Production Operation Analysis ISYE6101
2.2 Aggregate Planning
2.2.1 Pengertian
Aggregate planning merupakan perencanaan kapasitas tingkat intermediate yang secara tipikal mencakup jangka waktu dari 2 sampai 12
bulan, walaupun dalam sebagian perusahaan dapat mencakup jangka waktu sampai 18 bulan. Perencanaan ini berguna untuk organisasi yang mengalami
perubahan permintaan dan kapasitas secara seasonal ataupun fluktuasi lainnya. Tujuan dari aggregate planning untuk mencapai perencanaan produksi yang
memanfaatkan sumber daya dari perusahaan untuk memenuhi permintaan yang diminta. Seorang perencana harus membuat keputusan pada output, tingkat
pekerjaan dan perubahan, tingkat inventory, back orders, dan subcontracting baik di luar maupun di dalam[ CITATION Ste14 \l 1033 ].
Aggregate planning juga bertujuan untuk menyeimbangkan kelebihan dari hasil produksi untuk memenuhi permintaan yang nilainya berlawanan
dengan disrupsi yang dihasilkan oleh perubahan tingkat produksi dan tenaga kerja. Isu-isu masalah utama yang terkait dengan aggregate planning adalah
sebagai berikut Nahmias, 2009: 1. Smoothing, merujuk pada biaya yang dihasilkan dari perubahan tingkat
produksi dan tenaga kerja dari periode satu ke periode lainnya. Dua kunci komponen dari biaya smoothing adalah biaya yang dihasilkan dari
penerimaan dan pemecatan pekerja.
2. Bottleneck problems, merujuk pada ketidakmampuan sebuah sistem untuk
menanggapi perubahan mendadak pada permintaan yang dihasilkan oleh kapasitas yang terbatas. Sebagai contoh, bottleneck dapat muncul ketika
forecast permintaan dalam 1 bulan tiba-tiba melonjak tinggi, dan perusahaan tidak punya kapasitas yang cukup untuk memenuhi jumlah permintaan
tersebut. Terjadinya kerusakan pada alat-alat tertentu juga dapat menimbulkan munculnya bottleneck.
3. Planning horizon, jumlah periode yang diforecast, sehingga jumlah periode
dapat dihitung untuk tenaga kerja dan tingkat gudang dapat ditentukan, dan dispesifikasi di masa depannya. Pilihan nilai dari sebuah forecast horizon, T,
dapat berguna secara signifikan untuk menentukan kegunaan dari aggregate plan. Jika nilai T terlalu kecil, maka tingkat produksi yang sekarang tidak
memenuhi syarat untuk jumlah permintaan yang diminta pada jangka waktu horizon tersebut. Jika nilai T terlalu besar, ada kemungkinan hasil forecast
di masa yang akan datang menjadi tidak akurat.
4. The linear decision rule, konsep aggregate planning berakar pada hasil
pekerjaan Holt, Modigliani, Muth, dan Simon pada tahun 1960 dimana mereka mengembangkan sebuah model untuk Pittsburgh Paints untuk
menentukan tenaga kerja mereka dan tingkat produksinya. Model tersebut menggunakan aproksimasi kuadrat untuk biayanya, dan mendapatkan
perhitungan linear sederhana untuk kebijakan optimalnya. Pekerjaan mereka selanjutnya berkembang menjadi aggregate planning.
5. Modeling management behavior, pada tahun 1963, Bowman
mempertimbangkan peraturan keputusan linear yang sama dengan yang dipertimbangkan oleh Holt, Modigliani, Muth, dan Simon kecuali parameter
yang mempengaruhi model tersebut adalah aksi dari manajemen tersebut, bukan aksi optimal berdasarkan biaya minimum.
6. Disaggregating aggregate plans, ketika aggregate planning berguna untuk