Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya.

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang melibatkan 100 subjek. Subjek dalam penelitian ini merupakan perempuan berusia 20-60 tahun, telah menikah dan tinggal di Yogyakarta. Untuk pengambilan data, peneliti menggunakan Skala Kepuasan Perkawinan yang memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,963. Data kemudian dianalisis dengan uji parametrik independent sample t-test. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya (Sig. = 0,461, p > 0.05).


(2)

DIFFERENT LEVELS OF MARITAL SATISFACTION ON EARLY ADULT WOMEN AND MIDDLE ADULT WOMEN

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu ABSTRACT

This research aimed to know different levels of marital satisfaction on early adult women and middle adult women. This research was a quantitative comparative research that involved 100 subjects. The subjects were married women whose ages are 20-60 years old and live in Yogyakarta. The researcher used Marital Satisfaction Scale with reliability coefficient is 0.963. Data were analyzed using parametric independent sample t-test. According to the result of statistic analysis, there were no different levels of of marital satisfaction on early adult women and middle adult women (Sig. = 0,461, p > 0.05).


(3)

i

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA

WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

109114100

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015


(4)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Dipersiapkan dan ditulis oleh :

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

NIM : 109114100

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 ...

Penguji 2 ...

Penguji 3 ...

Yogyakarta, ………

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Bagaikan kuncup mawar waktunya mekar

Percayalah…

Tuhan jadikan semua indah pada waktuNya

Anak muda yang hebat

Memberanikan diri saat takut

Merajinkan diri saat malas

-Mario Teguh-

As long as there is life

There is hope


(7)

Pierce-v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan

Yesus Kristus dan Bunda Maria

Mami, Papi, Nona, dan Oeni yang senantiasa

mendukung

Kekasih yang setia menemani

Dosen Pembimbing yang selalu memberi

masukan


(8)

(9)

vii

PERBEDAAN TINGKAT KEPUASAN PERKAWINAN PADA WANITA DEWASA AWAL DAN WANITA DEWASA MADYA

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang melibatkan 100 subjek. Subjek dalam penelitian ini merupakan perempuan berusia 20-60 tahun, telah menikah dan tinggal di Yogyakarta. Untuk pengambilan data, peneliti menggunakan Skala Kepuasan Perkawinan yang memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,963. Data kemudian dianalisis dengan uji parametrik independent sample t-test. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya (Sig. = 0,461, p > 0.05).


(10)

viii

DIFFERENT LEVELS OF MARITAL SATISFACTION ON EARLY ADULT WOMEN AND MIDDLE ADULT WOMEN

Caecilia Adelina Lestari Ndaumanu

ABSTRACT

This research aimed to know different levels of marital satisfaction on early adult women and middle adult women. This research was a quantitative comparative research that involved 100 subjects. The subjects were married women whose ages are 20-60 years old and live in Yogyakarta. The researcher used Marital Satisfaction Scale with reliability coefficient is 0.963. Data were analyzed using parametric independent sample t-test. According to the result of statistic analysis, there were no different levels of of marital satisfaction on early adult women and middle adult women (Sig. = 0,461, p > 0.05).


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus

atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa

Madya” ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pemilihan kepuasan perkawinan sebagai topik skripsi berawal dari keprihatinan

penulis akan maraknya kasus perceraian pada wanita berlatarkan kurangnya

keharmonisan dan kepuasan yang semakin meningkat belakangan ini. Penulis

berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi orang banyak, terutama bagi para

wanita. Selain itu, penulis juga berharap skripsi ini dapat memunculkan lebih

banyak penelitian mengenai kepuasan perkawinan sehingga hal-hal yang tidak

diinginkan akibat tidak adanya kepuasan tersebut bisa diantisipasi.

Penulisan skripsi ini tentunya dapat selesai berkat dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Bpk. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan juga dosen pembimbing akademik.

2. Ibu Ratri Sunar Asusti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas


(13)

xi

3. Ibu Dra. Lusia Paratidarmanastiti, M.S., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih atas kesabaran, perhatian, bantuan dan bimbingan yang telah

diberikan selama proses penulisan skripsi ini.

4. Segenap Bapak / Ibu staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

5. Ibu Sylvia Carolina MYM, M.Si., atas kesediaannya membimbing penulis.

6. Mami, Papi, Oeni, Nona, K Melky, Al. Terima kasih atas kasih sayang, doa,

semangat, dan dukungan yang tak pernah berhenti diberikan selama ini.

7. Mama Tien, Om No, Ka Nona, Ka El, Ewin dan semua kakak-kakak di

Jakarta yang telah memberikan doa, perhatian, dan semangat selama ini.

8. Calvin Alberto Fanggidae, pacar yang terkasih. Terima kasih untuk segenap

cinta, kesabaran, semangat, perhatiannya. Terima kasih juga untuk bantuan

dan waktunya selama ini.

9. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma : Bu Nanik, Mas

Gandung, Pak Gie, Mas Muji, dan Mas Donny, dan semua student staff

(Arum, Nety, Yoan, Cilla, Clara, Hervy) yang telah membantu kelancaran

proses penyelesaian skripsi ini.

10. Karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma, di Kampus Paingan dan

Kampus Mrican.

11. Untuk Om Moris, Tante Tutik, Mima, Alo, Tyas, dan Bu Susi yang telah

membantu proses pengambilan data.

12. Untuk Miss Agatha, Miss Tris, Ifa serta seluruh staf pengajar di TK Ceria. Terima kasih sekali atas bantuan dan kerja samanya dalam pengambilan data.


(14)

xii

13. Untuk semua responden yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih atas waktunya mengisi kuesioner penelitian.

14. Untuk para sahabatku, Marcella, Lorensia, Yohanna, Celly. Terimakasih

untuk waktu luar biasa yang telah kita habiskan bersama 

15. Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma, terutama (Engger, Mb Anna, Hilda, Maya, Monic, Mega, Shella)

terima kasih untuk sharing, masukan, dan bantuannya.

16. Seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, yang tidak bisa

disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat

membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat menambah

pengetahuan dalam bidang psikologi yang terkait dengan kepuasan perkawinan.

Yogyakarta, 23 Oktober 2015

Penulis


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR SKEMA ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1.Manfaat Teoritis ... 8


(16)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Kepuasan Perkawinan ... 10

1.Perkawinan ... 10

2.Kepuasan Perkawinan ... 11

3.Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan ... 13

4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan perkawinan . 18 B. Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 21

1.Wanita Dewasa Awal ... 21

2.Wanita Dewasa Madya...26

C.Dinamika Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 29

D. Skema Penelitian ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

1.Variabel Tergantung ... 38

2.Variabel Bebas ... 38

C.Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

1.Tingkat Kepuasan Perkawinan ... 38

2.Tahapan Usia Subjek ... 40


(17)

xv

E. Metode dan Instrumen Penelitian ... 41

F. Kredibilitas Instrumen Penelitian ... 42

1.Uji Validitas ... 42

2.Analisis Aitem ... 44

3.Uji Reliabilitas ... 46

G. Metode Analisis Data ... 47

1.Uji Asumsi ... 47

a. Uji Normalitas ... 47

b. Uji Homogenitas ... 48

2.Uji Hipotesis ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Deskripsi Subjek Penelitian... 49

C.Hasil Penelitian... 51

1.Deskripsi Data Penelitian ... 52

2.Uji Hipotesis ... 53

D.Analisis Tambahan ... 56

E. Pembahasan ... 57

BAB V PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

1.Bagi Wanita Dewasa Awal dan Wanita Dewasa Madya ... 60


(18)

xvi

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Penilaian Skala Kepusan Perkawinan ... .42

Tabel 2.Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Sebelum Try-out ... 43

Tabel 3. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Sesudah Try-out ... 45

Tabel 4. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan Final ... 46

Tabel 5. Data Statistik Reliabilitas Sebelum dan Sesudah Seleksi Aitem ... 47

Tabel 5a. Data Statistik Reliabilitas Sebelum Seleksi Aitem ... 47

Tabel 5b. Data Statistik Reliabilitas Sesudah Seleksi Aitem ... 47

Tabel 6. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... 51

Tabel 8. Ringkasan Uji Normalitas ... 53

Tabel 8a. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Awal ... 53

Tabel 8b. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Madya ... 53

Tabel 9. Ringkasan Uji Homogenitas ... 54

Tabel 10. Ringkasan Hasil Uji Independent Sample T-test ... 54


(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Dinamika Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan pada Wanita


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Kepuasan Perkawinan Sebelum Try-out ... 67 Lampiran 2 Skala Kepuasan Perkawinan Sesudah Try-out ... 78 Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Kualitas Aitem Skala Kepuasan

Perkawinan ... 90

Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas dan Kualitas Aitem Skala Kepuasan

Perkawinan ... 90

Lampiran 4 Hasil SPSS Uji Analisis dan Uji Hipotesis... 95


(22)

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Setiap individu yang menikah pasti ingin mendapatkan kepuasan dalam perkawinanya. Kepuasan perkawinan merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan manfaat dari pasangannya dalam kehidupan perkawinan (Stone & Shackelford, 2007). Hawkins (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) mengemukakan bahwa, kepuasan perkawinan merupakan perasaan subyektif yang dirasakan seseorang berkaitan dengan aspek dalam perkawinan, seperti rasa bahagia dan puas, serta pengalaman yang menyenangkan bersama pasangan. Kepuasan perkawinan menjadi salah satu penentu kesejahteraan dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Menurut Larson dan Holman (1994), kepuasan perkawinan yang tinggi akan meningkatkan kualitas dan menjaga stabilitas perkawinan itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kepuasan dan komitmen pasangan dalam perkawinannya semakin pasangan tersebut ingin mempertahankan perkawinanya (Clements dkk dalam Hirschberger, 2009).

Kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu, gender (Cohen, Geron, & Farchi, 2009; Kurdek, 2005;), durasi perkawinan (Gottman & Levenson, 2000), tahapan usia (Gorchoff dkk, 2008) dan latar belakang pendidikan (Papalia dkk, 2014). Faktor lain yang berpengaruh antara lain, faktor pra perkawinan (Larson dan Holman, 1994), dan kepribadian (Sari dkk, 2012). Selain itu komitmen


(24)

(Wismanto, 2004), komunikasi (Fincham, 2004), dan proses kognitif (Hojati dkk, 2014) juga disebutkan berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan.

Salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan kepuasan perkawinan yaitu gender. Beberapa penelitian menyebutkan terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dan laki-laki. Perbedaan ini terletak pada aspek emosional atau afeksi (Helgeson, 2012). Keterlibatan secara emosional dalam sebuah hubungan dapa mempenharuhi kualitas dan stabilitas dari hubungan itu (Waller dalam Helgeson, 2012). Penelitian Sprecher dkk (dalam Helgeson, 2012) menunjukkan bahwa dalam suatu hubungan, wanita lebih terlibat secara emosional dibandingkan laki-laki. Helgeson (2012) menambahkan, keterlibatan emosional ini harus seimbang antara laki-laki dan perempuan. Jika hanya salah satu pasangan yang lebih terlibat secara emosional maka hal ini berpengaruh pada ketidakstabilan hubungan, hal ini terutama lebih berpengaruh pada perempuan.

Peran gender juga menentukan perbedaan kepuasan perkawinan pada wanita dan laki-laki. Wanita lebih fokus pada orang-orang disekitar dirinya, hal ini yang menyebabkan emosi dan perilaku orang lain mempengaruhi emosi dan perilaku seorang wanita. Sementara laki-laki lebih berfokus pada diri sediri sehingga emosi dan perilaku laki-laki lebih ditentukan oleh hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri (Helgeson, 2012). Bagi wanita kemampuan suami dalam mengkomunikasikan emosi berpengaruh terhadap kepuasan perkawinannya, sementara bagi laki-laki kemampuan sang istri dalam mengkomunikasikan emosi tidak mempengaruhi kepuasan


(25)

perkawinannya (Cordova dkk dalam Helgeson, 2012). Emosi dari suami juga berpengaruh terhadap emosi istri sedangkan emosi istri tidak mempengaruhi emosi suami (Larson dan Pleck dalam Helgeson, 2012). Wanita akan merasakan kepuasan dalam perkawinannya apabila suaminya menunjukkan perhatian dan ekspresi emosi yang positif (Wilcox dan Nock dalam Papalia dkk, 2014).

Perbedaan kepuasan perkawinan pada wanita dan laki-laki juga dipengaruhi oleh dimensi keadilan (Helgeson, 2012). Helgeson menjelaskan, keadilan dalam perkawinan terjadi apabila pasangan merasa apa yang diberikan dan apa yang didapatkannya dari perkawinan seimbang dengan apa yang diberikan dan didapatkan oleh pasangannya. Penelitian DeMaris (dalam Helgeson, 2012) menunjukkan dimensi keadilan lebih tampak berpengaruh pada wanita dibandingkan laki-laki. Wanita yang merasa mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan pasangannya cenderung memiliki kepuasan perkawinan yang rendah, sedangkan wanita yang merasa mendapatkan manfaat yang kurang dibandingkan pasangannya cenderung ingin bercerai.

Penelitian longitudinal yang dilakukan Wamboldt dan Reiss (dalam Larson dan Holman, 1994) menunjukkan bahwa karakter kepribadian istri lebih mempengaruhi kestabilan dari suatu perkawinan dibandingkan karakter kepribadian dari suami. Oleh karena itu stabil atau tidaknya suatu perkawinan lebih banyak dipengaruhi oleh penilaian dari seorang istri. Selain itu, data perceraian di Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan jumlah kasus perceraian yang diajukan oleh wanita lebih besar dibandingkan laki-laki


(26)

(13,84% : 1,14%, BPS 2009-2013). Hal tersebut menjelaskan mengapa wanita cenderung merasa tidak puas terhadap perkawinanya dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data dan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tingkat kepuasan perkawinan pada wanita.

Selain gender, tahapan usia juga berperan dalam mempengaruhi tingkat kepuasan perkawinan. Banyak penelitian mengenai tingkat kepuasan perkawinan serta hubungannya dengan tahapan usia yang sudah dilakukan namun penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang tidak konsisten atau bertentangan. Sebagai contoh penelitian Gilford dan Bengston (1979) menemukan perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada pasangan yang berada dalam tahapan usia dewasa awal dan tahapan usia dewasa madya dimana pasangan dewasa awal menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan pada tahapan usia dewasa madya. Tahapan usia dewasa awal dimulai pada usia 20-an sampai kira-kira usia 40-an, pada masa ini terjadi perubahan fisik dan psikologis serta berkembangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1990). Pada masa ini individu akan melewati tahap pertama dari siklus kehidupan berkeluarga yaitu meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri. Setelah melewati tahap pertama, individu akan memasuki tahap kedua yaitu membentuk keluarga melalui perkawinan sebagai pasangan suami istri yang baru (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan individu dewasa awal yaitu memilih pasangan dan hidup berkeluarga (Havighurst, dalam Mappiare, 1983; Erikson dalam Santrock, 2002).


(27)

Beberapa penelitian menunjukkan kepuasan perkawinan mencapai puncaknya pada awal kehidupan perkawinan dimana individu berada pada tahapan usia dewasa awal (Gilford & Bengston, 1979; Gottman & Notarius, 2000; Karney & Bradbury, 1995; DeGenova, 2008). Serupa dengan hasil penelitian diatas, penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Orbuch dkk (dalam Hirschberger (2009) menemukan bahwa, kepuasan perkawinan dari masa dewasa awal hingga masa dewasa akhir membentuk kurva U, yang berarti kepuasan perkawinan mencapai puncak pada tahapan usia dewasa awal, menurun secara perlahan pada masa dewasa madya dan kemudian meningkat lagi pada masa dewasa akhir (White & Booth, 1991). Hal ini dikarenakan pasangan yang berada pada tahap awal perkawinan menjaga keromantisannya dengan cara sering bercinta, berbicara secara terbuka, dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama (Benokraitis, 1996).

Bertolak belakang dengan hal diatas, penelitian Gorchoff dkk (2008) menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya mengalami peningkatan dibandingkan tahapan usia dewasa awal. Tahapan usia dewasa madya berada pada rentang usia 40-an hingga 60-an (Hurlock, 1990). Masa dewasa madya biasanya ditandai dengan perubahan fisik seperti tanda menopaus (Santrock, 2002). Pada masa ini individu memiliki tugas perkembangan diantaranya membantu serta mengarahkan generasi berikutnya menjadi pribadi yang lebih baik dan mencapai serta mempertahankan prestasi yang memuaskan, termasuk didalamnya mempertahankan perkawinannya (Santrock, 2002).


(28)

Beberapa hal yang menjelaskan mengapa tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya lebih tinggi dibandingkan tahapan usia dewasa awal, diantaranya pasangan pada tahapan usia dewasa awal dianggap masih perlu melakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Wanita pada tahapan usia dewasa awal juga mengalami perubahan status dari belum menikah menjadi menikah, hal ini mengubah pola peran serta kehidupan mereka (Fisher dalam Trokan, 1998). Perubahan dalam perkawinan ini lebih signifikan tampak pada wanita dimana terjadi pergeseran peran dari wanita single menjadi seorang ibu. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pembagian peran yang tidak merata serta tidak adanya dukungan dari suami pada masa ini bisa memicu konflik dan menyebabkan wanita merasakan kepuasan perkawinan yang rendah (Dew & Wilkox, 2011).

Dari segi emosi, wanita pada tahapan usia dewasa awal (27 tahun sampai 35 tahun) lebih sering mengalami ketidakstabilan emosi dibandingkan wanita pada tahapan usia dewasa madya karena pada masa tersebut individu banyak menghadapi masalah terkait usaha untuk menjaga kelanggengan pernikahan (Mappiare, 1983). Sedangkan wanita pada tahapan usia dewasa madya mengalami pematangan dari segi emosi, lebih toleran terhadap pasangan, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan perkawinannya (Salkind, 2009). Rasa aman, kesetiaan dan daya tarik emosional merupakan elemen yang penting pada perkawinan di masa dewasa madya (Santrock, 2002). Pasangan saling berbagi pengetahuan, dan menerima tanggung jawab


(29)

demi kepuasan bersama, Bersheid (dalam Santrock, 2002). Selain itu salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya berkaitan dengan sindrom sarang kosong. Pada tahapan usia ini wanita memiliki lebih sedikit tanggung jawab di rumah karena anak-anak sudah beranjak dewasa (Desmita, 2006). Keadaan ini bisa memberi kesempatan hidup yang baru bagi pasangan pada masa dewasa madya yang tidak memiliki waktu bersama pasangan pada saat usia dewasa awal karena harus mengurusi anak. Pada perkawinan yang baik, masa ini dapat digunakan oleh pasangan untuk lebih banyak menghabiskan waktu yang berkualitas bersama pasangannya (Papalia, Olds & Feldman, 2014).

Berdasarkan uraian dan data diatas, terlihat bahwa hasil penelitian mengenai tingkat kepuasan perkawinan yang sudah banyak dilakukan menunjukkan hasil yang bertentangan. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa awal lebih tinggi dibandingkan tahapan usia dewasa madya (Gilford & Bengston, 1979; Gottman & Notarius, 2000; Karney & Bradbury, 1995; DeGenova, 2008), sementara itu penelitian lainnya menunjukan tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa madya lebih tinggi dibandingkan tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa awal (Gorchoff dkk, 2008; Salkind, 2009; Desmita, 2006). Untuk itu, peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada tahapan usia dewasa awal dan tahapan usia dewasa madya khususnya pada wanita.


(30)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkawinan dan Keluarga mengenai gambaran tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan dewasa madya serta perbedaan keduanya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Wanita Dewasa Awal

Apabila terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya, maka wanita pada tahapan usia dewasa awal diharapkan bisa memenuhi aspek-aspek kepuasan pada rentang usia terutama dewasa awal sehingga bisa


(31)

menghindari ketegangan emosi yang berujung pada rendahnya tingkat kepuasan perkawinan.

b. Bagi Wanita Dewasa Madya

Apabila terdapat perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya, maka wanita pada tahapan usia dewasa madya diharapkan mampu mempertahankan pemenuhan aspek-aspek kepuasan dalam perkawinan sehingga dapat menjaga kualitas serta stabilitas perkawinannya.


(32)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Perkawinan

1. Perkawinan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Landis & Landis (1963) menyebutkan pengertian perkawinan sebagai suatu komitmen antara sepasang manusia yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Yuwana dan Maramis (1991) menjelaskan perkawinan sebagai suatu kesatuan yang menjanjikan keakraban dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan interpersonal. Tujuan dari perkawinan adalah penyatuan dan dalam proses penyatuan itu suami dan istri diharapkan dapat mencapai kebahagiaan perkawinan. Perkawinan adalah relasi personal antara seorang pria dan wanita yang mempu membangun persahabatan personal yang intensif dan ada hubungan timbal balik (Raharso, 2008).

Secara garis besar perkawinan dapat didefinisikan sebagai suatu ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berkomitmen


(33)

untuk memenuhi kebutuhan masing-masing serta memiliki tujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan perkawinan.

2. Kepuasan Perkawinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepuasan berarti merasa senang, merasa lega dan gembira karena sudah terpenuhinya hasrat hati. Kotler (2000) mendefinisikan kepuasan sebagai sikap positif individu terhadap sesuatu, yang timbul berdasarkan penilaiannya terhadap hal tersebut. Secara umum kepuasan berarti perasaan senang karena terpenuhinya keinginan atau kebutuhan seseorang terhadap suatu objek. Kepuasan merupakan hasil dari penyesuaian antara harapan dan kenyataan (Klemer dalam Andhianita & Andayani, 2005). Apabila sesuatu terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan maka akan menimbulkan kepuasan. Secara garis besar kepuasan dapat didefinisikan sebagai reaksi positif dari seseorang karena harapannya terhadap sesuatu terpenuhi.

Beberapa ahli menyebutkan kepuasan perkawinan sebagai kebahagiaan perkawinan (Hurlock, 1990; Santrock, 2002; Papalia, 2014). Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan yaitu perasaan bahagia, puas, dan senang yang bersifat subyektif yang dirasakan oleh pasangan suami istri sehubungan dengan aspek-aspek yang terdapat dalam perkawinan. Wood dan Rhodes (1989) berpendapat, kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif dari individu terhadap pengalaman yang didapatkan dari hubungan perkawinan.


(34)

Menurut Snyder (1979), kepuasan perkawinan adalah sejauh mana suami dan istri menilai aspek-aspek dalam hubungan perkawinannya. Sadarjoen (2005) menambahkan, kepuasan perkawinan dapat tercapai apabila kedua pasangan mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing.

Atchley (Kulik, 2002) mengatakan bahwa kepuasan perkawinan adalah persepsi individu terhadap kualitas perkawinannya. Kepuasan perkawinan merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan manfaat dari pasangannya dalam kehidupan perkawinan (Stone & Shackelford, 2007). Semakin besar manfaat yang diperoleh dari suatu perkawinan maka kepuasan perkawinan akan semakin tinggi.

Menurut Lasswell dan Lasswell (1987), kepuasan perkawinan merupakan salah satu cara mengukur baik buruknya suatu perkawinan. Pendapat Lasswell tersebut didukung oleh Chappel dan Leigh dalam Pujiastuti dan Retnowati (2004), yang menyatakan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif terhadap kualitas perkawinan. Apabila pasangan puas terhadap perkawinan maka berarti keinginan dan tujuan dalam perkawinan sudah terpenuhi dan kehidupan terasa lebih lengkap.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kepuasan perkawinan merupakan reaksi atau perasaan senang yang diperoleh oleh suami maupun istri karena terpenuhinya kebutuhan dan harapan keduanya dalam kehidupan perkawinan.


(35)

3. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan

Rosen-Grandon dkk (2004) menjabarkan tiga aspek yang menentukan kepuasan perkawinan yaitu cinta, kesetiaan, dan nilai kebersamaan. Ketiga aspek ini masing-masing memiliki indikator diantaranya sebagai berikut.

a. Cinta

Komponen cinta terdiri atas komunikasi dan afeksi, yaitu rasa nyaman yang dirasakan pasangan saat saling membagi dan menerima informasi. Komunikasi meliputi keterbukaan, kejujuran, saling percaya dan menjadi pendengar yang baik. Afeksi meliputi saling menghormati, kemampuan memaafkan, menunjukkan perasaan, memberikan perhatian dan peka terhadap kebutuhan pasangan.

b. Kesetiaan

Komponen kesetiaan terdiri atas sikap berkomitmen terhadap perkawinan, dan mampu membangun keintiman bersama pasangan. c. Nilai-nilai bersama

Nilai-nilai bersama meliputi aturan yang telah disepakati oleh suami maupun istri dalam hal kepercayaan kepada Tuhan, kesepakatan dalam menyelesaikan konflik, pengambilan keputusan bersama dalam manajemen konflik dan dalam hal berbagi peran mendidik anak.

Sementara itu, Wismanto (2004), menjabarkan karakteristik kepuasan perkawinan sebagai berikut:


(36)

b. Penyesuaian diadik, yaitu suami dan istri saling melakukan penyesuaian dalam perkawinannya.

c. Kesetaraan pertukaran, yaitu keuntungan dari hasil hubungan suami-istri sesuai kontribusi yang telah diberikan masing-masing pasangan. Artinya pasangan merasakan kepuasan dari hubungan perkawinan tersebut.

d. Persepsi terhadap perilaku pasangan, yaitu bagaimana cara pasangan memandang perilaku pasangan dengan lebih positif.

Menurut Collins & Coltrane (1991), beberapa karakteristik perkawinan yang memuaskan diantaranya yaitu, saling percaya, saling memahami, kehidupan seks yang menyenangkan, adanya anak, kesamaan minat, berbagi pekerjaan rumah tangga, kehidupan ekonomi yang cukup. Lewis & Spanier dalam Rosen-Grandon dkk (2004) menambahkan, terdapat tiga proses interaksi yang terjadi dalam perkawinan yang memuaskan diantaranya pengambilan keputusan bersama, perasaan saling memiliki antar pasangan dan saling mengekspresikan afeksi terhadap pasangannya.

Sementara itu, Myers dalam Desmita (2006) mengatakan, suatu hubungan akan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan nilai, saling berbagi perasaan dan dukungan materi, serta secara intim membuka diri terhadap pasangan. Kebahagiaan perkawinan juga dapat tercapai apabila terjadi peningkatan sumber daya ekonomi, pengambilan keputusan yang setara, sikap gender non tradisional, dan pembagian tugas


(37)

rumah tangga yang merata (Papalia dan Feldman, 2014). Robinson & Blanton (1993) juga mengungkapkan karakteristik dari kehidupan perkawinan yang bahagia yaitu adanya keintiman, komitmen, komunikasi, kesetaraan gender, dan kesamaan orientasi agama.

Fowers & Olson (1993) menjabarkan 10 aspek perkawinan yang memuaskan diantaranya:

a. Komunikasi

Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan, kejujuran terhadap pasangan, kemampuan untuk mempercayai satu sama lain, sikap empati terhadap pasangan, dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).

b. Waktu luang

Aspek ini meliputi harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan dan apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama.

c. Orientasi keagamaan

Meliputi sikap dan perilaku yang menunjukkan keyakinan pada suatu agama termasuk cara mendidik anak sesuai aturan keagamaan.

d. Strategi menangani konflik

Meliputi sikap saling mendukung dan percaya pada pasangan serta berdiskusi dalam mencapai penyelesaian masalah.


(38)

Berkaitan dengan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan.

f. Orientasi seksual

Meliputi kemampuan mengungkapkan hasrat dan cinta, dan mengenali tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan seksual, memahami kebutuhan seksual pasangan.

g. Keluarga dan Teman

Hal ini meliputi harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman- teman, kesepakatan dalam membagi waktu antara pasangan dan keluarga atau teman, serta kebebasan dalam menjalin hubungan dengan teman dan keluarga. h. Pengasuhan anak

Dalam hal ini pasangan membuat kesepakatan dalam hal jumlah anak, peran suami istri dalam mengasuh dan mendidik anak, serta bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan.

i. Personality Issue

Bagaimana cara pasangan menanggapi perilaku dan kebiasaan pasangannya, menerima dan memahami perilaku pasangan yang berubah saat menikah.

j. Egalitarian Role

Aspek ini meliputi sikap pengertian dari suami maupun istri dalam menanggapi perannya masing-masing. Dalam hal ini suami maupun istri saling mengerti dan mendukung pasangannya, misalnya suami


(39)

yang tidak melarang istri bekerja dan tidak keberatan dengan pendapatan istri yang lebih besar darinya.

Berdasarkan uraian diatas, aspek-aspek dalam kepuasan perkawinan antara lain:

a. Komunikasi, yang memiliki beberapa indikator diantaranya: 1) Keterbukaan dalam komunikasi

2) Kejujuran dalam menyampaikan informasi 3) Menjadi pendengar yang baik

b. Afeksi, yang memiliki indikator:

1) Memberikan perhatian pada pasangan c. Kesetiaan, beberapa indikatornya antara lain:

1) Berkomitmen untuk hidup bersama pasangan selamanya d. Kepuasan ekonomi

1) Puas dengan pendapatan pasangan 2) Sepakat dalam mengelola keuangan

e. Kepuasan seksual, memiliki beberapa indikator seperti: 1) Mampu mengungkapkan hasrat seksual

2) Mengenali kebutuhan seksual pasangan f. Pembagian peran

1) Kesepakatan dalam berbagi pekerjaan rumahtangga 2) Kesepakatan dalam mendidik anak

g. Manajemen konflik


(40)

2) Pengambilan keputusan bersama

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Miller (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:

a. Status sosial, pasangan suami istri yang memiliki status sosial menengah keatas cenderung lebih positif dalam menilai perkawinannya.

b. Usia perkawinan, usia 15 tahun awal perkawinan cenderung menghadapi banyak perubahan dalam kehidupan perkawinan sehingga menimbulkan banyak masalah yang menyebabkan ketidakpuasan pada perkawinan. Kepuasan perkawinan juga menurun saat pasangan memasuki awal kehidupan dewasa madya (Papalia & Feldman, 2014). Helen Fischer dalam Trokan (1998) menemukan bahwa usia perkawinan 2-5 tahun cenderung mengalami tingkat kepuasan perkawinan yang rendah, sedangkan durasi 0 hingga 2 tahun perkawinan dianggap kurang memprediksi kepuasan perkawinan karena masa tersebut masuk dalam fase bulan madu.

c. Jumlah anak, kehadiran anak serta jumlah anak yang terlalu banyak dapat menimbulkan ketidakpusan dalam perkawinan karena istri lebih banyak menghabiskan waktu mengurus anak dan waktu bersama suami menjadi berkurang.

d. Jarak kelahiran anak, jarak kelahiran anak yang berdekatan bisa menimbulkan konflik dikemudian hari terutama saat anak-anak


(41)

beranjak sekolah dan memerlukan biaya pendidikan yang tidak sedikit sementara kehidupan ekonomi keluarga tidak cukup.

e. Komunikasi. Saling terbuka dan percaya dalam berkomunikasi antar pasangan dapat meningkatkan kepuasan perkawinan.

f. Agama

Pasangan yang memiliki kesamaan agama serta keyakinan spiritual akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dalam perkawinannya (Benson, 1955). Agama juga dapat membuat pasangan lebih setia dalam perkawinannya serta meningkatkan kualitas perkawinan (Dollahite dan Lambert, 2007).

Stone dan Shackelford (2007) mengemukakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan diantaranya :

a. Gender

Cohen dkk (2009) menemukan bahwa kepuasan perkawinan pada suami dipengaruhi oleh karakteristik perkawinan itu sendiri dan tidak mempengaruhi emosi mereka namun pada istri baik karakteristik maupun emosi memiliki pengaruh dalam menentukan kepuasan perkawinannya.

b. Tahapan Usia

Tingkat kepuasan perkawinan berbeda pada tiap tahapan usia. Gilford dan Bengston (1979) menyebutkan kepuasan perkawinan mencapai puncak pada tahapan usia dewasa awal sedangkan Gorchoff dkk


(42)

(2008) menemukan kepuasan perkawinan meningkat pada tahapan usia dewasa madya.

c. Pola interaksi

Pola interaksi antar pasangan suami istri dapat mempengaruhi seberapa puasnya mereka dalam perkawinan. Pola Interaksi yang dapat memberikan kepuasan pada pasangan adalah saling melakukan penyesuaian diri dengan baik.

d. Dukungan sosial

Individu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya akan memiliki penilaian yang baik terhadap pasangan dan perkawinannya. e. Karakteristik kepribadian suami-istri

kepribadian salah satu pasangan mempengaruhi kepuasan perkawinan pasangan lainnya. Seseorang cenderung mencari pasangan hidup yang memiliki karakteristik kepribadian yang mirip dengan dirinya (Burpee & Langer, 2005). Menurut Caspi dan Herbener (dalam Burpee & Langer, 2005), hal ini dikarenakan pasangan yang memiliki kesamaan karakteristik kepribadian tidak terlalu sering berargumen dan jarang memiliki kesalahpahaman.

f. Anak

Ada atau tidak adanya anak berpengaruh terhadap perasaan puas terhadap perkawinan. Anak dapat menjadi penentu kebahagiaan dalam sebuah perkawinan karena dengan mengandung, melahirkan serta membesarkan anak wanita merasakan kepuasan dalam perkawinannya


(43)

terkait perannya sebagai seorang ibu (Dew dan Wilcox, 2011). Dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anak, pasangan dengan anak lebih menunjukkan kepuasan dalam perkawinannya.

g. Latar belakang keluarga

Kepuasan perkawinan dari orangtua pasangan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan pasangan itu. Latar belakang keluarga meliputi perceraian orangtua dan dukungan dari orangtua serta mertua (Larson & Holman, 1994).

Sementara itu Larson dalam Holman dkk (1994) juga menjabarkan beberapa faktor pra-perkawinan yang juga mempengaruhi kepuasan perkawinan, antara lain: alasan menikah, kepercayaan atau harapan, perilaku sebelum menikah, asal-usul keluarga, karakteristik kepribadian individu, relasi sosial, proses interaksi pasangan, hubungan orangtua dan anak, kepuasan perkawinan orangtua.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan diantaranya, gender, agama, tahapan usia, penyesuaian diri, latar belakang keluarga, kepribadian pasangan, ada atau tidak adanya anak, lama perkawinan, dan pola interaksi yang terjadi antar pasangan.

B. Wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya

1. Wanita Dewasa Awal

Masa dewasa awal dimulai pada usia 22 tahun hingga 39 tahun (Santrock, 2002). Menurut Havighurst dalam Mappiare (1983), wanita


(44)

dewasa awal memiliki tugas perkembangan yaitu memilih pasangan dan hidup berkeluarga. Penelitian Whitehead & Poponoe menemukan bahwa 90% dewasa awal akan memilih untuk menikah (Papalia dan Feldman, 2014). Menurut Erikson, wanita dewasa awal berada dalam tahap perkembangan intimasi vs isolasi. Intimasi berarti individu dewasa awal memiliki tugas perkembangan untuk membangun keintiman (Erikson dalam Monks dkk, 2006). Keintiman berarti komitmen individu terhadap orang lain yang membuahkan hubungan yang hangat dan bermakna melalui interaksi yang intim (Salkind, 2009). Salah satu cara membangun keintiman yaitu dengan membina hubungan dengan lawan jenis melalui pacaran pada masa remaja. Keintiman yang terjalin pada masa remaja ini akan mencapai puncaknya pada masa dewasa awal yaitu mulai berkomitmen melalui perkawinan. Bagi perempuan, perkawinan merupakan hal yang penting karena ia dapat hidup bersama dengan laki-laki yang dicintainya (Kartono, dalam Eriany, 1997). Jika individu mampu membangun keintiman maka ia akan mulai membangun keluarga baru, namun apabila individu tidak berhasil pada tahap ini maka ia akan terjebak dalam tahap isolasi dimana individu akan cenderung menutup diri dari dunia luar.

Santrock (2002) juga menambahkan, wanita pada usia dewasa awal memiliki beberapa tugas perkembangan diantaranya memilih jodoh, belajar hidup dengan suami, membentuk keluarga, dan menemukan kelompok sosial. Pada masa ini pula indvidu mulai memilih pasangan dan


(45)

menikah dengan tujuan membangun intimasi, berkomitmen, mendapatkan dan memberikan afeksi, menjalin persahabatan, memenuhi kebutuhan seksual, mendapatkan pendampingan, sumber identitas baru, dan harga diri (Myers dalam Papalia dan Feldman (2014).

Davidoff dalam Desmita (2006) menjabarkan problem perkawinan dewasa awal diantaranya:

a. Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaiakan kebutuhan dan harapan satu sama lain

b. Salah satu pasangan kesulitan menerima perbedaan dalam kebiasan kebutuhan, pendapat, kerugian dan nilai, masalah keuangan dan anak-anak

c. Perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, pasangan kurang mendapat kebebasan

d. Pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil

e. Kegagalan dalam berkomunikasi, dikarenakan pasangan muda masih memiliki ego yang kuat sehingga cenderung tidak mau mengalah. Selain itu pasangan awal tidak terbuka dalam mengungkapkan perasaan.

f. Masing-masinng pasangan tumbuh dan berkembang ke arah yang berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan.

g. Pasangan muda atau dewasa awal kesulitan menyesuaikan diri dengan peran dan tanggungjawab baru


(46)

Wanita dewasa awal yang menikah tentu harus melakukan penyesuaian terhadap perkawinannya. Hurlock (1990) menyebutkan beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan pasangan yang baru menikah diantaranya, penyesuaian terhadap pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan. Wanita dewasa awal juga mengalami beberapa penyesuaian terkait perbedaan pandangan dan harapan yang ia miliki dengan pandangan dan harapan yang dimiliki pasangannya (Kail & Cavanaugh, 2010).

Perkawinan bagi wanita dewasa awal merupakan hal yang penting karena ia dapat hidup bersama dengan laki-laki yang dicintainya melalui sebuah perkawinan (Kartono, dalam Eriany, 1997). Namun perkawinan pada masa dewasa awal juga dapat menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan apabila suami atau istri sulit menyesuaikan diri dengan peran dan peraturan baru dalam rumah tangga mereka. Selain itu, wanita dewasa awal cenderung memiliki konsep pasangan yang ideal. Apabila konsep pasangan ini tidak sesuai dengan kenyataan saat menikah maka wanita dewasa awal cenderung tidak puas dan memiliki penilaian yang rendah terhadap perkawinannya.

Hurlock (1990) menjabarkan beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan pasangan pada usia dewasa awal dalam menghadapi perkawinan diantaranya:


(47)

Dalam menyesuaiakan diri dengan pasangan, wanita dewasa awal diharapkan mampu menerima perbedaan yang ada pada dirinya dan pasangannya, menjalin komunikasi secara terbuka dan menjaga hubungan yang hangat dan mesra.

b. Penyesuaian seksual

Wanita dewasa awal diharapkan mampu membuat kesepakatan bersama suaminya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan harapan dalam melakukan hubungan seksual.

c. Penyesuaian Ekonomi

Pasangan suami istri tentu harus mulai memikirkan cara mengolah keuangan keluarga, dan membuat kesepakatan mengenai siapa yang akan bekerja serta bagaimana mengelola kehidupan ekonomi mereka. d. Penyesuaian Peran

Hal ini paling sering dirasakan oleh wanita yang mengalami perubahan peran dari wanita single menjadi seorang istri maupun ibu. Dalam hal ini wanita dewasa awal yang menikah perlu mendapatkan dukungan dari suaminya agar dia bisa menyesuaikan diri dengan peran barunya.

e. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Seringkali dijumpai wanita dewasa awal yang menikah memiliki hubungan yang kurang menyenangkan dengan mertua. Pasangan baru harus bisa menyesuaiakan diri dengan keluarga pasangannya, dan


(48)

menganggap keluarga pasangan sebagai bagian dari keluarganya yang baru.

2. Wanita Dewasa Madya

Pada umumnya usia dewasa madya atau usia setengah baya berada pada rentang usia 40 hingga 60 tahun (Hurlock, 1990). Masa tersebut pada akhirnya akan ditandai oleh perubahan fisik (menopaus). Masa dewasa madya bagi wanita merupakan masa transisi menjadi seorang ibu dengan anak remaja, masa mempertahankan prestasi yang didapatkan, serta masa dimana harus melakukan penyesuaian baru dalam kehidupannya.

Santrock (2002) menjabarkan tugas-tugas perkembangan yang harus dituntaskan pada usia dewasa madya diantaranya:

a. Memantapkan pengamalan ajaran agama

b. Mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga Negara

c. Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab sesuai tahap generativity dari Erikson yaitu untuk membimbing generasinya menjadi lebih dewasa dengan member contoh, mengajar dan mengontrol

d. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik e. Mencapai dan mempertahankan standar hidup ekonomis serta

mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier serta aktif dalam organisasi sosial (desmita, 2006)

f. Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa dan mencapai tanggungjawab sosial secara penuh


(49)

Levinson (Monks, 2006) menyebutkan masa dewasa madya sebagai fase menjadi diri sendiri, mencapai kestabilan, serta menguasasi dan mengatasi kelemahan. Pada usia ini wanita memiliki lebih sedikit tanggung jawab dirumah karena anak-anak sudah beranjak dewasa (Desmita, 2006). Wanita dewasa madya akan puas jika mampu mengajar anak-anak, menolong anak menjadi dewasa, menyediakan bantuan bagi orang lain, melihat bahwa sumbangan yang diberikan memberikan manfaat.

Meskipun demikian, menurut Hurlock (1990) wanita dewasa madya juga mengalami beberapa stress dalam kehidupannya yaitu:

a. Stress somatik, yang disebabkan oleh keadaan fisik yang melemah dan berubah pada usia tua.

b. Stress ekonomi, meliputi beban keuangan untuk pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

c. Stress psiklogis, yang bisa berasal dari kematian pasangan, kepergian anak dari rumah, atau kebosanan terhadap perkawinan.

Selain itu, wanita dewasa madya juga mengalami beberapa kendala dalam perkawinannya diantaranya:

a. Perubahan peran

Wanita dewasa madya yang sudah menjalani kehidupan sebagai seorang ibu selama bertahun-tahun harus menyesuaikan diri dengan peran baru saat anak-anaknya telah beranjak dewasa dan


(50)

meninggalkan rumah. Banyak wanita dewasa madya yang merasa kesepian karena ditinggal anak-anaknya.

b. Kebosanan

Wanita dewasa madya yang menjalani kehidupan berumah tangga selama bertahun-tahun terkadang dilanda kebosanan. Apalagi bagi wanita dewasa madya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga sementara merasa tidak puas karena tidak ada kesempatan untuk mengembangkan diri.

c. Tidak puas dengan penyesuaian seksual

Hal ini disebabkan karena keinginan untuk melakukan hubungan seksual bagi pria dan wanita berbeda pada usia dewasa madya sehingga menimbulkan beberapa perselisihan.

d. Perasaan curiga

Perasaan curiga bahwa suami berselingkuh dengan wanita lain sering dialami wanita dewasa madya yang suaminya lebih sibuk dengan pekerjaannya dan dia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Wanita dewasa madya juga sering merasa pekerjaannya dirumah tidak dihargai suami atau suami lebih mementingkan karir daripada istrinya. Namun demikian, kebanyakan wanita dewasa madya juga mampu menyesuaiakan diri terhadap perkawinannya dengan lebih baik. Hal ini dikarenakan wanita dewasa madya sudah memiliki pengalaman dalam berumahtangga yang cukup lama sehingga lebih positif dalam menilai perkawinannya (Santrock, 2002). Dalam perkawinan, wanita pada masa


(51)

dewasa madya memandang pasangannya sebagai pribadi yang seutuhnya (Salkind, 2009), menerima kelebihan maupun kekurangan pernikahannya, mengenali pola konflik dengan baik, serta memiliki harapan yang lebih realistis terhadap satu sama lain karena telah melewati kehidupan rumah tangga yang cukup lama (Santrock, 2002). Pernikahan yang telah berlangsung lama ini memiliki kecenderungan lebih kecil untuk bercerai karena kemapanan finansial dan emosional yang telah dibangun (Papalia, Old & Feldman, 2011). Pernikahan yang bertahan hingga masa dewasa madya dianggap telah mencapai stabilitas (Campbell, dalam Santrock, 2002).

Pada masa ini pula, wanita mengalami suatu fase dalam kehidupannya yang disebut sindrom sarang kosong. Sebutan ini digunakan untuk menyebutkan keadaan dimana seorang ibu merasakan kesepian karena anak-anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupannya sendiri. Dalam perkawinan yang baik, keadaan ini mungkin digunakan sebagai masa bulan madu kedua karena pasangan lebih banyak menghabiskan waktu bersama (Papalia & Feldman, 2014).

C. Dinamika Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Berdasarkan

Tahapan Usia Dewasa Awal dan Dewasa Madya

Kepuasan perkawinan menjadi salah satu penentu kesejahteraan dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yaitu gender (Helgeson, 2012). Helgeson


(52)

menyebutkan, karena wanita secara sosial berfokus pada lingkungan sekitarnya maka emosi dan perilaku pasangan lebih mempengaruhi penilaiannya terhadap perkawinannya. Wanita juga dikatakan lebih terlibat secara emosional dalam sebuah hubungan dibandingkan laki-laki sehingga apapun yang mempengaruhi keadaan emosionalnya akan mempengaruhi penilaiannya terhadap kepuasan perkawinan. Selain itu karakter kepribadian dari wanita juga lebih berpengaruh pada kestabilan perkawinan, hal ini yang kemuadian dinilai sebagai pemicu tingginya angka perceraian yang diajukan oleh wanita (Helgeson, 2012).

Selain gender, tahapan usia juga mempengaruhi kepuasan perkawinan (Gorchoff, John &Helson, 2008). Dalam penelitiannya, Gorchoff dkk menemukan bahwa dewasa madya lebih puas dalam perkawinannya dibandingkan dewasa awal. Perbedaan ini terkait dengan tugas perkembangan serta karakteristik wanita pada tahapan usia dewasa awal dan dewasa madya. Seperti yang diketahui, wanita pada tahapan usia dewasa awal mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya baik itu perubahan fisik, kognitif maupun emosi (Papalia, Old, Feldman 2010).

Dari segi fisik, wanita pada tahapan usia dewasa awal berada pada puncak kesehatan, kekuatan, daya tahan dan fungsi motorik mereka (Papalia, Old, Feldman, 2010). Pada masa ini individu berada pada kondisi yang paling sehat, jarang mengalami penyakit kronis serta mengetahui bagaimana cara meningkatkan kesehatan (Santrock, 2002). Masa dewasa awal juga merupakan usia reproduktif, artinya pada masa dewasa awal seorang wanita


(53)

akan mengalami perubahan peran ketika menikah dan memiliki anak atau bereproduksi (Hurlock, 1990). Pada masa ini wanita mengalami perubahan menjadi ibu atau orangtua dan melakukan banyak penyesuaian terkait peran baru terutama dalam perkawinan.

Secara kognitif wanita pada usia dewasa awal memiliki pemikiran yang lebih logis dan sistematis dibandingkan saat remaja (Santrock, 2002). Horn (dalam Santrock, 2002) mengatakan, pada masa dewasa awla individu memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak atau yang disebut Fluid

Intelligence. Sementara itu menurut Schaie (dalam Santrock, 2002) secara

umum individu pada masa dewasa awal melewati dua fase kognitif yaitu fase mencapai prestasi dan fase tanggung jawab. Fase mencapai prestasi ini terjadi pada saat individu mulai menerapkan pengetahuannya pada suatu situasi tertentu yang memerlukan tujuan jangka panjang seperti pernikahan dan karir. Sementara fase tanggungjawab merupakan perluasan kemampuan kognitif dimana indivdu mulai memberikan perhatian dan meningkatkan tanggung jawab pada suatu hal baru misalnya bertanggungjawab pada keluarga baru (Schaie dalam Santrock, 2002).

Dari segi emosional, masa dewasa awal dipandang sebagai masa ketegangan emosional (Hurlock, 1990). Ketegangan emosional lebih sering tampak pada wanita, hal ini dikarenakan dalam sebuah hubungan, wanita lebih menunjukkan ketergantungan emosional dibandingkan laki-laki (Helgeson, 2012). Hal ini terjadi apabila wanita tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya terkait dengan peran barunya sebagai


(54)

seorang istri atau ibu (Hurlock, 1990). Selain itu, wanita pada tahapan usia dewasa awal juga memiliki tugas perkembangan untuk membangun keintiman dengan orang lain yang biasanya terwujud dalam sebuah perkawinan (Salkind, 2009).

Perkawinan pada masa dewasa awal tidak luput dari masalah (Gunarsa, 1990). Pasangan suami istri pada masa dewasa awal masih harus mencoba dan melakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan (Hurlock, 1990). Perubahan dalam perkawinan ini lebih signifikan pada perempuan dimana terjadi pergeseran peran dari wanita single menjadi seorang ibu (Dew & Wilkox, 2011). Hal ini mengubah pola peran serta kehidupan mereka (Trokan, 1998). Penyesuaian dan perubahan yang dilakukan dalam kehidupan seorang wanita dewasa awal yang menikah terkadang tidak berjalan mulus. Wanita dewasa awal seringkali menjumpai kesulitan dalam perkawinannya diantaranya kesulitan menyesuaikan diri dengan suami yang tidak sesuai harapannya, kehidupan ekonomi yang masih harus ditingkatkan, perubahan peran menjadi istri yang terikat dengan suami serta menjadi ibu, serta penyesuaian dengan mertua dan teman-teman (Hurlock, 1990).

Dalam menghadapi perkawinan, wanita dewasa awal lebih banyak mengandalkan kemampuan berpikir secara abstrak (fluid intelligence) dari pengetahuan yang didapatkan selama masa remaja (Murray dalam Huston dkk, 2001. Wanita pada tahapan usia dewasa awal banyak melakukan penyesuaian baru dan lebih sering mencoba karena belum memiliki informasi yang cukup mengenai perkawinan. Dari segi emosional, emosi wanita dewasa


(55)

awal masih bergantung pada pasangannya sehingga bisa dikatakan wanita dewasa awal memiliki emosi yang belum stabil dibandingkan wanita pada masa dewasa madya (Santrock, 2002). Hal ini mengakibatkan wanita dewasa awal memiliki penilaian yang cenderung rendah terhadap perkawinan. Hal ini pula yang mengakibatkan banyak wanita mengajukan gugatan cerai pada usia dewasa awal.

Sementara itu wanita pada tahapan dewasa madya juga melalui beberapa perubahan dalam kehidupannya. Dari segi fisik, wanita pada tahapan usia dewasa madya mengalami perubahan terkait penurunan fungsi seksual dan reproduksinya (Papalia, Old, Feldman, 2010) atau yang lebih dikenal dengan istilah menopause. Pada masa menopause ini, wanita mengalami beberapa sindrom seperti berhentinya menstruasi, berhentinya sistem reproduksi, tegang dan panas pada bagian tubuh tertentu (Hurlock, 1990).

Dari segi kognitif, individu yang berada pada tahapan usia dewasa madya mengalami penurunan dalam daya ingat (Santrock, 2002). Namun menurut Horn kecerdasan kognitif yang membutuhkan kemampuan verbal

(Crystallized Intelligence) meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu

dari segi kognitif individu pada masa dewasa madya memasuki fase eksekutif dimana seseorang mulai bertanggungjawab pada sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial (Schaie dalam Santrock, 2002).

Secara emosional, wanita dewasa madya lebih bisa mengontrol emosinya, mementingkan rasa aman dan saling berbagi pengetahuan bersama


(56)

pasangannya (Santrock, 2002). Wanita pada masa ini juga mengalami penurunan emosi negatif dan mulai belajar menerima apa yang terjadi dalam dirinya (Papalia, Old, feldman, 2010). Dukungan sosial dari teman dan pasangan serta faktor agama berperan penting dalam memberikan kebahagiaan bagi wanita dewasa madya (Myers dalam Papalia dkk, 2010). Hal ini yang menyebabkan wanita pada tahapan dewasa madya mudah beradaptasi dengan perubahan dalam perkawinannya.

Meskipun mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya, wanita pada tahapan usia dewasa madya sudah bisa mengenali pola-pola konflik, cara mengatasinya dan lebih realistik terhadap perkawinannya dibandingkan pada masa dewasa awal (Santrock, 2002). Selain itu pada masa dewasa madya wanita memiliki banyak waktu luang yang bisa dihabiskan bersama pasangan setelah melepas anak-anak yang beranjak dewasa (Santrock, 2002).

Fase ini disebut juga fase sarang kosong atau “empty nest’ dimana wanita lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan yang sesuai keinginan mereka sendiri secara bebas seperti hobi, olahraga ataupun membaca (Santrock, 2002). Selain itu, pada masa ini wanita juga kembali mendekatkan diri dengan pasangan sehingga dapat kembali merasakan kebahagiaan serta kepuasan dalam perkawinannya, bahkan cenderung lebih puas dibandingkan selama 4 tahun pertama (Papalia dkk, 2010). Vaillant (dalam Santrock, 2002) menyebutkan, individu pada masa dewasa madya memiliki perasaan yang lebih rileks dalam menyikapi suatu masalah. Hal ini


(57)

membuat wanita lebih dapat mengontrol emosinya dan memandang pasangan serta perkawinannya secara lebih positif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya juga mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya namun karena kondisi emosi yang cenderung stabil serta adanya waktu luang yang dapat dihabiskan bersama pasangan, wanita pada tahapan usia dewasa madya memandang perkawinannya dengan lebih positif dibandingkan wanita pada tahapan usia dewasa awal. Selain itu karena kemampuan kognitif wanita dewasa awal yang terbatas pada penalaran abstraksi membuat wanita dewasa awal kurang memiliki pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman sendiri mengenai perkawinan sehingga kurang mudah menyesuaikan diri dengan perkawinanya.


(58)

D. Skema Penelitian

Berdasarkan kajian teori di atas, dapat dirumuskan kerangka berpikir penelitian ini sebagai berikut.

Kepuasan Perkawinan

a. Komunikasi b. Afeksi c. Kesetiaan

d. Kepuasan Ekonomi e. Kepuasan Seksual f. Pembagian Peran g. Manajemen Konflik

Tingkat Kepuasan Perkawinan Tinggi

Tingkat Kepuasan Perkawinan Rendah

Wanita Dewasa Madya a. Kemampuan mengintegrasikan

pengetahuan dan pengalaman b. Memiliki banyak waktu luang

bersama suami karena kepergian anak-anak dari rumah

c. Kemandirian emosional dan kemampuan mengontrol emosi Wanita Dewasa Awal

a. Kemampuan berpikir abstrak b. Mengurusi anak, memiliki

sedikit waktu luang bersama suami

c. Ketergantungan emosi pada pasangan dan emosi tidak stabil


(59)

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada perbedaan yang signifikan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya.

2. Wanita dewasa madya memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan wanita dewasa awal.


(60)

38 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang bertujuan untuk membandingkan keberadaan satu variable pada dua sampel yang berbeda, atau pada waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini, peneliti ingin membandingkan variabel tingkat kepuasan perkawinan pada perempuan dewasa awal dan perempuan dewasa madya.

B.Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Variabel-variabel dalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel Tergantung : Tingkat kepuasan perkawinan. 2. Variabel Bebas : Tahapan Usia subjek.

C.Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Tingkat KepuasanPerkawinan

Tingkat kepuasan perkawinan adalah tingkat reaksi atau perasaan senang yang diperoleh wanita karena terpenuhinya kebutuhan dan


(61)

harapannya dalam kehidupan perkawinan. Tingkat kepuasan perkawinan diukur dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan yang dibuat oleh peneliti. Semakin tinggi subjek mendapat skor dalam penelitian ini, maka semakin tinggi tingkat kepuasan perkawinan subjek. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah subjek mendapat skor dalam penelitian, maka semakin rendah tingkat kepuasan perkawinan subjek. Adapun skala kepuasan perkawinan memiliki aspek dan indikator sebagai berikut:

a. Komunikasi, yang memiliki beberapa indikator diantaranya: 1) Keterbukaan dalam komunikasi

2) Kejujuran dalam menyampaikan informasi 3) Menjadi pendengar yang baik

b. Afeksi, yang memiliki indikator:

1) Memberikan perhatian pada pasangan c. Kesetiaan, beberapa indikatornya antara lain:

1) Berkomitmen untuk hidup bersama pasangan selamanya

d. Kepuasan ekonomi

1) Puas dengan pendapatan pasangan 2) Sepakat dalam mengelola keuangan

e. Kepuasan seksual, memiliki beberapa indikator seperti: 1) Mampu mengungkapkan hasrat seksual

2) Mengenali kebutuhan seksual pasangan f. Pembagian peran


(62)

2) Kesepakatan dalam mendidik anak g. Manajemen konflik

1) Kemampuan menyelesaikan masalah

2) Pengambilan keputusan bersama 2. Tahapan Usia Subjek

Terdapat dua kelompok tahapan usia subyek dalam penelitian ini yaitu, tahapan usia subyek dewasa awal dan tahapan usia subyek dewasa madya. Rentang usia subjek dewasa awal yaitu 20 tahun hingga 39 tahun, sementara rentang usia subjek dewasa madya yaitu 40 tahun hingga 60 tahun. Untuk membedakan subyek dewasa awal dan dewasa madya, peneliti mengelompokkan skala berdasarkan data usia yang diisi oleh subjek.

D.Subjek Penelitian

Peneliti menggunakan teknik nonprobability sampling dalam mengambil sampel penelitian, yaitu teknik pengambilan sampel di mana setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel (Noor, 2012). Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan karena pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan tertentu berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah ditentukan peneliti (Sumanto, 2014).


(63)

Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang berdomisili di Provinsi D.I Yogyakarta yang memiliki beberapa ciri, diantaranya:

1. Wanita dengan rentang usia 20-60 tahun yang sudah menikah

2. Minimal usia perkawinan adalah 2 tahun, karena durasi perkawinan dibawah dua tahun dianggap sebagai masa bulan madu dan kurang dapat memprediksi kepuasan perkawinan (Fischer dalam Trokan, 1998).

3. Tinggal serumah dengan suami, hal ini dikarenakan terdapat beberapa aspek dalam kepuasan perkawinan yang membutuhkan kerjasama suami istri secara langsung seperti komunikasi, afeksi, kepuasan seksual dan pembagian peran.

4. Memiliki anak, karena pasangan yang memiliki anak cenderung lebih puas dan merasa perannya sebagai orangtua terpenuhi dibandingkan pasangan tanpa anak (Dew dan Wilcox, 2011; Santrock, 2002).

E.Metode dan Instrumen Penelitian

Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan. Skala kepuasan perkawinan tersebut disusun berdasarkan indikator yang telah disebutkan diatas. Skala ini merupakan skala Likert, di mana subjek diminta menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuannya terhadap pernyataan-pernyataan mengenai kepuasan perkawinan yang peneliti susun. Respon jawaban terhadap pernyataan-pernyataan dalam skala terdiri atas empat respon yaitu, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).


(64)

Setiap aitem yang mewakili indikator dibagi dalam dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan yang bersifat favorable dan pernyataan yang bersifat unfavorable. Pernyataan yang bersifat favorable adalah pernyataan yang jika disetujui akan mendukung atribut yang diukur. Sebaliknya pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang jika disetujui akan menunjukkan sikap negatif atau tidak mendukung atribut yang diukur (Supratiknya, 2014).

Pemberian skor dalam pilihan jawaban untuk aitem favorable adalah 4

untuk pilihan respon “Sangat Setuju” (SS), skor 3 untuk respon “Setuju” (S), skor 2 untuk respon “Tidak Setuju” (TS), dan skor 1 untuk respon “Sangat

Tidak Setuju” (STS). Sedangkan untuk aitem unfavorable, skornya adalah 1

untuk pilihan respon “Sangat Setuju” (SS), skor 2 untuk respon “Setuju” (S), skor 3 untuk respon “Tidak Setuju” (TS), dan skor 4 untuk respon “Sangat Tidak Setuju” (STS).

Tabel 1. Skor Penilaian Skala Kepuasan Perkawinan.

Respon Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3


(65)

Tabel 2. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sebelum try-out.

No. Aspek Nomor Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

1.

Komunikasi 1, 9, 21, 26, 33, 56,

17, 31, 36, 40, 48, 54

12 18,2%

2.

Afeksi 3, 18, 27, 30, 35 10, 11, 49, 57,

65

10 15,2%

3. Kesetiaan 23, 37, 61 8, 19, 45 6 9%

4.

Kepuasan Ekonomi

2, 12, 14, 28, 47 20, 32, 43, 50, 62

10 15,2%

5.

Kepuasan Seksual

4, 25, 44, 51, 59 5, 13, 41, 55, 63 10 15,2%

6.

Pembagian Peran

6, 15, 38, 42, 46 24, 29, 52, 58, 60

10 15,2%

7.

Manajemen Konflik

7, 22, 34, 66 16, 39, 53, 64 8 12%

TOTAL 66 100%

F. Kredibilitas Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas

Validitas adalah kualitas yang menunjukkan sejauh mana suatu tes sungguh-sungguh mengukur atribut psikologis yang hendak diukurnya (Supratiknya, 2014). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah


(66)

validitas isi yaitu tingkat di mana suatu tes mengukur lingkup isi yang dimaksud (Sumanto, 2014). Salah satu cara yang dapat mendukung validitas isi adalah dengan menyajikan blue print (Azwar, 2013). Dalam mengembangkan isi dari sebuah skala, pada uji validitas dilakukan juga analisis rasional melalui professional judgement (Azwar, 2003). Dalam hal ini peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan bantuan professional judgement yaitu Dosen Pembimbing Skripsi.

2. Analisis Aitem

Analisis aitem dilakukan untuk menguji kualitas sebuah skala psikologi yang dilihat dari setiap aitem dan untuk mendukung validitas sebuah skala (Azwar,2013). Tujuan dari analisis aitem adalah memilih aitem-aitem yang akan membentuk sebuah skala yang bersifat homogen atau memiliki daya diskriminasi yang baik (Supratiknya, 2014)

Batasan koefisien korelasi rix ≥ 0,30 digunakan sebagai kriteria

pemilihan aitem. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan dan dapat digunakan, sedangkan aitem yang memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,30

dianggap sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah atau dianggap kurang baik dan tidak digunakan (Azwar, 2013).

Pengambilan data uji coba dilakukan pada bulan mei 2015 dengan jumlah subjek sebanyak 50 orang. Analisis aitem dalam penelitian ini menggunakan SPSS For Windows 16.0 dengan melihat Corrected Item-Total Correlation pada Reliability Statistics. Berdasarkan data yang ada dari


(67)

66 aitem yang disajikan, terdapat 4 aitem yang tidak memenuhi syarat. Keempat aitem ini dinyatakan gugur karena memiliki nilai koefisien korelasi kurang dari 0.30. Dari 66 aitem, terdapat 62 aitem yang dinyatakan memenuhi syarat.

Tabel 3. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan sesudah try-out.

No. Aspek Nomor Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

1.

Komunikasi 1, 9, 21, 26, 33, 56,

17, 31, 36, 40, 48, 54

12 19,3%

2.

Afeksi 3, 18, 27, 30, 35 10, 11, 49, 57,

65

10 16%

3. Kesetiaan 23, 37, 61 8, 19, 45 6 9,7%

4.

Kepuasan Ekonomi

2, 12, 14, 28, 47 20, 32, 43, 50, 62

10 16%

5.

Kepuasan Seksual

4, 25, 44, 51, 59 5, 13, 41, 55, 63 9 15%

6.

Pembagian Peran

6, 15, 38, 42, 46 24, 29, 52, 58, 60

8 13%

7.

Manajemen Konflik

7, 22, 34, 66 16, 39, 53, 64 7 11%

TOTAL 62 100%


(68)

Tabel 4. Blue-print Skala Kepuasan Perkawinan final.

No. Aspek Nomor Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

1.

Komunikasi 7, 9, 24, 27, 48, 59

28, 30, 8, 39, 26, 42

12 19,3%

2.

Afeksi 6, 29, 41, 21, 17 40, 25, 50, 22,

11

10 16%

3. Kesetiaan 56, 4, 60 49, 18, 38 6 9,7%

4.

Kepuasan Ekonomi

16, 23, 10, 19, 45 61, 20, 5, 43, 51 10 16%

5.

Kepuasan Seksual

32, 47, 14, 54, 37 58, 3, 62, 57 9 15%

6.

Pembagian Peran

31, 15, 1, 33 44, 55, 13, 36 8 13%

7.

Manajemen Konflik

53, 35, 12, 46 34, 2, 52 7 11%

TOTAL 62 100%

3. Uji Reliabilitas

Realibitas mengacu pada sejauh mana suatu hasil pengukuran dapat dipercaya dan konsisten (Azwar, 2014). Koefisien reliabilitas (rxx’) berada dalam rentang angka dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin koefisien


(69)

reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel, semakin mendekati angka 0 berarti pengukuran tidak reliabel. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan Alfa Cronbach dengan program SPSS For Windows 16.0.

Berdasarkan data Reliability Statistics, koefisien skala sebelum seleksi aitem sebesar 0,961 dan koefisien skala setelah seleksi aitem sebesar 0,963. Skala penelitian ini dinyatakan reliabel karena memiliki koefisien skala mendekati 1,00.

Tabel 5.

Tabel 5a. Data Statistik Reliabilitas Sebelum Seleksi Aitem

Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items

.961 66

Tabel 5b. Data Statistik Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem

Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items

.963 62

G.Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk mengecek apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal (Santoso, 2010). Uji ini perlu dilakukan karena semua perhitungan statistik baru


(70)

dapat dilakukan apabila memiliki asumsi normalitas sebaran (Santoso, 2010). Untuk melakukan uji normalitas, peneliti menggunakan teknik analisis Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian uji normalitas adalah apabila nilai signifikansi p lebih besar daripada 0,05 berarti sebaran datanya normal (Santoso, 2010).

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui varian populasi data apakah antara dua kelompok memiliki varian yang sama atau berbeda (Priyatno, 2014). Uji ini merupakan prasyarat dalam uji hipotesis

independent sample t-test (Priyatno, 2014). Kriteria pengujian uji homogenitas adalah apabila nilai siginfikansi p lebih besar daripada 0,05 berarti data penelitian homogeny atau tidak memiliki perbedaan varian (Priyatno, 2014)

2. Uji Hipotesis

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan wanita dewasa madya. Oleh karena itu peneliti menggunakan uji independent sample t-test untuk menguji hipotesis penelitian. Independent sample t-test digunakan untuk menguji dua rata-rata dari kelompok data yang independen (Priyatno, 2014).


(71)

49 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 22 Juni 2015 hinggga tanggal 20 Juli 2015. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan yang dibuat oleh peneliti. Peneliti melakukan pengambilan data dengan cara menyebarkan kuesioner kepada subjek secara langsung maupun dengan bantuan orang lain. Pengambilan data secara langsung dilakukan dengan cara memberikan kuesioner kepada subjek yang berdomisili di Kabupaten Sleman dan Yogyakarta. Sementara untuk pengambilan data lainnya dilakukan dengan cara menitipkan kuesioner pada beberapa kerabat peneliti yang bekerja sebagai guru, pegawai negri sipil dan karyawan swasta yang tersebar di Kecamatan Depok Sleman dan Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 100 subjek dengan rentang usia 20 tahun hingga 60 tahun yang berada di Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang sudah menikah, memiliki anak dan masih tinggal bersama dengan suami. Peneliti mendeskripsikan subjek penelitian berdasarkan latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia dan penghasilan suami istri per bulan.


(72)

Tabel 6. Deskripsi Subjek Penelitian

Pendidikan Terakhir Dewasa Awal Dewasa Madya Total

SMP 7 15 22

SMA 26 19 45

S1 16 14 30

S2 1 2 3

Usia (Tahun)

20 40 0 6

21 41 1 2

22 42 1 5

23 43 2 4

24 44 1 3

25 45 2 3

26 46 1 2

27 47 2 3

28 48 2 3

29 49 3 1

30 50 3 2

31 51 1 2

32 52 9 5

33 53 2 1

34 54 5 1

35 55 4 3

36 56 1 1

37 57 1 1

38 58 7 1

39 59 2 1

Pekerjaan

Wiraswasta 23 9 32

Ibu Rumah Tangga 17 24 41

PNS 10 17 27

Penghasilan/bulan

Rp < 1.000.000 5 3 8

Rp 1.000.000-2.000.000 29 18 47

Rp 3.000.000-4.000.000 5 19 24

Rp >5.000.000 11 8 19


(73)

Setelah peneliti mengumpulkan data, peneliti mengelompokkan subjek berdasarkan tahapan usia dewasa awal (usia 20-39 tahun) dan tahapan usia dewasa madya (40-59 tahun). Setiap usia diwakili oleh setidaknya satu subjek. Jumlah subjek terbanyak pada tahapan usia dewasa awal berada pada usia 32 tahun dengan jumlah subjek 9 orang. Jumlah subjek terbanyak pada tahapan usia dewasa madya berada pada usia 40 tahun yaitu sebanyak 6 orang.

Subjek termuda pada tahapan usia dewasa awal berusia 21 tahun sedangkan subjek tertua berusia 39 tahun. Subjek termuda pada tahapan usia dewasa madya berusia 40 tahun sedangkan subjek tertua berusia 59 tahun. Rata-rata usia subjek pada tahapan usia dewasa awal adalah 31,76 tahun. Rata-Rata-rata subjek pada tahapan usia dewasa madya adalah 47,22 tahun.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian berisi informasi mengenai jumlah subjek dalam tiap kelompok sampel, nilai minimum dan maksimum yang diperoleh subjek, nilai rerata dan nilai standar deviasi. Deskripsi data dalam penelitian ini telah dikelompokkan sesuai dengan usia. Untuk lebih jelasnya, deskripsi data penelitian diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi Kelompok Usia

Dewasa Awal Dewasa Madya Total

N 50 50

Minimum 106.00 117.00 106.00

Maksimum 243.00 240.00 243.00

Rerata 193.8400 197.6000 195.7200


(74)

Tingkat kepuasan perkawinan dalam penelitian ini dilihat dari nilai rerata pada kelompok usia subjek yang ada. Nilai rerata pada setiap kelompok usia tersebut merupakan nilai rerata empirik yang kemudian akan dibandingkan dengan nilai rerata teoritis. Apabila nilai rerata empirik lebih besar daripada nilai rerata teoritis maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan perkawinan kelompok subjek tersebut termasuk dalam kategori tinggi.

Berdasarkan perhitungan manual dengan menggunakan rumus, diperoleh nilai rerata teoritik sebesar 155.

� = � ��� + � � ∑�2

Ket.

µ = Mean Teoritik

Imaks = Skor tertinggi aitem Imin = Skor terendah aitem ∑ k= Jumlah Aitem

Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai rerata empirik (M = 195,72) lebih tinggi daripada nilai rerata teoritik (M = 155). Maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat kepuasan perkawinan pada wanita dewasa awal dan dewasa madya tinggi.


(75)

2. Uji Hipotesis

Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti melakukan uji asumsi untuk melihat normalitas dan homogenitas data penelitian. Hal ini penting dilakukan agar peneliti dapat menentukan analisis yang tepat untuk uji hipotesis serta tidak meleset dalam pengambilan kesimpulan (Santoso, 2010).

Untuk menguji normalitas data penelitian, peneliti menggunakan analisis Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software statistik SPSS 22. Data penelitian dikatakan normal apabila nilai p lebih besar dari 0,05 (Santoso, 2010).

Tabel 8.

Tabel 8a. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Awal

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

total .120 50 .068

Tabel 8b. Ringkasan Uji Normalitas Subjek Dewasa Madya

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

total .108 50 .200*

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa data penelitian wanita dewasa awal (Sig. = 0,068, p > 0,05) dan wanita dewasa madya (Sig. =


(1)

26 196.4600 464.294 .450 .963

27 196.1000 458.133 .731 .962

28 196.3200 460.589 .569 .963

29 196.4600 458.784 .547 .963

30 196.1200 463.047 .577 .963

31 196.5000 457.480 .631 .963

32 196.5400 456.294 .698 .962

33 196.3400 461.535 .604 .963

34 196.1800 464.110 .586 .963

35 196.5000 462.908 .552 .963

36 196.4200 458.249 .672 .962

37 195.9600 463.182 .612 .963

39 196.4800 466.867 .367 .963

40 196.3400 460.678 .574 .963

41 196.3800 460.689 .539 .963

42 195.9400 466.180 .484 .963

43 196.5000 459.276 .597 .963

44 196.4000 464.327 .469 .963

45 196.0800 462.034 .578 .963

46 195.9200 465.014 .540 .963

47 196.6200 465.261 .464 .963

48 196.5600 467.109 .400 .963

49 196.7600 458.594 .639 .962

50 196.8000 466.082 .326 .964

51 196.3000 466.990 .464 .963

52 196.6000 466.245 .371 .963

54 196.5600 460.700 .620 .963

55 196.8000 462.286 .522 .963

56 196.2400 468.268 .360 .963

57 196.7600 465.533 .441 .963

58 196.9000 468.704 .312 .964

59 196.5400 462.621 .532 .963

60 196.2400 458.472 .714 .962

61 195.8000 468.653 .355 .963

62 196.5400 459.315 .654 .962

63 196.2800 455.226 .710 .962

64 196.3600 454.684 .703 .962

65 196.3200 458.549 .641 .962


(2)

LAMPIRAN 4

HASIL SPSS UJI ANALISIS DAN UJI

HIPOTESIS


(3)

A.Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Tests of Normality Dewasa Awal

Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig.

total .120 50 .068

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality Dewasa Madya

Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. total .108 50 .200*

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

2. Uji Homogenitas

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances

F Sig.

total Equal variances assumed .804 .372

Equal variances not assumed


(4)

B.Uji Hipotesis

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

total Equal variances assumed

.741 98 .461 3.76000 5.07667

-6.31448 13.83448 Equal

variances not assumed

.741 97.004 .461 3.76000 5.07667


(5)

LAMPIRAN 5

HASIL SPSS DATA ANALISIS

TAMBAHAN


(6)

A.Hasil Perbandingan Mean Antar Aspek Kepuasan Perkawinan Group Statistics

Aspek Kelompok

Usia N Mean

t-test for Equality of Means

t

Sig. (2-tailed)

Mean Difference Komunikasi Dewasa awal 12 154.0000

Dewasa

madya 12 156.6667 -.900 .378 -2.66667 Afeksi Dewasa awal 10 147.2000

Dewasa

madya 10 155.8000 -1.807 .088 -8.60000 Kesetiaan Dewasa awal 6 179.3333

Dewasa

madya 6 178.5000 .202 .844 .83333 Kepuasan

Ekonomi

Dewasa awal

10 149.0000 Dewasa

madya 10 148.5000 .121 .905 .50000 Kepuasan

Seksual

Dewasa awal

9 153.2222 Dewasa

madya 9 155.1111 -.306 .764 -1.88889 Pembagian Peran Dewasa awal 8 160.6250

Dewasa

madya 8 166.7500 -.615 .548 -6.12500 Manajemen

Konflik

Dewasa awal

7 163.1429 Dewasa