Perubahan Profil Risiko Bank Risiko Likuiditas Yang Dihadapi MI

45 Pasar Modal saat ini, terdapat 12 bank umum yang menjadi broker penjualan reksadana. dimana bank-bank tersebut secara dominan menguasai pangsa pemasaran reksadana. Dari sisi perbankan, faktor pendorong yang menjadikan reksadana tumbuh drastis adalah adanya keinginan untuk mempertahankan pangsa pasar Dengan menyediakan alternatif penanaman dana kepada terutama kepada nasabah-nasabah utama prime cus- tomers, bank mendapatkan dua manfaat yaitu meningkatkan fee-based income dan mempertahankan nasabah-nasabah tersebut sehingga tidak beralih kepada bank lainnya. Pada saat ini tuntutan dari prime customers adalah memperoleh return yang cukup tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan suku bunga SBI dan deposito berjangka. Dari perspektif kepentingan Pemerintah, pertumbuhan reksadana memberikan beberapa manfaat. Pertama, pembebasan pajak akan membantu terbentuknya pasar sekunder obligasi pemerintah yang likuid dan besar. Dengan adanya pembebasan pajak, obligasi Pemerintah menjadi underlying instruments yang menarik investor dan Manajer Investasi sehingga mudah diperdagangkan dengan harga yang mencerminkan harga pasar yang fair. Selain itu, pasar yang likuid pada akhirnya akan mendorong yield to maturity YTM obligasi menjadi lebih rendah. Kedua, terjadi penghematan keuangan Pemerintah. Dengan YTM yang lebih rendah, terjadi penghematan keuangan Pemerintah. Grafik 4.30 menggambarkan bahwa YTM sejumlah obligasi pemerintah yang aktif diperdagangkan, mempunyai pergerakan YTM yang semakin menurun tajam. Per akhir Februari 2003, YTM obligasi seri FR 06 dan FR 08 obligasi rekap bahkan telah berada dibawah suku bunga SBI 1 bulan. Dampak Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan Dari perspektif stabilitas sistem keuangan, pertumbuhan reksadana yang drastis perlu dicermati dampaknya terutama terhadap sektor perbankan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian mendalam berkaitan dengan tumbuhnya reksadana adalah sebagai berikut:

a. Perubahan Profil Risiko Bank

Transaksi reksadana melalui bank membawa dampak peningkatan risiko baik oleh bank yang bertindak sebagai agen maupun yang bertindak sebagai standby buyer. Bank yang bertindak sebagai agen pemasaran produk reksadana white label products menghadapi risiko menurunnya reputasi reputation risk jika Manajer Investasi MI mengalami default, terlebih jika MI tersebut terafiliasi dengan bank. Masyarakat dapat beranggapan bahwa default tersebut secara penuh merupakan tanggung jawab dan dapat dibebankan kepada bank. Adapun bank yang bertindak Grafik 5.5 Perkembangan YTM beberapa Fixed Rate Bonds dan Suku Bunga SBI Persen 15,0 14,5 14,0 13,5 13,0 12,5 12,0 11,5 3 10 17 24 31 Januari 2003 Februari 2003 FR 06 FR 08 FR 21 SBI 1 Bulan 7 14 21 28 46 Bab 5 sebagai standby buyer, akan menghadapi peningkatan risiko harga yang signifikan terutama jika melakukan repurchase agreement repo obligasi Pemerintah dengan MI. Beberapa bank melakukan perjanjian repo dengan MI, yaitu bilamana terjadi penarikan redemp- tion dalam jumlah besar, MI dapat menjual kembali obligasi Pemerintah kepada bank dimaksud. Apabila suku bunga SBI menurun, harga obligasi Pemerintah yang menjadi underlying asset reksadana pendapatan tetap akan meningkat sehingga bank yang melakukan repo dengan menghadapi eksposur risiko harga yang tinggi.

b. Risiko Likuiditas Yang Dihadapi MI

Investor belum sepenuhnya memahami risiko investasi dalam reksadana, khususnya yang berkaitan dengan redemption jika investasi dalam reksadana jatuh tempo. MI menghadapi risiko likuiditas apabila terjadi penjualan kembali redemption secara massal dalam jangka waktu singkat oleh pemegang unit penyertaan. Selain itu, risiko likuiditas sebagai akibat redemption ini juga sangat mungkin terjadi jika intermediasi perbankan mulai berjalan. Hal tersebut juga dapat diakibatkan adanya perubahan mendasar dalam kebijakan suku bunga atau instrumen moneter. Selanjutnya, risiko likuiditas yang dihadapi oleh MI bertambah besar jika terhjadi penurunan NAB yang pada umumnya mendorong terjadinya penarikan. Hal ini dapat terjadi terutama pada kondisi dimana investor Indonesia pada umumnya belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai invetasi pada instrumen non- bank serta masih bersikap menghindari risiko risk- averse.

c. Belum Terwujudnya Disiplin Pasar