Dampak putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/ terhadap hak waris anak dalam persepektif hukum islam

(1)

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No.

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah satu persyaratan mendapatkan gelar sarjana syariah (S.Sy)

Oleh:

RIANZANI AMINULLAH 1110043200013

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIEF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

ii ABSTRAK

Rianzani Aminullah, NIM 1110043200013, “DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” Konsentrasi Perbandingan Hukum , Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436 H/ 2015 M.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji bagaimana dampak yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 di dalam Perspektif Hukum Islam. Metode yang digunakan dengan pendekatan hukum normatif. penulis menggunakan dua jenis data yaitu data Primer dan data Sekunder. primer yang digunakan adalah undang-undang yang diterapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji. Sedangkan sumber sekunder adalah berupa komentar dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu analisis data yang terdiri dari deskriptif yaitu ucapan dan tulisan atau perilaku yang bisa diamati dari subjek itu sendiri. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan melihat objek hukum berkaitan dengan undang-undang serta penerapannya. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.


(6)

iii

menyelesaikan skripsi dengan judul DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.

Penulis bersyukur dengan tiada henti karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis hadapi telah selesai dikerjakan. Serta tak lupa penulis meminta maaf apabila ada penulisan dalam skripsi ini ada yang kurang berkenan di hati pembaca.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada orang-orang hebat ini:

1. Dr. Phil. JM Muslimin, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak waktu dan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku dosen yang selalu membimbing dan memberikan ilmunya kepada mahasiswa tanpa kenal waktu, semoga abah selalu sehat dan terima kasih banyak atas perhatian dan ilmu yang diberikan kepada saya dan teman-teman.

3. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan semangat dan motivasi agar saya menjadi mahasiswa yang lebih baik.


(7)

iv

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah & Hukum yang telah memberikan ilmu dan waktunya untuk membuat anak muda penerus bangsa ini menjadi pribadi yang berintelektual dan bertaqwa.

5. Kepada kedua orang tua Ayahanda Tercinta Nasoetanto, S.H dan Ibunda Tersayang Dra. Afriza Wardani, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan perjuangan yang tiada henti hingga skripsi ini selesai dibuat. Adikku Anza Syahrial yang memberikan semangat dan doa.

6. Vianda Lakswita Putri tersayang yang selalu memberikan semangat, perhatian, kasih sayang, doa dan motivasi agar skripsi ini selesai dan selalu berada di samping penulis selama ini sehingga penulis menjadi lebih baik setiap harinya.

7. Keluarga tercinta Warbel yang selalu tertawa bersama Boncu, Helmi, Zhar, Ica, Matley, Seggy, Indra, Kias, Jaja, kebor, Penyok, Gay, Iqbal, Deffy, Bayong, Mamo, Bara, Potis, Dede yang tiada hentinya memberikan semangat dan bermain bersama sejak 2007 sampai nanti kita semua punya keluarga masing-masing dan tidak dapat bermain bersama lagi. SUKSES BEL!

8. Seluruh teman Perbandingan Hukum 2010 yang terhebat Rudi, Bagas, Laka, Fatin, Ipul, Apri, Anjo, Ade, Aidz, Amel, Fajrin, Fathur, Ilyas, Muji, Cole, Sofa, Tedy, Winda, Fika, Ramdhani, Dani, Lusy, Ucup, Sandi, Fanny, Ridwan, Berli, Ibrahim Tune, Wiwin. Terima kasih sudah berjuang bersama sejak 2010 pertama kali kita bertemu, kita semua harus sukses bersama dan ilmu yg kita punya menjadi berkah bagi semua orang.

9. Sahabat dan keluarga Young On Top Campus Ambassador Batch 4 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tapi selalu penulis ingat selamanya dan Mentor YOTCA Mas Billy Boen, Mas Ricky Setiawan, Kak Sirly, Kak Eva, Mas Didip, Mas Taufan, Kak Jo, Mas Anggia, Pak Mardi Wu, Pak Paulus Panggabean, Mas Gunawan Susanto, Pak Andy Noya terima kasih atas waktu, pengalaman, didikan dan bimbingan yang kalian berikan selama mentoring, SEE YOU ON TOP!


(8)

v

rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 10 April 2015


(9)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

1. Pembatasan Masalah ... 10

2. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1. Tujuan Penelitian ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian ... 11

1. Jenis Penelitian ... 11

2. Pendekatan Penelitian ... 12

3. Jenis dan Sumber Data ... 12

4. Tekhnik Pengumpulan Data ... 12

E. Review Studi Terdahulu ... 13


(10)

vii

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DAN HAK WARIS ANAK

A. Pengertian Perkawinan ... 16

B. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia ... 17

C. Dasar-Dasar Perkawinan ... 18

D. Pengertian Waris ... 19

E. Rukun & Syarat Waris ... 22

1. Harta Peninggalan (Mauruts) ... 23

2. Orang yang Meninggalkan Harta Waris (Muwarrits) ... 26

3. Ahli Waris atau Waarits ... 27

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG HAK WARIS ANAK A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hak Waris Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan ... 29

B. Pengakuan Terhadap Anak ... 34

C. Pembuktian ... 36

BAB IV ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Waris Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan ... 38


(11)

viii

B. Analisis Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Waris Anak dalam Perspektif Islam ... 44

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 52 B. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(12)

1 A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang mulia yang diberikan potensi keunggulan dibandingkan makhluk lainnya. Agama Islam memposisikan anak sebagai amanah Allah SWT. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Secara etimologi, anak disebut juga dengan walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan sebagai hamba Allah SWT yang saleh.1 Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung atau biologis. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukan hubungan keturunan dan kata al-ab tidak berarti mesti ayah kandung.2

Menurut hukum Islam, kedudukan/status anak bermacam-macam, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status dan hak seorang anak. Adapun kedudukan/status

1

Pendapat Ibnu Abbas salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam penafsiran kata-kata walad pada QS al-Nisa ayat 176 yang mempunyai pengertian mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan.Pandangan ini sangat berbeda dengan ‘ijma para fuqaha dan ulama yang di anut selama ini, bahwa yang dimaksud dengan walad dalam ayat tersebut hanya anak laki-laki saja, tidak termasuk anak perempuan. Namun demikian, pengertian walad dalam

nashbisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan. Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.III, (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar, 1990), h.95.

2

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid XV, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 614.


(13)

2

anak dalam hukum Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah (anak luar kawin). Masing-masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian.3

M. Nasir Djamil mengemukakan hak-hak anak menurut Islam,4 yaitu berupa pemeliharaan atas hak beragama (hifdzu al-dien), pemeliharaan hak atas jiwa (hifdzu al-nafs), pemeliharaan atas akal (hifdzu al-aql), pemeliharaan atas harta (hifdzu al-mal), pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzu al-nasl) dan kehormatan (hifdzu al-‘ird). Dari berbagai hak-hak anak yang dijamin oleh agama, maka hak anak dalam pandangan Islam memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak. Berdasarkan KHI, hak-hak anak diatur dalam BAB XIV tentang pemeliharaan anak yang meliputi tentang hak asuh (hadhanah) anak, BAB XV tentang perwalian anak dan pada Pasal 172 dan Pasal 176 tentang hak atas pembagian waris serta Pasal 186 tentang hak waris bagi anak luar kawin. Pasal 186 KHI menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

Pada tahun 2012 yang lalu, lembar sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia diwarnai oleh suasana ketegangan, atas putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, menyangkut hak waris anak luar kawin. Berdasarkan Putusan

3

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. III, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 388.

4


(14)

MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum perkawinan dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Putusan MK tersebut menimbulkan pertentangan norma hukum dan konsep terutama dengan norma agama dan konsep hak waris yang berlaku di Indonesia. Menurut norma agama, anak luar kawin termasuk anak zina tidak berhak atas harta waris, sebab secara normatif anak tersebut tidak memiliki nasab yang diakui secara de jure. Sementara menurut MK, anak luar kawin termasuk anak zina mendapatkan hak waris karena dianggap memiliki nasab terhadap ayah biologisnya yang diakui secara de facto berdasarkan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Sesuai hukum sahnya perkawinan, anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, perkawinan dapat disebut sebagai perkawinan yang sah jika memenuhi dua ketentuan norma hukum, yaitu berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut para pihak dan dicatat dalam dokumen otentik yaitu


(15)

4

dalam buku register pencatatan perkawinan. Perkawinan dituntut sah menurut agama (syariat Islam) dan sah menurut yuridis (peraturan perundang-undangan perkawinan). Untuk melihat kedudukan dan hak-hak anak hasil dari sebuah perkawinan, tentu bergantung pada dua norma di atas. Demikian hnya dengan kedudukan dan hak-hak anak luar kawin, juga bergantung pada sah tidaknya perkawinan sebagaimana dua norma hukum yang berlaku tersebut.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Menurut Mahkamah Konstitusi Pasal 43 ayat (1) UUP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar kawin termasuk hak anak biologis dalam hukum perkawinan sirri dan hukum kewarisan memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Bertolak dari uraian di atas, putusan MK memunculkan berbagai persoalan terutama jika ditinjau dalam perspektif hak asasi anak. Persoalan


(16)

tersebut diawali dengan sebuah pertanyaan bagaimana kedudukan dan hak-hak asasi anak yang sesungguhnya berkaitan dengan kedudukan dan hak waris anak luar kawin termasuk hak waris anak biologis, dan apakah prinsip-prinsip hak-hak dasar (fitrah-universal-permanen) manusia mampu menggeser kedudukan dan hak-hak anak.

Berdasarkan konsideren Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksisitensi bangsa dan negara pada masa depan. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, jaminan hak anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak. Namun, untuk menentukan batas usia dalam h definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa Undang-Undang.5 Sementara itu, mengacu

5

Menurut Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyaratkan usia perkawinan16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki; Undang-Undang Nomor4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia21 tahun dan belum pernah kawin; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefiniskan anakadalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapantetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usiabekerja15 tahun; Undang-Undang Nomor 20


(17)

6

pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Canvention on the Right of the Child), anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Sebagai manusia, anak memiliki hak konstitusional yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). HAM merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, dan hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum.6 Sesuai Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), bahwa semua manusia dilahirkan merdeka, mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Setiap orang dikarunia akal dan hati, oleh karenanya setiap orang hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini merupakan suatu pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia (non-diskriminatif), sebagai nilai normatif konsep hak-hak asasi manusia. Hak atas semua hak dan kebebasan tanpa pengecualian apapun. Maksud persamaan non-diskriminasi dalam Deklarasi universal hak asasi manusia adalah perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau padangan lain, asal usul kebangsaaan atau kemasyarakatan, hak milik dan lain-lain termasuk asal usul kelahiran maupun status. Prinsip non-diskriminasi adalah suatu konsep utama dalam hukum HAM.

Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yangdikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai15 tahun.

6

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia, cet.II, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 8.


(18)

Prinsip ini dinyatakan dalam semua instrument pokok HAM. Menurut Pasal 6 universal hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak atas pengakuan didepan hukum sebagai manusia secara pribadi di mana saja ia berada.7

Hak atas pengakuan di depan hukum dijelaskan lebih eksplisit dalam Pasal 7 universal hak asasi manusia yaitu: setiap orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi HAM, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi. Ketentuan persamaan di muka hukum mengandung 3 aspek yaitu, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum yang sama dan perlindungan dari diskriminasi berdasarkan apapun.

Berdasarkan konvensi hak-hak anak di atas, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak,8 antara lain yaitu hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival), hak terhadap perlindungan (Protection Rights), hak untuk tumbuh kembang(Development Rights), hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). Sementara itu, hak anak menurut Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain adalah hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

7

Instrumen tentang HAM ini juga terdapat pada Pasal 16 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Dalam Deklarasi Amerika tentang hak dan tanggung jawab manusia baik Konvensi Amerika dan Piagam Afrika. Lihat Instrumen Internasional Hak Azasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 95.

8

Mohammad Joni dan Zu'chaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, cet I,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 35.


(19)

8

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak memperoleh identitas diri dan status kewarganegaraan, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, hak memperoleh pelayanan kesehatan, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak menyatakan dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat, hak bergaul, hak bermain, hak mendapat perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi, hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi, dan hak mendapatkan bantuan hukum.

R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan, bahwa tiap-tiap manusia itu berstatus sebagai orang dalam hukum. Tiap-tiap manusia berwenang untuk mempunyai hak-hak, khususnya berwenang untuk mempunyai hak-hak keperdataan. Dalam hukum perdata tiap-tiap manusia mempunyai hak-hak yang sama dan terlepas dengan hak ketatanegaraan.9 Terkait dengan hak seorang anak, pada umumnya kewenangan seorang anak dalam perspektif BW dimulai pada saat kelahirannya. Pengecualian tersimpul dalam Pasal 2 BW yang menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah dilahirkan kalau kepentingannya memerlukan. Tetapi, kalau anak itu dilahirkan mati, maka anak tersebut dianggap tidak pernah ada. Inilah yang dikatakan orang sebagai fictie.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis terdorong untuk

9

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1986), h 2.


(20)

mengangkat permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul

“Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Hak Waris Anak Dalam Perspektif Hukum Islam”.

Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Hak Waris Anak Dalam Perspektif Hukum Islam, diantaranya adalah pertama, untuk mengetahui apakah anak mendapatkan pembagian waris seperti apa pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Kedua, bagaimana perspektif Fiqh Mawaris melihat putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mempersempit dan mempermudah penelitian dan memperjelas pokok-pokok masalah yang akan dibahas dan diuraikan dalam skripsi ini, maka penulis membatasi masalah tersebut pada Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Hak Waris Anak Dalam Perspektif Hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka adapun rumusan masalah dapat diperinci kedalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:


(21)

10

Hak Waris Anak dan perlindungan anak setelah putusan?

b. Perspektif Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui urgensi dari Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Hak Waris Anak

b. Untuk mengetahui apakah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 relevan terhadap sistem waris menurut hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mampu memahami Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 2. Dapat mengetahui Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010 Terhadap Hak Waris Anak

3. Meningkatkan mutu dan kualitas penulis dalam membuat karya tulis.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dilihat dari sudut pandang yang dihimpunnya maka, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan


(22)

data deskriptif analitis. Artinya metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati.10 Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu atau gambaran tentang gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih.11 Analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.12

2. Pendekatan Penelitian

Disamping tekhnik yang penulis gunakan, metode penelitian ini juga menggunakan metode penelitian normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:

Data primer: Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kompilasi

Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Data sekunder: didapat dari wawancara dan studi pustaka dengan cara membaca dan mempelajari buku literatur teori pada saat kuliah dan beserta

10

Lexy Maelong J, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2002), Cet. Ke1, h.3

11

Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Tekhnik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000), Cet. IV, h.35

12

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. I, h.57


(23)

12

sumber lainnya yang cukup relevan dengan penelitian ini. Seperti jurnal yang terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainnya. 4. Tekhnik Pengumpulan Data

Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang akan diteliti, maka tekhnik yang digunakan adalah merupakan penelitian kepustakaan (library research) dan wawancara. Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tekhnik wawancara dalam penelitian kualitatif adalah tekhnik wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan unutk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.

Maka dari itulah teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tekhnik dokumentatif. Yaitu dengan pengumpulan data primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) serta buku-buku yang secara langsung berbicara tentang permasalahan yang diteliti dan juga dari data-data sekunder yang secara tidak langsung membicarakannya namun relevan dikutip sebagai pembanding.


(24)

E. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah h yang akan diteliti sudah pernah di teliti sebelumnya atau belum pernah diteliti sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah melakukan studi review terdahulu. Adapun review studi yang dilakukan penulis antara lain:

Dwi Zalyunia, S.H. menyusun Tesisnya yang berjudul “ Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Teantang Perkawinan “ yang ditulis pada tahun 2012 disini penulis meneliti bagaimana kedudukan anak luar kawin berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Dan dalam tesisnya ini dia memaparkan secara luas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 beserta kedudukan kompilasi hukum Islam juga tinjauan umum hukum waris. Dan dalam tesis ini juga penulis hanya fokus pada tanggung jawab notaris saja terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat tapi kurang penjelasan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Sangat minim dalam tesis ini pembahasan hukum Islam di dalamnya padah hukum Islam mengatur banyak tentang perkawinan dan hak asuh anak.

Setelah melakukan kajian terhadap tesis tersebut, ternyata pembahasannya sangat berbeda karena penulis lebih menitik beratkan kepada dampak yang timbul setelah putusan ini diputuskan dan perlindungan anak setelah putusan ini


(25)

14

diputuskan, sehingga jelas berbeda dengan pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin Dihubungkan Dengan Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Teantang Perkawinan”. Karena penulis lebih menitikberatkan kepada perspektif hukum Islam dan hukum positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan dampak dari putusan tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan dalam skripsi ini, maka penulis mengklarifikasikan pembahasan dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:

Dalam Bab I, yaitu bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, kemudian pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian dalam Bab II memuat kajian teoritis tentang kajian teoritis tentang perkawinan, pernikahan dan hak waris anak, sistem Waris menurut Fiqh Mawaris, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Pasal 10 UU No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam.

Bab III, berisi tentang tinjauan umum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terhadap hak waris anak baik dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.


(26)

Bab IV, berisi tentang anilisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terhadap hak waris anak dalam perspektif Islam. Analisis dilakukan untuk mengetahui dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.


(27)

16 BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG

PERNIKAHAN, PERKAWINAN DAN HAK WARIS ANAK

A. Pengertian Pernikahan

Kata “nikah” atau “zawaj” yang berasal dari bahasa arab dilihat secara makna etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain bermakna “aqad dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad pernikahan. Secara terminologi (istilah) ‘nikah’ atau ‘zawaj’ adalah:13

1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya.

Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami dan isteri), di mana status kepemilikan akibat aqad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya yang dalam term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri), yang digunakan untuk dirinya

13

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (analisa perbandingan antar madzhab), (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), cet. I, h.1.


(28)

sendiri.14

B. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia

Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Menilik pada sejarahnya pembuatannya, maka sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini disahkan, RUU (Rancangan Undang Undang) yang diajukan pemerintah kepada DPR hasil pemilu 1971 telah menarik perhatian, yang bukan saja dari praktisi dan ahli hukum akan tetapi juga masyarakat luas terutama umat Islam pada masa itu. Seluruh lapisan masyarakat pada masa itu terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU tersebut, karena mereka menganggap isi dari RUU tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Perlawanan terhadap RUU tersebut bermacam-macam baik melalui media masa dan juga melalui media dakwah.

Dalam KUHPerdata pasal 26 sama sekali tidak memberikan definisi

14

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (analisa perbandingan antar madzhab), (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), cet. I, h. 2.

15

Komariah, Hukum Perdata, (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), cet. I, h. 2.


(29)

18

tentang perkawinan. Pasal ini hanya menyebutkan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Perkawinan hanya ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum sipil. Perkawinan menurut KUHPerdata adalah merupakan hubungan antara subyek-subyek yang mengikat diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut berdasarkan persetujuan diantara mereka dan saling mengikat.

C. Dasar-Dasar Pernikahan

Dasar pensyariatan nikah adalah al-Quran, al-Sunnah, dan Ijma. Namun sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah (boleh). Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunah, wajib, hal, makruh tergantung kepada illat hukum:16

1. Hukum nikah menjadi sunah apabila seorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya wajar dan cenderung ia mempunyai keinginan untuk nikah dan sudah mempunyai penghasilan tetap.

2. Hukum nikah menjadi wajib apabila seseorang dipandang dari segi jasmaninya telah dewasa dan dia telah mempunyai penghasilan yang tetap serta ia sudah sangat berkeinginan untuk menikahi sehingga apabila ia tidak menikah dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan zinah.

3. Hukum nikah menjadi makruh apabila seseorang secara jasmani atau umur

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.II, h.3.


(30)

telah cukup walau belum terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penghasilan tetap sehingga bila ia kawin akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya.

4. Hukum nikah menjadi haram apabila seseorang mengawini seorang wanita dengan maksud untuk menganiaya atau mengolok-oloknya atau untuk membalas dendam.

Bahkan ada diantara yang berpendapat, bahwa asal hukumnya adalah wajib, seperti pendapat imam Daud Zhahiri. 17

D. Pengertian Waris

Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.18 Kata waris adalah dari bahasa Arab, dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan, kata "waris" berasal dari bahasa arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/turas, yang berarti "mempusakai", waris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris, serta jumlahnya. Istilah waris sama dengan faraid, yang berarti "kadar"

17

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 58.

18

Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam “Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h.1.


(31)

20

atau "bagian".19 Kata Waris berarti orang yang berhak menerima pusaka (harta peninggalan) orang yang telah meninggal.20

Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa arab fiqh dan mawaris.21 Untuk mengetahui maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui tentang pengertian fiqh mawaris itu.22

Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh.23

Prof. Daud Ali memberikan pemahaman, bahwa fiqh adalah memahami dan mengetahui wahyu (al-Quran dan al-Hadis) dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara rinci.24

Menurut istilah ulama fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalilnya yang jelas (tafshili). Maka dia melengkapi hukum-hukum yang dipahami para mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang tidak diperlukan ijtihad, seperti hukum yang

19 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005), cet III, h. 263.

20

Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove, 2005), cet III, h. 264.

21

Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam “Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h.1.

22

Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam “Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h.1.

23

Syafi’I Karim, Fiqh, Ushulul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),

24

Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998)


(32)

dinashkan dalam al-Quran, As-Sunnah, dan masalah ijmak.25

Kata Mawaris diambil dari bahasa arab. Mawaris bentuk jamak dari miiraats yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.26

Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqh Mawaris telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris adalah ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.27

Di dalam ketentuan Kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Quran lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan Faraidh.28 Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini, yaitu yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawaris merupakan bentuk plural dari kata miiraats yang berarti mauruts atau harta yang diwarisi. Dengan demikian, arti kata warits yang digunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya seorang pewaris (ahli waris), sedangkan orang yang meninggalkan harta disebut

25

Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam “Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. I

26

Ibid, H. 7

27

Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001)

28


(33)

22

muwarits.29

E. Rukun & Syarat Waris

Di dalam bahasa Indonesia syarat ialah : Rangkaian mutlak (tidak dipisahkan) yang bagiannya benda di luar sesuatu, tetapi tidak sah sesuatu itu, bila syarat itu di tinggalkan.30 Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris - mewarisi, tiap - tiap unsure tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur - unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap – tiap rukun. Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam salah satu rukun perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali, perkawinan menjadi kurang sempurna, bahkan menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i perkawinan itu tidak sah.31

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni meninggalnya muwarrits (orang yang mewariskan).

Adapun syarat adalah sesuatu yang berada di luar substansi dari permasalahan yang dibahas, tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadas

29

Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, loc.cit. H. 5

30

Muchtar Effendy, Ensiklopedia Agama Dan Filsafat, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), jilid I, h. 132.

31

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 57.


(34)

merupakan syarat sahnya shat. Walaupun bersuci itu diluar pekerjaan shat, tetapi harus dikerjakan oleh orang yang akan shat, karena jika dia shat tanpa bersuci, shatnya tidak sah.32

Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada 3, yaitu sebagai berikut:33

1. Harta Peninggalan (Mauruts)

Harta peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Jumhur ulama berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah meninggal dunia. Jadi, di samping harta benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan oleh si mayit, barang-barang yang telah di beli oleh si mayit sewaktu masih hidup yang harganya sudah dibayar, tetapi barangnya belum diterima, barang yang di jadikan maskawin untuk

32

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 57.

33

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 58.


(35)

24

istrinya yang belum diserahkan sampai ia meninggal dunia.34

Di Indonesia struktur masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Arab, di mana kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan ijtihad para ulama pada waktu menyusunnya dengan memahami kandungan syariat, tentu saja memungkinkan adanya perbedaan dalam menentukan harta peninggalan (tirkah) ini.

Pada umumnya di Indonesia, rumah tangga (keluarga) memiliki 4 macam harta, yaitu sebagai berikut: 35

a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha masing-masing. Di Sumatra disebut harta pembujungan, di Bali disebut harta guna kaya. Menurut UU No. 1 tahun 1974, harta ini ditetapkan dalam penguasaan dan pengawasan masing-masing pihak.

b. Harta yang dibawa saat mereka menikah, diberikan kepada kedua mempelai mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga atau rumah tempat tinggal suami itu. Di Minangkabau disebut harta asal. c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi karena hibah

atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta disebut harta gawan. Di Jakarta disebut barang usaha, di Banten disebut barang suhu, di Jawa Barat disebut barang benda

34

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 58.

35

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 59.


(36)

atau barang asal, di Aceh disebut Haraenta Tuha, di Dayak Ngayu disebut pinibit, dan di Minangkabau disebut pusaka tinggi.

d. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha bersama atau usaha salah seorang disebut harta pencarian. Harta ini di Aceh disebut harcuta sihaukat, di Bali disebut Druwe Gabro, di Jawa disebut gono gini, di Kalimantan disebut barang perpantangan.

Menurut hukum adat di Indonesia, jika salah seorang meninggal dunia, atau terjadi perceraian maka harta no. 1 dan 3 kepada masing-masing pihak. Baik harta tersebut diperolehnya sebelum maupun sesudah perkawinan, juga merupakan harta kekayaan masing-masing secara terpisah dari harta yang lain. Adapun harta no.2 dikembalikan kepada orang tua (keluarga) yang memberikan semula.

Barangkali perlakuan terhadap harta no. 2 ini perlu ditinjau kembali, karena bagaimanapun juga harta tersebut telah diberikan kepada mempelai berdua atau salah seorang di antara mereka, sehingga kalau bukan milik bersama, setidak-tidaknya menjadi milik salah seorang di antara suami atau istri tergantung untuk siapa hadiah itu diberikan.

Harta no. 4 di jawa dibagi antara suami atau istri dengan perbandingan 2:1 (sepigol segendong) sepikul untuk suami dan segendong untuk istri, dan sebagian lagi menjadi harta gono gini dengan pembimbing unuk suami ½ dan


(37)

26

untuk istri ½. 36

Jika seorang suami meninggal dunia, yang menjadi harta peninggalannya adalah harta no. 1, 2 dan 3, serta 2/3 dari harta no. 4. Harta itulah yang akan menjadi hak ahli waris termasuk istri. Jadi, istri akan mendapat hartanya sendiri, yaitu 1, 2 dan 3, serta 1/3 dari harta no. 4, ditambah dengan ¼ x harta suami, jika suami tidak meninggalkan anak, atau 1/8 jika suami meninggalkan anak.37

Jika istri yang meninggal, suami akan mendapat harta no. 1, 2, dan 3 serta 2/3 dari harta no. 4 ditambah dengan ½ dari harta istri, jika istri tidak mempunyai anak dan ¼ dari harta istri, jika istri meninggalkan anak baik anak itu dari perkawinan dengannya maupun dengan suami yang lain.38

2. Orang yang Meninggalkan Harta Waris (Muwarrits)

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh disebut muwarrist.39

Bagi muwarrist berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia,

36

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 60.

37

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 60.

38

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 60.

39

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 60.


(38)

baik menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarrist menurut para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yakni:40

a. Mati haqiqy (sejati),

b. Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan c. Mati taqdiry (menurut dugaan)

Mati haqiqy ialah kehilangan nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat di bukti kan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian seluruh harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian muwarrist, dengan syarat tidak terdapat salah satu hangan mempusakai.

Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis hakim baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemingkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati, padah ia benar-benar masih hidup. Vonis ini dijatuhkan terhadap orang yang murtad yang melarikan diri dan bergabung dengan musuh. Vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh. Demikian juga vonis kematian

40

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 61.


(39)

28

terhadap mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya.

Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seseorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.41

3. Ahli Waris atau Waarits

Waarits adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si Muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.

Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun, tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli waris.42

41

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 61.

42

Moh Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (sebagai pembaruan hukum positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). cet. III, h. 62.


(40)

29

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Hak Waris Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010tanggal 17 Februari 2012 telah melakukan terobosan hukum dengan memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan dengan ayahnya. Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan tersebut berbunyi :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”43

Alasan hukum yang melatar belakangi rechtfinding tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong

43


(41)

30

adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan terobosan hukumnya tersebut membuka titik terang hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan darah antara anak dan ayah dalam arti biologis bis dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Membuka kemungkinan hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin. Subjek hukum tersebut akan bertanggungjaabsebagai bapak biologis dan bapak hukumnya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.

Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan dengan cara :

1. Pengakuan oleh ayah biologisnya.

2. Pengesahan oleh ayah biologisnya terhadap anak luar kawin tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menguatkan kedudukan ibu atas anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari anak luar kawin. Jika terdapat kemungkinan yang terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan sukarela anak luar kawin. Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya.Pada saat itu juga akan timbul hubungan perdata denganayah biologis dan keluarganya dengan anak luar kawin yang


(42)

diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan Pasal 280KUHPer yaitu “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.”44

Namun selain berita untuk pengakuan anak luar kawin. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indoensia No. 46/PUU-VIII/2010 tidak ada disebutkan mengenai akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin.Menjawab rumusan masalah dalam tulisan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Akta kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tahun Perkawinan. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.”

Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Anak luar kawin yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah biologisnya Pasal 280 KUHPer.

44

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ff514fbcefcd/apakah-anak-hasil-perkawinan-siri-berhak-mewaris?


(43)

32

Dalam Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar kawin yang diakui secara sah maupun tidak.KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Maka anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Menurut Pasal 4Kompilasi Hukum Islam (“KHI”),Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. H ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP yang menyatakan“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.


(44)

siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1) UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.

Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yangdisahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.

Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam h ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata


(45)

34

dengan keluarga ayahnya45

Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.

B. Pengakuan Terhadap Anak

Ulama fiqh membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, seperti pengakuan terhadap saudara, paman atau kakek, jika seseorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh (menurut jumhur ulama) atau mumayiz (menurut ulama mazhab Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dapat dinasabkan

45


(46)

kepada lelaki tersebut, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat.46 Dalam menentukan keabsahan pengakuan, para ulama berbeda pendapat, apakah anak yang diakui itu disyaratkan harus masih hidup, sehingga pengakuan nasab dianggap sah, atau bagaimana jika anak yang diakui bernasab dengan dirinya itu sudah meninggal dunia. Dalam masalah ini ulama mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa anak yang diakui sebagai anak orang yang mengakui itu harus masih hidup. Apabila anak yang diakui itu telah meninggal dunia, pengakuan itu tidak sah dan anak itu tidak bisa dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan.47

Sedangkan mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya itu masih hidup. Menurut mereka, sekalipun anak yang diakui itu telah meninggal dunia dan pengakuan yang diberikan itu memnuhi syarat-syarat yang ditentukan maka anak itu dapat dinasabkan kepada orang yang mengaku tersebut. Sementara ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat di atas, diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang yang mengaku tersebut.48

46

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 99.

47

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 100.

48

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 100.


(47)

36

C. Pembuktian

Alat bukti dalam hal menentukan nasab adalah berupa kesaksian, di mana status kesaksian ini lebih kuat dari pada sekadar pengakuan, sebab kesaksian sebagai alat bukti selalu melibatkan orang lain sebagai penguat.49 Oleh karena itu alat bukti ini merupakan kesaksian, maka para ulama fiqh tidak sepakat tentang jumlah saksi dalam perkara ini. Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan, saksi harus berjumlah empat orang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan.50

Menurut mazhab Maliki kesaksian dua orang laki-laki dianggap cukup, sementara menurut ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali serta Abu Yusuf bahwa semua ahli waris harus mengungkapkan kesaksian.51

Lepas dari kontradiksi yuridis dalam menentukan nasab seorang bayi, di zaman yang sudah cukup modern ini, barangkali perbedaan soal bayi siapa dan bernasab kepada siapa, sepertinya akan bisa terselesaikan dengan tes laboratorium tentang kesesuaian darah anak dengan darah ayah, sehingga bisa ditentukan secara pasti bahwa bayi itu memang benar anak si A dan sebagainya.52 Dengan demikian tes darah dan tes DNA bisa dianggap sebagai alat bukti penentuan nasab seseorang, khususnya dalam kasus penyangkalan seorang ayah terhadap anak

49

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 101.

50

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 101.

51

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 101.

52

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 100.


(48)

kandung sendiri secara sah, walaupun tes darah dan tes DNA telah dilakukan dan ternyata ada kesesuaian antara darah anak dan darah ayah, tetapi proses pembuahannya bukan atas dasar perkawinan secara sah maka nasab anak tersebut tidak bisa di tetapkan dan tidak bisa dianggap sah.53

53

Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015). cet. II, h. 100.


(49)

38 BAB IV

ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Waris Anak hasil Perkawinan di Bawah Tangan

Belum hilang dari ingatan kita empat tahun yang lalu tepatnya tahun 2010 lalu, Mahkamah Konstitusi telah memutus pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adanya pengajuan uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berarti adanya pertanda ketidakberesan akan rumusan atau ketentuan tentang anak luar kawin yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan, khususnya pasal 43 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.54

Mahkamah Konstitusi juga manyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan

54

Pasal 43 ayat (1) UUP bertentangan sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.


(50)

hukum mengikat, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat universal.

Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Namun pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan Tionghoa yang diatur dalam K.U.H.Perdata.

Dalam K.U.H.Perdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli Waris anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam K.U.H.Perdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya, timbul


(51)

40

sesudah ada pengakuan dari ayah ibunya tersebut. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang mengakuinya saja (Pasal 872 K.U.H.Perdata).55

Persoalan tentang hukum nasab yang tercermin dalam pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan beserta peraturan organiknya timbul berdasarkan ketentuan tersebut bertentangan dengan norma konstitusi dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Norma-norma hukum yang dimuat pada UUD 1945 tersebut adalah:

Pasal 28 B

(1). menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

(2). menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pasal 28 D

(1). menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Ketentuan norma yang menjadi kata kunci adalah “melalui perkawinan yang sah” sebagaimana terdapat pada Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Yang

55

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Cet. II, Kencana Media Group, Jakarta, 2006, h. 87.


(52)

dimaksud perkawinan yang sah disini harus dibaca sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, yaitu “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Norma dasar ini menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk mendapatkan keturunan yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari perkawinan yang sah menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak untuk mendapatkan keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo.

Oleh karena itu pula menurut UUD 1945 ini keturunan (baca anak) yang sah adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan keturunan yang sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo).

Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 adalah turunan dari ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukan hak-hak anak yang merupakan kewajiban orangtuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula negara berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan diskriminasi. Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) menunjukkan kewajiban negara terhadap setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang dalam ayat ini


(53)

42

kaitannya dengan anak adalah setiap anak baik yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun yang dilahirkan di luar perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak terlantar yang asal usulnya tidak diketahui atau ditinggalkan orang tuanya atau anak yang dibuang oleh ibunya, walaupun status dan identitas diantara mereka berbeda-beda.

Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubngan perdata dengan keluarga ayahnya”.56

Akibat adanya hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya yang di lahirkan di luar perkawinan, yang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diberlakukan secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan, memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut

56


(54)

hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik.57

Berkaitan dengan hak kewarisan anak dari seorang laki-laki sampai kapanpun adalah anak yang memiliki hubungan nasab dengan laki-laki tersebut, baik laki-laki (ayah biologis) tersebut berdasarkan hubungan mushaharah dengan ibu kandungnya, maupun dengan ayah nasab-nya (ayah biologis). Oleh karena itu, yang dimaksud hak perdata anak dalam hubungan kewarisan adalah kedudukan anak yang ditunjuk dalam Perkara Perdata Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagaimana telah dijelaskan tersebut di atas, yang menyatakan :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Hubungan perdata dalam putusan di atas tentu mengarah pada satu hak yaitu hak waris. Sebab perkara Machicha merupakan permohonan atas hak waris Muhammad Iqbal terhadap ayah yang pada saat diajukan ke mahkamah Konstitusi, ayah yang bernama Moerdiono telah wafat. Sehingga konteks putusan tersebut merupakan kontekstualisasi hukum terhadap norma yang

57


(55)

44

mengatur hak waris anak luar perkawinan.

B. Analisis Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Waris Anak dalam Perspektif Islam

Tentunya banyak dampak-dampak yang terjadi setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 diputuskan. Penulis ingin memberikan dan memaparkan dampaknya terhadap Hak Waris anak dalam perspektif Islam.

Tujuan-tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat (1) semakin terlihat ketika dikaitkan prinsip-prinsip maqasid al-syari’ah yang melindungi keturunan (hifdhu al-nasl) sebagai tujuan pokok hukum Islam. Teori maqasid al-syari’ah dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum ALLAH yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum ALLAH dalam Al-Quran mengandung kemaslahatan.58

Mukti Arto, menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan ulama Hanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata telah menimbulkan

58


(1)

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; sedangkan mengenai syarat sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974 menyatakan bahwa: ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan.

Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah.

Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima.

Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut karena


(2)

pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.

[6 .2 ] Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada

pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama dan kepercayaannya itu dalam perkawinan secara sepotong-sepotong untuk meligitimasi sebuah perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pascaperkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya, adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.

Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan ditolak.

Negara mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan.


(3)

Saya berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan.

[6 .3 ] Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu

dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan UU 1/1974, dan hanya menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan.

Selain itu hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2


(4)

ayat (2) UU 1/1974, walaupun jika pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I.

[6 .4 ] Harus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya

pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan perundang-undangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita dan


(5)

anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud.

[6 .5 ] Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat

dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah).

Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya.

[6 .6 ] Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki

potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga


(6)

selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.

Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.

PANITERA PENGGANTI, ttd.