Kajian Morfologis Bahasa Gaul

c. Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu baru dahulu dulu utpatti upeti 6. Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis tidak banyak. Misalnya: kerikil kelikir jalur lajur brantas bantras Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: Lemari almari dari bahasa Portugis Rabu arba dari bahasa Arab Rebab arbab dari bahasa Arab 7. Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap secara berurutan. Contoh: teladan [teladan] tauladan[tauladan] vokal [e] menjadi [au] topan [tOpan] taufan [taufan] vokal [O] menjadi [au] 8. Monoftongisasi, kebalikan dari diftongisasi, yakni perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap menjadi vokal tunggal. Contohnya: kalau [kalO] [kalo] danau [danau] [dano] satai [satai] [dame] 9. Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi tertentu pada kata untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Misalnya: putra putera [put ∂ra] bahtra bahtera [baht ∂ra] sloka seloka [s ∂loka] Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis: a. Protesis, proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya: mpu empu mas emas b. Epentesis, proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya: kapak kampak sajak sanjak upama umpama c. Paragog, proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya: adi adik hulubala hulubalang Dalam bukunya, Badudu 1983 menjelaskan perubahan bunyi seperti yang diuraikan oleh Muslich 2010 dengan sebutan gejala bahasa. Bahasa Indonesia yang selalu tumbuh dan berkembang secara bebas memiliki beberapa gejala bahasa. Gejala bahasa itu sendiri merupakan peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya. Menurut Badudu 1983 gejala bahasa tersebut, antara lain: 1. Gejala Analogi Analogi dalam bahasa artinya suatu bentukan bahasa yang meniru contoh yang sudah ada. Gejala ini memegang peran penting dalam pengembangan dan pembinaan suatu bahasa terutama bahasa yang sedang tumbuh dan sedang berkembang seperti bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperkaya pembendaharaan bahasa Indonesia. Contohnya, “dewa-dewi”, “putra-putri”. Kata yang berasal dari bahasa Sansekerta ini, pada akhiran katanya menggunaan fonem a dan i dan berfungsi menyatakan jenis kelamin benda yang disebutkan. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah bentukan baru dalam bahasa Indonesia yakni, “saudara-saudari”, “siswa-siswi”, dan sebagainya. 2. Gejala Kontaminasi Kontaminasi adalah suatu gejala bahasa yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kerancuan, yang dalam istilah kata rancu artinya kacau, jadi kerancuan adalan kekacauan. Dalam hal ini, yang dimaksudkan kerancuan tersebut adalah susunan, perserangkaian, dan penggabungan. Misalnya saja dua kalimat yang digabungkan tapi tidak berpadanan, akan menghasilkan kerancuan. 3. Gejala Pleonasme Kata ini berasal dari bahasa Latin Pleonasmus dalam bahasa Grika Pleonazein artinya kata-kata yang berlebih-lebihan. Karena itu, gejala pleonasme yang dalam bahasa berarti pemakaian kata yang berlebih-lebihan, yang sebenarnya tidak perlu. Suatu ucapan yang berlebihan akan disebut pleosnastis. Gejala ini timbul karena beberapa kemungkinan, antara lain: a. Pembicara tidak sadar bahwa apa yang diucapkannya itu mengandung sifat yang berlebih-lebihan. Jadi, dibuatnya dengan tidak sengaja. b. Dibuat bukan karena tidak sengaja, melainkan karena tidak tahu bahwa kata- kata yang digunakannya mengungkapkan pengertian yang berlebih-lebihan. c. Dibuat dengan sengaja sebagai salah satu bentuk gaya bahasa untuk memberikan tekanan pada arti intensitas.