Kriminalisasi poligami pegawai negeri sipil di indonesia menurut hukum islam

KRIMINALISASI POLIGAMI PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh:
Achmad Munir
NIM: 1110043100034

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2014 M

KRIMINALISASI POLIGAMI PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh:
Achmad Munir
NIM: 1110043100034

Pembimbing:

Pembimbing I:

Pembimbing II:

Drs. Ahmad Yani, M. Ag.
NIP: 196404121994031004

Ummu Hannah Yusuf Saumin, MA.
NIP: 150277548

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2014M

i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Kriminalisasi Poligami Pegawai Negeri Sipil Di
Indonesia”, telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1)
pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 29 Desember 2014
Mengesahkan
Dekan,

Dr. Phil. JM. Muslimin, MA
NIP. 150295489


PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua

: Dr. Khamami Zada. MA
NIP. 197501022003121001

( ....................... )

Sekretaris

: Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA
NIP. 197402162008012013

( ....................... )

Pembimbing I : Ahmad Yani, M. Ag
NIP.196404121994031004
Pembimbing II: Ummu Hannah Yusuf Saumin, MA
NIP. 150277548


( ....................... )

( ....................... )

Penguji I

: Dr. H. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., MA ( ....................... )
NIP. 195008171989031000

Penguji II

: Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc, MA
NIP. 197402162008012013
ii

( ....................... )

LEMBAR PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa;

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

29 Desember 2014 M
Jakarta :
07 Rab.Awwal 1436 H

Penulis

iii

ABSTRAK
Achmad Munir, NIM 1110043100034, “KRIMINALISASI POLIGAMI

PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM”
konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. v + 92 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap
kriminalisasi poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil berdasarkan
Peraturan Pemerintah no. 45 Tahun 1990, penyebab poligami dianggap sebagai suatu
tindakan kriminal adalah ketidakadilannya dan penindasan terhadap kaum wanita,
dari sebab tersebut maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang
poligami yang didalamnya terdapat sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
poligami, tetapi menurut hukum Islam poligami adalah suatu tindakan yang
diperbolehkan bukan merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum (hukum
Islam).
Adapun penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yang menekankan
pada kualitas pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan dan hukum Islam.
Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan
melihat objek hukum berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Adapun
pengelolaan yang dipakai penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan yang konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah dalam memutuskan
hukum pelarangan poligami terhadap PNS, dengan alasan bahwa poligami
merupakan tindakan melanggar hukum, seperti dalam PP no. 53 tahun 2010 hukuman
yang dijatuhi oleh PNS yang melakukan poligami adalah hukuman disiplin ringan,
hukuman disiplin sedang; dan hukuman disiplin berat, selain itu di KUHP pasal 184
ayat 1 dicantumkan bahwa apabila seorang PNS melakukan poligami itu dapat
dikenakan hukuman kurungan selama 9 bulan, dengan alasan karena telah
melakukan tindak pidana terhadap kesusilaan.
Kata Kunci

: Kriminalisasi, Poligami

Pembimbing I
Pembimbing II
Daftar Pustaka

: Drs. Ahmad Yani, M. Ag
: Ummu Hanah Yusuf Saumin, MA
: Tahun 1981 ampai tahun 2013


iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KRIMINALISASI POLIGAMI
PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM”
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menghantarkan umatnya kepada zaman yang penuh peradaban dan ilmu pengetahuan.
Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang
pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai dilaksanakan. Serta tak
lupa penulis meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini ada yang kurang
berkenan dihati pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terimakasih
kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Phil. JM Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kepada Ketua Program Studi PMH Dr. Khamami Zada, MA dan Skretaris
Program Studi PMH ibu Siti Hanna, MA.

v

4. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc, MA Dosen Pembibing Akademik dan
seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan.
5. Drs. Ahmad Yani, M. Ag dan Ummu Hanah Yusuf Saumin, MA, Dosen
pembimbing skripsi ini, dengan kesabaran, keistiqamahan dan keikhlasan mereka
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Kepada kedua orang tua ayahanda tercinta Marhasan dan Ibunda tercinta Siti
Sa’diyah yang telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan dan
membesarkan penulis sampai saat ini, bakti dan rasa terimakasih penulis kepada
kedua orang yang tidak henti-hentinya dan mustahil penulis dapat membalasnya.

7. Kepada teman-temanku Sukriya, Achmad Fatih, Ibnu Rusydi, Masrur
Rahmansyah, Zulham Muslihun, Muhammad Hira Hidayat, Ahmad Dimyati dan
Jamiluddin serta teman-teman seperjuanganku yang telah memberikan motivasi
dan bantuan baik yang berupa materil maupun inmateril.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang
akan datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari
J
kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
skripsi selanjutnya.
Jakarta:

29 Desember
07 Rab. Awwal

Penulis

vi

2014 M
1436 H


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………... ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………….. iii
ABSTRAK……………………………………………………………………….… iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….……..... v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….… vii
BAB I

: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 8
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan............................................ 9
E. Studi Reviev Terdahulu...................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan......................................................................... 11
BAB II : POLIGAMI DAN KRIMINALISASI
A. Poligami.............................................................................................. 13
B. Sejarah Poligami................................................................................. 15
C. Kriminalisasi....................................................................................... 17
a. Kriminalisasi Perspektif Hukum Positif....................................... 17
b. Kriminalisasi Perspektif Hukum Islam......................................... 22

vii

c. Kriminalisasi Perspektif Hukum Keluarga.................................. 26
BAB III : PNS DAN POLIGAMI
A. PNS dan Kedudukannya Di Indonesia................................................ 31
a. Definisi PNS................................................................................. 31
b. Kedudukan PNS di Indonesia....................................................... 32
B. Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil.......................................... 33
C. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif.......... 38
a. Poligami Menurut Hukum Islam.................................................. 38
b. Poligami Menurut Hukum Positif................................................. 48
BAB IV : KRIMINALISASI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Latar Belakang Larangan Poligami Bagi PNS di Indonesia............... 55
B. Faktor-faktor PNS Berpoligami.......................................................... 57
C. Sanksi Melakukan Poligami Bagi PNS Menurut Hukum Islam Dan
Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990........................................... 60
D. Analisis............................................................................................... 67
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 79
B. Saran................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 82
viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya di bumi dalam keadaan berpasangpasangan, namun dalam menjalankan kehidupannya tidaklah manusia terlepas dari
ikatan syariah Islam, hukum Islam tersebut berasal dari Al-Qur‟an dan As-Sunah
yang telah mengatur ketentuan-ketentuan perintah dan larangan bagi umat manusia.
Dalam Islam terdapat dua sumber hukum Islam, yang pertama adalah
hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan firman-Nya yang suci yang
dikenal dengan Al-Qur‟an. Kemudian dari sumber hukum Islam yang kedua yaitu
yang berasal dari hadits atau sunah Nabi Muhammad SAW. Salah satu perbuatan
sunah Nabi tersebut adalah mengatur masalah pernikahan yang sudah dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad SAW, beliau memberikan perintah kepada umatnya untuk
melaksanakan pernikahan dengan secara Syar‟i. sebagaimana Nabi Muhammad SAW
bersabda:

Artinya: “Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah mampu maka
menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah penglihatan dan
1

Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shahih Bukhari Juz 3 Bab An-nikah,
(Lebanon: Dar el Fikri, 1981), hlm. 116-117.

1

2

menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum mampu menikah maka
wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya puasa itu dapat mencegah nafsu
(zina) untuk kamu” (HR. Bukhori Muslim).
Dari hadits diatas Nabi SAW diatas memerintahkan umatnya agar
melaksanakan pernikahan sesegera mungkin tetapi dengan catatan seseorang yang
menikah tersebut harus mampu. Lafaz Assaumu menurut Imam Ibnu Hajar AlAsqalani menunjukan suatu perbuatan yang dapat mencegah syahwat, dengan
melakukan berpuasalah

maka dapat mencegah seseorang untuk tidak dapat

melakukan perzinahan,2 atas dasar hadits ini maka ulama fiqih berpendapat bahwa
nikah itu menjadi wajib, sunah, mandub, haram, makruh dan fardu. Menikah menjadi
wajib apabila ada seseorang yang ingin bersungguh-sungguh menikah dan takut
melakukan zina apabila ia tidak menikah. Menikah menjadi sunah apabila ia
mempunyai rasa bersungguh-sungguh menikah, tidak yakin dapat melakukan zina
dan tidak takut melakukan zina pula. Menikah menjadi mandub apabila seseorang
mempunyai rasa bersungguh-sungguh ingin menikah tetapi niat menikahnya ia hanya
mengharapkan agar mendapatkan keturunan. Menikah menjadi haram untuk
seseorang yang tidak takut melakukan zina sedangkan apabila ia menikah maka ia
tidak akan mampu menafkahkan isterinya dari nafkah yang halal. Menikah menjadi
makruh apabila seseorang yang tidak yakin dapat menikah dan tidak bersungguhsungguh untuk menikah. Menikah menjadi fardu apabila memenuhi 4 syarat: (1)
Apabila seseorang yakin dapat melakukan zina jika ia tidak menikah. Adapun orang
Syihabuddin Ahmad Ibn „Ali Ibn Hajar, Ibanatu Al-ahkam Juz 3 Bab An-nikah, (Lebanon:
Dar el Fikri, 2004), hlm. 245.
2

3

yang takut melakukan zina maka hukumnya berubah menjadi wajib menikah. (2)
Apabila seseorang tersebut mampu berpuasa semata-mata hanya untuk menahan
melakukan zina, jika ia mampu berpuasa dan menghindarkan melakukan zina maka
seyogyanya ia harus memilih antara berpuasa atau menikah.3
Namun di dalam Islam seseorang boleh menikah dengan beristrikan 4
orang isteri, sebagimana Allah SWT berfirman:

           
              
    
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. Annisa: 3)
Adapun sebab nuzul ayat ini adalah pertanyaan „Urwah kepada „Aisyah r.a:

„Abdurrahman Al-Jaziri, Al fiqh ‘Ala Al-mazahib Al-arba’ah, (Lebanon: Dar El Hadits,
2004), hlm. 10-11.
3

4

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Urwah di riwayatkan dari ‘Aisyah firman Allah ta’ala

aisyah menjawab wahai keponakanku yatim disini adalah anak yatim yang
di awasi oleh tuannya kemudian tiuannya tersebut cinta kepada anak yatim
tersebut karena kecancikan dan hartanya, disebabkan inilah taunnya ingin
menikahinya (anak yatim) tetapi ia menafkahkannya dengan tidak adil,
kemudian mereka melarang kepada tuannya untuk menikahinya kecuali
tuan tersebut menafkahkannya dengan adil dan mereka memerintahkan
tuan tersebut untuk menikah selain kepada anak yatim tersebut.4
Begitupun Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya:

“Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghlian Ibnu
Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk
Islam bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“pilihlah empat dan ceraikanlah sisahnya.”.

Abu Ja‟far At-thabari, Tafsir At-thabari Surat An-nisa Ayat 3 Juz 7, (Ttp, Muassasatu ArRisalah, 2000), hlm. 531.
4

Abu „Abdillah Ibn Idris Ibn „Abbas Ibn Usman, Al-musnad Juz 1 (Lebanon: Dar El Kutub
„Alamiyah, 1990), hlm. 274.
5

5

Menurut Imam Ahmad Mustafa al-Marogi “Jika seseorang tidak mampu
berlaku adil terhadap isteri-isterinya maka wajib untuk suami beristrikan satu saja,
baik dalam keadaan ragu ataupun mengira-ngira. Kemudian yang dimaksud dengan
kebolehan suami menikahi wanita, dua, tiga dan empat adalah hanya untuk orang
yang yakin mampu berlaku adil kepada dirinya bukan yang ragu untuk berlaku adil
kepada ister-isterinya”6
Banyak dari suami-suami yang melakukan poligami, salah satu alasan yang
menyebabkan suami berpoligami adalah menurut keterangan dokter bahwa isteri
diketahui mandul sedangkan tujuan pernikahan untuk mempunyai keturunan maka
istri membolehkan suami untuk berpoligami meskipun itu bukan kehendak suami.
Namun pada saat dewasa ini poligami menjadi suatu kejahatan dan
ketidakadilannya dalam suatu pernikahan khususnya untuk si istri yang dipoligami
sebagaimana peraturan pemerintah yang mengatur PNS yang sudah menikah dilarang
berpoligami dan dipoligami. Oleh karena itu banyak Pegawai Negeri Sipil yang
berpoligami melalui jalan nikah sirri, pernikahan sirri menurut hukum Islam sah
apabila rukun dan syaratnya terpenuhi tanpa adanya pencatatan pernikahan di KUA.
Tetapi pada kenyataannya saat ini pemerintah Indonesia menjatuhkan hukuman
pidana untuk PNS yang melakukan poligami sekalipun didalam peraturan perundangundangan tersebut ada syarat PNS untuk berpoligami seperti yang tercantum pada PP
No. 45 Tahun 1990 pasal 4 yang berbunyi:

6

150.

Ahmad Mustafa Al-Marogi, Tafsir Al-marogi Juz 2, (Lebanon: Dar El Kutub, 2006), hlm.

6

1. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2. Pegawai

Negeri

Sipil

wanita

tidak

diizinkan

untuk

menjadi

istri

kedua/ketiga/keempat.
3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri
lebih dari seorang".
PP No. 45 tersebut membolehkan pegawai negeri sipil untuk berpoligami
dengan cara melakukan izin tetapi bagi PNS yang tidak izin dan tetap melakukan
poligami dapat dikenkan sanksi seperti yang tercantum pada PP No.45 Tahun 1990
pasal 16 dan 17:7
Pasal 16
“Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai
dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peratuan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil." Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan
Pasal 17 baru yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
1. Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan atau
Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan
7

PP No. 45 Tahun 1990

7

Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
2. Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap pelanggaran Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, berlaku bagi
mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai Negeri Sipil menurut ketentuan
Pasal 1 huruf a angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983."
Dari pemaparan dasar hukum diatas maka PP No. 45 Tahun 1990 yang
mengatur tetang sanksi poligami beserta dengan ketentuan hukumnya maka sangatlah
berbentrokan dengan syariat Islam. Syariat Islam memberikan peluang dengan syarat
tertentu dengan tanpa memberikan denda bagi suami yang melakukan poligami
sedangkan PP No. 45 Tahun 1990 yang mengatur tentang poligami justru melarang
Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan Poligami dan memberikan hukuman kepada
PNS perempuan yang dipoligami.
Oleh karena itu perlu adanya penelurusan kembali mengenai masalah
kriminalisasi poligami. Sebab masalah kriminalisasi poligami tersebut sangatlah
berbentrokan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Berdasarkan permasalahn ini
maka penulis berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul “Kriminalisasi
Poligami Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia”. Penulisan ini mengupayakan untuk
mengkaji secara mendalam dengan mengharapkan bahwa hasil tulis skripsi ini dapat
memberikan suatu pengetahuan dan bernilai terhadap pemahaman lebih lanjut tengan

8

hukum poligami menurut syariat Islam. Disamping itu untuk menambah wawasan
bagi penulis dan dapat diambil suatu pelajaran yang berharga bagi pembaca.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis akan mengemukakan seputar permasalahan
kriminalisasi poligami bagi PNS hukum Islam . Mengingat luasnya pembahasan
mengenai poligami maka penulis hanya memfokuskan pada analisa kasus poligami
menurut hukum Islam dan hukum positif. Tentang statsu hokum poligamidi
Indonesia disertai pandangan ulama Islam.

2. Perumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, setidaknya terdapat permasalahan
yang dapat dicari kemudian diteliti dan ditemukan jawabannya didalam penulisan
skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan oleh penulis sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap UU No. 45 tahun 1990
tentang Sanksi PNS yang melakukan poligami?
b. Apakah poligami termasuk perbuatan kriminal sehingga dijatuhi hukuman bagi
PNS yang melakukan poligami?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulis mempunyai tujuan agar dapat menyempurnakan skripsi ini.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini sebgai berikut:
1. Untuk mengetahui kejelasan UU No. 45 tahun 1990 melalui pandanga ulama.

9

2. Untuk mengetahui status perbuatan poligami yang melakukan poligami.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah berharap agar
memberikan suatu kajian yang bermanfaat mengenai tinjauan kriminalisasi poligami
ditinjau dari hukum Islam yang di tunjukkan untuk para pembaca dan kepada
mahasiswa yang berkecimpung dibidang ilmu hukum Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini maka penulis menggunakan jenis penelitiannya
dalam penyusunan skripsi ini adalah bersifat kepustakaan (Library Research)
sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong dari Bogdan dan Taylor yaitu
prosedur penulisan yang menghasilkan data perspektif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.8 Penelitian ini juga
berpedoman dan mengacu pada:
1. Sumber Data
Yaitu data yang bersumber dari studi kepustakaan, literatur dan referensi
kepustakaan yang berhubungan dengan judul skripsi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Penggunaan penilitian bahan dilapangan seperti buku, kitan-kitab, dokumendokumen, internet dan sebagainya dengan cara dibeca kemudian dikaji dan
disimpulkan sesuai dengan kelompok aslah-masalah yang terdapat dalam skripsi
ini.

8

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2004), hlm. 3.

10

3. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data diolah dengan menggunakan cara dikumpulkan, kemudian di kaji dan
dikelompokkan, lalu penulis menganslisanya dengan metode-metode sebagai
berikut:
a. Dalam metode Indukrif, yaitu suatu cara dalam menganalisis datanya yang
bertitik tolak dari data-data yang mana data tersebut bersifat umum kemudian
ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang bersifat khusus
kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat umum.
Teknik penulisan skripsi ini berpacu kepada buku pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
E. Study Riview Terdahulu
Sepengetahuan penulis, terdapat beberapa karya ilmiah yang sudah membahas
tentang poligami seperti yang terlampir pada tabel dibawah ini:
No.
1.

Nama
Kahfi

Jurusan
Perbandingan

Judul Skripsi
Pandangan

Hukum 38 SJPMH 2010

Mazhab

dan Islam Terhadap Tata

Hukum

Cara Poligami Bagi
Pegawai Negeri Sipil
(PNS)

No. Skripsi

11

2.

Muhammad Perbandingan
Imad

Mazhab

Hamdi

Hukum

Kritik

Terhadap 14 SJPMH 2012

dan Pandangan
Feniminis

kaum
Terhadap

Poligami
3.

A. Fauzi

Peradilan Agama

Pengaruh

Poligami 40 SJAS 2010

Terhadap
Ketidakharmonisan
Rumah Tangga

Namun dari beberapa judul skripsi yang sudah ditulis penulis memiliki
perbedaan dalam penelitian tentang poligami. Penulis hendak membahas tentang
kriminalisasi poligami yang ditinjau dari hukum Islam. Dengan demikian judul yang
akan dibahas penulis, menjadikan motifasi dan pelajaran yang lebih mendalam
tersendiri bagi penulis untuk membahasnya dan juga dapat menambah pengetahuan
perintah agama mengenai hukum poligami dan implikasinya.
F. Sistematika Penulisan
Agar dapat mempermudah pada penulisan skripsi ini, maka penulis
membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab yang dapat diuraikan
sistematikanya sebagai berikut:

12

Bab I

: Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
study riview terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II

: Berisikan tentang kajian umum yang meliputi pembahasan poligami,
sejarah poligami dan kriminalisasi

Bab III

: Berisikan tentang pembahasan tentang kaitannya poligami dan PNS
yang meliputi: PNS dan kedudukannya di Indonesia, Hak dan
Kewajiban PNS, dan pandagan dalam poligami yang meliputi
pandangan hukum Islam dan Pandangan ukum positif.

Bab IV

: Berisikan tentang analisis penulis terhadap tinjauan masalah poligami
yang meliputi: faktor-faktor PNS berpoligami, sanksi melakukan
poligami bagi PNS menurut hukum Islam terhadap peraturan
perundang-undangan No. 45 tahun 1990.

Bab V

: Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari isi penulisan skripsi
ini.

BAB II
POLIGAMI DAN KRIMINALISASI

A. Poligami
Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani, dari kata “poly”, artinya
banyak dan “gamein”, artinya kawin.1 Dalam pengertian bahasa poligami berarti
kawin banyak, mungkin seorang laki-laki kawin dengan banyak perempuan atau
seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki atau sama banyak pasangan lakilaki dan perempuan yang mengadakan “transaksi” perkawinan. Dalam pengertian
yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini poligami diartikan seorang laki-laki
kawin dengan banyak wanita. Menurut tinjauan Antropologi Sosial, poligami
mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau
sebaliknya.2 Poligami dalam pandangan antropologi sosial di bagi kedalam dua
macam yaitu:
a. Poliandari, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang
laki-laki.3
b. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan.4

1

Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami,( Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), hlm. 61.

2

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung:Pustaka Al-Fikris, 2009), hlm. 89.
3

http://www.muslimat-nu.or.id/buku/poligami.htm diakses pada tanggal 31 desember 2014.

4

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), hlm. 169.

13

14

Dalam perekembangannya, istilah “poligini” jarang sekali dipakai, bahkan
bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai di kalangan masyarakat, kecuali dikalangan
antropolog saja. Sehingga istilah poligami secara langsung menggantikan istilah
poligini dengan pengertian bahwa perkawinan antara seorang laki-laki dengan
beberapa orang perempuan disebut dengan poligami, dan istilah ini dipergunakan
sebagai lawan polyandri. Pengertian poligami dalam bahasa Indonesia adalah sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki satu atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan.5 Namun dalam Islam, poligami mempunyai
arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya
sampai empat wanita. Walau ada yang memahami ayat tentang poligami dengan
batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri. Perbedaan ini
disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surat An-Nisa‟ ayat 3.6
Sebenarnya Islam tidaklah memulai poligami, tidak memerintahkan dan juga tidak
menganjurkan poligami itu. Islam hanya memperbolehkan poligami dalam suasana
tertentu, dengan mengadakan syarat-syarat, terutama adil dan mampu.7
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa poligami adalah seorang laki-laki
yang menikah dengan lebih dari seorang wanita, dalam hal ini dibatasi hanya empat
orang wanita (isteri) dalam waktu yang sama. Para ahli hukum membedakan istilah
5

Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1997),

6

Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.

7

Abbas Mahmud, Wanita Dalam Al-qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 126.

hlm. 1186.

15

bagi seorang laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari seorang dengan istilah
poligini berasal dari kata polus yang berartikan banyak dan gune berarti perempuan.
Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai suami lebih dari seorang disebut
poliandari yang berasal dari kata polus artinya banyak dan andros artinya laki-laki.8
Jadi kata yang tepat bagi seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari
satu dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Sebenarnya arti
poligami atau poligini sama-sama mempunyai arti seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari satu, namun karena berdasarkan pendahulu kita arti makna tersebut
lebih dikenal dengan sebutan poligami.
B. Sejarah Poligami
Konsep poligami (ta’addud al-zawjat) dalam ilmu fikih lebih umum
dipahami sebagai pengumpulan dua sampai empat istri dalam waktu yang bersamaan
oleh suami.9 Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligami. Karena
sejarah membuktikan bahwa poligami sudah umum dilakukan sebelum datangnya
Islam oleh berbagai suku bangsa. Diantaranya bangsa Ebre dan Arab pada zaman
Jahiliyah juga terdapat suku bangsa “salafiyun” yaitu negara-negara yang sekarang
disebut Rusia, Letonia, Cekoswakia dan Yugoslavia juga terdapat disebagian negara
Jerman dan Inggris. Kebiasaan berpoligami tidak hanya dilakukan pada bangsa yang

8

hlm. 17.

Zakiah Drajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985),

Mustafa Al-Saba‟i, Al-mar’ah Baina Al-fiqh Wa Al-qanun, (Nasy Tauzi al-Maktabah alA‟rabiyah Bi Halab, Ttp), hlm,. 71.
9

16

beraga Islam. Di negara-negara seperti Afrika, India, China dan Jepang Poligami
berkembang pesat.10
Sedangkan dalam ajaran Agama-agama besar selain Islam seperti agama
Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani juga memberikan pengakuan terhadap eksistensi
poligami, menurut agama selain Islam sesungguhnya poligami itu dilarang akan
tetapi larangan tersebut bukan berasal dari ajaran asli agamanya. 11

Larangan

poligami terebut merupakan lanjutan dari Romawi yang pernah menyelamatkan
agama Nasrani. Dalam Bibel, tidak ditemukan suatu ayat yang jelas menolak
poligami. Bahkan dalam Babel diceritakan bahwa King Salamon (Sulaiman)
mempunyai 700 orang istri ditambah selir 300 orang. Perjanjian lama dalam bab
genesis pasal 16 ayat 1 menyebutkan bahwa nabi Ibrahim diperintahkan mengambil
budaknya Siti Hajar sebagai istri kedua. Juaha disebutkan bahwa nabi Ya‟kub dan
Nabi Da‟ud mempunyai istri lebih dari seratus orang.12 Larangan poligami dalam
agama Kristen muncul setelah Renaisans. Ketika itu hukum-hukum gereja banyak
menyerap hukum-hukum Romawi, sementara hukum-hukum romawi banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Humanis, terutama setelah kaisar Yustianus menetapkan
Corupus Luris Civils atau biasa juga disebut Corpus Luris Yustianus yang berisi
hukum-hukum keluarga. Dari Romawi, hukum-hukum tersebut menyebar ke berbagi
10

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung:Pustaka Al-Fikris, 2009), hlm. 81.
11

hlm. 94.

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010),

Ahmad Abd. „Aziz al-Husain, Al-Marat’atu Wa Makanatuha Fi Al-Islam (Maktabah Assyamilah, tth), hlm. 109.
12

17

pelosok dunia dibawa dan dikembangkan oleh penjajah, seperti Napoleon yang
terkenal dengan code civil-nya, yang didalamnya menganut asas monogami.13
Kedatangan Islam, dalam analisa Rahmat Hakim, sekedar membatasi jumlah
wanita yang dapat dapat dimiliki pria dalam berpoligami agar tidak terjadinya
kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita. Jadi, kalau diteliti lebih jauh,
lahirnya syariat ini adalah dalam upaya mengangkat derajat wanita, seperti apa yang
diharapkan dalam hakikat perkawinan itu sendiri.14
C. Kriminalisasi
a. Kriminalisasi Perspektif Hukum Positif
Sebelum memberikan suatu penjelasan tentang kriminalisasi kita perlu
pelajari ilmu kriminologi sebagai komponen dalam memahami kriminalisasi,
karena kriminalisasi merupakan salah satu bagian dari ilmu kriminologi. Kata
kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos berarti
ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah pengetahuan tentang kejahatan yang
secara umum berarti ilmu untuk mempelajari kejahatan

dari berbagai aspek

sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena
kejahatan dengan baik. Adapun objek dari studi kriminologi tersebut adalah
mencakup perihal kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap
kejahatan. Kajian pokok dari kriminologi adalah kejahatan yang termuat dalam

119-120.

13

Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, (Yogyakarta: al-Kautsar, 1990), hlm. 125.

14

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.

18

hukum pidana, dan keberatannya sangat berkaitan dengan hokum pidana, dimana
kedua disiplin ilmu ini saling berkaitan dan bergantung antara satu dengan
lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari ilmu
hukum pidana. Dalam perkembangannya kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang
membantu hukum pidana (ilmu pembantu), dalam perkembangnnya sekarang
kriminologi sudah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.15
Dalam kasus hukum internasional dan Indonesia, kriminalisasi adalah suatu
proses memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa
pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat,16.
Dalam kamus hukum lain mendefinisikan bahwa krimininalisasi adalah proses
semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh hukum pidana
atau perundang-undangan.17
Sedangkan Abdussalam dalam bukunya “kriminologi” menjelaskan bahwa
pengertian kriminalisasi adalah pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap
perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai suatu
peristiwa yang merugikan atau membahayakan masyarakat luas tetapi undang-

15

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010),

hlm.17
16

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wacana
Intelektual, 2007), hlm. 266.
17

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 232

19

undang belum mengaturnya.18 Adapun kebijakan dalam penyusunan kriminalisasi
mengambil dari tiga sumber bahan yang sudah ada yaitu terdiri dari:
a. KUHP yang masih berlaku
b. Konsep BAS tahun 1977
c. Undang-undang diluar KUHP.19
Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari
kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana,
dalam kriminalisasi itu sendiri harus melakukan harmonisasi dengan sistem
hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini, yang
bertujuan agar kebijakan kriminalisasi dapat diterima masyarakat.20
Pada dasarnya kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam
menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu
tindak pidana, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan criminal
dengan menggunakan sarana hukum pidana.21
Adapun

upaya

kebijakan

untuk

melakukan

pencegahan

dan

penganggulangannya tidak terlepas dari kebijakan social yang terdiri dari
kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan social dan kebijakan upaya18

Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 18.

19

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan KUHP
Baru, (Jakarta: Surya Kencana, 2008), hlm. 232
20

Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Persepektif Kajian Perbandingan, (Bandung:
Citra Aditiya Bhakti, 2005), hlm. 126.
21

Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 240.

20

upaya perlindungan masyarakat, adapun aspek yang sangat penting untuk
kesejahteraan

atau

perlindungan

masyarakat

karena

adanya

nilai-nilai,

kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan. Untuk menanggulangi kejahatan
dapat dilakukan juga dengan pendekatan secara integral yang dilakukan dengan
menyeimbangan sarana penal dan non penal.22
Selain kriminalisasi ada juga upaya pembaharuan hukum dengan sarana
hukum pidana, yang penentuannya sebagaimana pengertian kriminalisasi, dan
penalisasi tidak jauh berbeda. Hanya penekanannya pada crime dan sarana hukum
pidana saja. Sebagaimana diketahui kriminalisasi adalah proses penetapan suatu
perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Penalisasi yang semula berupa
tindakan tercela dibidang hukum perdata atau hukum administrasi, tetapi
kemudian dipandang perlu untuk diancamkan pidana kepada penindaknya.23
Jika dilihat dalam sejarahnya kriminalisasi di Indonesia sudah berlangsung
semenjak zaman proklamasi kemerdekaan dan hingga kini masih tetap
berlangsung, sehubungan dengan penetapan kriminalisasi, dibutuhkan kriteria
tertentu, namun bukan suatu hal yang mudah untuk menentukan kriteria secara

Bukhori, Nurani Kriminalisasi Tindak Pidana Teroris, (Palembang: Fakultas Syari‟ah
IAIN Raden Patah, 2004), hlm.113.
22

23

E.Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Cet. Ke- 3 , (Jakarta: Storia Grafika,
2002), hlm. 35.

21

pasti. Meskipun demikian menurut Prof. Sudarto, ada beberapa kriteria yang patut
di pertimbangkan dalam menentukan kriminalisasi ini yaitu:24
a. Tujuan hukum pidana
b. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki
c. Perbandingan antara sarana dan hasil
d. Kemampuan aparat penegak hukum
Dalam prinsip-prinsip kriminalisasi ada hal-hal yang perlu diperhatikan
diantaranya Organization Of Economic Cooperation and Development (OECD)
dengan memperhatikan berbagai variasi pengaturan yang ada diberbagai negara
yang telah berusaha membuat bentuk mode law yang diharapkan dapat dijadikan
pedoman oleh berbagai negara untuk criminal privacy, menurut OECD asas-asas
tersebut mencakup:25
a. Ultima ratio principle. Hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau
senjata pamungkas.
b. Precision principle. Perumusan hukum pidana harus tepat dan teliti
menggambarkan suatu tindak pidana, perumusan hukum pidana yang bersifat
sama harus dihindari.
c. Clearness principle. Tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan
secara jelas dalam ketentuan hukum pidana.
24

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan Ke- V, (Bandung: PT. Alumni, 2997), hlm.

31-41.
25

S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum penitensia di Indonesia, (Jakarta:
Alumni Ahaem- petehaen, 1996), hlm. 172

22

d. Princip of differentiantion. Prinsip pembedaan harus jelas antara yang satu
dengan yang lain. Untuk hindarkan perumusan yang bersifat global.
e. Priciple of intent. Tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus
(itention), sedangkan untuk tindakan culpa harus dinyatakan dengan syarat
khusus untuk memberikan pembenaran kriminalisasinya.
b. Kriminalisasi Perspektif Hukum Islam
Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu
perbuatan yang semula bukan tindakan pidana menjadi suatu tindakan pidana
sementara itu kriminalisasi dalam persepektif hukum Islam tidak ada
pembahasannya secara terperinci, namun dalam hukuman pidana Islam ketentuan
kriminal dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis sesuai dengan aspek berat
ringannya hukuman yang ditegaskan didalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Atas dasar
itulah maka para ulama membaginya menjadi tiga bagian, yaitu (1) Jarimah
hudud (2) Jarimah qisas/ diyat (3) Jarimah ta‟zir.26
Bagain pertama jarimah hudud adalah jenis hukuman yang bentuk dan
ukurannya telah ditetapkan oleh syara, terkait dengan hak Allah SWT atau demi
kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan
sebagai jarimah Hudud ada tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan

26

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-mujtahid Wa Nihatu Al-Muqtasid Juz II, (Lebanon: Dar el-Fikr,
2008), hlm. 33.

23

tuduhan zina 3) mengonsumsi minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6)
pindah agama 7) pemberontakan.27
Menurut Wahbah az-Zuhaili, mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang
dikategorikan sebagai jarimah Hudud terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Menurut kalangan jumhur ulama jarimah Hudud mencakup tujuh macam
tindak pidana, yaitu (1) pencurian (2) perzinahan (3) penggunaan minuman
khamar (4) penggunaan sesuatu yang berefek memabukkan non-khamar; (5)
tuduhan zina palsu (qazf) (6) qisas (7) riddah (pindah agama). Sedangkan
kalangan Hanafiyah hanya membagi kepada 5 macam jarimah Hudud dengan
tidak memasukkan dua kategori terakhir sebagai bagian dari jarimah Hudud.
Perbedaan ini muncul antara lain dilatarbelakangi perbedaan terminologis yang
digunakan kedua pihak. Kalangan jumhur mendefinisikan Had sebagai hukuman
yang telah ditentukan bentuk dan ukurannya oleh syara, baik yang terkait dengan
hak Allah SWT maupun hak hamba. Sedangkan kalangan Hanafiyah
mendefinisikan had sebagai hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT
sehingga tak seorang pun boleh menepikannya, dan ia lebih terkait pada hak-hak
Allah SWT.28

27

Abd al-Qadir Audah, At-tasyri’ Al-Jinai Al-Islami Muqaranan Bi Al-Qanun Al-Wasy,
(Lebanon: ar-Risalah, 1997), hlm. 634.
28

Wahbah Az-zuhaily, Al-fiqh Al-Islami wa Adillatuh, juz VII, (Damaskus: Dar al-Fikr, ,
1997), hlm. 5275.

24

Bagian kedua jarimah qisas atau diyat. Qisas adalah menghukum seorang
pelaku jinayah (tindakan kriminal) dengan hukuman yang sama dengan
perbuatannya.29 Seperti perbuatan membunuh maka hukumannya adalah dibunuh,
begitu pula dengan penganiayaan. Jarimah qisas/diyat itu mencakup tindak
pidana:30 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja 3)
pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang
keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qisas-diyat, secara variatif,
meliputi: qisas-diyat, kafarat, terhalang dari hak waris, terhalang dari hak wasiat.
Bagian ketiga adalah pidana ta’zir, suatu tindak pidana berupa perbuatan
maksiat atau jahat yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh syara,
baik yang berkaitan dengan hak Allah SWT maupun hak hamba.31 Dengan kata
lain hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan jinayah
selain kedua bagian di atas, yakni jarimah hudud dan jarimah qisas atau diyat.
Kebijakan pidana ta’zir sendiri merupakan otoritas pemerintah, dimana bentuk
sanksi hukumannya bisa beragam, seperti pemukulan, penahanan, teguran, dan
bentuk hukuman lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual.32 Bahkan

29

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-mujtahid Wa Nihatu Al-muqtashid Juz II, (Lebanon: Dar el-Fikr,
2008), hlm. 323.
Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-arba’ah Bab At-ta’zir, ( Lebanon: Dar
Ibn Hauzi, 2014), hlm. 312.
30

Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-arba’ah Bab At-Ta’zir, ( Lebanon: Dar
Ibn Hauzi, 2014), hlm. 317.
31

Abdurrahman Al-jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib Al-arba’ah Bab At-Ta’zir, ( Lebanon: Dar
Ibn Hauzi, 2014), hlm. 318.
32

25

sebagian ulama dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan penjatuhan
hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali, homo
seksual, pelecehan agama, perbuatan sihir, dan perbuatan zindiq.33
Adapun mengenai jenis tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman
kurungan, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah
menetapkan hukuman kurungan dapat dikenakan pada semua jarimah ta’zir.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku
pada semua jarimah ta’zir. Menurut mereka hanya delapan tindak pidana yang
dapat dikenai hukuman kurungan, yaitu: (1) percobaan pembunuhan (2) pelarian
diri oleh budak (3) pengingkaran penunaian kewajiban (4) pengakuan palsu atas
kebangkrutan (5) perbuatan maksiat (6) keengganan melaksanakan kewajiban
sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan (7) pengakuan kepemilikan secara
paksa (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah kepada Allah SWT yang tak
dapat diwakilkan.34
Berdasarkan beberapa bagian diatas maka pada bagian ke tiga (jarimah
ta‟zir) jelaslah bahwa ulil amri berdasarkan pertimbangan maslahah dapat
menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan pidana berikut sanksi
pidanya.

33

Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Paragonatama Jaya,
2013), hlm. 146.
34

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Juz II, (Lebanon: Dar el-Fikr, 2008), hlm. 316.

26

c. Kriminalisasi Perspektif Hukum Keluarga
Di dunia Islam pada umumnya kecencerungannya adalah sama yaitu
membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu berfariasi bentuknya dari cara
yang paling lunak sampai yang paling tegas. Di Indonesia dalam PP No. 9 tahun
1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri
lebih dari seorang,maka ia harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan. Ketentuan-ketentuan itu pada dasarnya mempersulit terjadinya
poligami, bahkan bagi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 10 tahun 1983
maka poligami itu praktis dilarang.35
Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi maka wajib memenuhi
dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri. 2)
Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat
mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku
di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa
pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya,
dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan sampai 2 tahun.
Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin
Pengadilan.36

35

Muhammad Atho‟ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) hlm. 213-214.
36

Ahmad Tholabi Karlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 88.

27

Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah
mendapat izin tertulis dari Lembaga Majelis Hakim. Perkawinan yang dilakukan
tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak
terdaftar menurut Undang-Undang. Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami
tanpa izin lembaga Majelis Hakim dapat dijatuhi hukuman:
1. Wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin baik kontan maupun
bertempo (cicilan) kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak
dibayar, maka ia dapat ditukar alih sebagai tunggakan pajak tanah.
2. Atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai
pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara
maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan
keduanya sekaligus.37
Sedangkan di Yaman Selatan, bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan
setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan:
1. istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya.
2. istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis
tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan
kehidupan rumah tangga.38

37

Ahmad Tholabi Karlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 102.
38

Jurnal Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-undang Hukum Keluarga
di Dunia Islam, hlm. 56. Diakses Pada Tanggal 31 Desember 2014.
.

28

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum
dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga
yang diberlakun Yaman Selatan menggariskan ketentuan bahwa semua pihak
yang terkait kepada pelanggaran pelaku dan pendukung melakukan perkawinan
atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974, dapat
dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar atau penjara maksimal 2
tahun atau kedua sekaligus.39 Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di
Yaman Selatan, poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat
dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Di Indonesia dalam undang-undang perkawinan tidak memuat adanya
kriminalisasi poligami ataupun ketentuan pidana, dalam undang-undang no.1
tahun 1974 pada dasarnya menganut azas monogami, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 3 ayat (1) dalam suatu perkawinan seseorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami
saja, namun di ayat 2 disebutkan pengadilan dapat memberikan izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan. Pengadilan akan memberi izin apabila pelaku poligami
mengajukan permohonan dengan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat
sebagaimana tertulis pada pasal 5 ayat 1, untuk mengajukan permohonan kepada

39

Jurnal Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-undang Hukum Keluarga
di Dunia Islam, hlm. 56. Diakses Pada Tanggal 31 Desember 2014.

29

pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus
dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:40
a. Ada