Latar Belakang Masalah INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN: Studi Kasus Terhadap Wanita Dewasa Awal.

Nisa Wangsita, 2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan dalam berpacaran menjadi sebuah fenomena sosial yang sangat memprihatinkan. Lundberg Marmion 2006, menyatakan bahwa kekerasan dalam berpacaran adalah pola perilaku yang digunakan untuk mengendalikan pasangan dalam sebuah hubungan yang belum menikah dan menjadi upaya pembelajaran untuk melakukan tindakan kekerasan dalam hubungan pernikahan. Terdapat bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran yang meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perempuan, setiap tahunnya daerah Jawa Barat menduduki peringkat ketiga tertinggi di Indonesia dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga KDRT. Sepanjang tahun 2011 terdapat 1.405 kasus kekerasan dalam berpacaran dan terdapat 1.085 kasus sepanjang tahun 2012. Sedangkan, sepanjang tahun 2013 kasus kekerasan dalam berpacaran meningkat jumlahnya menjadi 2.507 kasus dan menurun menjadi 1.784 kasus sepanjang tahun 2014. Wanita yang menjadi korban kekerasan dalam berpacaran pada umumnya berusia 13-40 tahun. Korban kekerasan dalam berpacaran pada usia 25-40 tahun menduduki peringkat pertama, usia 13-18 tahun menduduki peringkat kedua, sedangkan usia 19-24 tahun menduduki peringkat ketiga Komnas Perempuan, 2012; 2013; 2014; 2015. Salah satu kasus kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di Indonesia dan terpublikasi di media masa adalah kasus yang dialami oleh Ardina Rasti. Tindakan kekerasan yang dialami Rasti selama satu setengah tahun berpacaran dengan Eza Gionino, sebanyak dua kali. Eza melakukan tindakan kekerasan di kediaman Rasti. Pada bulan Juli 2011, Rasti pertama kalinya mengalami tindakan kekerasan. Pada saat itu, Eza cemburu terhadap seorang sutradara yang menghubungi Rasti melalui pesan singkat. Eza tidak hanya Nisa Wangsita, 2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu merendahkan Rasti dengan kata-kata kasar tetapi juga melakukan tindakan kekerasan fisik sehingga Rasti menjalani perawatan di rumah sakit. Tindakan kekerasan yang kedua, dialami Rasti pada bulan Juni 2012. Pada saat itu, Rasti tidak mengikuti permintaan Eza untuk tidak melakukan sebuah syuting sehingga Rasti mengalami penamparan, benturan di kepala, dorongan, dan direndahkan dengan menggunakan kata-kata kasar Tribunnews.com, 2013; detik.com, 2013. Kecemburuan terhadap sutradara menyebabkan Eza melakukan kekerasan psikis yang diikuti oleh kekerasan fisik. Hal ini, sejalan dengan penelitian Murfy et al dalam Foran et al, 2014 yang menyatakan bahwa kekerasan fisik dalam sebuah hubungan disebabkan oleh kekerasan psikis yang sebelumnya telah dialami. Kecemburuan merupakan salah satu tanda yang selalu diperlihatkan oleh pelaku kekerasan. Selain itu, pelaku juga memperlihatkan tanda-tanda, seperti mengatur, memiliki keinginan yang tidak realistis, mengisolasi, menyalahkan pasa ngan, “playfull” menggunakan kekerasan seksual, kekerasan verbal, kepribadian Jeklly and Hyde, melakukan ancaman, dan menggunakan kekerasan saat berdebat Lundberg Marmion, 2006. Kekerasan dalam berpacaran menjadi sebuah siklus dalam pola interaksi pasangan. Walker dalam Krahe, 2005 menjelaskan mengenai siklus kekerasan yang terjadi dalam pola interaksi pasangan. Siklus kekerasan tersebut membantu menjelaskan mengapa para korban tetap bertahan dalam suatu hubungan yang disertai penganiayaan selama siklus tersebut berlangsung. Siklus kekerasan dalam berpacaran, diawali dengan membangun ketegangan dalam hubungan sehingga mengakibatkan terjadinya ledakan kekerasan. Setelah itu, diikuti oleh periode yang lebih harmonis dimana pelaku kekerasan memperlihatkan kasih sayang yang dimilikinya sehingga korban tetap mempertahankan hubungan dan membangun intimacy dengan pelaku. Menurut Linder 2007, intimacy dalam hubungan berpacaran dibangun dengan kepercayaan, pengertian, penerimaan, dan menghargai pasangan. Nisa Wangsita, 2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Jenis intimacy yang dibangun oleh pasangan dalam hubungan berpacaran berbeda-beda. Oleh sebab itu, mungkin setiap pasangan memiliki jenis intimacy yang berbeda dengan pasangan lain dalam hubungan berpacaran. Layder 2009, mengungkapkan bahwa jenis intimacy dalam hubungan berpacaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi. Wanita memiliki kemampuan berkomunikasi yang berbeda dengan laki-laki. Kemampuan berkomunikasi yang dimiliki seorang wanita dapat membantu wanita tersebut untuk melakukan pendekatan terhadap pasangannya dalam hubungan berpacaran. Menurut Erickson 1968, intimacy adalah proses dalam sebuah hubungan dimana individu menemukan identitas dan melakukan pendekatan terhadap diri individu lain dalam Santrock, 2012. Proses dimana individu menemukan identitasnya terjadi pada masa dewasa awal. Menurut Erikson, pada masa dewasa awal young adulthood individu mampu membangun sebuah hubungan romantis dan komitmen yang dipenuhi dengan rasa cinta terhadap individu lain dalam Friedman dan Schustack, 2006. Kriteria usia periode masa dewasa awal young adulthood adalah 18-40 tahun Hurlock, 1991. Pada usia 20-30 tahun, selain berada pada masa dewasa awal young adulthood, individu juga berada pada tahap ke VI perkembangan psikososial intimacy vs isolation. Menurut Boeree 2010, pada tahap intimacy individu memiliki tugas untuk menjalin intimacy dengan individu lain dan tidak menjauhkan diri dari lingkungan sosial isolation. Ciri khas pada tahap intimacy vs isolation, menunjukkan adanya hubungan yang dipenuhi rasa cinta terhadap individu lain untuk menjalin intimacy seperti keluarga, kerabat, dan lawan jenis. Intimacy dengan lawan jenis tidak jarang disertai dengan komitmen untuk menjalin hubungan berpacaran. Menurut Erickson 1968, komitmen sebuah hubungan terdapat di dalam intimacy dalam Santrock, 2012. Dalam penelitiannya, Marcus et al 2002 menyatakan bahwa intimacy merupakan inti dari sebuah hubungan. Oleh sebab itu, intimacy dalam hubungan berpacaran memiliki peran yang penting pada masa dewasa awal. Hal Nisa Wangsita, 2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu tersebut, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumter et al 2013 bahwa masa dewasa awal memiliki tingkat intimacy yang lebih tinggi daripada masa remaja. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Montgomery 2005 juga menjelaskan bahwa pada dewasa awal wanita memiliki intimacy yang lebih besar daripada laki-laki meskipun wanita tersebut tidak mengalami cinta pada pandangan pertama dan tidak memiliki kepercayaan terhadap pasangannya. Meskipun intimacy memiliki peran yang penting dalam sebuah hubungan namun kekerasan dalam berpacaran sering terjadi pada jenis intimacy yang modern. Santore 2008 dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa intimacy yang modern memberikan peluang yang lebih besar untuk melakukan perubahan gaya dalam menjalin sebuah hubungan sesuai dengan tradisi sosial yang terdahulu secara umum. Kekerasan yang terjadi dalam hubungan berpacaran pada masa dewasa awal dapat menyebabkan perubahan intimacy pasangan dalam hubungan. Rubin et al 2012 dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa intimacy dapat berubah dari waktu ke waktu dan intimacy dapat terus berkembang pada sebuah hubungan yang memiliki gairah. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, kasus kekerasan dalam berpacaran banyak terjadi di Indonesia. Sebagian besar korban dari kasus kekerasan dalam berpacaran adalah wanita. Sebagai korban kekerasan, wanita memilih untuk tetap membangun intimacy dengan pasangannya dalam hubungan berpacaran meskipun hubungan tersebut diwarnai tindak kekerasan. Selain itu, wanita juga memiliki cara yang berbeda dalam membangun intimacy dengan pasangannya. Hal tersebut, menjadi hal yang menarik perhatian peneliti. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai intimacy wanita korban kekerasan dalam berpacaran.

B. Fokus Penelitian