Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

(1)

CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA ASAL MALAYSIA DI MEDAN (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh:

EMMA VIOLITA PINEM 070904064

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : EMMA VIOLITA PINEM NIM : 070904064

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : CULTURE SHOCK DALAM INTERAKSI

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA MALAYSIA DI MEDAN (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara)

Medan, Februari 2011

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi,

Dra. Lusiana Andriani, M. A, Ph. D Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A NIP : 196704051990032002 NIP : 196208281987012001

Dekan

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP: 196805251992031002


(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Malaysia memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada. Dalam hal terpaan dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat dalam beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas Kedokteran cenderung lebih berkelompok dan tidak akrab dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan di Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa Malaysia lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia, meskipun ada yang juga masih sering berkumpul dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan intensitas interaksi dengan mahasiswa Indonesia baik untuk urusan kampus atau di luar kampus lebih sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi mereka. Selain itu, faktor lama menetap juga turut mempengaruhi. Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih menyeluruh.


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 6

I.3 Pembatasan Masalah ... 6

I.4 Tujuan Penelitian ... 7

I.5 Manfaat Penelitian ... 7

I.6 Kerangka Teori ... 8

I.7 Kerangka Konsep ... 16

I.8 Operasionalisasi Konsep ... 17

I.9 Definisi Operasional ... 18

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya ... 20

II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya ... 20

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya ... 22

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal ... 28

II.2.1 Bahasa Verbal ... 28


(5)

II.2.3 Bahasa Verbal dan Non Verbal dalam Proses

Komunikasi Antarbudaya ... 31

II.3 Akulturasi ... 33

II.3.1 Definisi Akulturasi ... 33

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi ... 33

II.3.3 Variabel-variabel Komunikasi ... 36

II.3.4 Culture Shock ... 38

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik ... 42

II.4.1 Definisi Teori Interaksionisme Simbolik ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45

III.1.1 Universitas Sumatera Utara ... 45

III.1.2 Fakultas Kedokteran USU ... 49

III.1.3 Fakultas Kedokteran Gigi USU ... 53

III.2 Metodologi Penelitian ... 57

III.2.1 Metode Kualitatif ... 57

III.2.2 Studi Kasus ... 59

III.2.3 Lokasi Penelitian ... 62

III.2.4 Subjek Penelitian ... 62

III.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 64

III.2.6 Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 67


(6)

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan ... 148 V.2 Saran ... 151 DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran

dan Fakultas Kedokteran Gigi USU ... ... 63


(8)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek penelitian adalah mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU yang masih aktif kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Malaysia memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada. Dalam hal terpaan dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat dalam beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas Kedokteran cenderung lebih berkelompok dan tidak akrab dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan di Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa Malaysia lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia, meskipun ada yang juga masih sering berkumpul dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan intensitas interaksi dengan mahasiswa Indonesia baik untuk urusan kampus atau di luar kampus lebih sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi mereka. Selain itu, faktor lama menetap juga turut mempengaruhi. Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih menyeluruh.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan hidup. Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya setempat, sehingga akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan sebagai seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana cara mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Pola-pola budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan diasuh dalam budaya tersebut.

Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan pendidikan, dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut dengan enkulturasi.


(10)

Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan non verbal dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru yang ia masuki.

Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana sesuatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai, bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terjadi. Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di


(11)

sekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174).

Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam melangsungkan komunikasi. Individu yang memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga akan berhadapan dengan orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus menyandi pesan dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita.

Mahasiswa asal Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu lingkungan budaya baru. Mereka meninggalkan negara asalnya untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan


(12)

baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya itu pasti ada. Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara. Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga mengamati kondisi mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya yang masih tampak berkelompok. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi keterkejutan budaya yang mereka alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian ini.

Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas tersebar di dua fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia baru hanya mengakui dua program studi ini

(http://www.antarasumut.com/pendidikan/usu-terima-40-mahasiswa-baru-asal-malaysia/). Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka alami ketika memasuki lingkungan baru dan upaya dalam mengatasinya.

Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang akan mereka alami ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang


(13)

dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudaya yang efektif. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal (intrapersona), seperti karakteristik personal, motivasi individu, persepsi individu, pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97). Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa asal Malaysia yang belajar di USU.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Medan”.


(14)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

a. “Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di USU?” b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam

mengatasi culture shock yang dialami?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia dan upaya mengatasinya.

2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh pendidikan di dua fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal Malaysia yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun. Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya gambaran culture shock saja yang dapat dilihat tetapi juga upaya dalam mengatasinya.


(15)

3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam sorotan interaksi komunikasi antarbudaya.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang dialami mahasiswa asal Malaysia di USU.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di USU.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia di USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya culture shock.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya khasanah mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat sangat sedikit penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi USU.


(16)

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki budaya baru.

I.6 Kerangka Teori

Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.

Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6).

Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Komunikasi Antarbudaya, Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori Interaksionisme Simbolik.

I.6.1 Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood, komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta


(17)

komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.

Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).

Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada


(18)

orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga memberi penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya.

Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).

Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial meliputi fungsi pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi sosialisasi dan fungsi menghibur (Liliweri, 2003: 35).


(19)

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki

3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak

4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).

I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan.


(20)

Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam.

Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201).

I.6.3 Akulturasi

Di dalam ilmu pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut, namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).


(21)

Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).

Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.


(22)

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya.


(23)

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan


(24)

mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001: 68).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat dalam komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

- Culture shock


(25)

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Culture shock A. Faktor-faktor yang

mempengaruhi culture shock sesuai dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi : 1.Komunikasi Persona/faktor

intrapersonal, meliputi: a. Karakteristik personal b. Motivasi individu c. Persepsi individu d. Pengetahuan individu e. Pengalaman sebelumnya 2.Komunikasi Sosial, yakni

komunikasi antarpersona baik verbal maupun non verbal.

3.Lingkungan komunikasi B. Tingkatan culture shock:

1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems)

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)

Karakteristik Informan 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Asal Fakultas 4. Lama menetap

I.9 Definisi Operasional


(26)

1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:

a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal Malaysia.

b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan mahasiswa asal Malaysia untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan. c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang

lingkungan barunya, yakni Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.

d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.

e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal Malaysia tentang Medan.

2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Malaysia dengan orang-orang Medan.

3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.

B. Tingkatan culture shock:

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias akan memasuki budaya baru.


(27)

2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Malaysia mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai mengenal budaya baru yang dimasukinya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana mahasiswa asal Malaysia telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya.

Karakteristik Informan:

1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan

3. Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi 4. Lama menetap: lama informan menetap di Medan.


(28)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Antarbudaya

II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 2).


(29)

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an. Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977.

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak saat itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya. Selanjutnya, 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988 (Liliweri, 2001: 3).


(30)

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).

Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut:

1.Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.


(31)

2.Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3.Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4.Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-11).

Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) karena adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda. Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas kultural yang berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53).


(32)

Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 15)

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).

Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Terdapat banyak


(33)

masalah-masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi, karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk ditanggulangi. Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.

Usaha untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga hal tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka. Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan


(34)

pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).

Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi antarbudaya. Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi. Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif. Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240).

Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki


(35)

7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak

8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.

Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada komunikan, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang datang dari komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam suasana situasi tertentu. Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya sendiri. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung. Memberi dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, merasa dan bertindak (Liliweri, 2001: 171-174).


(36)

Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superior-inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 37).

Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).

II.2 Bahasa Verbal dan Non Verbal

II.2.1 Bahasa Verbal

Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang


(37)

kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.

Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 164).

Menurut Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi tatap muka manusia hanyalah 35%. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana, 2005: 245-254).

II.2.2 Bahasa Nonverbal

Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya),


(38)

namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.

Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi berikut:

1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal 2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi

perilaku verbal.

3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. 4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168)


(39)

II.2.3 Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam Proses Komunikasi Antarbudaya

Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya. Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut. Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut.

Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosial-budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan


(40)

konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 169-170).

Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya seseorang tersebut. Oleh karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda.

Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 201).


(41)

II.3 Akulturasi

II.3.1 Pengertian Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137)


(42)

Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.

Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138). Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain?

Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya. Transaksi-transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya. Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui. Sebagai seorang anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing.


(43)

Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi-situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya


(44)

perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).

II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi

Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.

Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel


(45)

persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.

Kedua, komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota masyarakat pribumi.

Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).


(46)

II.3.4 Culture shock

Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang. Istilah ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis. Orang-orang memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang, pengetahuan dan tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku komunikasinya dengan pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi. Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan. Hal inilah yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya (culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335). Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga termasuk kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup seseorang sejak kecil (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki suatu


(47)

budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan mengalami frustasi dan kecemasan.

Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami

Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun.

Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan,


(48)

bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).

Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve.

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa


(49)

penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U, individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.


(50)

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik

II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik, meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68).

Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)


(51)

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93)

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang


(52)

diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.


(53)

Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara

a. Sejarah Universitas Sumatera Utara

Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya. Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh Gubernur Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim (Ketua); Dr. T. Mansoer (Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara); Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar, Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan dan Soetan Pane Paruhum (Anggota). Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan telah mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan


(1)

akrab. interaksi bole la, bagus juga, cuman bahasa tu la, kadang gak bisa dipahami.

P : Apakah Girthee mengalami masalah bahasa dalam

berkomunikasi?

I : kalau bahasanya sampai sekarang gak fasih lagi, sebab masih banyak teman yang bilang bahasa saya sukar dipaham gitu. saya ada gagal pelajaran sebab gak bisa bahasanya, sampai gagal 4 sampai 5 sesion, sebab ngomongnya gak betol. kadang kalau presentasi di tutorial itu kan kadang gak sadar campur bahasa dengan bahasa malaysia kan, kena marah dosen la macam tu, mereka bilang kenapa kamu campur-campur, kadang campur lagi dengan bahasa inggris, macam-macam la.

P : Bagaimana Girthee mengatasi kesulitan itu?

I : teman banyak bantu juga la, kadang mereka translate dalam bahasa Inggris supaya saya ngerti. Jadi kadang saya guna bahasa signal, sebab bahasa signal lebih mudah kak, lebih mudah pahami. P : Kalau dengan orang-orang Medan (Indonesia) yang di luar

kampus, bagaimana interaksi Girthee? Apakah pernah menemukan masalah atau sesuatu yang berbeda dengan membuat shock?

I : tukang becak la, suara yang kuat. kadang kala mereka tanya mau pergi mana kan, bila kami kata mau pergi mana-mana kan, bayarnya mahal, nanti mereka jerit sama kami, mereka bilang kan “oh kamu orang malaysia, kamu udah kaya, gak mau bayar lagi. Macam tu la. tapi kami langsung jalan aja, sebab udah biasa la. Kadang mereka jerit-jerit bilang apa pun kami tak ngerti, jadi lalu aja la.

P : Girthee pernah merasakan homesick? I : pernah la, pasti pas waktu mula-mula tiba.

P : Sampai saat ini, masih ada masalah yang belum bisa Girthee atasi? Masih ada yang belum bisa diadaptasi/

I : udah bisa la, cuman bahasa masih belajar lagi. pokoknya komunikasi la yang kami paling takut kak,apalagi nanti mau coass kan, sama suster, pasien lagi kan. Itulah yang rasa paling sukar, takut la.


(2)

8. Kaartini

P : Tini sebelumnya pernah ke Medan untuk sekedar holiday atau urusan apapun gitu?

I : Tak pernah, ini kali pertama datang.

P : Sebelum Tini ke Medan, persepsi Tini tentang Medan itu seperti apa?

I : persepsi mungkin orang ramai pun bilang gitulah kan, hati-hati la, takut nanti banyak orang jahat kan. Karena di Indonesia ini kan banyak konflik antar indonesia dengan malaysia kan, jadi harus hati-hati. Lepas tu ke medan lagi, disana kan banyak orang batak, mereka bilang gitu jadi hati-hati nanti ada yang makan orang, macam tu la orang ramai bilang.

P : Ketika tiba di Medan, apa yang Tini rasakan? Merasakan perbedaan kah? Mungkin dari segi budayanya, apakah Tini merasakan perbedaan budaya yang membuat Tini terkejut?

I : awalnya Tini kira budaya tu semua sama aja kan, malaysia indonesia pun budayanya sama la, tapi bila datang sini beda la. dia bedanya kalau disini kan sosialnya lebih tinggi la, maksudnya lebih tinggi tu, contohnya macam pergaulan antar perempuan dan laki kan, lebih bebas dibandingkan malaysia. Kita pun bebas juga, tapi terkadang kalau di depan umum tertutup gitu, ada batas la, itu kalau di umum, agak malu macam tu la, kalau di belakang kita pun gak tau kan.

P : Itu sesuatu yang tidak wajar dan pernah membuat Tini tidak nyaman?

I : Ada la, sebab tak biasa. Kalau di medan, yang berjilbab aja pun kadang pegang-pegang gitu, rangkul, macam udah biasa gitu kan, disana, di malaysia gak biasa macam tu.

P : Bagaimana interaksi Tini dengan orang-orang Medan (Indonesia), baik di kampus atau di luar?

I : interaksi gak terlalu macam mana, cuman bahasanya aja yang sukar dipahami.

P : Tini pernah mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi? I : Kadang ada satu kata yang sama ucap tapi maknanya beda, lepas

tu ada kata yang asing, memang tak paham sama sekali la. P : Kalau gitu, bagaimana cara Tini mengatasinya?

I : Dulu mulanya tu selalu kalau kuliah tu kan, selalu di sebelah saya tu harus ada orang indonesia, sebab mau tanya apa maksud ini itu


(3)

kan, karena memang jauh kali la beda bahasa, hampir sama memang kak, tapi ada bahasa yang beda juga, saya tak ngerti, kayak “encer”. Saya tak tau, encer itu apa? Oh, cair maknanya, ya macam-macam tu lah, sukar juga.

P : Menurut Tini bagaimana orang-orang Medan, teman-teman di kampus atau di luar?

I : FK masi ada kelompok-kelompok la, kurang berbaur, bukan indonesia aja, malaysia pun berkelompok-kelompok juga. Tapi tini ada teman akrab indonesia juga la, kiranya macam pernah tidur sama di rumahnya gitu kan.

P : Kalau di kampus, Tini lebih sering berkumpul dengan teman yang sesama Malaysia atau bergabung juga dengan Indonesia?

I : sebenarnya kalau ikutkan, tini lebih sering sama yang orang indonesia. Sebab kami ada kayak belajar bahasa arab bersama gitu kan, jadi terkadang tidur rumah mereka, macam ada program gitu la.

P : Berarti Tini punya banyak best friend orang Indonesia?

I : teman-teman Tini yang indonesia itu memang baik-baik la, saya suka kali teman dengan mereka. Banyak juga la, ada 10 orang la kami.

P : Kalau dengan sesama penghuni kost di rumah ini, Bagaimana hubungan atau interaksi Tini?

I : kalau di kost biasa-biasa aja la, sama yang di atas dekat juga. Kalau di bawah malaysia juga, cuman india, tegur-tegur gitu aja la, biasa aja. ada rasa macam tu juga kadang-kadang, agak lain sikit. sebab mereka kan udah biasa macam tu, jadi kami pun lain, tapi memang lain la, kami memang lain sama mereka. Jadi ya sabar aja la, diam-diam aja, cuman tegur gitu aja.

P : Selain semua perbedaan ya Tini sebutkan tadi, apakah ada perbedaan lain yang Tini rasakan?

I : kalau lingkungannya itu memang beda dengan malaysia, kalau disini kan gak teratur, disana pun macet juga, tapi tersusun, disini kan tekan horn yang berkali-kali kan, kalau disini horn tu biasa kan, kalau disana tekan horn itu udah macam marah gitu la. lepas tu main jalan aja kalau lampu merah.

P : Tini pernah merasa sangat rindu Malaysia?

I : homesick memang selalu la, banyak kali nangis, sering la, tapi mula-mula aja, sekarang ada rindu juga tapi tak pala la.


(4)

P : Jadi, apakah sekarang Tini udah merasa nyaman di Medan I : Udah la, udah biasa, udah bisa adaptasi.

9. Lim Rui Liang

P : Ini pengalaman pertama Lim ke Medan atau sudah pernah sebelumnya?

I : Gak, ini kali pertama.

P : Apa yang Lim rasakan sebelum datang ke Medan? Ada perasaan takut atau ada persepsi apa sebelumnya tentang orang Medan? I : Belum ada rasa apa la, sebab awalnya mau sekolah di university

di malaysia, cuman karena sukar masuk, lepas itu mahal juga, jadi pilih usu aja, sebab ada dentistry, murah juga gitu, dan terkenal juga di Malaysia, bagus juga.

P : Ketika sampai di Medan, apa yang Lim rasakan?

I : Ada beda la. Pertama-tama makanannya lho, makanannya yang pedas kali, gak tahan la itu makanannya.

P : Kalau dengan orang-orangnnya?

I : Orang-orangnya agak ramah la gitu, friendly.

P : Gimana komunikasi Lim, apakah ada kendala bahasa?

I : pertama kali memang sukar la, apalagi bahasa, nanti ada bahasa yang sama tapi artinya beda. Misalnya bisa gitu kan, disini bisa berarti boleh, tapi disana bisa cuman berarti racun aja. Tapi udah beberapa bulan perlahan-lahan la udah bisa mengerti.

P : Kalau Lim sering bergabung dengan orang Indonesia di kampus atau di luar?

I : pertama kali memang belum berbaur la, tapi udah setengah tahun gitu ada la, berbaur, karena ada tugas bersama juga, atau lab praktikum gitu kan, jadi mulai bergaul-gaul.

P : Lim lebih sering gabung dengan sesama Malaysia atau Indonesia? I : saya orangnya ok ok aja, bergaul aja sama semau, kalau diajak

ikut la.

P : Pernah merasa homesick?

I : homesick mula-mula ada la. tapi gak pernah besar lagi, udah biasa aja, enjoy dengan kawan semua.


(5)

P : Sampai sekarang masih ada masalah yang belum bisa Lim atasi? I : kalau waktu coass sekarang masih ada sedikit komunikasi yang

sulit la, tapi masih ok juga, banyak teman bantu juga kan.

10. Jonathan Lin Chee Hang

P : Apakah pernah ke Medan sebelumnya? I : Gak, baru pertama.

P : Apa yang Jonathan rasakan ketika tiba di Medan?

I : ini pertama kali ke medan, jadi gak ada bayangan la. tapi saya memang pernah ke tempat-tempat lain seperti filipina, jadi bagi saya sama aja. selain itu gak terlalu bermasalah la, sebab saya sering pindah-pindah, filipina, jerman, di indonesia itu di medan, palembang, kalimantan juga. sebab sebelumnya saya pernah ke filipina untuk studi, tapi gak jadi sebab disana populasi lebih ngeri. P : Jonathan pernah mengalami masalah dalam komunikasi?

I : kalau pertama kali, tahun pertama memang ribet la bahasanya. Apalagi kan saya mix chinesse, orang tionghoa disini kan beda bahasanya. Kalau orang tionghoa disana pakai bahasa mandarin, kalau disini pakai bahasa Hokkein, jadi saya gak bisa hokkein, jadi terpaksa guna bahasa inggris aja.

P : Apakah ada perasaan takut atau cemas dalam berinteraksi dengan orang-orang Medan?

I : maksudnya kalau saya kan, mamak orang filipina, jadi saya pernah ke filipina, jadi gak begitu shock dibanding filipina, kalau di sini, culture shock, berat kali gak, sedang aja. Kalau yang berat di filipina, disitu berat la. bahasa juga, karena mereka pikir saya kayak orang filipin, mereka langsung cakap bahasa mereka, jadi saya sempat diam, sebab terkejut. Jadi disana dulu saya takut untuk berkomunikasi la, sebab tak paham bahasa mereka. Kalau di indonesia, sebenarnya bahasa melayu hampir mirip dengan bahasa indonesia kan, jadi saya agak ngerti. Kemudian, sebab saya kan di pusat kota, di Manila. Disitu lebih ribet la, lebih banyak, gak bisa saya terima, kayak traffic jam, sebab saya gak bisa ke tempat yang terlalu banyak orang.

P : Jonathan ada merasa perbedaan ketika tiba di Medan?

I : Ada juga la, makanan gitu ka, bahasa juga ada. Tapi paling besar itu fasilitasnya, kalau mau kemana-mana susah gitu, gak tau lokasinya.


(6)

P : Jonathan lebih sering kumpul dengan sesama Malaysia atau Indonesia?

I : Kalau teman kost memang malaysia semua, tapi banyak juga teman orang indonesia, sering datang ke kost saya juga, main-main. P : Lebih sering dengan yang mana?

I : saya ada komunitas disini, jadi maksudnya kalau mereka ajak ya saya mau ikut la dengan orang Medan. saya sering kumpul-kumpul sama teman orang indonesia juga. Kami ada komunitas peliharaan gitu, namanya MERCY Medan Reptilies and Amphibians Community, yang aktif itu sekitar 25 orang, ada dari Aceh, batak, yang dari malaysia saya aja, lainnya indonesia.

P : Berarti Jonathan punya banyak teman Indonesia?

I : Iya, banyak, sebab komunitas tadi itu, kita sering kumpul> dari situ juga la belajar kan.

P : Sampai sekarang masih ada masalah dalam interaksi?

I : Gak ada la, paling coass aja, masalah komunikasinya, tapi sekiranya gak masalah, mesra juga la, yang penting mereka ngerti saya dan dan saya ngerti mereka ya udah.

P : Jonathan udah merasa nyaman?

I : Udah bisa la, adaptasi bisa, sebab saya udah sering-sering pindah tadi, jadi udah biasa.

11.Amir

P : Pertama kali ke Medan atau sudah pernah sebelumnya? I : Pertama kali untuk kuliah.

P : Ketika sampai di Medan, apa yang Amir rasakan?

I : pertama kali sampai medan, memang ada rasa agak beda la dengan malaysia. Kotanya agak padat, jalan gak teratur kali, bising sebab sering tekan horn. Tapi sekarang biasa aja la, malah saya pun ikut tekan horn juga la.

P : Dengan perbedaan itu, bagaimana kondisi Amir?

I : Ya, untuk itu ada tenang kan diri juga la selama sebulan. Tapi cepat aja, udah bisa sekarang.

P : Kalau interaksi dengan orang-orang Medan di kampus? I : Kalau di USU pun beda la dengan di Malaysia.

P : Bagaimana dengan orang-orangnya?

I : kalau orang Medan ngomongnya memang agak kasar, bahasanya gak begitu jauh, medan dengan malaysia itu hampir sama la.

P : Bagaimana hubungan Amir dengan orang-orang Medan