recurrent Selection/ RRS (masing-masing 8 tahun per siklus) untuk meningkatkan potensi hasil 15-20% per siklus. PPP Marihat (sekarang PPKS Medan) telah menghasilkan 7 varietas D x P seperti yang tercantum pada Tabel 6 (Pahan, 2007).
Tabel 6. Deskripsi potensi pertumbuhan dan produksi berbagai tanaman persilangan D x P asal PPKS Medan dan Socfindo
Deskripsi PPKS (Eks-PPP Marihat) PPKS Socfindo
A. Sifat Vegetatif numbah D.Si- Jambi Bah Marihat AVROS Me La Yang- ambi lungun Sima- DxP (L) DxP (Y) 1.Tinggi tanaman pada
umur 8 tahun (m) 2. Rata-rata kecepatan meninggi (m/tahun)
3. Lingkar batang (m) 4. Panjang daun (m) 5. Produksi daun/tahun
3,9 0,65 3,04 6,22 27 3,9 0,65 3 5,97 27 3,2 0,53 3,04 6,12 26 4,1 0,68 3,55 6,08 27 3,5 0,58 3,04 6,06 28 4,2 0,7 3,05 6,09 28 3,98 0,7-0,8 n.a. 5,47 n.a. 4,83 *) 0,05 n.a. 5,01 31 5,89 *) 0,50 n.a. 6,05 32 B. Produksi
1. Umur mulai dipanen (bulan)
2. Jumlah
tandan/pohon/tahun 3. Rata-rata berat
tandan (kg) 4. Produksi minyak
(ton/ha/tahun) 5. Ekstraksi minyak
(%)
6. Ekstraksi inti (%)
30 12 17 7,1 25,6 5,2 30 13 17 6,9 24,5 5,1 30 12 17 6,7 24,3 5,9 30 12 16 6,4 24,8 3,2 30 14 16 7,0 23,2 5,1 30 13 16 7,0 24,8 4,5 28 12,9 19,2 7,53 26,5 n.a. 24 18,6 **) 13,0 **) 8,5 27,4 4,2 24 9,9 22,3 7,4 26,8 4,2 C. Anjuran kerapatan tanaman/ ha
130 130 143 130 143 130
130-135 143 143
Keterangan: *) = Tinggi tanaman pada umur 12 tahun **) = Rata-rata pada umur 6-9 tahun Sumber: Lubis et al. (1990); Basuki (Komunikasi Pribadi, 2006)
3. Analisis Usaha Tani
Usaha tani merupakan usaha yang dilakukan oleh petani untuk
mendapatkan keuntungan dan kesejahteraan dari pertanian. Usaha tani sebagai organisasi dari alam yang diusahakan oleh petani, keluarga tani,
(30)
23
lembaga atau badan usaha lainnya yang berhubungan dengan pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Soekartawi (1995), usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Usahatani dapat dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki atau yang dikuasai sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).
Ratag (1982) mengatakan bahwa ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara menentukan serta mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan pendapatan keluarga petani yang lebih baik. Definisi ini terkandung satu tujuan utama yaitu peningkatan pendapatan keluarga petani. Tujuan dilakukannya kegiatan usaha tani adalah memperoleh pendapatan. Menurut Marta (2007), pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya. Untuk memperoleh laba maka jumlah penerimaan harus lebih besar dari total biaya. Ada beberapa ukuran untuk menghitung pendapatan usahatani yaitu :
a. Pendapatan usahatani diperoleh dengan menghitung semua penerimaan dikurangi dengan semua pengeluaran,
b. Pendapatan keluarga tani diperoleh dari menambah pendapatan tenaga kerja keluarga dengan bunga modal milik sendiri dan nilai sewa, dan
(31)
c. Pendapatan petani diperoleh dari menambah pendapatan tenaga kerja dan biaya modal sendiri (Soekartawi, 1995).
Hernanto (1994) mengungkapkan besarnya pendapatan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti modal, luas lahan, tingkat produksi, identitas pengusaha, pertanaman, manajemen, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Harga dan produktivitas merupakan sumber dari faktor
ketidakpastian, sehingga bila harga dan produksi berubah maka pendapatan yang diterima petani juga berubah (Soekartawi, 1990).
Pendapatan usahatani menurut Gustiyana (2004), dibagi menjadi dua pengertian, antara lain: (1) pendapatan kotor, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan atau pertukaran hasil produksi yang dinilai dalam rupiah berdasarkan harga per satuan berat pada saat pemungutan hasil,
(2) pendapatan bersih, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun dikurangi dengan biaya produksi selama proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya riil tenaga kerja dan biaya riil sarana
produksi.
Pendapatan perseorangan (personal income) adalah jumlah seluruh penerimaan yang diterima perseorangan sebagai balas jasa dalam proses
(32)
25
produksi. Pendapatan perseorangan dapat disebut pendapatan kotor, karena tidak semua pendapatan bersih perseorangan jatuh ke tangan pemilik faktor produksi, sebab masih harus dikurangi laba yang tidak dibagi, pajak penghasilan, iuran jaminan sosial dan lain-lainnya.
Menurut Hernanto (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani, yakni: luas usaha (meliputi areal pertanaman, luas tanaman, luas tanaman rata-rata), tingkat produksi (diukur lewat
produktivitas/ha dan indeks pertanaman), pilihan dan kombinasi, intensitas perusahaan pertanaman, serta efisiensi tenaga kerja. Pendapatan yang diterima petani kelapa sawit adalah hasil dari produktivitas kelapa sawit. Tinggi rendahnya produktivitas kelapa sawit tergantung dari komposisi umur tanaman.
a. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani
Efisiensi produksi menurut Mubyarto (1994) yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input). Menurut Soekartawi (1995), karena total biaya produksi (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), maka rumus untuk menghitungnya adalah:
TC = FC + VC ………..…...…. (1)
dimana:
TC = total biaya produksi usaha tani (total cost) FC = biaya tetap (fixed cost)
(33)
Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak, biaya untuk pajak akan tetap dibayar walaupun hasil usaha tani itu besar atau gagal
sekalipun. Biaya tetap ini beragam, dan kadang-kadang tergantung dari peneliti apakah mau memberlakukan variabel itu sebagai biaya tetap atau biaya tidak tetap. Contoh biaya tetap antara lain: sewa tanah, pajak, alat pertanian dan alat produksi. Adapun rumus untuk menghitung biaya tetap adalah:
n
FC = Σ Xi.Pxi
i = 0 ……...………..……… (2) dimana:
FC = biaya tetap
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = harga input
n = macam input (Soekartawi, 1995).
Biaya tidak tetap adalah biaya yang selalu berubah tergantung kepada besar kecilnya produksi. Biaya variabel kira-kira 90-95% dari total biaya. Biaya lain-lain pada umumnya masuk biaya variabel karena besar kecilnya berhubungan langsung dengan besarnya produksi, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk bibit, biaya persiapan dan pengolahan tanah (Mubyarto, 1994). Adapun rumus untuk menghitung biaya tidak tetap adalah:
(34)
27
n
VC =
Σ
Xi.Pxi
…...…...……… (3) i = 0dimana:
VC = biaya tidak tetap
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya variabel Pxi = harga input
n = macam input (Soekartawi, 1995).
Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = Y . Py ……….………... (4) dimana:
TR = total penerimaan usaha tani (total revenue) Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py = harga Y
Tujuan akhir dari pengelolaan suatu usaha tani adalah mendapatkan pendapatan. Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pernyataan tentang pendapatan usahatani tersebut dapat dituliskan dalam rumusan sebagai berikut:
Pd = TR –TC ………. (5) dimana:
Pd = pendapatan usaha tani TR = total penerimaan usaha tani TC = total biaya produksi usaha tani
(35)
Untuk mengetahui apakah usahatani kelapa sawit menguntungkan atau tidak bagi petani maka digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya dirumuskan sebagai:
R/C = PT ... (6) BT
dimana:
R/C = Nisbah antara penerimaan dengan biaya PT = Penerimaan total
BT = Biaya total yang dikeluarkan oleh petani
a. Jika R/C > 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami keuntungan.
b. Jika R/C < 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami kerugian. c. Jika R/C = 1, maka usahatani berada pada titik impas.
b. Analisis Finansial dan Kriteria Kelayakan Investasi
Dalam Gittinger (1986), analisis finansial memiliki dua pertimbangan khusus yang harus diperhatikan pada masa analisis finansial, yakni : a. Melihat pengaruh finansial terhadap usaha pertanian, misalnya
secara individu mengenai family income yang cukup besar bagi para petani serta rangsangan yang cukup bagi para petani agar mau ikut berpartisipasi.
b. Analisis finansial harus dihubungkan dengan hasil yang diperoleh untuk kepentingan umum ataupun organisasi-organisasi komersial
(36)
29
seperti koperasi, bank ataupun penyalur-penyalur (distributor) swasta.
Menurut Kadariah (2001), kelayakan investasi terdiri atas beberapa kriteria, baik manfaat dan biayanya dinyatakan dalam nilai sekarang. Kriteria kelayakan yang bisa digunakan adalah :
a. Gross B/C Ratio
Gross B/C ratio adalah perbandingan antara total benefit terhadap total yang dikeluarkan. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah :
i. Bila Gross B/C > 0, maka usaha layak untuk dijalankan. ii. Bila Gross B/C < 0, maka usaha tidak layak untuk
dijalankan.
iii. Bila Gross B/C = 0, maka usaha berada pada keadaan break even point.
b. Net B/C Ratio
Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara present value dari
net benefit yang positif dengan present value dari net benefit
yang negatif (net costs). Kriteria kelayakannya adalah : i. Bila Net B/C > 0, maka usaha dikatakan menguntungkan. ii. Bila Net B/C < 0, maka usaha yang dilakukan dikatakan
tidak menguntungkan.
iii. Bila Net B/C = 0, maka usaha pada keadaan break even point.
(37)
c. Net Present Value
Net Present Value (NPV) merupakan metode yang menghitung
selisih antara penerimaan dengan biaya/ pengeluaran. Kriteria kelayakan yang digunakan adalah :
i. Bila NPV > 0, maka usaha yang dilakukan menguntungkan. ii. Bila NPV < 0, maka usaha yang dilakukan tidak
menguntungkan.
iii. Bila NPV = 0, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point.
d. Internal Rate of Return
Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga
yang menunjukkan tingkat bunga yang menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau usaha sama dengan nol. Kriteria kelayakannya adalah :
i. Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan menguntungkan.
ii. Bila IRR < tingkat suku bunga , maka usaha yang dilakukan tidak menguntungkan.
iii. Bila IRR = tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point.
(38)
31
e. Payback Period (Pp)
Payback period menunjukkan jumlah tahun yang diperlukan
untuk memperoleh kembali semua modal yang telah
diinvestasikan. Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut : 1) Bila masa pengembalian (Pp) lebih pendek dari umur
ekonomis usaha maka usaha tersebut layak untuk dijalankan. 2) Bila masa pengembalian (Pp) lebih panjang dari umur
ekonomis usaha maka usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan.
4. Kemitraan dan Kelembagaan
a. Kemitraan
Bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit membutuhkan pengelolaan yang tidak sederhana. Lahan yang luas, juga
dibutuhkannya manajemen yang baik dalam mengatur roda produksi dan sumber daya karena rawannya konflik yang berkaitan dengan hukum, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga perlu dibangun manajemen yang kuat dan mapan untuk menghadapi berbagai persoalan yang kerap dihadapi. Solusi terbaik dari hal ini ialah dengan membangun sistem kemitraan. Sistem kemitraan diharapkan dapat membangun harmonisasi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya antara perusahaan perkebunan dan masyarakat di sekitarnya.
(39)
Usaha kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dan menengah atau dengan usaha besar, disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Program kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN (PTPN VII, 2010). Menurut (Hermawan,et al., 1998), prinsip kemitraan ditandai oleh adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling
menguntungkan yang merupakan persetujuan antara dua atau lebih perusahaan untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat.
Jaringan kerjasama kemitraan sebagai lembaga penggerak agribisnis sangat dibutuhkan demi tercapainya pemenuhan kebutuhan akan produk pertanian. Hubungan kerjasama ini dapat berjalan efektif dan saling menguntungkan bila:
a. Hubungan yang bersifat interdependen,yaitu bentuk kerjasama yang saling membutuhkan dan keberadaan satu pihak tidak membebani pihak lain yang saling bekerjasama.
b. Hubungan yang bersifat egaliter dan adil, yaitu bentuk kerjasama yang saling menghargai, tidak terjadi eksploitasi terhadap pihak lain dengan keuntungan/ kepentingan sepihak.
c. Masing-masing pihak menyadari kebutuhan satu sama laindan memelihara hubungan untuk dapat memenuhi kebutuhan satu sama lain.
(40)
33
d. Masing-masing dapat dipercaya dan diandalkan dalam menjaga kualitas (mutu) dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, sehingga menghasilkan sinergi berupa daya saing bersama dan
kepentingan bersama.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin kemitraan atau kerjasama antara kedua belah pihak berhasil antara lain harus ada komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik para pelaku usaha kemitraan akan membuat lawan bicaranya memahami maksud dan berusaha mencapai klaim-klaim kesahihan (Fadjar, 2006), dan arah orientasi yang jelas, profesionalisme serta saling menguntungkan
(win-win solution) (Utomo dan Anang, 2003).
Pelaksanaan kemitraan secara sehat dengan usaha kecil memerlukan upaya khusus, misalnya pembinaan yang tidak hanya terbatas pada pembinaan finansial dan teknis akan tetapi termasuk manajemen. Berkembangnya kemitraan usaha merupakan indikasi dari sudah mulai berubahnya strategi usaha agar setiap pihak yang bersaing dapat menang dalam setiap sasarannya. Kemitraan usaha perkebunan diharapkan mampu mensinergikan kekuatan para pelaku utama usaha kemitraan (petani dan perusahaan) serta kekuatan beberapa unsur penunjang lainnya seperti pemerintah, lembaga keuangan nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi (Fadjar, 2006).
(41)
Dalam rangka membangun kemitraan usaha, ikut campur tangan pemerintah sangat diperlukan dalam beberapa aspek; yaitu pertama, mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, terutama KUD untuk menjadi bagian dari jaringan agribisnis; kedua, mengkonsolidasikan mengenai penggunaan lahan petani; ketiga, membuat perangkat hukum yang mendukung sehatnya perkembangan kemitraan usaha, terutama yang ditujukan untuk melindungi hak-hak individu petani dari bahaya eksploitasi pemodal besar, dan pengurasan sumberdaya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian; keempat, menciptakan kondisi yang kondusif, misalnya pengembangan prasarana ekonomi,
pengkajian dan penerapan teknologi, kemudahan pelayanan
perkreditan dan pengembangan sistem informasi pasar; dan kelima, membuat status pilot project dengan tahap awal melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi dan kemitraan usaha di daerah (Sudaryanto dan Pranadji, 1999).
Melalui sistem kemitraan yang dibangun, perusahaan bisa mendeteksi secara dini seluruh gejala negatif yang muncul yang akan berakibat merugikan perusahaan. Kepercayaan, pengharapan, kompetensi, produktivitas, dan kinerja pun bisa dibangun dan dikelola dengan baik. Pengembangan kemitraan akan mengikat sisi psikologis dan
kesepahaman di antara berbagai pihak. Dengan demikian, roda produksi dan sumber daya akan berjalan signifikan sesuai yang diharapkan.
(42)
35
Sistem kemitraan memiliki tiga pola, yaitu pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), pola Kredit Koperasi Primer kepada Anggota (KKPA), dan pola Program Revitalisasi Perkebunan (PRP). Ketiga pola ini sama-sama membangun dasar kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, memperkuat, bertanggung jawab, dan saling
ketergantungan dengan masyarakat di sekitar perkebunan sebagai plasma. Prinsipnya, kedua belah pihak saling terbuka dan percaya sehingga saling menguntungkan dan membutuhkan (Farida, 2009).
Menurut Farida (2009), terdapat 5 pola kemitraan usaha yang dapat dilakukan antara petani dengan pengusaha besar, antara lain : 1) Pola kemitraan inti-plasma
Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan bertindak dalam menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis,
manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. 2) Pola kemitraan subkontrak
Pola kemitraan ini merupakan pola kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
(43)
3) Pola kemitraan dagang umum
Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. 4) Pola kemitraan keagenan
Pola keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar/ menengah
bertanggungjawab atas mutu dan volume produk (barang dan jasa), sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Di antara pihak-pihak yang bermitra terdapat
kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya
fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk.
5) Pola kerjasama operasional agribisnis (KOA),
Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan sarana produksi seperti lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal, biaya, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk
(44)
37
Perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.
b. Sistem Kelembagaan
Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun
organisasi non-formal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowler (1992) menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi, atau
sebaliknya. Suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, partai, perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hukum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan, adat-istiadat, dan lain-lain. Fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; (b) membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya produksi; (c) membantu meningkatkan sustainability
pemanfaatan sumberdaya alam; (d) menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; (e) mempengaruhi lembaga-lembaga politis; (f) membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; (g) meningkatkan akses ke sumber informasi; (h) meningkatkan kohesi sosial; (i) membantu mengembangkan sikap dan tindakan koperatif.
Menurut Cornelis (2005), kelembagaan masyarakat di pedesaan umumnya terbentuk melalui dua tahap, yaitu berawal dari:
(45)
a. Ikatan sosial (social relation), antara anggota masyarakat yang masih kuat. Hubungan ini menciptakan kesepakatan, aturan dan kewajiban sosial (social obligation) masyarakat di pedesaan yang mengikat semua anggota. Di beberapa daerah, peran dari lembaga adat masih cukup dominan.
b. Hubungan ekonomi (economic relation), bahwa setiap pertukaran barang dan pelayanan jasa selalu memperhitungkan imbalan ekonomi dan selalu dikaitkan dengan perhitungan untung rugi. Hubungan ekonomi antar golongan masyarakat kemudian
berkembang menjadi kewajiban ekonomi dengan berbagai aturan yang bersifat lebih baku dan lebih mengikat semua anggota masyarakat pedesaan.
Jika pasar tidak mampu mengkoordinasikan partisipan antarmasing-masing subsistem dalam sistem agribisnis maka organisasi bisnis petani (kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi petani) menjadi sangat penting sebagai wadah koordinasi atau integrasi antarpartisipan dalam sistem agribisnis. Disinilah hakekat pentingnya koperasi sebagai organisasi bisnis petani dalam mengendalikan fenomena biaya transaksi tinggi hingga ke tingkat minimum dibandingkan dengan alternatif
transaksi yang ada (Zakaria, 2002). Esensi organisasi petani menunjukkan bahwa keragaan organisasi bisnis petani (kelompok tani dan koperasi) sangat ditentukan oleh pengembangan sumber daya manusia
(humanware), pengembangan teknologi (technoware), dan pengembangan
(46)
39
Menurut Koentjaraningrat (2002), komponen-komponen yang menjadi bagian dari hubungan kelembagaan antara badan usaha dengan petani, meliputi personel (orang), peralatan fisik (sarana dan prasarana), sistem norma (aturan-aturan), serta kelakuan yang berpola baik dari perusahaan maupun petani. Hubungan antar komponen dari pranata sosial yang akan diteliti dalam lingkup kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Komponen-komponen dari Pranata Sosial Sumber: Koentjaraningrat, 2002
Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang seyogyanya dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal memiliki daya ikat sosio-teknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa (atau lebih tepat: penyesuaian struktur) kelembagaan akan lebih mudah terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a) memiliki dampak yang jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder, (b) tersedia sistem pendukung internal (pengetahuan
Peralatan fisik Personel
Pranata yang berpusat pada suatu
kelakuan berpola Sistem
(47)
stakeholder) dan eksternal (infrastruktur fisik dan sosial lain), dan (c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat koersif dan top-down banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam
serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional.
5. Kesejahteraan Petani Plasma
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (2010) mengungkapkan bahwa pengembangan pola PIR-Trans memberikan kesejahteraan bagi petani plasma. Beberapa kasus yang terjadi, antara lain: 1) petani dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang berada di Desa Pematang Tinggi, Kecamatan Krukut, Kabupaten Pelalawan, Riau, saat ini berkembang menjadi desa yang taraf ekonominya tumbuh pesat dengan rata-rata penghasilan penduduknya mencapai Rp 3 juta/ kaveling/ bulan (kaveling = 2 ha lahan dan 0,5 ha pekarangan) dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani plasma sawit; 2) petani di Di Desa Makmur
Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, dimana sebagian besar penduduk memiliki kebun sawit dan berprofesi sebagai petani plasma, dengan penghasilan berkisar Rp 2,5 juta/kaveling/bulan.
(48)
41
Bangunan tempat tinggal petani kelapa sawit yang pada awalnya terbuat dari papan kayu saat ini telah menjadi bangunan permanen. Pertumbuhan jumlah penduduk didorong pula oleh terbukanya lapangan kerja dan peluang usaha di Desa Makmur.
6. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Menurut Ratnawati (2010), tingkat efektivitas pelaksanaan kemitraan kelapa sawit dalam mencapai tujuan kemitraan selama ini sudah berjalan efektif yaitu dapat dilihat dari rata-rata pencapaian persentase skor harapan dari keseluruhan aspek sebesar 73,52% yang termasuk dalam kategori efektif. Semakin baik pelaksanaan kemitraan dalam memperbaiki manajemen usahatani guna meningkatkan produktivitas petani mitra, semakin tinggi tingkat efektivitas kemitraan. Begitu pula, semakin buruk pelaksanaan kemitraan dalam memperbaiki manajemen usahatani, semakin rendah pula tingkat efektivitas kemitraan.
Menurut Budi Kurniawan (2006), pola kemitraan kelapa sawit di
Kecamatan Bahuga Kabupaten Way Kanan pada tingkat suku bunga 15%, secara finansial menguntungkan dengan Gross B/C sebesar 1,24; Net B/C
sebesar 1,86; NPV sebesar Rp.36.002.756; IRR sebesar 19,92%, dan
Payback period 9,05 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan
kelapa sawit pola kemitraan di Kecamatan Bahuga Kabupaten Way Kanan layak dikembangkan.
(49)
B. Kerangka Berpikir
Tanaman perkebunan diakui dapat menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam pemenuhan bahan baku agroindustri bahkan penghasil devisa negara. Salah satu komoditi perkebunan yang banyak berperan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedele, kacang tanah dan lain-lain), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Masa produksi kelapa sawit yang cukup panjang (25 tahun) juga akan turut mempengaruhi ringannya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/th setiap orangnya, kebutuhan ini akan terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita (Sihotang, 2010).
Menurut Hasyim (2005), program kemitraan agribisnis melibatkan petani plasma, organisasi kelompok tani, dan perusahaan inti. Pemerintah berperan sebagai regulasi dan fasilitasi, sedangkan tiga pihak yang disebut terdahulu berperan kunci dalam pembangunan kemitraan agribisnis. Pada sisi ini, kelompok tani berperan lebih jauh dan maju, serta bertindak sebagai fasilitator perusahaan inti dan penyambung serta pembawa aspirasi masyarakat petani.
(50)
43
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang “Sistem Budidaya Tanaman” pada pasal 47, 48, dan 49 menyatakan bahwa badan usaha diarahkan untuk bekerjasama secara terpadu dengan usaha petani, sementara pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk mendorong kerjasama, keterpaduan budidaya, pemasaran, dan industri. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perkebunan Indonesia yang menjadi pihak perusahaan inti. PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) bergerak di bidang usaha agribisnis perkebunan dengan komoditas karet, kelapa sawit, tebu dan teh yang semuanya dikelola dengan teknologi modern, manajemen terpadu dan didukung sumberdaya manusia profesional terkait, serta ditumbuhkan dengan jalan mengembangkan usaha berbasis bisnis inti yang mengarah ke integrasi vertikal.
PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dalam pengelolaan agribisnis sudah menerapkan teknologi budidaya tanaman untuk perbaikan potensi tanaman maupun peningkatan produktivitas, namun masih saja belum dapat tercapai maksimal karena adanya terjadi idle kapasitas. Upaya yang sudahdilakukan dengan intensifikasi masih menentukan upaya ekstensifikasi. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan sebagai agent of development, yaitu dengan melibatkan masyarakat pemilik lahan di sekitar unit usaha dengan konsep kemitraan sekaligus dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga merupakan peran sosial perusahaan agar keberadaan perusahaan dirasakan eksistensinya oleh masyarakat sekitar.
(51)
Prinsip kemitraan yaitu saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling membutuhkan sesuai Peraturan Pemerintah Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil sangat memberi peluang terlaksananya kemitraan bisnis antara petani, kelompok tani, dan koperasi dengan pihak swasta dalam meningkatkan daya saing produk di pasar domestik maupun internasional. Program kemitraan agribisnis penting bagi daerah atau wilayah yang menghadapi kendala-kendala seperti keterbatasan lahan usahatani dalam skala ekonomi, pemilikan lahan pertanian yang terpecah, rendahnya penguasaan teknologi oleh petani, serta persaingan dalam aspek pemasaran, distribusi, dan rendahnya pendapatan atau
kesejahteraan petani. Bagi daerah yang tipis penduduknya, pola kemitraan dikembangkan lebih intensif dan peran perusahaan inti sangat dominan (Hasyim, 2005).
Konsep kemitraan yang menjadi dasar pelaksanaan merupakan upaya kerjasama yang berazaskan saling menguntungkan secara
berkesinambungan. Langkah pilihan yang strategis yakni melalui pengembangan komoditas kelapa sawit dengan program, antara lain:
pengalihan teknologi terapan, kemandirian pengelolaan agribisnis, memberi peran berfungsinya kelembagaan ekonomi pedesaan dan meningkatkan pasokan bahan baku olah pabrik. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan. Pemberdayaan kelembagaan mengandung makna pengaturan dalam batas yurisdiksi, hak pemilikan, dan aturan representasi yang memiliki implikasi pada kemampuan kelembagaan tersebut dalam hal menjalankan enforcement
(52)
45
guna mengatasi permasalah free rider, komitmen, loyalitas dan tuntutan faktor eksternal yang ada pada suatu organisasi (koperasi) sehingga mampu menghasilkan performa yang sesuai dengan harapan. Alasan pemberdayaan kelembagaan koperasi dan kelompok tani secara ekonomi dapat dipandang sebagai upaya menghindari biaya transaksi tinggi yang harus dikeluarkan oleh para anggotanya (karena adanya masalah free rider, komitmen, loyalitas dan faktor eksternal) dalam mencapai tujuan organisasi (peningkatan pendapatan dan lain-lain) (Arkadie, 1989).
Komponen-komponen dari pranata sosial yakni sistem norma, personel, dan peralatan fisik, masing-masing saling terkait dengan pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Komponen-komponen tersebut menjadi bagian dari hubungan kelembagaan antara badan usaha dengan petani, seperti personel (orang), peralatan fisik (sarana dan prasarana), sistem norma (aturan-aturan), serta kelakuan yang berpola baik dari perusahaan maupun petani.
Kemitraan pada perkebunan kelapa sawit selama ini dipercaya mampu menjembatani kepentingan perusahaan inti (dalam penelitian ini adalah PTPN VII Unit Usaha Bekri) dalam memenuhi pasokan bahan baku dan kepentingan petani mitra dalam meningkatkan kesejahteraan. Berbagai skema atau pola kemitraan telah dikenalkan dan dikembangkan, dari program pemerintah seperti NES, PIR-TRANS, KKPA, hingga berbagai pola bagi hasil yang dikembangkan oleh swasta. Kontribusi PT Perkebunan
(53)
Nusantara VII (Persero) dalam melaksanakan program kemitraan ini adalah berupa bantuan pengadaan bibit kelapa sawit yang berkualitas.
Kemitraan diharapkan pula dapat mengatasi kendala yang selama ini
menjadi penghambat pengembangan pelaku usaha agribisnis, baik dalam hal teknis budidaya, produksi, pemasaran, maupun pendanaannya. Hal
terpenting adalah pola kemitraan menjanjikan dihasilkannya kemajuan kegiatan usaha yang sejajar antara perusahaan inti dengan plasma. Bagi perbankan, pola kemitraan ini juga relatif cukup aman untuk diberikan kredit. Kemitraan juga dapat mengatasi kendala agunan bagi plasma, melalui mekanisme adanya jaminan avalis dari perusahaan inti. Pola kemitraan ini juga memberikan peluang bagi perbankan untuk dapat lebih meningkatkan penyaluran kreditnya, karena dalam kemitraan, kredit perbankan dapat diberikan baik kepada inti saja, atau plasma saja, atau kepada inti dan plasma secara bersama-sama (Sutrisno, 2010).
Untuk menunjang keberhasilan usahatani kelapa sawitnya, petani mitra menyediakan bahan baku pertanian secara kontinu dengan jumlah tepat yang sangat diperlukan. Produksi yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: luas lahan (X1), jenis bibit (X2), alat-alat produksi (X3), jumlah pupuk (X4), jumlah tenaga kerja (X5), dan manajemen (X6). Apabila dinyatakan dalam persamaan adalah sebagai berikut:
(54)
47
Bibit yang digunakan petani mitra berupa bibit kelapa sawit berkualitas dari PT Perkebunan Nusantara VII (Persero. Luas lahan merupakan luasan lahan yang dimiliki dan dikelola petani kelapa sawit mitra untuk usahatani kelapa sawit. Pupuk yang digunakan adalah beberapa jenis pupuk yang digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas kebun. Tenaga kerja adalah tenaga kerja dalam maupun luar keluarga yang melakukan usahatani petani kelapa sawit mitra. Manajemen meliputi manajemen/ pengaturan dalam melakukan budidaya tanaman maupun sumber daya manusianya.
Hasil panen petani kelapa sawit mitra merupakan produksi yang kemudian dijual ke PTPN VII Unit Usaha Bekri sehingga menghasilkan penerimaan petani tersebut. Pendapatan/ keuntungan petani adalah penerimaan yang diperoleh petani kelapa sawit mitra setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan secara tunai selama proses produksi. Biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai dalam hal ini biaya pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja dan biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam petani kelapa sawit mitra.
Kelapa sawit yang merupakan komoditi tahunan membutuhkan sejumlah pertimbangan untuk mengetahui keuntungan usahatani yang salah satunya adalah dengan melakukan analisis keuangan atau analisis finansial. Analisis finansial merupakan perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan suatu usaha, apakah usaha itu akan menjamin modalnya akan kembali atau tidak, dan apakah usaha tersebut akan dapat dikembangkan lebih luas lagi
(55)
Analisis finansial juga mencakup semua beban biaya, baik biaya investasi maupun biaya operasional dan perbandingan dengan perkiraan penerimaan atau manfaat (benefit) yang diperoleh.
Setelah mengetahui pendapatan/ keuntungan petani kelapa sawit mitra, kemudian dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani kelapa sawit petani yang bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bekri di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo.
Kerangka berpikir pola kemitraan dan peningkatan pendapatan petani kelapa sawit mitra dapat dilihat pada Gambar 2.
(56)
49
Gambar 2. Kerangka berpikir pola kemitraan dan pendapatan usahatani kelapa sawit (kasus kemitraan usahatani kelapa sawit antara PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri dengan petani mitra di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah)
-Sistem Kelembagaan -Pola Kemitraan
Produksi Harga faktor
produksi
Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII Unit
Usaha Bekri
Inti Kemitraan
Petani kelapa sawit
Faktor produksi usahatani kelapa sawit mitra PTPN VII UU Bekri
- Bibit - Luas lahan - Alat-alat pertanian - Pupuk
- Tenaga kerja
Biaya produksi
Harga hasil produksi
Penerimaan
Pendapatan petani mitra
Kelayakan usahatani kelapa sawit
(57)
III. METODE PENELITIAN
A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional
Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh dan menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup pengertian yang digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Lembaga/ pranata/ institusi adalah kumpulan norma-norma yang mengatur tentang pengelolaan usahatani kelapa sawit. Indikator lembaga terbagi menjadi beberapa komponen, antara lain: sistem norma, personel, dan peralatan fisik.yang kemudian berpusat pada kelakuan petani kelapa sawit yang bermitra dengan. Kelembagaan juga dicirikan oleh batas yuridiksi,
property right (hak pemilikan), dan rules of representation (aturan representasi).
Sistem norma dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan adalah aturan-aturan yang merupakan dasar-dasar hukum baik lisan maupun tulisan yang menjadi landasan kegiatan dalam
(58)
51
pelaksanaan kemitraan dan pengelolaan usahatani kelapa sawit petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan.
Personel adalah manusia yang melaksanakan kelakuan berpola. Personel dalam penelitian ini antara lain pihak perusahaan, petani, dan pihak-pihak lain yang ikut ambil bagian dalam kegiatan kemitraan usahatani kelapa sawit.
Peralatan fisik dalam kegiatan usahatani kelapa sawit adalah semua sarana dan prasarana/ peralatan fisik yang digunakan petani kelapa sawit untuk melakukan kegiatan dan pengelolaan usahatani kelapa sawit mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen.
Pola kemitraan dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah pola hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok mitra kelapa sawit sebagai mitra dengan perusahaan inti yang bermitra usaha.
Pola kemitraan dapat dilihat berdasarkan 5 pola, yaitu: 1) pola inti-plasma, yakni perusahaan bertindak dalam menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta
memasarkan hasil produksi); 2) pola subkontrak, yakni pola kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang
memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya; 3) pola dagang umum, yakni hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi; 4) pola keagenan, yakni di antara pihak-pihak
(59)
yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk; dan 5) pola kerjasama operasional agribisnis, yakni kelompok mitra menyediakan sarana produksi seperti lahan, sarana, dan tenaga kerja,
sedangkan perusahaan hanya menyediakan modal, biaya, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian, juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.
Petani kelapa sawit adalah individu/ sekelompok orang yang melakukan usahatani kelapa sawit guna memenuhi kebutuhan sebagian atau secara keseluruhan hidupnya dalam bidang pertanian. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit mitra PTPN VII Unit Usaha Bekri.
Perusahaan mitra dalam pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah
perusahaan yang melakukan kegiatan bermitra dengan petani kelapa sawit untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit dan mencapai target produksi perusahaan.
Usahatani kelapa sawit adalah suatu bentuk organisasi produksi yang dilakukan oleh petani pada suatu lahan dengan komoditi kelapa sawit untuk
(60)
53
bertujuan untuk menghasilkan produksi dan pendapatan usahatani kelapa sawit.
Jumlah tenaga kerja usahatani kelapa sawit adalah banyaknya tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi kelapa sawit selama musim tanam. Penggunaan tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK).
Luas lahan usahatani kelapa sawit adalah areal/ tempat yang digunakan petani untuk melakukan usahatani kelapa sawit di atas sebidang tanah. Luas lahan diukur dalam satuan hektar (ha).
Faktor produksi usahatani kelapa sawit adalah semua korbanan yang diberikan pada tanaman kelapa sawit agar tanaman tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Produksi kelapa sawit adalah jumlah Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan oleh petani. Produksi TBS diukur dalam satuan buah per hektar (buah/ha).
Umur ekonomis alat yang digunakan dalam usahatani kelapa sawit adalah lamanya tahun alat dapat digunakan dalam usahatani kelapa sawit. Umur ekonomis alat diukur dalam satuan tahun (th).
Harga jual produksi kelapa sawit (TBS) adalah harga yang diterima oleh petani atas penjualan hasil panen kelapa sawit berdasarkan umur tanaman. Harga panen kelapa sawit diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).
(61)
Biaya produksi kelapa sawit adalah semua pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan tandan buah segar dalam suatu proses produksi yang dinilai dalam satuan rupiah (Rp). Biaya produksi ini meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan jumlah produksi kelapa sawit. Biaya tetap diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya tidak tetap adalah biaya yang selalu berubah-ubah tergantung besar kecilnya produksi kelapa sawit. Biaya tidak tetap diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya penyusutan adalah biaya tetap yang diperhitungkan untuk alat-alat yang dihitung dengan metode garis lurus (yaitu nilai beli dikurangi dengan nilai sisa dibagi dengan usia ekonomis). Biaya penyusutan diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan investasi usahatani kelapa sawit sebelum menghasilkan buah sawit. Biaya investasi diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Biaya total adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk melakukan usahatani kelapa sawit meliputi biaya tetap total dan biaya tidak tetap/ variabel total. Biaya total diukur dalam satuan rupiah per tahun
(62)
55
Jumlah nilai sarana produksi pertanian adalah banyaknya nilai uang sarana produksi pertanian yang digunakan petani dalam berusahatani kelapa sawit dengan cara setiap jenis sarana produksi pertanian yang digunakan oleh petani dikalikan harganya, kemudian dijumlahkan. Jumlah nilai sarana produksi pertanian diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Penerimaan adalah jumlah penerimaan yang diterima petani yang dihitung dengan mengalikan jumlah produksi kelapa sawit dengan harga jual
produksi kelapa sawit di tingkat petani produsen. Penerimaan diukur dalam satuan rupiah (Rp).
Pengeluaran adalah biaya pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan usahatani kelapa sawit. Pengeluaran diukur dalam satuan rupiah (Rp/th).
Pendapatan/ keuntungan usahatani sawit adalah balas jasa yang diperoleh petani kelapa sawit setelah dikurangi biaya total usahatani kelapa sawit yang dikeluarkan secara tunai selama proses produksi, dalam hal ini biaya
pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja dan biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam. Pendapatan/ keuntungan usahatani kelapa sawit diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).
R/C merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah usahatani kelapa sawit menguntungkan atau tidak bagi petani yang berupa analisis imbangan penerimaan dan biaya.
(63)
Kelayakan usahatani kelapa sawit adalah penilaian usahatani kelapa sawit dengan menggunakan konsep nilai uang yang akan didapatkan dari usahatani tersebut (nilai masa depan, future value) pada nilai uang bersih saaat kini (net present value), dengan menggunakan tingkat faktor terdiskon tertentu.
Analisis finansial adalah suatu perhitungan yang didasarkan pada
perbandingan manfaat (benefit) yang akan diterima dengan biaya (cost) yang akan dikeluarkan selama suatu usaha dijalankan. Alat analisis yang akan digunakan antara lain; Net Present Value (NPV), Internal Rate Return
(IRR), Gross B/C, Net B/C, dan Payback Period (PP).
Tingkat suku bunga atau discount factor adalah suatu bilangan yang lebih kecil dari satu yang dapat digunakan untuk menghitung suatu nilai uang masa datang (future value = t0), berapa nilainya saat ini (present value = tn), dengan menperhitungkan tingkat bunga (i) yang tetap pada akhir setiap tahun (t).
Net Present Value (NPV) adalah suatu analisis yang digunakan untuk
menghitung selisih antara present value dari penerimaan dengan present value dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Net present value diukur dalam satuan rupiah (Rp).
(64)
57
IRR merupakan tingkat bunga (discount rate) yang dapat membuat besarnya NPV proyek sama dengan nol (0). Internal rate return diukur dalam satuan (%).
Gross B/C adalah biaya modal atau biaya investasi permulaan, dan biaya
operasi dan pemeliharaan, sedang yang dihitung sebagai gross benefit adalah nilai total produksi.
Net B/C adalah suatu tingkat perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan present value yang negatif.
Payback Period (PP) atau disebut juga periode kembali modal adalah suatu
analisis yang digunakan untuk mengetahui jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal investasi. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu investasi dan sebaliknya. Payback period diukur dalam satuan tahun.
Harga privat atau harga finansial adalah tingkat harga umum suatu barang yang berlaku di pasar. Harga pasar ini akan digunakan dalam perhitungan analisis finansial, diukur dalam rupiah per satuan (Rp/satuan).
B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian
Penelitian diadakan di Desa Sinar Banten, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah (lokasi perusahaan mitra) dan Desa Tanjung Jaya,
(1)
iii. Bila NPV = 0, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point
d. Internal Rate of Return
Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga yang menunjukkan tingkat bunga yang menunjukkan nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau usaha sama dengan nol. Rumus yang digunakan yaitu:
IRR = i1 + NPV1
(i2– i1)
NPV1– NPV2
Keterangan :
NPV1 = NPV yang bernilai positif
NPV2 = NPV yang bernilai negatif
i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif
i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif
Kriteria kelayakan adalah :
i. Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan menguntungkan
ii. Bila IRR < tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan tidak menguntungkan
iii. Bila IRR = tingkat suku bunga, maka usaha yang dilakukan berada pada keadaan break even point
(2)
64
e. Payback Period (Pp)
Payback period menunjukkan jumlah tahun yang diperlukan untuk memperoleh kembali semua modal yang telah
diinvestasikan. Semakin pendek jangka waktu kembalinya investasi, semakin baik suatu investasi. Kelemahan dari payback period adalah tidak memperhitungkan nilaiwaktu uang, dan tidak memperhitungkan aliran kas sesudah periode payback. Rumus payback period adalah :
Pp = K0
x 1 tahun Ab
Keterangan :
K0 = Investasi awal
Ab = manfaat bersih yang diperoleh dari setiap periode
Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut :
1) Bila masa pengembalian (Pp) lebih pendek dari umur
ekonomis proyek (umur ekonomis 20-25 tahun)maka proyek tersebut layak untuk dijalankan.
2) Bila masa pengembalian (Pp) lebih panjang dari umur
ekonomis proyek (umur ekonomis 20-25 tahun) maka proyek tersebut tidak layak untuk dijalankan.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Adiwilaga. 1982. Ilmu Usahatani. Penerbit Alumni. Bandung.
Arifin, Bustanul. 2001. Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Arifin, Bustanul. 2003. Kebijakan Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Arkadie, B.V. 1989. The Rule of Institution in Development. Proceeding of The World Bank, Annual Conference on Development Economics. World Bank: 153-191
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2011. Lampung Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Lampung Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2012. Informasi
Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Tengah 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Lampung Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2012. Lampung Tengah Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Lampung Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2012. Bangun Rejo Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Lampung Tengah. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2012. Lampung Dalam Angka 2012.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. Lampung Tengah. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2011. Lampung Tengah
dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Lampung Tengah.
Cornelis, R. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. BPFE YOGYAKARTA. Yogyakarta.
Fadjar. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan : Perubahan Struktur Yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (1) : 46- 60. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian Dan
(4)
142
Farida, Retna. 2009. Efektivitas Pola Kemitraan Usaha Tani Jagung Di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO Centres for Study and Development. Sustainable Agricultrure Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London.
Gittinger. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Hakim, Memet. 2007. Kelapa Sawit, Teknis Agronomis Dan Manajemennya.
Lembaga Pendidikan Perkebunan. Yogyakarta.
Hasyim, Harris. 2005. Pengembangan Kemitraan Agribisnis : Konsep, Teori & Realita Dalam Ekonomi Biaya Transaksi. Pusat Penerbitan Lembaga Penerbitan Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hermawan, Prasetyo dan Setiani . 1998. Kemitraan usaha : mampukah menjadi terobosan pemberdayaan usaha kecil . Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian .Buku 1 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Him. 205-214.
Hernanto. 1994. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Huntington, E. 1980. Huntington’s Climatic Theory of Underdevelopment. In I. Vogeler and A. de Souza (eds.) Dialectics of Third World Development, pp. 55-65. Allanheld Osmun, Montclair.
Kadariah, 2001. Evaluasi Proyek : Analisis Ekonomis. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kurniawan, Budi. 2006. Analisis Kelayakan Finansial dan Prospek
Pengembangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Pola Kemitraan di Kecamatan Bahuga Kabupaten Way Kanan. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Lubis, H.R.A., C. Muluk, T. Hutomo, dan Akiyat. 1990. Bahan Tanaman Kelapa Sawit (Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Kelapa Sawit, 23p). Pekanbaru Lubis, Mochtar. 1992. Mencapai Pertanian Yang Lebih Baik. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Maksum dan Etnawatt. 2005. Rencana Pengembangan Sistem Integrasi Sap – Sawit Pada Lahan Perkebunan Di Kalimantan Timur(Prosiding Lokakarya
(5)
Nasional Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Banjarbaru, 22 – 23 Agustus 2005). Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan Bekerjasama Dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Hlm. 157-162.
Maria. 2010. Proposal Penelitian Analisis Pendapatan. Http:// Umbujoka. Blogspot.Com/ 2011 /10 /Proposal-Penelitian-Analisis-Pendapatan.Html. Universitas Nusa Cendana, Kupang. Diakses tanggal 18 Mei 2012. Pukul 17.25
Marta. 2007. Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Wonokerto Kecamatan Bantur Kabupaten Malang. Universitas Brawijaya. Malang.
Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Mudikdjo dan Muladno. 1999. Pembangunan Industri Sapi Potong Pada Era Pasca Krisis . Prosiding Seminar Nasional Petemakan Dan Veteriner. Bogor, 1 – 2 Desember 1998 . Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hlm. 17-26 .
Pahan, Iyung. 2008. Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pakpahan, A. 1990. Permasalahan dan Landasan Konseptual dalam rekayasa Institusi (Koperasi). Makalah disampaikan sebagai Bahan Seminar pada Pengkajian Masalah Perkoperasian Nasional, Badan penelitian dan Pengembangan Departemen Koperasi di Jakarta, 23 Oktober 1990. PSE-Balitbang Deptan. Bogor, 26 halaman.
Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ekonomi dan Keuangan Indonesia: Volume: 37, Nomor: 4. Halaman: 445-464.
Perheoi. 1989. Bahan Rapat Dengar Pendapat Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Dengan Komisi IV DPR RI Tanggal 28 Juni 1989 (Mimeograph).
Ratag. 1982. Dasar – Dasar Pengelolaan Usahatani. Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Ratnawati, Nanik. 2010. Efektivitas Pelaksanaan Kemitraan Kelapa Sawit (Studi Kasus Desa Bumi Aji Lampung Tengah). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Risza, Suyatno. 1994. Kelapa Sawit (Upaya Peningkatan Produktivitas). Kanisius. Yogyakarta.
(6)
144
Sihotang, Benediktus. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Diakses 18 Mei 2012. Pukul 16.25
Sudaryanto dan Pranadji. 1999. Peran Kewirausahaan Dan Kelembagaan (Kemitraan) Dalam Peningkatan Daya Saing Produk Tanaman Pangan . Makalah Disampaikan Pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, Bogor, 22-24 Nopember 1999 . Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 14 Hlm.
Sugiarto. 2001. Teknik Sampling. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. CV Alfabeta Bandung. Sutrisno, Sandra Pratama. 2010. Pola Kemitraan Agribisnis.
Http://Pratamasandra. Wordpress.Com/ 2010/ 02/ 15/ Pola-Kemitraan-Agribisnis/. Diakses 13 Mei 2012. Pukul 15.34
Syukur, S. dan Lubis, A. U. 1989. Perhitungan Bunga untuk Peramalan Produksi Jangka Pendek pada Kelapa Sawit. PPP Marihat. Pematang Siantar.
Tim Penebar Swadaya. 2000. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tim Penyusun. 2010. Profil PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bekri 2010. PTPN VII. Lampung Tengah.
Uphoff, N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.
Utomo dan Anang. 2003. Peluang Kemitraan Antara Lembaga Penelitian Swasta . Prosiding Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner . Bogor, 29-30 September 2003. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Wardoyo. 1990. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian Di Hadapan Para Pengurus Korpri Jawa Timur Di Surabaya. 7 September 1990
Wedastra, Made Suma. 2010. Analisis Ekonomis Agribisnis Sumangka di Kabupaten Lombok Barat.
http://unmasmataram.ac.id/wp/wp-content/uploads/2.-Made-Suma-Wedastra1.pdf. Universitas Mahasaraswati. Mataram. Diakses 17 Juli 2012. Pukul 23.46
Zakaria, Wan Abbas. 2002. Analisis Faktor Lingkungan Agribisnis Keluarga Petani. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Penyuluh Pertanian Kabupaten Lampung Tengah pada Hari Selasa, tanggal 24 Desember 2002 di Aula Pemkab Lampung Tengah di Gunung Sugih. Lampung Tengah.