Di akhir wawancara, peneliti bertanya apakah ada saran untuk adik-adik yang akan melanjutkan pendidikan di USU. Vera berharap mereka baik-baik
kuliahnya di sini dan pendidikan mereka lebih tinggi daripadanya. Ia bercita-cita ingin menjadi kepada dinas atau menjadi seorang pengajar.
“Semoga adek-adek itu tidak kayak kami, kalau kami kan baru pertama kali datang nggak ada senior. Kalau aku berharapnya
mereka baik-baik kuliahnya, fokus sama kuliahnya balik ke Papua kalau sudah lulus. Aku mau pendidikan adek-adek di Papua ini bisa
lebih tinggi daripada aku, aku ingin memajukan pendidikan di Papua.”
4.2 Pembahasan
Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut : 1.
Proses komunikasi antarbudaya Komunikasi antarbudaya terjadi apabila pemberi dan penerima pesan
berasal dari budaya yang berbeda. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19. Proses komunikasi yang terjadi antara mahasiswa Papua dan
mahasiswa USU lainnya adalah komunikasi antarbudaya yang mana mereka berasal dari budaya yang berbeda dan membawa budayanya masing-masing ketika
berinteraksi. Semua informan berinteraksi dengan teman kampusnya yang berbeda etnik dan terjadilah pertukaran informasi di antara kedua pihak.
Pada umumnya mahasiswa Papua berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya sangat baik walaupun ada juga salah seorang dari informan yang mengaku
tidak terlalu baik proses komunikasinya yaitu Anet. Ia mengaku teman-temannya di kampus susah menjalin komunikasi untuk urusan materi kuliah seperti tugas
dan menurutnya mereka lebih individual dan tidak mau membagi ilmu dengannya. Tidak hanya dengan teman-teman kampus, bahkan Anet pun kurang bergaul
dengan mahasiswa Papua lainnya. Ia mengaku sudah jarang ikut perkumpulan mahasiswa Papua. Namun begitu ia mempunyai teman di USU tetapi dari fakultas
yang berbeda darinya. Kalau untuk proses komunikasi di asrama, Anet mengaku lebih nyaman bergaul dengan teman-teman asramanya bahkan mereka sering
makan bersama.
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada teori interaksi simbolik yang mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk
dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang
lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Esensi teori ini adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek Mulyana, 2001:
70. Vera satu kampus dengan Anet tetapi ia mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutnya teman-teman kampusnya sangat baik kepadanya bahkan menerima
Vera ketika pertama kali ia tiba di Medan. Ia juga mengaku asik berteman dengan teman-teman kampusnya bahkan teman kampusnya sampai ada yang mengajak
Vera ke kampung halamannya. Hal ini menunjukkan bahwa Vera mempunyai pandangan sendiri terhadap teman-teman kampusnya. Anet dan Vera mempunyai
teman yang sama namun berbeda dalam memaknai simbol. Padahal mereka berada dalam satu lingkungan yang sama dan menjumpai teman-teman kampus
yang sama bahkan mereka satu kelas. Tetapi Anet dan Vera memaknai simbol dari teman-teman kampusnya dengan pandangan yang berbeda.
Peneliti pun mengamati Anet adalah jenis orang yang tidak mudah akrab dan membuka diri dengan orang yang baru dikenal sehingga untuk mencapai
komunikasi yang efektif dengan mahasiswa USU lainnya agak susah sehingga mereka pun tidak mau berdiskusi dengan Anet untuk urusan kuliah. Walaupun
teman-teman kampusnya susah diajak berdiskusi untuk urusan kuliah, tetapi jika saja Anet pandai membawa diri dan mudah bergaul dengan mereka, maka mereka
pun akan dengan senang diajak untuk berdiskusi. Anet harus lebih mendalami bagaimana komunikasi antarbudaya dengan cara memahami dan mengerti dengan
sikap teman-teman kampusnya yang dipengaruhi oleh budaya yang sudah ditanam sejak kecil sehingga pada akhirnya tercapailah komunikasi yang efektif.
Hasil dari wawancara yang peneliti lakukan, 5 informan lainnya mengaku mengalami proses komunikasi terhadap mahasiswa USU lainnya dengan baik.
Awal mereka datang ke kampus, rata-rata informan mengaku disambut dengan baik oleh mahasiswa USU sehingga mereka pun jadi tidak canggung di awal
Universitas Sumatera Utara
kuliahnya. Mereka pun meresponnya dengan baik dan bahkan mereka memiliki teman dekat baik di kampus maupun di asrama yang menandakan bahwa
komunikasi antarbudaya yang terjalin sangat baik. Ketika di asrama, semua informan mengaku lebih dekat dengan teman-teman Papua karena mereka satu
kamar dengan mahasiswa Papua bagi yang putri dan yang cowok kamarnya berdekatan. Namun berbeda dengan Vera yang mengaku senang berteman dengan
siapa saja dan kondisinya yang satu kamar dengan temannya yang juga berasal dari Papua juga tidak membuatnya mejadi lebih cenderung dekat dengan
mahasiswa asal Papua. Apalagi statusnya sebagai kepling blok D asrama putri baru sudah membuktikan bahwa ia mudah bergaul dengan siapa saja sehingga ia
pun diberi kepercayaan oleh warga asrama baru putri USU untuk menjadi kepling. Mereka memilih Vera sebagai kepling pasti karena senang dengan Vera dan kenal.
Jika saja Vera hanya bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari Papua dan tidak membuka diri dengan warga asrama baru putri pasti ia tidak akan ditunjuk
untuk menjadi seorang kepling blok D asrama putri. Terlihat bahwa Vera menjalin proses komunikasi yang baik dengan mahasiswa non Papua dan juga mahasiswa
Papua. Hasil pengamatan yang peneliti lakukan, peneliti mendapatkan fakta
bahwa hubungan yang terjalin antara sesama mahasiswa Papua sangat kompak seperti satu keluarga. Mereka saling membantu jika temannya ada yang kesulitan.
Setiap selesai kebaktian, mereka saling cerita keluh kesah yang dirasakan lalu sama-sama mencari jalan keluar agar mereka bisa nyaman kuliah di USU.
Mungkin karena mereka berada jauh dari orang tua, makanya mereka menjalin sebuah ikatan keluarga sesama mahasiswa Papua.
2. Proses culture shock
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa culture shock adalah kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda
dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial ke sebuah lingkungan baru Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174. Hal inilah yang dialami oleh mahasiswa
asal Papua yang melanjutkan pendidikan di USU khususnya para informan dalam penelitian ini. Kuliah di USU sebagai suatu lingkungan yang baru bagi mereka
Universitas Sumatera Utara
dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan melekat dalam dirinya dan beragam latar belakang budaya yang jauh berbeda membuat mereka
mengalami gegar budaya culture shock. Jika dilihat dari tingkatan-tingkatan culture shock yang dikemukakan
dalam Intercultural Communication Between Cultures Samovar, 2010: 477-478 digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-Curve, maka peneliti
membuat pembahasan sebagai berikut : a.
Fase Optimistik Optimistic Phase Dari hasil wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan, pada
umumnya informan melalui fase ini dimana mereka merasakan euforia dan antusias dalam menyambut suatu kehidupan yang baru. Walaupun semua
informan sebelumnya tidak mengetahui Medan dan beberapa dari informan tidak memilih Medan sebagai kota studi tujuan, tetapi mereka
antusias datang ke Medan. Apalagi dilihat dari letak geografis antara Papua dan Medan yang sangat jauh dan juga semua informan belum
pernah datang ke Medan sehingga rasa ketertarikan dan ingin tahu mereka terhadap Medan menjadi lebih besar. Beberapa informan ada yang merasa
takut ketika pertama kali akan ke Medan seperti Rince yang takut dan kepikiran bagaimana nantinya hidup di Medan karena jauh dari keluarga
dan tidak mempunyai saudara. Namun ada juga informan yang memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap Medan seperti Erius yang sangat
tertarik untuk ke Medan.
b. Fase Masalah Kultural Cultural Problems
Fase ini adalah periode krisis dan masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang seperti yang dialami oleh informan mulai dari kesulitan
bahasa, kehidupan sosial, dan sekolah. Seperti yang dialami semua informan yang tidak biasa dan juga merasa bingung dengan perbedaan-
perbedaan yang ada, seperti bahasa. Semua informan yang peneliti wawancarai merasa asing dan dan berbeda dalam memaknai suatu kata.
Kata-kata yang asing didengar dan tidak dimengerti artinya oleh semua informan adalah kata “nengok” artinya melihat, “enggak” artinya tidak,
Universitas Sumatera Utara
“cemana” artinya bagaimana, “kereta” artinya sepeda motor, “semalam” artinya kemarin. Selain itu semua informan tidak biasa dengan kata
panggilan “kau” yang jika di Papua itu adalah panggilan kasar. Mereka terbiasa menggunakan bahasa baku sedangkan di Medan masyarakatnya
tidak terbiasa dengan bahasa baku. Jadi ketika mereka menggunakan bahasa baku awal tiba di Medan, mahasiswa USU lainnya agak sedikit
canggung mendengar bahasa mereka yang terlalu formal. Kemudian perbedaan lain adalah logat dan cara pengucapan yang kuat
dan kasar, perbedaan nilai. Elius mempunyai kebiasaan jika ia mau makan melakukan sesuatu, dimulai dengan kata “pergi”. Jadi ketika ia mau bilang
ke temannya kalau ia mau makan, ia akan berkata “aku pergi makan dulu ya”. Hal ini biasa ketika Elius mengucapkannya di Papua namun tidak
biasa ketika ia lakukan hal yang sama di Medan. Niko juga mengaku logat di Papua dan disini berbeda. Ia sering mendengar orang mengakhiri
kalimat dengan kata “kan”. Ia mengaku kepada peneliti merasa aneh ketika ada temannya yang mengucapkan hal demikian.
Jika di Medan memanggil senior cowok dengan panggilan “abang” lain halnya di Papua makna dari panggilan “abang” tersebut. Panggilan
“abang” itu ditujukan untuk abang bakso, abang ojek. Kata panggilan ke senior yang biasa mereka gunakan adalah kata “kakak”.
Perbedaan nilai yang dirasakan oleh mahasiswa Papua seperti ketika teman mengajak makan, itu berarti teman tersebut yang akan membayar
makanan orang yang diajaknya. Anet dan Niko pernah mengalami kejadian tersebut ketika temannya ada yang mengajak makan, mereka
berpikiran bahwa mereka akan dibayarin dengan temannya yang mengajak. Ternyata setelah itu mereka dimintai uang untuk membayar makanannya.
Kalau di Papua menyapa seseorang khususnya yang lebih tua adalah hal yang biasa walaupun tidak saling kenal, tetapi ketika Rince lakukan itu di
Medan dia dianggap aneh. Selain itu juga jika mau memanggil orang, kita yang mendatangi orang tersebut tidak dengan memanggil orang tersebut
yang kadang terdengar seperti teriakan.
Universitas Sumatera Utara
Pengalaman culture shock informan bukan hanya di lingkungan kampus, tetapi juga di luar kampus misalnya ketika berurusan dengan
supir angkot dan penjual. Seperti Rince yang mengeluh dan mengaku kaget dengan kasarnya mereka bicara dan harga yang dibuat sesuka hati
oleh penjual. Rince dan Vera juga mengaku tidak nyaman dengan panggilan “Beta” yang menandakan orang Ambon. Mereka mengaku tidak
suka, tidak nyaman bahkan marah dipanggil demikian karena mereka merasa bukan orang Ambon. Namun kemarahannya bisa diatasi karena
mereka tidak ingin ribut disini dan memilih untuk tidak acuh jika ada yang memanggil mereka lagi dengan kata “beta”. Peneliti juga mendapatkan
data culture shock tidak hanya ketika berkomunikasi tetapi juga terhadap cita rasa makanan Medan yang pedas dan juga kurang sehat karena
berminyak dan kurang sayur.
c. Fase Kesembuhan Recovery Phase
Setiap informan memiliki waktu yang berbeda untuk menyembuhkan kakegatan budaya yang dialami. Ada yang mengaku 1 bulan bahkan ada
juga yang sampai dua semester untuk bisa meneriman dengan perbedaan budaya yang ada. Rata-rata informan mengaku tidak lagi mengalami
sesuatu yang terlalu dikhawatirkan, hanya saja mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut. Perlahan-lahan informan menemukan
kenyamanan dan menghargai segala perbedaan sebagai bentuk budaya lain yang patut dihormati.
d. Fase Penyesuaian Adjustment Phase
Fase yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U menandakan bahwa pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya
barunya, termasuk pola komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini pula ada nyaman dan menikmati kondisi yang dihadapi. Semua informan mengaku
sudah mampu beradaptasi bahkan ada yang mengaku kepada peneliti lebih nyaman tinggal di Medan daripada di Papua dan ada keinginan dalam
dirinya suatu saat ingin kembali ke Medan jika sukses nanti. Meskipun
Universitas Sumatera Utara
demikian masih terus berada dalam proses belajar akan budaya di Medan, khususnya bahasa.
Keenam informan mengalami 4 fase yang disebutkan di atas dan semuanya mengaku bahwa mereka nyaman tinggal di Medan. Setiap
informan memiliki waktu yang berbeda untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Ada yang hanya membutuhkan waktu tiga bulan dan
ada juga yang dari semester dua sudah mulai mengikuti kehidupan di Medan.
Reaksi antara individu yang satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi
yang mungkin terjadi, antara lain: 10.
Permusuhan terhadap lingkungan yang baru 11.
Perasaan disorientasi rasa kehilangan arah 12.
Rasa penolakan 13.
Gangguan pada lambung dan sakit kepala 14.
Homesick rindu pada rumah lingkungan lama 15.
Rindu pada teman dan keluarga 16.
Perasaan kehilangan status dan pengaruh 17.
Menarik diri 18.
Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka Samovar, Porter, dan Mcdaniel, 2010: 476-477
Pada umumnya informan mengalami reaksi terhadap culture shock yaitu homesick dan rindu pada teman dan keluarga. Mereka memilih untuk dapat
menyesuikan diri ke lingkungan baru karena mereka sudah mempunyai prinsip ketika lulus program afirmasi mereka harus berjuang di USU dan pantang pulang
sebelum menyelesaikan pendidikannya. Namun begitu ada juga informan mengaku tidak terlalu rindu kepada keluarga seperti Elius dan Anet. Pada awal
wawancara Elius mengaku ia tidak rindu kepada keluarganya, namun setelah peneliti tanyakan lagi baru ia menjawab ia rindu keluarga. Hal ini disebabkan
mereka berdua dari SD sudah merantau dan berpisah dari orang tuanya sehingga mereka sudah terbiasa tinggal jauh dari orang tua. Peneliti pun sempat kaget
dengan jawaban mereka yang mengaku tidak rindu pada keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Erius sempat mengalami rindu keluarga bahkan sampai nangis ketika berbicara dengan abangnya via telepon. Pada saat itu Erius mengalami musibah
dan itu membuat Erius menangis karena tidak ada di sana. Tetapi tidak ada keinginan yang terlalu berlebihan untuk ia pulang ke Papua, ia berpikir sudah
mempunyai tanggung jawab disini yaitu menyelesaikan kuliahnya baru ia bisa kembali ke Papua.
3. Upaya mengatasi culture shock
Pada tahap inilah individu dapat menjadi manusia yang disebut “manusia antarbudaya” yang memahami berbagai budaya, mampu bergaul dengan orang-
orang dari berbagai budaya lain, tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya sendiri Mulyana, 2007: 249.
Penelitian ini didapatkan hasil bahwa informan mengatasi culture shock dengan belajar dari si pemilik budaya, yakni tuan rumah yaitu orang Medan itu
sendiri namun tidak meninggalkan nilai-nilai budayanya. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya mereka menyesuaikan diri dengan memakai gaya
bicara orang Medan pada umumnya dan ketika berinteraksi dengan sesama mahasiswa Papua dan keluarga mereka kembali menggunakan gaya bicara orang
Papua. Informan ini belajar bagaimana mengikuti logat batak dan karakteristik orang Medan yang dikenal dengan kasar dan keras. Bahkan Vera dan Niko pernah
ditegur oleh keluarganya karena memakai logat Medan dan nada yang sedikit keras dan kasar ketika sedang berbicara lewat telepon. Mereka sendiri tidak sadar
telah memakai logat batak jika tidak ditegur oleh keluarganya karena seseorang akan belajar dari lingkungan sekitar agar dapat diterima di limgkungan tersebut.
Gaya bicara adalah salah satu dari nilai budaya. Informan membuka diri untuk bergaul dengan tuan rumah dan semua orang dengan tidak mempedulikan asal ia
berasal. Informan juga bisa belajar dari pengalaman yang bisa dijadikan guru yang paling baik informan dalam memahami budaya baru yang mereka hadapi. Setelah
mengetahui cara-cara untuk menyesuaikan diri, informan harus cepat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar kenyamana juga cepat dicapai.
Salah satu informan, Niko memilih untuk tidak memakan makanan yang pedas karena perutnya menolak makanan pedas. Ada juga informan lain yang pelan-
pelan membiasakan makan pedas hingga akhirnya ia bisa memakan pedas.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa asal fakultas informan juga berpengaruh dalam proses penyesuaian diri. Mahasiswa asal Fakultas Pertanian
cenderung lebih kompak dibanding mahasiswa fakultas lainnya. Mungkin karena di pertanian diajarkan kekompakan, mereka pun mahasiswa asal Papua yang
mengambil fakultas pertanian berbaur dengan mahasiswa lainnya karena mereka mempunyai kelompok belajar. Faktor komunikasi personal, komunikasi sosial dan
lingkungan juga turut mempengaruhi. Komunikasi personal seperti struktur kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang dimasukin, self image si
informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu pada kemauan pendatang untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru.
Lalu komunikasi sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan orang- orang dan juga lingkungan Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian tentang culture shock pada mahasiswa asal Papua di Universitas Sumatera Utara USU, maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Para mahasiswa asal Papua dapat berinterakasi dengan baik dengan
mahasiswa USU lainnya dan mereka tidak pilih-pilih dalam berteman bahkan mereka sudah mempunyai teman dekat di kampus walaupun
seperti Rince mengaku mempunyai teman dekat yang berbeda fakultas dengannya tetapi sama-sama kuliah di USU.
2. Seluruh informan melalui keempat fase dalam culture shock, yakni fase
optimistik, fase masalah kultural, fase penyembuhan dan fase penyesuaian. Untuk mencapai fase penyesuaian, setiap individu memiliki waktu yang
berbeda. Ada yang satu semester sudah bisa menyesuaikan diri ada juga yang semester tiga baru bisa mengikuti kehidupan di Medan.
3. Culture shock yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya
ialah terhadap bahasa, kuat dan kasarnya cara orang Medan berbicara, karakteristik orang Medan dan juga beberapa perbedaan nilai-nilai. Dari
seluruh perbedaan, bahasa yang dianggap menjadi persoalan dalam berkomunikasi. Dari penelitian ini, peneliti memperoleh temuan mengenai
culture shock yang dialami informan di luar interaksi komunikasi antarbudaya, yakni makanan. Rata-rata reaksi terhadap culture shock yang
dialami adalah rindu pada rumahlingkungan lama homesick dan seperti sakit perut karena tidak cocok dengan makanan yang ada.
4. Faktor personal seperti watakkepribadian, pengalaman sebelumnya,
pengetahuan dan juga motivasi, serta komunikasi sosial yaitu intensitas interaksi dengan tuan rumah dan lingkungan juga mempengaruhi proses
adaptasi
. 5.
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya dalam menanggulangi culture shock menuju suatu penyesuaian diri, yakni memegang prinsip sebagai
mahasiswa yang lulus program afirmasi dan mempunyai tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara