“Saya sekarang sudah terbiasa dengan watak orang Medan yang keras dan kasar. Saya sudah mulai beradaptasi tinggal di Medan
abis semester 1 nggak kayak dulu lagi. Kalau dulu kan suka takut- takut gitu misalnya takut dibentak-bentak. Kalau konflik tidak ada.
Kami hanya positif saja, nggak ada macam-macam”
4.1.3.2 Informan 2
Nama : Elius Pasi
Tanggal Wawancara : 14 Mei 2014
Waktu Wawancara : 13:21 - 14.29 WIB
Tempat Wawancara : Halaman Biro Rektor USU
Elius Pasi atau yang biasa disapa Elius adalah seorang mahasiswa jurusan peternakan di fakultas pertanian USU. Elius merupakan informan kedua yang
peneliti wawancarai. Lelaki yang mengambil jurusan peternakan ini adalah sosok orang yang ramah dan murah senyum. Ketika wawancara berlangsung, Elius
sempat terlihat gugup sehingga membuat peneliti juga ikut gugup. Seperti pada informan sebelumnya, peneliti juga memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan penelitian sebelum mewawancarai beliau. Peneliti mengawali wawancara dengan menanyakan biodata Elius. Anak kedua dari 4 bersaudara ini
sudah merantau sejak SD dan meninggalkan orang tuanya. Alasannya merantau adalah karena tidak ingin membebani ekonomi orang tuanya untuk
menyekolahkannya. Elius mempunyai seorang abang yang juga sedang kuliah mengambil jurusan keperawatan, adik perempuan yang tahun ini akan masuk
SMP dan adik cewek yang paling kecil tinggal bersama orang tuanya. Ia mempunyai kegemaran bermain bola kaki dan juga bola voli. Ketika wawancara,
peneliti melihat Elius membawa sepeda motor. Karena rasa penasaran, peneiti pun bertanya motor siapa itu. Ternyata itu adalah motor teman kuliahnya yang sedang
main di asramanya. Peneliti menilai bahwa Elius adalah orang yang pandai berteman buktinya temannya mau meminjamkannya sepeda motor untuk
wawancara. Elius datang ke Medan karena mengikuti program afirmasi beasiswa yang
khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat. Tidak
Universitas Sumatera Utara
disangka ternyata Elius mengikuti program ini dan sampai di Medan sekarang karena kebetulan saja. USU bukanlah pilihan satu-satunya Elius untuk
melanjutkan studi. Ia juga memilih IPB sebagai kampus pilihannya. Ketika dinyatakan lulus dikedua tempat tersebut, Elius pun memilih USU sebagai
universitas tujuannya melanjutkan pendidikan walaupun sebelumnya tidak tahu sama sekali menenai USU dan juga Medan.
“Oh itu secara kebetulan, tiba-tiba ada program ini, saya isi formulirnya maksudnya tuh saya lulus dua-duanya di IPB sama
USU. Yah saya pilih di Medan laa. Tapi saya belum tau sebelumnya dan ternyata jauh dari Papua juga.”
Memilih di antara dua pilihan bukanlah perkara yang mudah namun tidak begitu bagi Elius ketika diharuskan memilih antara USU dan IPB. Letak IPB yang
lebih dekat dengan Papua merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan Elius. Tetapi dengan santainya Elius mempunyai jawaban sendiri kenapa
ia lebih memilih USU yang letaknya di Medan daripada IPB yang letaknya di Bogor.
“Begini alasannya simpel aja. Saya ingin tahu Medan tuh seperti apa orangnya. Kalau jauh memang sebetulnya lebih jauh, tapi ingin
tahu Medan dan USU itu sepeti apa jadi aku pilihlah USU. Awalnya saya milih di IPB.”
Ini adalah kali pertama bagi Elius datang ke Medan dan ternyata sebelumnya ia juga tidak terlalu mengetahui Medan itu letak persisnya dimana.
Elius hanya mengetahui pulau sumatera saja tanpa mengetahui kota Medan itu dimana.
“Belum tahu. Cuma saya tahu pulau saja, tapi sumatera tapi Medan letaknya dibagian mana .”
Elius berangkat ke Medan pada tanggal 3 September. Pada saat itu ada 3 gelombang yang diberangkatkan, dan Elius masuk ke gelombang ketiga. Ketika
pertama kali sampai di Medan ada rasa takut yang muncul dalam diri Elius
Universitas Sumatera Utara
bagaimana nanti berinteraksi dengan teman-teman kampusnya yang baru dan juga menghadapi dosen. Tanggapan pertama Elius terhadap kota Medan adalah
masyarakatnya ngomongnya kasar tetapi hatinya lembut. Sebelumnya ia belum pernah menghadapi orang yang bicaranya agak kasar. Pada saat di Medan ia
bertemu dengan teman-teman yang ngomongnya kasar tetapi hatinya baik. Tetapi setelah beradaptasi Elius pun mulai terbiasa dengan keadaan Medan.
“Emang kalau sebelumnya takut, jumpa sama dosen dengan teman- teman itu gimana. Tapi setelah beradaptasi itu uda terbiasa. Butuh
waktu 3 bulan lebih saya beradaptasi kak. Lingkungan sama terhadap orang. Orangnya juga orang batak, namanyanya juga
orang batak jadi ngomongnya kasar juga padahal hatinya itu lembut iya. Yang belum pernah saya hadapi yang belum pernah saya kenal
orang-orang yang bicaranya agak kasar ngomongnya. Pada saat di Medan baru jumpa dengan teman-teman yang ngomongnya kasar
tapi hatinya baik.
Interaksi Elius dengan teman-teman kampus terjalin sangat akrab. Tidak ada perbedaan yang terjadi di antara mereka karena Elius berasal dari timur.
Semua teman-teman kampusnya menyambut kedatangan Elius dengan tangan terbuka. Meski begitu ada perasaan gugup ketika pertama kali datang ke kampus
yang masih lingkungan baru bagi seorang Elius. Ketika peneliti menyebutkan kata “deg-degan” Elius agak sedikit berpikir. Ternyata di Papua itu kalau mau
ngomong kata “deg-degan” itu adalah dug-dag. “Oh dug dag yaa, kalau dug dag pasti ada. Mereka welcome semua.
Itu kalau di kampus paling akrab lah, nggak ada perbedaan kamu ini dari timur nggak ada.”
Elius bagaikan seorang bintang film ketika sedang berada di ruangan kelas. Banyak dosen yang mengenal Elius karena jarang-jarang ada mahasiswa asal
Papua di USU. Apalagi Elius adalah angkatan pertama dari program afirmasi ini, jadi masih ada rasa penasaran dalam diri dosen ada apa mahasiswa asal Papua ini
datang ke Medan. Jadi pada saat awal-awal kuliah, Elius selalu ditanyai oleh dosen yang masuk ke kelas yang Elius ambil ada alasan apa ia ke Medan jauh-
jauh dari Papua. Elius pun langsung menjawab bahwa ia ke Medan karena mengikuti beasiswa afirmasi yang khusus untuk putra-putri asal Papua dan Papua
Barat dan ia ditempatkan di USU. Selama masa perkuliahan Elius pernah
Universitas Sumatera Utara
mengalami kendala yang dikarenakan suara dosennya yang pelan dan logat medannya ketika berbicara sehingga ia tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Kalau dosen-dosen salut. Kalau di ruangan macam bintang film istilahnya. Jadi dosen-dosen banyak yang kenal saya. Mereka juga
sering bertanya kenapa kamu kesini? Selalu ditanyain kalau didalam ruangan. Terus saya jawab untuk beasiswa. Kebetulan
pemerintah tempat kan saya disini. Ada, kalau dosennya suaranya pelan dan logat medannya jadi nggak bisa dengar dia”
Semua mahasiswa asal Papua tinggal di asrama putra USU yang merupakan kebijakan dari biro rektor. Ia tinggal di lantai 2. Baginya semua
hubungan dengan teman-teman asrama baik-baik semua dan Elius berteman dengan semua penghuni asrama walaupun mereka berasal dari asal dan suku yang
berbeda. Bahkan di asrama pun Elius mempunyai teman dekat. “Kalau di asrama baik-baik semua itu. Saya tinggal di lantai 2. Ada
cuma teman baik dikampus. Kalau di asrama ada juga.”
Elius tidak pernah memilih dalam berteman, ia berteman dengan semuanya tidak melihat dari suku dan asal seseorang berasal. Bahkan walaupun ia berasal
dari Papua, ia tidak selalu berteman dengan teman-teman seperjuangannya dari Papua, tapi ia berteman dengan semuanya dan biasanya ketika lagi berkumpul
dengan teman-teman asal Papua mereka menggunakan bahasa Indonesia. “Imbang berteman dengan mahasiswa Papua dan non Papua.
Biasanya menggunakan bahasa Indonesia kalau lagi ngumpul dengan mahasiswa Papua lainnya.”
Papua yang berada di ujung timur Indonesia dan Medan yang terletak di ujung bagian barat membuat adanya perbedaan bahasa dalam komunikasi sehari-
hari. Ada beberapa kata yang tidak dimengerti oleh Elius bahkan ia pernah mengalami kendala bahasa selama tinggal di Medan. Hal ini dikarenakan mereka
di Papua terbiasa menggunakan bahasa baku sedangkan di Medan terbiasa menggunakan bahasa yang lebih informal dan ada logat juga jargon tersendiri
yang berkembang di Medan. Ada beberapa kata yang tidak dimengerti oleh Elius misalnya kata “enggak” yang jika di Papua mereka menggunakan kata “tidak” dan
Universitas Sumatera Utara
juga kata “nengok”. Awalnya ketika pertama kali mendengar kata “nengok” Elius sempat bingung dan tidak mengerti arti dari kata tersebut. Tetapi setelah
dijelaskan oleh temannya baru ia mengerti maksud dari kata “nengok”. Ada juga bahasa Medan yang tidak dimengerti seperti “cemana” yang artinya adalah
bagaimana. “Ada juga kak. Kami kan pakai bahasa baku. Waktu kami datang kesini
logatnya sudah beda dia misalnya “enggak” kalo kami “tidak” terus “nengok-nengok” “cemana”.
Selama dua tahun tinggal di Medan, Elius belum pernah pulang sekalipun ke Papua. Biasanya ia menghabiskan liburannya ke kampung halaman teman
kampusnya. Ia sering diajak oleh teman kampusnya ke kampung halaman mereka. Ia mengaku rata-rata hampir semua sudah dijalani mulai dari daerah Dolok
Sanggul, Toba bahkan daerah Karo. “Biasanya ke kampung teman, daerah dolok sanggul, daerah toba
sana, daerah karo. Diajakin teman kampus, udah dijalanin semua rata-rata Medan ini. Cuma kepala aja yang belum aku pijak,”
Tinggal jauh dari orang tuanya tidak membuat Elius merasakan rindu kampung halaman. Elius mengaku ia memang merasa sedih dan ada rasa kangen
terhadap orang tuanya tapi letak geografis antara mereka sudah terlalu jauh makanya Elius sebisa mungkin menghapus rasa rindu terhadap orang tuanya.
Elius sudah merantau sejak duduk di sekolah dasar. Alasannya merantau karena ia tidak ingin membebani orang tuanya dengan masalah ekonomi dimana orang
tuanya harus memikirkan biaya untuk dirinya sekolah. Ia punya prinsip selagi masih muda ia mau mencoba segalanya. Kadang orang tuannya sering
menghubungi Elius melalui telepon, tetapi Elius menjelaskan dan meminta ke orang tuanya untuk tidak menghubungi terlebih dahulu karena takut mengganggu
dan membebani orang tuanya. Tak jarang juga saat Elius rindu dengan orang tuanya dia mau memulai menghubungi orang tuanya untuk sekedar menanyakan
kabar. “Nggak ada. Saya dari SD merantau berpisah dari orang tua. Saya
SMP di Wamena juga tapi tidak serumah tinggal dengan orang.
Universitas Sumatera Utara
Cuma jumpa sama orang tua 4 kali pas dari SMP SMA. Memang sedih orang tuanya tapi yaa apa boleh buat sudah jauh letak
geografis. Nggak pernah. Alasan saya berpisah dengan orang tua sayang nanti orang tua terganggu, kepikiran, membebani pikiran.
Prinsip saya begini kak. Saya malas membenai orang tua saya. Saya jarang komunikasi dengan orang tua. Sering mereka telpon, tapi
saya bilang jangan dulu telpon. Memang saya rindu kalian, saya tau kamu rindu saya tapi tunggu dulu saya tidak mau mengganggu kamu.
Makanya semenjak saya berpisah dengan orang tua sejak SMP SMA, semenjak SMA pun belum pernah jumpa. Cuma jumpa sama orang
tua 4 kali, terus telponan semenjak saya di Medan cuma 4 kali.
Selama dua tahun di Medan, Elius pernah mengalami kendala bahasa seperti perbedaan makna dan logat yang dipakai di Medan. Komunikasi di Papua
biasa menggunakan bahasa baku sedangkan disini tidak. Selain itu disana jika ingin makan, mereka terbiasa mengucapkan kata “pergi” sebelum kata kerja
utama. Misalnya Elius mau makan, dia akan mengatakan “Aku pergi makan dulu ya.” Begitu juga jika Elius mau main bola. Dia akan mengatakan “Saya pergi
main bola dulu ya.” Sedangkan di Medan jika kita mau makan cukup berkata “Aku makan ya” tanpa ada kata “pergi”.
Ketika pertama kali datang ke Medan Elius merasa sendiri tidak ada saudara disini namun yang ia andalkan adalah teman-teman yang juga kuliah di
USU. Namun setelah masuk ke kampus Elius senang melihat sambutan teman- temannya yang baik. Sempat awalnya takut salah bicara karena Elius tidak tahu
cara bicara di Medan seperti apa. Tapi sekarang ia sudah bisa mengatasi kecemasannya.
“Ada, logat bahasa itu kak. Kalau kami disini pertama kali kan pakai bahasa baku, terus saya ngomong dengan mereka pakai
bahasa baku, tapi itu dia ada yang nggak sesuai waktu ngomong dengan teman-teman disini. Makanya kadang disitu ada
kesalahpahaman juga. Contohya, kalau saya suruh teman beli makanan “eh kawan tolong kau pergi beli makan dulu” nah itu dia
bingung apa itu “pergi” terus ada lagi kak “saya pergi main bola” dia bingung. Itu kan maksudnya aku mau pergi main bola. Pertama
kami datang dari Papua, saya merasa sendiri nggak ada kawan tapi yang saya andalkan itu teman-teman yang seberangkatan, itulah
bagian dari keluarga saya. Setelah dari orang birek diarahkan ke fakultas sampai ke masing-masing jurusan. Teman-teman itu saling
berbaur, jadi disitu saya nggak merasa sendiri dan saya mendapatkan teman-teman lebih dari yang sebelumnya pernah saya
lihat. Terus abang-abang senior juga, salut kak. Yang saya takut
Universitas Sumatera Utara
pertama kali itu kak, cara ngomongnya. Tapi takut ini bukan sampai sekarang yaa kak itu waktu pertama kali. Terus cara abang-abang
di pertanian ngomong beda dengan fakultas lain. Senioritas di FP itu tinggi, semenjak saya masuk junior gak pernah intip senior,
kemana junior pergi harus tunduk. Itu yang saya takuti disitu. Jadi waktu saya angkat kepala intip melihat senior, ditunjangi kami kak.
Eh tunduk kau botak, cuma cakap-cakap aja kak nggak fisik.”
Informan 3
Nama : Anet Kobak
Tanggal Wawancara : 14 Mei 2014
Waktu Wawancara : 15:30 – 16.35 WIB
Tempat Wawancara : Kantin FIB USU
Anet kobak atau yang biasa disapa Anet adalah seorang mahasiswa jurusan sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya USU. Anet merupakan informan
ketiga yang peneliti wawancarai. Sebelum wawancara berlangsung, peneliti melihat bagaimana interaksi Anet di kampus. Peneliti menilai Anet adalah
seorang pribadi yang pendiam dan agak sedikit menutup diri. Sepertinya ia tidak terlalu dekat dengan teman-teman kampusnya. Ia lebih sering sendiri kalau mau
pergi kemana-mana. Anet mempunyai pelafalan yang agak sedikit berbeda. Bahkan tak jarang peneliti menanyakan kembali jawaban yang baru saja ia
ceritakan karena pelafalan yang kurang jelas. Pernah ketika Anet mengucapkan kata “ajak” peneliti menangkap kalau Anet mengatakan kata “ayak”. Setelah Anet
ucapkan lagi dan peneliti menyambung kata tersebut agar menjadi sebuah makna baru peneliti sadari bahwa ia mengucapkan kata “ajak”.
Seperti pada informan sebelumnya, peneliti juga memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian sebelum mewawancarai beliau. Peneliti mengawali
wawancara dengan menanyakan biodata Anet. Lelaki yang bercita-cita ingin menjadi guru bahasa Indonesia ini, mengaku ikut program ini karena tidak punya
uang untuk melanjutkan pendidikannya dan juga di Papua banyak yang ketinggalan. Pilihannya untuk melanjutkan pendidikan di Medan tidak didasari
karena suatu alasan yang mendasar. Pada saat kumpul berkas, panitia lokal yang menentukan Anet masuk di kota studi Medan khususunya USU. Sebelumnya Anet
tidak tahu sama sekali mengenai kota Medan bahkan anet berpikir bahwa Medan adalah negara lain dan Sumut adalah Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
“Saya punya cita-cita menjadi guru pas SMA sebelum masuk SMK. Waktu itu saya mau masuk kuliah tapi tidak punya uang. Selain
Satra Indonesia saya juga pilih ekonomi dan pertanian tetapi disini sastra Indonesia lulusnya. Karena disana Papua banyak
ketinggalan, saya juga banyak ketinggalan, tapi kan putra-putri Papua suruh daftar baru saya masuk program ini. Aku memang dari
pertama itu saya ikut tempat yang ini tidak tahu. saya juga pikir Medan ini negara lain dan Sumut adalah indonesia. Memang
awalnya saya tidak tahu cuma dibilang saya di Sumatera saja waktu kumpul berkas saya ditempati di Sumut itu USU. Saya tanya di
sumatera itu namanya apa, trus panlok nya bilang USU.” Setelah bertanya mengenai alasan Anet ikut program beasiswa ini, peneliti
pun bertanya bagaimana interaksi Anet dengan teman-teman kampus. Anet mengaku ia merasa kurang nyaman di kelas dan berkata bahwa teman-teman
kampusnya sombong-sombong. Baginya teman-teman di kampus kurang kompak untuk urusan kuliah tetapi kalau untuk urusan pergaulan sehari-hari baik. Namun
begitu Anet juga tidak pilih-pilih teman dalam bergaul, ia berteman dengan semuanya. Hal ini dikarenakan dari kecil ia sudah merantau dan terbiasa dengan
teman yang berbeda asal dengan dirinya. “Kalau untuk pergaulan biasa ya aman. Tapi kalo masalah mata
kuliah, tugas kalau di fakultas lain teman-teman itu kompak. Kalau di sastra mereka tidak begitu, abang-abang yang sudah tamatpun
sendiri-sendiri. Disini nggak kuat dan nggak kompak. Kalau di pertanian kan abang-abang dari stambuk 2006, 2007 mereka
kompak. Tidak enak. Kalau teman untuk makan biasa ya begitu, kalau masalah tugas nggak enak. Jadi saya belajar sendiri disini.
Kalau yang gampang-gampang saya dapat bisa saya kejar tapi kalau yang susah dapat, ya saya mau tanya juga mereka susah.
Bahkan mereka bilang tidak tahu. Di sastra Indonesia ini kalau teman untuk senang-senang ada, tapi kalau masalah tugas susah.
Saya juga bertanya-tanya kenapa disini tidak kompak? jadi senior bilang disini memang dari dulu seperti begini kurang kompak.
Mereka sombong-sombong, seperti yang saya bilang tadi mereka kalau diajak untuk senang-senang enak, tapi kalau sudah masalah
tugas banyak yang nggak mau kasih tahu. Saya sudah dari kecil merantau, saya begini-begitu pilih-pilih teman tidak pernah. saya
bergaul dengan siapa saja.”
Beda dengan teman kampus beda pula dengan teman-teman di asrama. Bagi Anet teman asramanya baik-baik dan mereka seperti satu keluarga walaupun
berasal dari daerah yang berbeda bahkan mereka sering makan bersama. Kalau
Universitas Sumatera Utara
untuk pergaulan sehari-hari, Anet tidak cenderung lebih sering berbaur dengan mahasiswa asal Papua maupun yang non Papua. Bahkan sekarang Anet jarang
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa asal Papua. Anet lebih sering bergaul dengan abang-abang yang berasal dari kampus yang berbeda.
“Baik-baik. Di asrama orangnya lebih baik-baik. Kita satu keluarga di asrama walaupun berasal dari berbeda. Makannya juga bareng-
bareng. Kalau saya pergaulan lihat dulu orangnya. Waktu semester dua memang ikut, kita punya komunitas di jalan dr.mansyur tapi
sekarang saya sudah jarang ikut. Kalau putar-putar jalan-jalan saya tidak pernah ikut. Saya pernah ikut dengan abang-abang yang
sudah orang sini, bukan abang yang dari kampus sini tapi dari luar kampus.”
Anet penasaran ketika pertama kali akan ke Medan dan tidak ada rasa takut sama sekali. Walaupun sebelumnya ia tidak tahu sama sekali mengenai
Medan bahkan ia berpikir kalau Medan adalah negara lain dan sumatera di Indonesia. Ada yang bilang bahwa Medan dekat dengan laut ternyata setelah
sampai disini baru Anet tahu kalau Medan jauh dari laut. Ketika peneliti tanya bagaimana tanggap Anet terhadap orang Medan ia menjawab kalau orang Medan
itu kasar tetapi baik. Ia menilai orang Medan dan orang Papua hampir sama seperti kalau satu marga berarti saudara dan di Papua menganut sistem marga
yang sama juga. Ternyata Anet mempunyai saudara di Medan bernama Yotam yang kuliah di sekolah kebenaran kristen. Mereka tidak satu darah, tetapi karena
kesamaan marga maka Anet menganggap Yotam sebagai saudaranya. “Penasaran. Enggak ada rasa takut. Ada yang bilang tinggalnya
dekat-dekat laut, baru saya lihat disini jauh kota dari laut. Saya pikir Medan itu negara lain dan Sumatera di Indonesia. Orang
Medan baik baik, kasar sih tapi baik. Orang Medan sama dengan orang Papua, cara makannya sama. Pikiran begitu tidak ada, saya
senang-senang saja saya tidak merasa begitu. Saya tidak pikirkan bagaimana orang Medan ini. Ada, saya punya saudara sini tulang
saya “om”, sudah tahun 2009 dia datang namanya Yotam, tapi dia bukan USU ini. Dia sudah masuk sekolah kebenaran kristen
semacam theologia, dia mau tamat tahun ini. Saya bilang om berarti om saya sesungguhnya itu dikampung, Kalau sama marga dengan
saya berarti semua itu om, tapi kita satu kampung semua. Yotam ini sama marganya dengan saya, jadi itu berarti om saya walaupun
bukan om kandung.”
Universitas Sumatera Utara
Setelah dua tahun tinggal di Medan, Anet merasa tidak pernah ia merasakan jenuh di Medan. Waktu seperti cepat berlalu baginya dan ia merasa
nyaman tinggal di Medan. Namun ada juga pengalaman yang kurang menyenangkan dialami Anet. Baginya bahasa yang biasa dipakai di Medan itu
tidak baik seperti panggilan kata “kau”. Pernah ia hampir marah dengan temannya karena panggilan kata “kau” namun setelah diberi penjelasan akhirnya Anet pun
mengerti. Anet adalah tipe orang yang jika sedang marah langsung dikeluarin amarahnya namun hari itu juga selesai tanpa menyimpan menjadi dendam. Untuk
masalah makanan, ia sudah terbiasa dengan makanan Medan walaupun ia mengaku makanan disini tidak sehat karena kurang sayur-sayuran dan
makanannya yang berminyak. Kalau di Papua walaupun makanannya ubi tapi tetap ditambahkan sayur sebagai makanan pokok.
“Aku tidak merasa begitu, aku tidak merasa bosan disini, hari waktu cepat berlalu. kalau di Papua mungkin karena dari SMA jadinya
saya sudah bosan. Saya merasa nyaman tinggal di Medan nggak pernah merasa bosan. Di medan ada bahasa yang tidak baik.
Contohnya “kamu” itu sering dipanggil “kau”. Saya harus memakai logat-logat Medan karena biar bisa dimengerti oleh teman-teman.
Pernah saya diginiin “apa kau?” suatu hari saya marah juga. Kenapa sih bilang “kau”. Terus saya marah, dan orang itu bilang
kalo di Medan itu biasa bilang “kau”. Kalau di Papua saya sudah berantam kata-kata “kau” itu tidak baik. Itu kalau di Papua sudah
kasar kali. Kata-kata orang yang tidak ngomong yang diucapkan temen atau abang-abang senior. Saya marahnya pada saat itu aja,
terus keluar dari situ saya sudah tidak ingat lagi. Tidak pernah, tapi saya kasih tahu ke mereka kalau itu kasar bagi saya. Kalau
sekarang sudah terbiasa dengan kata “kau” tapi kalau di Papua tidak boleh. Aku kata “tidak” juga nggak ngerti. Kalau mau bilang
“enggak” enggak bagi saya. Bagi saya makanan medan tidak sehat, sayur-sayurannya kurang. Disana banyak buah-buah sayur-sayuran
tapi kalau disini sayurnya kol, wortel sama buncis tidak ada sayur labu, ubi kita lebih banyak makan sayur disana karena orangnya
sehat dan juga makanan disini banyak yang berminyak. Itu dulu kalau sekarang sudah terbiasa. Dari semester dua sampai sekarang
sudah terbiasa dengan makanannya. Kalau pagi ubi dengan sayur, siang baru makan nasi kalo malam mau makan sayur ubi terserah.
Mereka tidak tentu karena punya hasil beda-beda”
Anet tidak pernah rindu kampung halamannya walaupun selama liburan ia tidak pernah pulang ke Papua karena dari kecil ia sudah biasa merantau. Keluarga
yang ia rindukan hanya abangnya saja karena sejak SMK ia tinggal dengan
Universitas Sumatera Utara
abangnya. Anet terakhir berjumpa dengan orang tuanya ketika kelas 4 SD dan sampai sekarang belum pernah ketemu. Bahkan tidak ada keinginan Anet untuk
berjumpa dengan orang tuanya karena dari SMP sampai SMK abangnya yang mendorong Anet untuk melanjutkan pendidikan.
“Aku tidak rindu karena dari kecil sudah merantau. Rindunya dengan abang aja karena dari SMK saya sudah tinggal dengan
abang, tapi kalau dengan orang tua saya tidak rindu karena dari kecil sudah merantau. 11 tahun sudah tidak bertemu orang tua. SD
kelas 4 SD saya tidak jumpa. Tidak, karena abang saya mendorong saya terus dari SMP sampai SMK.”
Ada perbedaan yang Anet rasakan hidup di Medan dan hidup di Papua.
Ada satu kejadian lucu yang cukup menggelitik peneliti. Anet pernah diajak makan oleh temannya namun ia bayar sendiri. Jadi di Papua itu siapa yang
mengajak makan, berarti dia lah yang bayar makanan tersebut. Selain itu baginya orang Papua itu gigih-gigih, walaupun sifat jeleknya adaah emosian. Namun
mereka tidak menjadikan suatu masalah sampai dibawa-bawa menjadi dendam. Kalau di Papua jika ada lalat hinggap di makanan, makanannya tidak boleh
dimakan lagi karena lalat adalah sumber penyakit. “Saya pikir orang-orang di Medan sama dengan orang di Papua,
suaranya tapi perbedaannya itu sifat-sifatnya. Kalau kita abang- abang yang sudah selesai kuliah, saya disini sudah berapa kali
diajak makan dengan teman, terus mereka bayar tapi mereka minta ganti, dia yang ajak makan tapi bayar sendiri-sendiri. Kalau di
Papua siapa yang ajak makan dia yang bayarin makannya. Misalnya ada orang-orang duduk, terus saya bilang ayok makan, itu
berarti saya yang bayar. Makanya tadi waktu kakak suruh makan, saya takut nanti saya yang bayarin sendiri. Itu pernah kejadiannya
waktu semester satu. Saya sudah pernah kasih tahu aku bilang makan berarti saya yang bayar tapi sekarang pun saya bilang, aku
kalau masalah makanan saya bilang makan berarti itu saya yang bayar. Terus selain itu orang Papua itu gigih-gigih, terus orangnya
emosian tapi disitu juga hilang nanti seterusnya udah nggak ingat lagi. Kalau di Papua ada lalat di makanan nggak mau dimakan lagi,
karena itu penyakit. Itu aturannya di papua kalau udah kena lalat dibuang makanannya.”
Sebagai penutup wawancara, peneliti meminta Anet untuk memberikan saran kepada junior yang akan melanjutkan kuliah di USU. Anet berpesan agar
Universitas Sumatera Utara
kuliah yang rajin jangan suka bolos. Lalu jika ada di ajak oleh orang yang tidak dikenal jangan mau ikut.
“Kita bagi-bagi ilmu, pengalaman di kampus. Waktu adik-adik 2013 datang saya mengajarkan kalau orang disini memang orangnya
baik-baik, tapi ada juga yang jahat. Jangan suka-sukamu hidup disini, kalau diajak orang yang tidak dikenal dengan baik jangan
ikut. Jangan suka bolos kuliah, itu kan penilaiannya dari situ.”
Informan 4
Nama : Erius Yigibalom
Tanggal Wawancara : 17 Mei 2014
Waktu Wawancara : 13:55-14.50 WIB
Tempat Wawancara : Penang Corner
Erius Yigibalon atau yang biasa disapa Erius adalah seorang mahasiswa jurusan agribisnis di fakultas pertanian USU. Erius merupakan informan keempat
yang peneliti wawancarai. Seperti pada informan sebelumnya, peneliti juga memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian sebelum mewawancarai
beliau. Peneliti mengawali wawancara dengan menanyakan biodata Erius. Erius adalah seorang pria yang sangat ramah, baik, dan pembawaannya
lembut. Erius mengucapkan huruf “j” terdengar seperti huruf “y” yang kadang- kadang membuat peneliti bingung ketika wawancara sedang berlangsung. Ia
adalah seseorang yang sangat penyanyang tampak ketika ia menceritakan tentang keluarganya yang terlihat bahwa Erius sangat menyanyangi keluarganya.
Wawancara dilakukan di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari kampus USU. Peneliti salut dengan Erius yang mau menemui peneliti disana setelah sebelumnya
kami membuat janji. Walaupun ia tidak pernah kesana sebelumnya tetapi dengan sabar ia mau mencari tempat yang dituju dengan petunjuk yang peneliti berikan
dan akhirnya sampai juga di tempat yang dituju dengan menaiki sebuah angkutan umum.
Erius merupakan teman dekat Elius yang juga merupakan informan dalam penelitian ini. Ia mempunyai alasan sendiri mengikuti program afirmasi beasiswa
yang khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat. Erius
Universitas Sumatera Utara
mempunyai tujuan yang sangat mulia dalam mengikuti program ini yaitu untuk memajukan dan membangun daerahnya. USU adalah pilihan kedua setelah IPB
yang mana di IPB Erius juga mengambil jurusan agribisnis. Walaupun ia dulunya adalah anak IPS, tetapi ia memang ingin mengambil jurusan agribisnis yang
padahal jurusan ini ditujukan untuk anak IPA. Ini adalah pertama kalinya bagi Erius menginjakkan kaki di Medan dan ada rasa takut ketika pertama kali sampai
di Medan karena di sini ia tidak mempunyai sanak saudara. Sebelumnya Erius juga tidak tahu mengenai Medan dan ia hanya cari tahu sekedarnya saja lalu
berangkat walaupun pertamanya sempat kepikiran juga bagaimana nanti di Medan. “Iya ini pertama kalinya. Karena untuk memajukan dan membangun
daerah. Pertamanya di IPB keduanya baru di USU dan di IPB nya juga ambil agribisnis. Saya dulunya IPS dan dari dulu sudah
tertarik untuk mengambil agribisnis. Memang dulunya IPS, tapi saya pengen ambil agribisnis. Memang takut karena pikiran juga
disana merantau nggak ada keluarga juga bagaimana nanti kalau saya berkasus dengan orang rasanya takut kak. Tidak tahu, cari
tahu begitu aja, cuma berangkat aja langsung. Sempat kepikiran juga gimana nanti di Medan.”
Teman-teman di kampus menyambut Erius dengan ramah dan ia mengaku
semuanya baik-baik. Erius adalah tipe orang yang tidak memilih-milih dalam berteman, ia berteman dengan semuanya walaupun berbeda asal daerah dan juga
etnis. Erius tidak pernah merasakan sendiri hidup di Medan karena ia mempunyai teman yang menyanyanginya. Ia sering diantar pulang oleh seorang temannya.
Tidak hanya sampai disitu, temannya juga sering main ke asrama untuk menyelesaikan tugas dan diskusi materi yang tidak dimengerti bahkan sampai
menginap di asrama juga pernah. Erius mengakui kekompakan di pertanian sangat bagus. Untuk masalah perkuliahan, Erius mengaku ada dosen yang bicaranya
cepat sehingga membuatnya tidak mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh dosen yang dimaksud. Ketika Erius tidak mengerti dengan materi yang
diberikan oleh dosen, ia meminta teman kampusnya yang menjelaskan materi tersebut. Erius mengaku kadang mengalami kendala dalam masa perkuliahan
seperti masalah rumus dan logat bicara. Erius mempunyai teman dekat di kampus yaitu Hans, Titin, Dini dan Pita.
Universitas Sumatera Utara
“Dengan teman-teman baik, welcome semuanya. Iya, nggak pilih- pilih dalam berteman. Teman-teman di kampus semuanya baik-baik,
nggak ada yang sombong-sombong. Nggak pernah, aku pun pulang ke kampus diantar dengan teman kampus. Di Pertanian kan memang
kekompakan, senior yang ajarin untuk kompak. Pernah, dalam satu minggu ada tiga kali teman main ke asrama. Biasanya ngerjain
tugas, terus kalau ada materi yang nggak dimengerti di kampus diskusi. Terus juga pernah teman nginap di asrama. Bukan jahat,
cuma nggak bisa ngomong dengan mereka. Mereka ngomongnya cepat jadi susah nangkapnya. Ada juga, masalah rumus agak kurang
dimengerti. Tugas kadang-kadang pernah buat kadang nggak, minta tolong sama teman juga. Ada, karena logatnya. Jadi saya nggak
ngerti apa yang disampaikan dosen, terus waktu saya ngomong sang dosen juga nggak ngerti dengan logat saya. Jadi kadang nggak
ngerti dengan pembahasannya. Ke teman, mereka yang ngejelasin. Ada, Hans batak, Titin batak, Dini Aceh, Pita Aceh.”
Selain hubungan dengan teman-teman kampus, peneliti juga menanyakan
bagaimana hubungan Erius dengan teman-teman asramanya. Sama seperti berteman di kampus, Erius pun berteman dengan semuanya dan hubungannya
baik. Biasanya Erius makan bersama dengan teman-teman asrama lainnya walaupun biasanya ia sering makan di kamar Elius. Kalau di asrama Erius lebih
sering berbaur dengan teman-teman asal Papua karena ada aturan dari asrama putra kalau siang bisa berkunjung meski begitu ia juga dekat dengan mahasiswa
lainnya. Kalau di kampus Erius berbaur dengan siapa saja. Namun begitu Erius berteman tidak pernah pandang bulu. Ketika sedang berkumpul dengan teman-
teman Papua, mereka menggunakan bahasa Indonesia. “Baik semua, bekawan semua. Biasanya bareng-bareng di kamar orang,
biasanya aku sering makan dikamar Elius. Kalau di kampus berbaur dengan siapa saja, kalau di asrama dengan orang Papua seringnya.
Karena ada aturan dari asrama putra kalau siang bisa berkunjung dekat juga dengan mahasiswa lainnya. Pakai bahasa Indonesia, karena kami
suku daerah masing beda bahasa juga.” Erius mempunyai tanggapan sendiri terhadap Medan. Baginya masyarakat
di Medan bicaranya keras-keras. Namun lama-kelamaan ia baru bisa mengikuti cara berbicara orang Medan. Untuk masalah ekonomi, harga nasi di Papua bisa
sampai Rp 20.000,- sedangkan di Medan harga sebungkus nasi hanya Rp 10.000,-. Selain itu rasa makanan di Medan juga pedas-pedas. Bahkan Erius pernah sakit
perut karena makanan pedas dan sampai sekarang ia tidak mau memakan
Universitas Sumatera Utara
makanan yang pedas-pedas. Namun bukan berarti Erius tidak cocok dengan makanan di Medan. Sekarang ia sudah mulai cocok dengan makanan di Medan
dan untuk beradaptasi terhadap makanan Erius membutuhkan waktu satu bulan lebih. Kalau di Medan makanan pokoknya adalah nasi, makanan pokok di Papua
adalah ubi jalar untuk pagi siang dan malam. Erius beserta keluarga biasanya makan ubi jalar.
“Terkejut juga, orang-orang disini keras juga ngomong tapi lama kelamaan baru bisa mengikuti. Soal ekonomi, kalau disana kami beli
nasi sampai 20.000 kalau disini 10.000 disitu aku terkejutnya harganya lebih murah. Makanan disini juga pedas-pedas saya
nggak pernah makan pedas, pernah sakit perut karena pedas. Sudah terbiasa, dari hari pertama, sudah satu bulan lewat baru mulai
makan pedas. Kalau disana makanannya ubi jalar untuk pagi siang malam sebagai makanan pokok. Kalau beras sudah lama, dari SD
pun sudah makan beras. Kalau keluarga biasanya makan ubi jalar juga.
Selama di Medan Erius pernah mengalami rindu keluarga. Biasanya dalam sebulan ia dua kali menghubungi keluarganya. Terkadang abang yang
menghubunginya, tetapi ketika ada keperluan mendadak ia yang menghubungi keluarganya. Orang tua Erius sudah meninggal dan sekarang ia mempunyai orang
tua angkat. Erius bahkan pernah menangis selama tinggal di Medan. Ketika pertama datang ke Medan ia pernah mengalami kecelakaan. Pada saat itu ia
ditabrak orang ketika akan ke kampus dari asrama. Orang yang menabraknyatidak lari malah ia membawa Erius ke rumah sakit walaupun ia sendiri berdarah. Selesai
berobat ia dikasih uang sebesar Rp 100.000,- oleh orang yang menabraknya namun ia menolak karena itu tidak sesuai dengan budaya yang diajarkan oleh
orang tuanya. Sukunya melarang ia mengambil uang tersebut karena ia sudah diobati tetapi kalau lukanya tidak diobati oleh si penabrak makan ia bole
menerima urang tersebut. Suku Erius mempercayai jika Erius mengambil uangnya maka luka tersebut akan semakin susah sembuhnya. Selain itu Erius juga pernah
menangis karena rasa kangennya dengan keluarga. Abangnya pun menangis ketika sedang berbicara dengannya. Erius teringat dengan orang tua angkatnya
yang sudah tua. Pernah juga ia menangis karena sepupu dan abang iparnya meninggal dunia. Walaupun Erius kangen sekali dengan keluarga, tetapi abangnya
berpesan untuk tidak pulang ke Papua sebelum menyelesaikan kuliahnya di USU.
Universitas Sumatera Utara
Ketika liburan semester 1 ia liburan ke Aceh bersama teman-teman Papuanya yang diajak oleh abang pembina rohani mereka yaitu abang Parluhutan.
“Pernah. Biasanya dalam sebulan dua kali telponnya. Kadang abang yang nelpon kadang aku yang nelpon, kalau waktu mendadak
butuh uang foto kopian saya yang nelpon. Pertama baru datang pernah tabrakan. Dari asrama sampai luar mau ke kampus
diserempet orang, keretanya kencang sekali dari belakang, aku kena cuma tangan dilutut juga, abang itu yang parah. Terus abang itu
yang bawa saya ke rumah sakit, walaupun dia berdarah tapi dia tetap bertanggung jawab. Aku cuma dikasih obat terus pulang.
Abang itu kasih uang 100.000 ribu ke saya, tapi saya bilang “bang kami kalo sudah berdarah tidak bisa nuntut. Nanti luka kami bisa
makin besar jadi kami tidak bisa makan uang abang terkecuali tidak ada yang luka tidak apa-apa. Tapi kalau uda luka nggak boleh.
Kalau uda keluar darah tidak boleh terima uang, itu uda aturan dari sana. Bagusnya itu dia tanggung jawab, tapi kalau nuntut gini gitu
gak boleh. Nanti luka kita makin parah, itu kepercayaan suku kami karena orang tua sudah perjanjian. Pernah juga aku menangis,
beberapa bulan pas semester satu. Abang pun telponan sudah menangis. Aduh aku rindu sekali disitu. Lagian mamak angkat kan
sudah tua, biasanya mamak bakar ubi bakar yang besar-besar untuk anaknya, tapi sekarang siap dia bakar nggak ada yang makan. Dia
kepikiran “aduh kalau anak-anak ada disini pasti dimakan dengan anak-anak, jadi kalau dia bakar ubi dia pasti kepikiran dengan
anak-anaknya, dia cerita ke kami menangis aku lah disitu rasanya kangen.
Pernah juga nangis karena abang punya anak meninggal, terus suami kakak meninggal dia biayai saya juga, disitu la saya
menangis. Abang ipar meninggal semester 4, satu lagi semester dua kejadiannya. Rindu, tapi kata abang jangan pulang. Jadi kalau
liburan semester 1 ke Aceh dengan temen-teman Papua yang ngajak abang pembina rohani namanya bang parluhutan. Kami ada ke
unsyiah ada ke museum tsunami, ke kapal apung. Tapi kalo ke sabang saya enggak terus ke pantai ule lhee.”
Menempati sebuah lingkungan baru pasti ada perbedaan dalam segi
komunikasi contohnya logat yang biasa dipakai masyarakat setempat. Erius sempat tidak mengerti makna dari beberapa kata yang biasa digunakan di Medan.
Seperti kata “kereta” kalau disana maknanya adalah kereta api dan juga kata “nengok” yang sama sekali tidak dimengerti oleh Erius. Selain itu di Papua
panggilan untuk orang yang lebih tua adalah kakak tidak dengan sebutan abang dan juga untuk sebutan “aku” mereka memakai kata “saya”.
“Ada juga, mereka pakai logat-logat juga kan. Orang sini bilang motor “kereta” jadi saya kaget waktu temen saya bilang ayok kita
Universitas Sumatera Utara
pergi naik kereta, saya pikir mana keretanya rupanya yang dia maksud motor, kalau kami disana bilangnya motor atau ojek jadi
kami bingung. Terus juga disana kami panggil kakak aja, kalau disini kan kakak-abang. Itulah yang buat saya terkejut. Kata-kata
“nengok” juga, itu juga aku bingung, kalo kami disana lihat kalau disana pakai kata “saya”.
Erius pernah mengalami konflik selama di Medan. Ia pernah tidak bicara
dengan teman-teman dekatnya hanya karena sepatu futsal. Saat itu Erius ingin membeli sepatu futsal tetapi tidak bilang ke teman-teman dekatnya. Bagi Erius itu
tidak menjadi masalah tetapi bagi teman-teman dekatnya Erius tidak boleh bersikap seperti itu. Teman-teman dekatnya mau Erius bilang ke mereka kalau
membeli sepatu futsal agar mereka bisa ikut untuk menemani Erius. Konflik ini hanya sebuah salah paham yang masing-masing mempunyai persepsinya sendiri.
Pada saat itu ada niat Erius untuk mengajak baikan terlebih dahulu. Kejadian itu saat Erius semester 3 tetapi sekarang mereka sudah baikan lagi.
“Pernah, kami kan berteman dengan Titi, Pita dan Danis. Kami kemana-mana satu. Suatu saat saya mau beli sepatu futsal, saya
nggak bilang-bilang dengan mereka. Terus mereka marah, mereka bilang “kita kan berteman kenapa kau nggak bilang-bilang mau beli
sepatu?” aku mikirnya ini kan uang aku sendiri, jadi terserah aku lah. Terus senior bilang ke aku iya kalian kan temenan, maunya
apa-apa bilang dengan teman. Sejak saat itu nggak pernah temenan lagi, satu bulan kemudia baru kami damai. Kami dipanggil senior
dan sekarang sudah berteman lagi. Itu kejadiannya semester 3 dan sekarang sudah akrab lagi. Ada niat, ada kepikiran untuk baikan
duluan. Jadi mulai sekarang aku kalau mau pergi ijin dulu dengan mereka. Ini karena hari ini nggak ada masuk makanya aku nggak
ijin hari ni wawancara dengan kakak.” Ternyata Erius lebih senang tinggal di Medan daripada di Papua seperti
pengakuan yang ia sampaikan kepada peneliti. Walaupun masyarakat Medan keras dan kasar tetapi menurutnya orang disini baik-baik. Ia merasa disini lebih
kompak teman-temannya, biaya hidup disini lebih murah dan fasilitas di Medan lebih bagus jika dibandingkan dengan Papua. Ia berpendapat kalau hidup di Papua
ia tidak bisa berkembang karena tidak merasakan suasana baru. Banyak pengalaman yang Erius dapatkan selama hidup di Medan. Teman-teman
kampusnya mau membagi ilmu walaupun mereka berasal dari suku yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Ketika Erius berbicara dengan temannya yang di Papua, Erius sempat memakai logat Medan yang membuat temannya bingung.
“Di Medan. Kalau masyarakatnya di Medan baik-baik walaupun omongannya kasar dan keras. Komunikasi dan bergaul dengan
teman-teman disini enak. Itu yang membuat aku senang disana kompak juga, tetapi lebih kompak disini. Ekonomi disini lebih murah.
Banyak yang mau menimba ilmu disini. Kalau di Papua dengan kita- kita aja nggak ada perkembangan. Fasilitas di Medan lebih hebat
masih banyak disana orang yang nggak kuliah. Kalau pertemanan kompak. Kami kan berbeda suku nggak semua teman-teman mau
membagi ilmu, tapi mereka mau membagi ilmu. Pas aku telpon teman-teman di Papua mereka juga bingung karena aku sudah
mulai pakai logat Medan. Kalau pertemanan kompak. Kami kan berbeda suku nggak semua teman-teman mau membagi ilmu, tapi
mereka mau membagi ilmu. Pas aku telpon teman-teman di Papua mereka juga bingung karena aku sudah mulai pakai logat Medan.
Menutupi wawancara pada hari itu, Erius mempunyai pesan untuk adik
kelasnya yang akan melanjutkan pendidikan di Medan. Ia merasa mereka lebih baik mengambil kota studi Medan karena melihat teman-temannya yang
mengambil kota studi lain banyak yang tidak fokus kuliah bahkan pulang ke daerah sebelum berhasil dengan membawa seorang anak.
“Kalau kalian datang ke medan orangnya baik, hatinya baik. Jadi kalau kalian cari ilmu datang kesini. Disini memang kota besar juga,
tapi kalau untuk masalah perkuliahan dan komunikasi dengan teman-teman, organisasi baik-baik semua. Kami lihat teman-teman
saya yang ikut afirmasi di kota-kota lain beda. Pulang ke kampung halaman itu gendong anak. Kalau memang mau kuliah, fokus ke
kuliah.”
Informan 5
Nama : Niko Bayage
Tanggal Wawancara : 22 Mei 2014
Waktu Wawancara : 08:51 WIB
Tempat Wawancara : Kedai Mamak, Cikal USU
Niko Bayage, yang biasa akrab disapa Niko adalah seorang mahasiswa di jurusan agronomi fakultas pertanian. Niko merupakan informan kelima dalam
penelitian ini yang diwawancarai peneliti. Di awal wawancara dengan Niko, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian
Universitas Sumatera Utara
yang sedang dilakukan. Selain itu, peneliti juga berbincang-bincang sebelumnya dengan Niko untuk mengakraban diri. Setelah keakraban peneliti dengan Niko
terjalin dan sudah merasa nyaman satu sama lain, wawancara pun dimulai dengan sedikit canda tawa.
Niko adalah sosok pribadi yang sangat ramah dan mempunyai selera humor yang tinggi. Sebelum dan sesudah wawancara Niko sering membuat
candaan yang bisa membuat peneliti nyaman melakukan wawancara dengannya. Padahal ini adalah tugas peneliti untuk membuat dia nyaman agar bisa terbuka
dan memberika jawaban sesuai dengan yang ditanyakan peneliti. Niko sangat pandai dalam berteman, bahkan ia pun dekat dengan semua dosen. Hal ini juga
didukung dengan hasil pengamatan peneliti saat Niko berulang tahun, kakak asisten lab memberikan kejutan kecil terhadap Niko. Ini peneliti ketahui di sebuah
media sosial yang kebetulan salah satu asisten labnya adalah teman peneliti. Wawancara dengan Niko berlangsung di kedai mamak yang berada di
samping cikal USU. Peneliti ingin membuat suasana wawancara menjadi sedikit cair dengan melakukan wawancara di tempat makan. Sebelumnya peneliti pernah
menjumpai Niko di lab pertanian. Kakak asisten lab Niko adalah teman peneliti. Meskipun sudah bertemu sebelumnya, peneliti mengawali wawancara dengan
menanyakan biodata Niko dan alasan mengikuti program afirmasi beasiswa yang khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat. Pada
awalnya Niko tidak terlalu ingin mengikuti program afirmasi ini, tetapi karena ketika SMA Niko kurang biaya jadi dia memilih ikut program ini untuk
melanjutkan pendidikannya. Kota studi yang Niko ambil adalah Malang dan Medan dan ia lulus di kedua tempat tersebut. Namun Niko lebih memilih Medan
daripada Malang karena melihat Medan belum terlalu banyak orang Papua yang ada disini. Kedatangannya ke Medan merupakan pengalaman pertama Niko
menginjakkan kaki di kota yang terletak di pulau Sumatera bagian barat ini. “Iya ini pengalaman pertama ke Medan. Afirmasi ini sebenarnya
saya tidak ikut, tetapi pas SMA itu biaya kurang terus saya juga ikut ospek di SMA Yesores abis itu saya turun ke Jayapura tes disitu lalu
lulus juga. Terus ada formulir afirmasi saya isikan formulirnya dan saya lulus ikut di Medan. Dua-dua lulus di Medan sama Malang.
Kan di Malang itu banyak orang Papua sedangkan di Medan tidak banyak orang Papua. Peluangnya kan lebih besar ke USU daripada
di Malang.”
Universitas Sumatera Utara
Karena ini adalah pengalaman pertama Niko ke Medan, peneliti pun bertanya apa yang Niko ketahui mengenai Medan. Ternyata Niko tidak tahu
dimana letak Medan, namun begitu ia sangat ingin sekali ke Medan karena ia belum pernah kesini. Ia mengetahui Medan hanya dari peta yang letaknya itu di
ujung Indonesia. Hal ini juga lah yang membuat Niko tertarik untuk ke Medan karena letak Papua dan Medan yang sama-sama berada di ujung Indonesia. Tanpa
disangka peneliti ternyata ia mempunyai saudara di Medan. Abang itu sudah dianggap Niko sebagai saudaranya sendiri. Ia adalah orang batak yang lahir di
Papua dan sudah lama tinggal di Papua namun kerjanya sekarang di Medan. Bapaknya adalah seorang tentara.
“Saya nggak tau Medan itu dimana. tapi saya ingin sekali ke Kota Medan karena saya belum pernah kesini. Saya pernah lihat pulau-
pulau di Papua dan Kota Medan itu terletak di ujung Indonesia, jadi saya pilih Medan. Dan disini saya juga punya abang yang sama-
sama dari Wamena tapi dia orang Batak yang sudah lama di Wamena. Kalau di Wamena kita kan saudara, bapaknya tentara. Dia
lahir disana dan kerjanya disini.”
Ketika peneliti menanyakan perihal pengalaman pertamanya di kampus, Niko mengaku pertemanan di kampus itu luar biasa, kerjasamanya tinggi. Niko
pun tidak memilih-milih dalam berteman, ia juga tidak hanya berteman dengan mahasiswa yang berasal dari Papua saja tetapi ia berteman dengan semua etnis.
Ketika pertama kali sampai di Medan, Niko belum tahu mengenai kota Medan, ia mengaku masih bingung dengan kota Medan. Hal ini merupakan hal yang biasa
karena Niko memasuki lingkungan yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya sehingga ia harus beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan yang baru ini.
Niko mengaku kepada peneliti ia mulai mengikuti keadaan di kota Medan sejak semester tiga.
“Kalau di kampus luar biasa, kerjasamanya tinggi. Banyak berteman dengan semua etnis. Teman-teman saya orang Medan dan
semuanya berteman nggak ada pilih-pilih teman. Yang pertama itu kan kami belum tau di Medan itu bagaimana, masih bingung-
bingung. Semester tiga baru kami bisa mengikuti keadaan di Medan.”
Niko mempunyai tanggapan sendiri terhadap teman-teman di kampus yang bukan berasal dari Papua. Baginya teman-teman kampusnya baik-baik semua
Universitas Sumatera Utara
tetapi ada juga yang kurang baik atau bisa dikatakan tidak bagus. Namun begitu Niko tidak terlalu ambil pusing dan mempermasalahkan hal tersebut. Ia hanya
mengambil apa yang baik dan tinggalkan apa yang menurutnya tidak baik. Kalau di kampus, Niko mempunyai teman dekat ada cowok dan ada juga yang cewek.
Bahkan teman dekat Niko yang cowok ada yang senang main ke asrama. Ketika ditanyai mengenai hubungan Niko di asrama, ia menjawab ia lebih dekat dengan
teman-teman yang juga berasal dari Papua. Namun begitu bukan berarti Niko tidak berteman dengan penghuni asrama lainnya. Niko mengaku ia lebih dekat
dengan abang-abang yang stambuk 2007 dan 2009 yang anak pertanian juga karena mereka adalah senior Niko. Jadi seperti ada rasa menghargai dari Niko ke
senior tersebut. “Mereka semua baik-baik tapi tidak semua juga ada yang kurang
baik tidak bagus. Tidak peduli misalnya, tapi saya juga yang kurang bagus biarkan yang baik saja yang saya temanin. Teman dekat
dikampus ada 10 orang 5 cewek dan 5 cowok. Kalau di Pertanian memang ada kelompok itu 5 orang tapi yang dekat ada 10 orang.
Saya dekat dengan teman-teman Papua dan non Papua. Kalau dengan teman-teman asrama yang Papua saya dekat. Tapi saya
lebih dekat dengan abang-abang yang stambuk 2009 207 dia anak pertanian juga karena dia senior jadi saya menghargai dia makanya
itu saya dekat dengan dia.”
Tidak ada rasa takut dalam diri Niko ketika ia akan melanjutkan pendidikannya di Medan yang mana ia akan menjumpai tempat tinggal yang baru
dengan kebiasaan-kebiasaan yang juga berbeda. Terdapat suatu tekad yang besar dalam diri Niko yaitu ia sudah mengikuti program afirmasi ini dan ketika
dinyatakan lulus berarti ia sudah berjanji untuk kuliah di USU dan ketika sudah mendapatkan gelar sarjana baru ia akan kembali ke daerahnya. Walau begitu rasa
gugup tidak bisa ia tutupi karena ini adalah pertama kalinya bagi Niko menginjakkan kaki di Medan. Bahkan di awal-awal untuk berkomunikasi dengan
orang lain pun ia merasa gugup dan masih malu karena mengaku belum terlalu kenal dengan masyarakat kota Medan.
“Nggak takut. Karena kan ada perjanjian untuk saya kuliah disini dan begitu dapat sarjana baru pulang. Waktu pertama kali itu saya
deg-degan. Kalau ada orang ngomong saya deg-degan tapi lama-
Universitas Sumatera Utara
kelamaan sudah mulai kebiasaan. Pertama kan takut bicara sama orang Medan masih malu karena belum terlalu kenal.”
Beda suatu daerah yang ditempati maka beda pula kebiasaan yang dianut oleh daerah tersebut. Mulai dari segi pendidikannya, makanan dan segala aspek
dalam kehidupan. Niko mengaku ia tidak terlalu mengalami kendala dalam perkuliahannya. Hanya saja cara mengajar di Papua dengan di Medan, karena
Niko berasal dari Papua maka ia pun terbiasa dengan sistem pendidikan disana dan juga Niko mengaku tingkat pendidikan di Medan lebih tinggi daripada di
Papua bahkan banyak yang tertinggal. Namun di semester 3 Niko mulai terbiasa dengan cara belajar di Medan. Bagi Niko orang batak itu hatinya baik hanya
suaranya saja yang keras dan kasar sama seperti orang Papua tetapi bedanya disana saling menghargai satu sama lainnya. Orang Papua mempunyai kebiasaan
kalau mereka mau jalan-jalan dan ada satu teman yang tidak mempunyai uang, maka mereka harus mengumpulkan uang untuk menanggung biaya teman yang
tidak mempunyai uang tersebut. Bagi Niko di Papua itu sosialnya tinggi, berbeda dengan teman yang lebih individual yang tidak memikirkan apakah teman tersebut
punya uang atau tidak ketika di ajak jalan-jalan. Niko juga melihat teman-teman disini menuntut utang dengannya dan itu membuat Niko malu. Selain itu Niko
juga merasa berbeda dari segi makanan. Baginya makanan disini semuanya pedas sekali, bahkan sampai sekarang ia tidak mau makan pedas karena takut. Disana ia
tidak terbiasa makan pedas makanya begitu merasakan makanan Medan pedas- pedas Niko pun tidak berani makan pedas dan syukurnya Niko tidak pernah sakit
perut gara-gara makanan di Medan. “Enggak ada. Kalau bermasalah juga nggak ada kak. Paling
bedanya cara mengajar kak, kalau di Papua kan uda beradaptasi tapi semester 3 sudah mulai terbiasa. Pendidikannya beda, disini
lebih tinggi tingkat pendidikannya disana banyak yang tertinggal. Kalau menurut saya orang batak itu orangnya hatinya baik tapi
suaranya kasar sama kayak orang Papua. Terus juga ucapannya kasar. Kalau di Papua keras juga tapi hatinya baik dan disana
orangnya saling menghargai.Contohnya kami orang Papua kalau mau jalan-jalan dan satu orang yang tidak punya uang kami harus
tanggung orang yang tidak punya uang. Kalau disana sosialnya yang tinggi. Saya lihat teman-teman disini mereka nuntut utang
Universitas Sumatera Utara
dengan saya, saya kan malu. Makanan disini pedas sekali. Sampai sekarang saya tidak mau makan pedas karena takut.”
Ketika wawancara berlangsung peneliti bertanya bagaimana hubungan dengan mahasiswa asal Papua lainnya. Mereka berkumpul setiap hari jumat
bertepatan dengan hari kebaktian. Ketika berkumpul dengan sesama mahasiswa asal Papua mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia karena masing-masing
dari mereka berasal dari daerah dan suku yang berbeda-beda yang juga mempengaruhi bahasa daerah. Ternyata komunitas Papua ini juga aktif melakukan
kegiatan. Seperti tahun lalu mereka mengadakan perayaan natal dan bagi Niko acara tersebut terbilang sukses. Bahkan untuk menyambut mahasiswa baru,
mereka sudah membentuk kepanitiaan. Untuk masalah ketua komunitas Papua, pertama kali yang menjadi ketua komunitas ini adalah Demianus tapi sekarang
sudah diganti oleh Daud. Pergantian ketua ini dibuat agar semua dapat giliran dan bisa sama-sama belajar dan juga merasakan bagaimana menjadi seorang
pemimpin. “Kami setiap hari jumat itu ada kebaktian. sekarang ketuanya Daud
pemain bola. Pertama Demianus tapi sekarang sudah diganti. Supaya bisa belajar sama-sama, jadi nanti tukeran lagi ketuanya
biar semua kena giliran. Ada pertemuan dalam satu bulan ada sekali pertemuan. Kalau bulan April ini sudah ada pertemuan, kami bentuk
panitia untuk penerimaan mahasiswa baru, dalam acara itu sudah kami siapkan. Tahun lalu kami juga buat acara dalam menyambut
natal dan itu acaranya sukses. Bahasa yang kami gunakan ketika berkumpul bahasa Indonesia.”
Setelah dua tahun tinggal di Medan Niko merasakan perbedaan hidup di Papua dengan di Medan. Untuk masalah perkuliahan, mahasiswa di Papua lebih
individu sedangkan di Medan mahasiswa di kampus menurut Niko lebih berkelompok. Tidak jarang mereka membuat diskusi untuk memahami pelajaran
yang kurang dimengerti berbeda dengan di Papua yang mahasiswanya harus kerja sendiri. Tidak hanya dalam masalah perkuliahan, dalam kehidupan bersosial
dengan teman pun ada perbedaan yang dirasakan Niko. Kebiasaan orang di Papua adalah siapa yang ajak makan, berarti itu maksudnya orang yang ajakin adalah
orang yang bayarin makan. Pernah suatu ketika Niko diajak makan oleh temannya, yang ada dalam pikiran Niko bahwa ia dibayarin oleh teman yang mengajaknya
Universitas Sumatera Utara
makan. Ternyata setelah selesai makan ia dimintai uang untuk membayar makanan yang ia makan. Untung pada saat itu Niko lagi punya uang jadi tidak
terlalu bermasalah. Sejak saat itu Niko sudah mengerti dan tidak mau jatuh ke lobang yang sama untuk kedua kalinya. Selama disini Niko pernah ditipu oleh
tukang becak. Ketika ia mau pergi dari asrama putra ke kampus ia harus membayar sebesar Rp 10.000,-. Ketika Niko tanya dengan teman kampusnya,
ternyata harga segitu kemahalan. Setelah kejadian itu, Niko tidak mau tertipu lagi oleh tukang becak ia pun tidak segan untuk menawar harga ketika naik becak.
Ketika awal tiba di Medan, Niko belum terbiasa dengan logat Medan dan juga kaget dengan beberapa kalimat yang tidak akrab baginya. Kalau di Medan untuk
mengatakan tidak pakai kata “enggak” untuk mengatakan berbicara pakai kata “ngobrol”. Lalu juga kalau di Medan orang-orang terbiasa pakai kata “kan” di
akhir kalimat sedangkan di Papua memakai kata “iya toh”. Niko juga tidak tahu dengan kata “nengok”. Ketika pertama kali temannya ada yang bilang “nengok”
Niko sempat kebingungan dengan maksud perkataan temannya. Tetapi setelah diberi tahu akhirnya Niko tahu arti dari kata “nengok” yaitu artinya melihat.
Kalau di Papua mereka terbiasa menggunakan kalimat baku seperti kata “saya”. Mereka menggunakan kata “saya” bukan “aku”. Seperti juga panggilan kata
“abang”. Kalau di Papua kata “abang” menandakan abang becak, abang ojek. Kalau di Medan kata “abang” itu berarti seorang lelaki yang umurnya di atas kita.
Tetapi sekarang Niko sudah mengerti dan memahami logat Medan dan kata-kata yang biasa dipakai di Medan. Bahkan pada saat berbicara dengan abangnya
melalui telepon, Niko pernah ditegur oleh abangnya karena ia menggunakan logat Medan. Ia pun langsung meminta maaf dan beralasan kepada abangnya kalau ini
karena pengaruh lingkungan. Niko pun belajar dari pengalaman sebelumnya untuk membiasaka diri ketika berbicara dengan orang Papua maka ia akan menggunakan
logat Papua dan ketika berbicara dengan orang Medan ia pun akan menggunakan logat batak. Pada awal kuliah, Niko pernah aktif di salah satu organisasi yaitu
IMPERATIF namun sekarang sudah tidak lagi karena kesibukannya di kampus. “Kalau untuk perkuliahan mahasiswa Papua itu tidak seperti inilah
kelompok, kalau disana pengertiannya sendiri tidak perkelompok tidak ada kasih dari teman. Kalau membantu dari teman itu kayak
mencontek tidak mungkin saya mengerti kan jadi harus kerja sendiri. Kalau teman-teman disini ajak makan, saya pikir orang ini yang
Universitas Sumatera Utara
bayar. Waktu itu untung saya punya uang, saya kirain saya dibayarin dengan teman saya yang ajak uang saya diminta. Sejak
saat itu sudah mengerti. Selama disini saya pernah ditipu dengan tukang becak. Dari asrama putra ke kampus bayar 10.000. setelah
tanya dengan teman kalau itu mahal jadi selanjutnya saya udah nggak bisa ditipu tukang becak lagi. Disini kan logatnya beda
dengan Papua. Jadi pertama kali disini beda. Disini pakai kata “enggak” “ngobrol” apa itu artinya. Tapi sekarang sudah mengerti.
Terus juga kalau disini pakai “kan” kalau disana “iya toh”. Kalau disni pakai “aku” kalau disana “saya” terus juga “nengok”
rupanya artinya melihat. Di Papua bilang “abang” itu menandakan abang becak, abang ojek. Belajar dari pengalaman sebelumnya.
Sekarang sudah mulai membiasakan. Kalau saya jumpa dengan orang Papua pakai logat Papua kalau dengan orang Batak ya pakai
logat Batak. Pernah ditegur dengan abang karena saya pakai logat Batak dia bilang “apa itu” terus saya minta maaf karena pengaruh
dari lingkungan sini. Dulu waktu semester satu saya ikut organisasi IMPERATIF tapi sekarang udah nggak lagi karena sudah sibuk.”
Tinggal jauh dari orang tua pasti membuat seseorang rindu dan tidak jarang kadang membuat seseorang ingin kembali ke kampung halamanya. Namun
tidak demikian bagi Niko. Ketika peneliti tanya apakah Niko rindu orang tua atau tidak, peneliti kaget dengan jawaban Niko yang mengatakan tidak rindu. Ternyata
di penjelasan berikutnya peneliti tahu kenapa Niko tidak rindu dengan orang tuanya. Hal ini dikarenakan Niko ingin fokus ke kuliahnya di Medan dan ia tidak
mau rasa rindunya tehadap orang tua menjadi penghalang usahanya untuk melanjutkan kuliah di Medan. Baginya rasa rindu itu bisa mengganggu kuliahnya
disini. Niko ingin setelah ia lulus kuliah baru ia akan ingat orang tua lagi. Selama tinggal di Medan, Niko belum pernah menelpon ornang tuanya yang ia telepon
adalah abangnya. Itu pun ia punya prinsip bahwa abangnya tidak boleh terlalu sering menelponnya, satu bulan cukup satu kali takut ia kangen abangnya. Saat
peneliti melakukan wawancara, Niko baru saja menerima telpon dari abangnya yang menanyakan kabar Niko dan ia pun menjawab kalau ia baik-baik saja disini.
Peneliti sempat juga bertanya apakah Niko pernah menangis selama tinggal di Medan apakah itu karena kangen keluarga atau tidak betah tinggal di Medan.
Niko pun menjawab ia tidak pernah menangis karena ia tidak mau menjadi seperti anak kecil lagi yang suka menangis dan belum punya tanggung jawab. Ia
meninggalkan kampung halamannya dan belajar di Medan itu merupakan suatu
Universitas Sumatera Utara
keputusan yang ia ambil dengan matang dan itu berarti ia tidak mau lagi melihat ke belakang. Ia mau menuntaskan tanggung jawabnya dengan menyelesaikan
pendidikannya di Medan dan tidak mau memendam rasa sedih karena berpisah dengan orang tuanya. Baginya meninggalkan daerah dan pergi ke kota lain harus
meninggalkan semua yang ada disana. “Tidak rindu. Sementara ini saya lupakan orang tua dulu nanti
setelah lulus kuliah baru saya ingat orang tua lagi. Kalau telpon- telponan dan kangen itu kan bisa ganggu kuliah. Jadi saya mau
hilangkan sedih-sedih orang tua. Selama disini saya belum pernah menelpon orang tua, yang saya telpon abang saja. Saya juga punya
prinsip abang jangan banyak kali telpon, satu bulan cukup sekali takut saya kangen dengan dia. Tadi dia telpon tanya “bagaimana
disitu?” saya jawab “saya baik kak. Tidak. saya tidak akan kembali jadi anak kecil lagi. Saya tinggalkan daerah dan pergi ke kota lain
itu harus ditinggalkan semua disana kan nggak baik kalau kangen- kangennya dibawa ”
Peneliti sempat menanyakan kepada Niko apakah ia ada merasa berbeda dari teman-teman kampusnya dari segi penampilan maupun cara mereka berteman.
Niko mengaku ia tidak merasa berbeda dari teman-temannya. Baginya khusus di pertanian itu semuanya saling membantu jadi tidak ada yang merasa sendiri.
Dalam satu minggu itu mereka harus mengumpulkan 5 laporan dan tak jarang terkadang itu membuat Niko kelimpungan. Niko meminta tolong dengan
temannya untuk menyiapkan laporannya dan teman-temannya pun mau. Niko pribadi yang baik dengan semua teman-temannya, makanya teman-temannya pun
tidak segan untuk menolongnya. Niko pun mengaku kepada peneliti ia tidak mau menjadi orang yang bandel dan mau menjadi orang yang menghargai teman-
temannya. Kehidupan Niko di kampus saling tolong-menolong. “Khusus di Pertanian itu semuanya sudah saling membantu, dalam
satu minggu laporan harus dikumpul semua. Saya bingung dalam satu minggu harus kumpul 5 laporan terus saya minta tolong dengan
teman-teman dan mereka mau. Tapi saya juga baik dengan mereka makanya mereka mau menolong saya. Saya nggak mau jadi orang
yang bandel. Walaupun mereka teman-teman saya tapi tetap saya hargai dan hormati.”
Peneliti menanyakan kepada Niko apakah dia lebih nyaman tinggal di Medan atau di Papua. Tidak disangka peneliti ternyata Niko lebih senang tinggal
Universitas Sumatera Utara
di Medan dibandingkan daerah asalnya dimana ia lahir dan tumbuh dewasa. Bahkan setelah tamat nanti Niko ada niatan untuk kerja disini dengan
menggunakan biaya sendiri. Ia melihat di Medan banyak perkebunan dan hal ini membuat Niko tertarik untuk bekerja disini. Tetapi karena ini program afirmasi,
jadi setelah mendapatkan gelar sarjana Niko diharuskan kembali ke daerah asalnya dan membangun segala ketertinggalan disana. Ketika ditanya apa saja
yang mau diperbaiki di Wamena sebagai daerah asal Niko, ia menjawab ingin membuka lapangan pekerjaan di bidang perkebunan.
“Lebih nyaman disini. Setelah tamat saya ingin kerja disini pakai biaya sendiri. Tapi ini kan setelah tamat langsung ditarik. Kalau
disinikan perkebunannya banyak. Semalam saya bicara dengan dosen saya bilang “ibu saya ingin bekerja disini” terus ibu bilang
saya bisa usahakan biar kalian kerja disini tapi pakai biaya sendiri.”
Selama tinggal di Medan Niko sudah mulai belajar bahasa batak. Ia ingin belajar bahasa batak agar dapat mengerti ketika ada orang lain berbicara dalam
bahasa batak. Seniornya memberikan ia marga Tampubolon karena jika dirunut marga Bayage jika dibatakkan menjadi marga tampubolon. Ketika Niko berbicara
demikian, peneliti melihat rasa senang dalam diri Niko karena ia dapat marga tampubolon dan ia seperti merasa bangga ketika ia mengaku sedang mempelajari
bahasa batak. Selama dua tahun di Medan Niko mengaku tidak pernah pulang ke Papua. Tahun 2013 lalu ia menghabiskan liburannya dengan bekerja di toko
keramik. Pekerjaan itu ia dapati dari ibu-ibu suku Ambon yang Niko kenal. Lalu ia dan 9 teman Papuanya bekerja di toko Cina tersebut, namun sekarang Niko
sudah tidak bekerja disitu lagi. Walau demikian setiap bulannya bapak yang mempunyai toko tersebut memberikan bantuan satu karung beras ke mahasiswa
Papua. “Kalau di Medan itu marga saya Tampubolon itu abang-abang yang
buat. Aku lagi belajar bahasa batak biar mengerti kalau abang- abang senior lagi bicara pakai bahasa batak. Saya tidak pernah
pulang. Setiap liburan saya di Medan. Tahun 2013 lalu kami kerja di jalan sunggal di tempat keramik, saya dikenali dengan ibu-ibu yang
orang Ambon dia yang kasih kami kerjaan ke orang China itu. Ibu itu tanya kalian perlu kerja nggak liburan ini? saya bilang perlu.
Kami 10 orang yang kerja Rince, Yasinte dan Vera cewek-cewek
Universitas Sumatera Utara
yang bekerja. Kalau sekarang sudah tidak bekerja lagi. Bapak itu setiap bulannya kasih bantuan beras ke kami mahasiswa Papua satu
bulan satu karung.”
Di akhir wawancara, peneliti menanyakan apa saran untuk juniornya yang ingin melanjutkan pendidikan di Medan khususnya di USU. Niko pernah
menelpon juniornya untuk menanyakan apakah ia ada mengambil kota studi di Medan atau tidak. Ternyata mereka semua tidak ada yang mengambil Medan.
Bagi Niko kota lainnya itu kacau seperti Jakarta dan Malang. Disana terdapat banyak orang Papua dan Niko mengkhawatirkan mereka akan sering bermain
sesama mahasiswa asal Papua dan Niko juga mengatakan bahwa mahasiswa asal Papua disana kurang berbaur dengan mahasiswa lainnya yang non Papua. Kalau
di Medan orang Papuanya masih sedikit, jadi mau tidak mau mereka harus berbaur agar mempunyai teman. Niko juga mengaku baginya orang di Medan
baik-baik semua walaupun ada juga yang jahat dan ia mendapatkan pelajaran selama tinggal di Medan yaitu kerja sama antar teman. Ia pun tidak pernah
mengalami konflik selama disini. “Saya pernah telpon junior ada yang ambil ke Medan nggak.
Mereka tidak ada yang ambil Medan. Saya dengar kota lain itu kacau, kayak di Jakarta di Malang. Disana kan banyak juga orang
Papua jadi mainnya dengan orang Papua juga kurang berbaur dengan teman-teman etnis lain. Kalau disini karena orang
Papuanya dikit jadi kami mau berbaur dengan mahasiswa lain. Kalau disini orang-orang baik semua. Kerja sama antar teman.
Tidak pernah biasa-biasa saja.”
Informan 6
Nama : Pransina Uopmabin
Tanggal Wawancara : 22 Mei 2014
Waktu Wawancara : 16:11-17.08 WIB
Tempat Wawancara : Halaman Asrama Putri USU
Pransina Uopmabin atau yang biasa disapa Vera merupakan informan terakhir yang peneliti wawancarai. Seperti pada informan sebelumnya, peneliti
juga memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian sebelum mewawancarai beliau. Peneliti mengawali wawancara dengan menanyakan
Universitas Sumatera Utara
biodata Vera. Ia adalah memiliki kepribadian yang ramah, bersahabat, dan bisa membuat orang-orang disekitarnya nyaman. Perempuan ini agak sedikit tomboi
terlihat dari kegemarannya bermain sepak bola, bola voli dan futsal. Wawancara dilakukan di halaman asrama putri USU dan saat berlangsungnya wawancara, ada
beberapa orang yang memanggilnya. Peneliti menilai ia memiliki banyak teman karena pembawaannya yang ramah dan pandai bergaul sehingga membuat ia lebih
cepat akrab dengan orang yang baru ditemuinya. Awal wawancara Vera masih sedikit kaku dan belum terlalu akrab dengan
peneliti. Lalu di tengah wawancara berlangsung, Vera mulai memanggil peneliti dengan panggilan “kak e” dan akhirnya wawancara pun berlangsung lancar.
Peneliti menanyaka alasan Vera mengikuti program afirmasi beasiswa yang khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat. Vera
mengikuti program beasiswa ini karena mendapatkan undangan. Vera mengambil kota studi di Medan dan Yogyakarta namun lulusnya di Medan USU. Walaupun
ini pertama kalinya bagi Vera datang ke Medan dan sebelumnya belum terlalu mengetahui mengenai Medan namun Vera bersyukur lulus di Medan karena
baginya hidup di Medan lebih aman. Ada keponakannya yang kuliah di Yogyakarta tetapi sebelum lulus kuliah ia sudah hamil. Hal ini yang juga
membuat Vera takut kuliah di Yogyakarta walaupun pada awalnya ia memilih kota studi Yogyakarta. Selain itu toleransi antar beragama tinggi dan saling hidup
rukun, jarang sekali di Medan terjadi bentrok karena agama bahkan bagi Vera ia hampir tidak pernah mendengar bentrok antar agama. Vera adalah seorang
mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya USU. Namun pada awalnya ia tidak memilih Sastra Indonesia sebagai jurusan pilihannya di USU
melainkan memilih ekonomi karena dari SMP ia sudah mengambil jurusan ekonomi akuntansi. Tetapi karena panitia melihat nilai UN Bahasa Indonesia yang
tertinggi, maka vera pun diluluskan di Sastra Indonesia. “Nggak tahu, aku pilihnya kota Medan aja. Sempat juga dulu ada
ibu guru smp dari Medan tapi dia batak simalungun Purba, taunya batak nggak tau kalo Medan Sumatera Utara. Memang sempat
belajar geografis letak indonesia, tapi nggak tau kalau Medan disini. Tapi syukurlah di Medan aman-aman aja kak. Kalau aku sih lebih
aman disini kak ada keponakanku kuliah di Jogja, dia belum berhasil sudah pulang karena dia hamil jadi aku takut disitu. Terus
juga orang Papua juga jarangkan disini jadi peluangnya lebih besar
Universitas Sumatera Utara
ngambil disini, disini juga masalah agamanya saling toleransi, kayak misalnya antara islam dan kristen sama-sama saling mengerti
begitu juga sebaliknya nggak ada bentrok agama. Kalau aku sih nggak terlalu ke sastra indonesia, aku dari SMP ekonomi akuntansi,
pemilihan 1-3 aku pilih ekonomi akuntansi cuma dilihat dari nilai UN bahasa indonesia aku yang tertinggi jadi panitia nentuin aku ke
sastra indonesia. Di formulir tidak ada pemilihan universitas yang ada pemilihan kota studi, karena mereka sudah tahu universitas
terbaik di Indonesia.”
Sambutan teman-teman di kampus sangat bagus dan baik terhadap Vera. Ia berteman dengan semua orang tanpa melihat etnis dari mana ia berasal.
Kebanyakan teman Vera adalah laki-laki mungkin ini karena faktor kepribadian Vera yang agak sedikit tomboi. Vera mengaku di kelasnya kebanyakan etnis jawa,
batak pakpak, batak mandailing, batak karo, dan batak simalungun dan ia adalah orang yang sangat netral dan mau berteman dengan semua etnis. Interaksi Vera
sehari-hari sangat baik, tetapi ini tergantung dari dirinya juga. Baginya kalau ia berbuat baik kepada orang pasti orang lain akan baik juga tetapi kalau ada orang
yang jahat kepadanya ia tidak mau membalas kejahatan juga terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya. Tanggapan Vera terhadap teman-teman yang non Papua
sangat baik. Ia melihat teman-teman yang non Papua baik-baik dan juga suka menolong, misalnya ketika ada tugas yang tidak dimengerti Vera, teman-
temannya mau menjelaskan tugas tersebut. “Teman-teman sangat welcome dan baik dengan aku. Iya, aku netral
orangnya berkawan dengan semua orang. Tapi temanku banyak laki sih kak perempuan juga ada. bekawannya dengan semua etnis, kelas
kami tuh kebanyakan jawa, batak papak, mandailing, karo, simalungun. Sangat bagus. Tergantung kami juga lah. Kalau kami
baik orang itu baik. ya tapi inilah jangan kejahatan dibalas dengan kejahatan juga. temen kelas baik-baik semua, aku sih apa adanya
mereka terima aja lagian kami juga sering kerjasama. Teman-teman itu baik, suka membantu kawan kayak misalnya ada tugas mereka
mau jelasinnya.” Interaksi Vera di asrama tidak jauh berbeda dengan inetraksinya di asrama
putri USU. Asrama putri USU yang merupakan tempat tinggal bagi mahasiswa asal Papua terdiri dari berbagai mahasiswa yang berasal dari asal daerah dan
fakultas yang berbeda. Mahasiswa putri asal Papua angkatan 2012 di tempatkan di asrama putri baru USU. Satu kamar isinya dua orang dan Vera sekamar dengan
Universitas Sumatera Utara
Yasinta yang ternyata teman dekatnya waktu SMA. Mereka sama-sama ikut program afirmasi ini tetapi tidak janjian sama-sama memilih kota studi Medan.
Vera mengaku ia berteman dengan semuanya tidak terlalu dekat ke teman- temannya yang sama-sama berasal dari Papua tidak juga dengan mahasiswa non
Papua. Karena keluwesan Vera dalam bergaul, ia terpilih menjadi kepala lingkungan kepling blok D di asrama. Pemilihan itu dilakukan di aula asrama
lalu dan penghuni asrama banyak yang memilih Vera lalu terpilihlah Vera yang diberi kepercayaan sebagai kepling blok D. Jadi jika terjadi musibah yang
menimpa penghuni asrama, kepling yang bertugas mengumpulkan dana yang nantinya akan diserahkan kepada penghuni asrama yang sedang mengalami
musibah. Peneliti sempat bertanya teman dekat Vera adalah teman kampusnya atau teman asramanya. Vera mengaku teman dekatnya ada yang di kampus dan
ada juga yang di asrama, tergantung dimana Vera sedang berada. “Kalau aku si netral, nggak dekat kali ke Papua nggak juga ke non
Papua. Semuanya kawan yang penting selo-selo aja, open-open aja aku. Aku sempat jadi kepling blok D, itu pemilihannya di aula sini
semua anak asrama kumpul barulah satu orang dikasih kepercayaan. Jadi kalau ada apa-apa ntah ada kemalingan atau musibah kepling
yang mengumpulkan sumbangan sukarela. Temanku banyak kak, ada dari asrama ada juga dari kampus tergantung dimana aku
berada. Satu kamar sama Yasinta. dia temen SMA aku, sahabat. Kami bedua isi formulir dan sama-sama milih kota studi Medan dan
Jogja tapi sama-sama dapat disini.”
Ketika pertama kali tiba di Medan, Vera merasakan sedikit canggung. Walaupun dari SMP ia sudah mulai merantau dan tidak lagi tinggal dengan orang
tuanya, tapi tetap saja Vera merasakan aneh. Hidup di Medan jauh dari orang tua dan tidak ada sanak saudara. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini tidak ada rasa
takut ketika ingin pindah ke Medan malah Vera merasa senang dan penasaran dengan kota Medan seperti apa yang sebelumnya Vera tidak ketahui sama sekali
gambaran kota Medan. “Rasa aneh, kakak juga kalau ke Papua aneh kan nggak ada orang
tua nggak ada saudara disini. Kalau merantau sih aku udah nggak asing lagi, aku dari SMP sudah merantau sudah nggak dengan
orang tua. Kan inginya sekolah, dikampung aku ada SMP dan SMA cuma abangku kan dikota jadi dibawa dengan dia. Kalau merantau
sih sudah biasa, cuma merantau disini merasa lain sih. Nggak ada,
Universitas Sumatera Utara
aku ada rasa penasaran gitu nggak ada takut, jalani aja apa adanya.”
Bagi Vera masyarakat Medan hampir sama dengan masyarakat di Papua. Kalau di Medan sesama marga itu artinya saudara, sama seperti di Papua yang
juga mempunyai marga dan jika marganya sama maka langsung dianggap saudara. Ketika sedang wawancara, Vera memberi tahu peneliti bahwa ia diberi marga
hutagalung dengan temannya dan itu membuatnya sangat senang terlihat dari ekspresi saat ia bercerita. Lalu ketika ada masalah, orang Medan langsung
menyelesaikannya hari itu juga tanpa menunda-menunda waktu untuk penyelesaian masalah. Jadi hari itu juga diselesaikan dan utarakan apa yang tidak
disukai, setelah itu masalah ini pun tidak dibawa-bawa lagi. Jadi tidak ada dendam di antara orang yang sedang bermasalah. Tapi ada satu kejadian yang membuat
Vera agak sedikit kesal dengan warga Medan ketika awal-awal tinggal di Medan. Ketika sedang jalan bersama teman-teman Papua lainnya ia digangguin dengan
kalimat “beta mau kemana? Sumber air sudah dekat.” Pada saat itu Vera kesal sekali karena kalimat tersebut cocoknya ditujukan kepada orang Ambon dan ia
bukanlah orang Ambon. Tetapi karena tidak ingin mencari masalah Vera pun meredam emosinnya dan membiarkan mereka berkata apa. Bahkan tanpa
disangka-sangka belakangan jika ada orang yang mengucapkan kalimat itu lagi, ia hanya membiarkan saja dan memilih cuek.
“Kalau masyarakat Medan bagus karena hampir sama dengan orang Papua. Kalau macam jumpa laa ditanya boru apa kau? aku
sihombing dan yang tanya juga sihombing nah berarti itu saudara. Terus kalau ada masalah diselesaikan langsung hari ini, nggak ada
simpan sampai kapan langsung tuntas hari itu juga jadi nggak ada dendam. Aku disini dikasih boru hutagalung. Ada yang bilang ke
kami “beta mau kemana? sumber air sudah dekat” dalam hatiku kalian jangan enak-enak bicara kecuali lihat pakai biji mata sendiri
okeh. Kalian tidak merantau, kami bukan orang Ambon kami orang Papua. Tapi itu belakangan aja, agak kesal sih dengarnya. Kalau
emosi sih wajar ya manusia, sempat juga emosi tapi ya biarin aja, kau yang bicara capek-capek la kau situ jadi tidak usah dipeduliin
aja.”
Beda daerah beda pula kebudayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Vera mengaku di Medan omongannya kasar. Ia sempat kaget ketika pertama ke
Universitas Sumatera Utara
kampus ada temannya yang manggil “Vera sini dulu kau”. Dalam hatinya saat itu kenapa temannya memanggil dia dengan tidak sopan begitu. Namun setelah itu
Vera dikasih tahu oleh temannya kalau di Medan biasa cara manggilnya seperti itu dan Vera pun bisa menerima hal tersebut. Setelah dua tahun tinggal di Medan
bahkan Vera yang dulunya bicara dengan lembut, sekarang sudah tidak lagi karena ia sudah terbiasa dengan lingkungan barunya ini. Ini ia pelajari dari tahap-
tahap untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Kalau masalah kampus bagi Vera Universitas Sumatera Utara USU dan Universitas Cendrawasih
Uncen sama-sama sudah memakai sistem online namun Vera melihat di USU ini bidang olahragannya kurang. Di sana banyak fasilitas olahraga seperti lapangan
basket, voli dan sepak bola yang disediakan dan orang pun banyak yang menggunakan fasilitas tersebut. Biasanya kalau sore hari anak mudanya
berkumpul untuk berolahraga. Vera juga adalah seorang yang rajin berolahraga. Biasanya sore-sore begini ia lari sore di sekitaran kampus, tetapi akhir-akhir ini ia
jarang lari sore karena kesibukannya. Ada juga dari segi makanan. Bagi Vera makanan di Medan pedas-pedas sedangkan di Papua makanannya manis-manis.
Namun bagi Vera ia tidak terlalu kaget dengan makanan pedas karena ia sudah biasa makan pedas di Papua. Juga harga makanan di Medan lebih murah
dibandingkan di Papua. Kalau di Papua harga makanan mentah sama harga matang sama, kalau di Medan harga yang sudah dimasak lebih mahal.
“Kalau dimedan kan omongnya kasar “apa kau? sini dulu kau.” kalau di Papua “sini dulu kamu” nadanya juga kan beda. sempat
juga kaget pas waktu masuk kampus pertama, ada yang manggil aku “Vera sini dulu kau” ih dalam hatiku kurang ajar kali anak ini siapa
yang ajarin dia, setelah itu aku dikasih tahu kalau disini memang begitu. Kalau dulu aku masih lembut, sekarang udah nggak lagi. Itu
mulai berubah dari tahap ke tahap lah menyesuaikan disini. Awalnya kaget tapi sekarang udah mulai terbiasa. Kalau masalah
kampus sama, di USU dengan Uncen sama sistemnya online, cuma dibagian olahraganya aku lihat kurang kalau disini kalau di Papua
oke. Kayak sore-sore begini biasanya cewek cowok ngumpul di lapangan untuk olahraga, disana kayak di asrama gini ada
lapangan basket, voli, sepak bola. Biasanya sih saya sering juga joging sore-sore, tapi ini lagi sibuk. Sama sih di Medan dengan
Papua, cuma harganya lebih murah kalau disini. Kalau disana harga mentah sama matang sama, kalau disini harga yang udah
dimasak lebih mahal. Terus makanan disini pedas-pedas, kalau
Universitas Sumatera Utara
disana manis. Kalau aku sih nggak kaget dengan pedas, karena aku sudah biasa makan pedas di Papua.”
Setelah dua tahun di Medan dan tidak pernah pulang ke Papua ketika liburan membuat gadis kelahiran 12 Februari ini rindu pada keluarganya. Untuk
mengatasi rasa rindu tersebut, setiap hari Vera dan mamanya berkomunikasi melalui telepon. Tidak hanya Vera yang rindu pada keluarganya, mamanya pun
rindu sekali pada Vera. Bahkan mamanya tidak bisa tidak mendengar suara Vera dalam sehari. Dua tahun di Medan membuat Vera terbiasa dengan logat Medan.
Pernah suatu kali ketika ia sedang berbicara dengan mamanya via telepon, ia dimarahi dengan mamanya karena memakai logat Medan yang terkesan sedikit
kasar. Lalu Vera pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Walaupun rindu pada keluarga dan ada rasa ingin pulang ke Papua, namun Vera
sudah berjanji pada dirinya bahwa ia tidak akan pulang sebelum selesai. Setiap liburan pun ia habiskan bersama teman-temannya di Medan. Pernah Vera ke
mikie holiday yang berada di Berastagi bersama teman-teman Papuanya. Saat semester satu ia diajak dengan temannya ikut pulang kampung bersama temannya
di Tarutung. Orang tua temannya yang menyuruh untuk membawa Vera karena ingin sekali melihat Vera yang berasal dari Papua. Terus pada semester dua Vera
juga diajak oleh teman dan orang tuanya ke Samosir. Tidak hanya itu bahkan Vera dikasih uang sebesar Rp 300.000,- oleh orang tua temannya. Lalu ia juga pernah
ke Parapat diajak juga dengan orang tua temannya. Liburan kali ini Vera pulang ke Papua karena ada saudaranya yang meninggal.
“Setiap hari mamaku telpon dia nggak bisa nggak dengar suaraku sehari. Aku kalau ngomong dengan keluarga di Papua pakai logat
Papua lagi nggak pakai logat Medan. Tapi pernah ditanya dengan mamak “kok suara kamu kasar kali?” terus aku bilang nggak sih.
Mama bilang jangan kayak gitu la terus aku bilang iya ma nadanya agak tinggi. Kalau rindu sih rindu, tapi nggak ada rasa ingin
pulang. Kalau belum berhasil jangan dulu pulang. Ada ke mikie holiday dengan anak-anak Papua, kami jalan sendiri pas mau pergi
tanya ke teman yang tahu jalan ke Papua. Pas semester 1 aku ke Tarutung, di ajak sama mama kawan kata mamanya ajak laa
temenmu yang Papua itu, aku ingin lihat. Terus waktu semester 2 aku ke Samosir dengan kawan juga dan orang tuanya. Aku dikasih
uang 300.000 dengan orang tuanya terus juga dibeliin baju ini. Ke parapat juga sudah pernah dengan kawan diajak juga dengan orang
Universitas Sumatera Utara
tuanya. Aku yang bulan 7 ini pulang karena tulangku meninggal, terus ada juga tanteku yang meninggal jadi mau dibuat acara.”
Banyak pengalaman yang Vera dapatkan selama dua tahun tinggal di Medan. Mulai dari perbedaan bahasa, menjadi selebriti di kampus sampai
pengalaman dalam bekerja sama. Vera mengaku banyak sekali pengalaman yang ia dapatkan. Di sini ia dapat bekerja sama dengan teman-teman yang berbeda etnis,
berbagi pengalaman dan belajar dari orang lain untuk masa depan. Walaupun awalnya ia sempat bingung siapa nantinya yang akan mejadi pembimbing selama
di Medan, namun Vera beruntung karena ia mempunyai abang pembimbing yang dikenalnya di Medan. Mahasiswa Papua membuat perayaan natal pada tahun 2013
dan pada saat itu Vera ditunjuk untuk menjadi bendahara dan Vera mengaku perayaan natal yang pertama kali mereka buat terbilang sukses. Selain itu Vera
pernah mengalami kendala bahasa dalam berkomunikasi. Waktu pertama kali ke Medan, Vera sangat asing dengan kata-kata “tengok” yang berarti lihat,
“semalam” yang berarti kemarin, terus kata “kereta” yang berarti motor di Medan. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari temannya, ia pun mengerti dan hal
tersebut dijadikan pengalaman agar jika berkomunikasi dengan orang di Medan tidak sampai berbeda arti lagi. Vera ternyata sangat dikenal oleh dosen-dosen
yang masuk ke kelasnya dan bahkan ia sering ditraktir makan. Ketika inagurasi kalau mahasiswa-mahasiswa lainnya tidur sempit-sempitan berbeda dengan Vera
yang diajak tidur di kamar dosen. Namun tidak hanya hal indah yang Vera rasakan selama tinggal di Medan. Ia pernah dibohongin ketika mau beli baju di
pajak sore. Pada saat itu Vera masih memakai logat Papua belum menggunakan logat Medan. Ketika Vera menawar harga baju tersebut, si penjual malah marah-
marah. Akhirnya karena Vera butuh baju tersebut untuk kuliah besok, ia pun tetap membeli dengan harga yang tidak bisa ditawar.
“Kalau disini sih banyak pengalaman yang saya dapatkan. Kalau di Papua saya juga sempat jadi ketua kelas, jadi bendahara. Disini
banyak kegiatan, bisa kerjasama dengan kawan-kawan, bisa berbagi pengalaman, bisa belajar dari orang lain untuk masa depan. Kami
waktu pertama kali datang ke Medan bingung siapa nanti pembimbing kami tapi syukurlah ada abang kami namanya bang
Parlihutan sama kakak Imelda. Kami kenalnya seminggu setelah kami sampai di Medan. Dia jumpa dengan Rincek anak Papua
fakultas kesehatan masyarakat pas sakit gigi di poliklinik.
Universitas Sumatera Utara
Mamanya abang itu orang Manado, terus dia dekati Rincek tanya kamu orang Papau ya? trus si Rincek dipanggil. Dia mau
menganggkat kami jadi adik asuhnya. Kalau nggak dismsin, dia merasa rugi. Dia ajarin kami untuk jadi pemimpin. Dia suruh buat
kegiatan Natal tahun 2013, aku jadi bendaharanya, dia yang mensupport kami untuk buat kegiatan ini dan syukurnya sukses
itulah suatu kebanggan. Waktu pertama kali lah. Disini bilangkan “lihat” jadi tengok. terus kalau kemarin sama dengan semalem.
Waktu awal kuliah pernah temanku tanya, “Vera kau semalam nggak masuk ya?” terus aku jawab aku mana ada masuk malam-
malam, masa malam kuliah. Terus aku baru tahu kalau disitu arti semalam itu kemarin. Terus tengok “coba Vera tengok dulu itu
“ tengok ?apa yang kutengok? lihat kek gitu bilang”. Terus orang sini bilang motor “kereta” jadi kaget waktu awal lepas dari itu
semua hampir mirip. Iya kak, sering kami ditraktir makan. Pernah waktu inagurasi aku diajak tidur dikamar dosen, kalau mahasiswa
lainnya nggak diajak. Pernah, waktu itu kami mau beli baju ke pajak sore, tanya berapa harganya dikasih tau 150.000 padahal harganya
5.000, waktu itu logat kami masih pakai logat Papua, terus kami minta nawar dia malah marah-marah. Yaudah tetap kami beli
karena kami perlu bajunya untuk kuliah besok.”
Ketika nanti sudah balik ke Papua, ada keinginan Vera untuk kembali lagi ke Medan. Untuk sekarang Vera sudah nyaman tinggal di Medan. Jumlah orang
Papua di sini sedikit, kalau orang Papua di luar Medan mereka ada pikiran untuk pacaran, jadi tidak fokus ke belajar saja. Mereka sesama anak Papua selama
kuliah di Medan saling membantu satu smaa lain dan saling mengingatkan. Mereka berkumpul setiap hari jumat pada saat kebaktian. Pada saat berkumpul
itulah mereka saling cerita kendala-kendala apa saja yang dialami lalu dicarikan jalan keluarnya bersama-sama. Mereka sama-sama belajar di Medan lalu setelah
lulus akan kembali ke ke Papua untuk membangun ketertinggalan. Ketika berkumpul mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
“Ada doong pasti. Kalau aku sih dimana aja bisa yang penting bisa adaptasinya. Kalau sekarang aku sudah nyaman tinggal di Medan,
kayak di asrama sini aman jam 9 malam sudah tutup gerbang. Terus disini sedikit orang Papuanya, kalau orang-orang Papua disana
diluar Medan orang itu ada pikiran lain untuk pacaran, kalau disini berpikirnya untuk berkawan, saling mengingatkan satu sama
lain terus kalau ada yang nggak punya duit kasih tahu biar kami bisa saling bantu. Terus juga setiap jumat kami ada kebaktian, jadi
kami disitu saling cerita apa masalahnya, terus kami saling bantu untuk mengatasinya. Kami disini sama-sama belajar terus nanti
kalau uda lulus balik ke Papua untuk bangun Papua.”
Universitas Sumatera Utara
Di akhir wawancara, peneliti bertanya apakah ada saran untuk adik-adik yang akan melanjutkan pendidikan di USU. Vera berharap mereka baik-baik
kuliahnya di sini dan pendidikan mereka lebih tinggi daripadanya. Ia bercita-cita ingin menjadi kepada dinas atau menjadi seorang pengajar.
“Semoga adek-adek itu tidak kayak kami, kalau kami kan baru pertama kali datang nggak ada senior. Kalau aku berharapnya
mereka baik-baik kuliahnya, fokus sama kuliahnya balik ke Papua kalau sudah lulus. Aku mau pendidikan adek-adek di Papua ini bisa
lebih tinggi daripada aku, aku ingin memajukan pendidikan di Papua.”
4.2 Pembahasan
Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut : 1.
Proses komunikasi antarbudaya Komunikasi antarbudaya terjadi apabila pemberi dan penerima pesan
berasal dari budaya yang berbeda. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19. Proses komunikasi yang terjadi antara mahasiswa Papua dan
mahasiswa USU lainnya adalah komunikasi antarbudaya yang mana mereka berasal dari budaya yang berbeda dan membawa budayanya masing-masing ketika
berinteraksi. Semua informan berinteraksi dengan teman kampusnya yang berbeda etnik dan terjadilah pertukaran informasi di antara kedua pihak.
Pada umumnya mahasiswa Papua berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya sangat baik walaupun ada juga salah seorang dari informan yang mengaku
tidak terlalu baik proses komunikasinya yaitu Anet. Ia mengaku teman-temannya di kampus susah menjalin komunikasi untuk urusan materi kuliah seperti tugas
dan menurutnya mereka lebih individual dan tidak mau membagi ilmu dengannya. Tidak hanya dengan teman-teman kampus, bahkan Anet pun kurang bergaul
dengan mahasiswa Papua lainnya. Ia mengaku sudah jarang ikut perkumpulan mahasiswa Papua. Namun begitu ia mempunyai teman di USU tetapi dari fakultas
yang berbeda darinya. Kalau untuk proses komunikasi di asrama, Anet mengaku lebih nyaman bergaul dengan teman-teman asramanya bahkan mereka sering
makan bersama.
Universitas Sumatera Utara