MUNCULNYA USAHA BATU BATA DI DESA SIDODADI BATU 8 KECAMATAN

BAB III MUNCULNYA USAHA BATU BATA DI DESA SIDODADI BATU 8 KECAMATAN

PAGAR MERBAU KABUPATEN DELI SERDANG 3.1. Latar Belakang Munculnya Usaha Batu Bata Di Desa Sidodadi Batu 8. 3.1.1. Kemiskinan dan Kurangnya lapangan Kerja. Sebelum dimulai usaha batu bata pada Desa Sidodadi Batu 8, desa ini dilanda kemerosotan ekonomi yang cukup parah. Desa ini sebahagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh perkebunan PTP IX Pagar Merbau dan mengusahakan pertanian cukup sandang pangan yang belum dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk mencapai kesejahteraan hidup yang baik. Banyak faktor yang menyebabkan terjadi kemiskinan ataupun kemerosotan ekonomi di desa ini, yaitu, gaji masyarakat desa sebagai buruh perkebunan yang kurang memadai, tidak adanya keahlian masyarakat untuk mengusahakan mata pencaharian lain untuk memperbaiki perekonomian mereka. Pertanian yang mereka usahakan sebagai mata pencaharian sampingan masih belum memadai dan cenderung mengarah kepada pertanian subsisten. Sebuah pertanian akan berhasil bila ditunjang dengan adanya perairan irigasi, dan lahan yang kuantitas dan kualitasnya cukup baik dan memadai. Sedangkan pertanian di Desa Sidodadi Batu 8 mengalami permasalahan yakni pada tahun 1954 terjadi bencana banjir yang menyebabkan sejumlah pertanian hancur. Pertanian juga tidak begitu berkembang ditunjang dengan faktor lahan yang kurang memadai untuk mengusahakan pertanian yang maju. Universitas Sumatera Utara Seperti yang kita ketahui pada masa Kolonial Belanda banyak terjadi masalah kemiskinan di daerah pedesaan, dan pertanian juga masih belum maju dan berkembang. Dalam rangka memahami masalah kemiskinan di pedesaan pada masa kini penyorotan masalah yang sama pada masa lalu mungkin perlu. Kemiskinan di pedesaan pada masa kolonial terjadi pada masa cultur stelsel sistem tanam paksa sebagai kebijakan pemerintah yang banyak membawa kemiskinan dan kesengsaraan penduduk dan juga pada masa liberal pada akhirnya juga menimbulkan kecaman dan kritik yang sama karena menimbulkan akibat yang sama. Kebijakan untuk membuka daerah-daerah pedesaan yang dijalani kebijakan tanam paksa oleh penanaman modal swasta Belanda secara besar-besaran sesudah tahun 1870, oleh para penganjurnya diharapkan akan dapat meningkatkan kemakmuran penduduk Indonesia, tetapi pada kenyataannya meleset. 11 Banyak hal mendukung ketimpangan ekonomi pada waktu itu. Pesatnya perkembangan perkebunan besar telah menyebabkan produksi tanaman ekspor meningkat secara mantap. Tetapi di lain pihak angka kenaikan produksi bahan pangan bahkan menunjukkan lebih rendah daripada angka kenaikan penduduk. Dapat dikatakan bahwa menurunnya kesejahteraan penduiduk desa di Indonesia pada periode tersebut pada dasarnya disebabkan beberapa faktor, pertama, pertumbuhan penduduk yang pesat tidak seimbang dengan kenaikan produksi pangan. Kedua, sistem tanam paksa yang menyebabkan kerugian penduduk pedesaan. Ketiga, penghasilan pada pedesaan banyak dipakai untuk keperluan negeri penjajah. 11 Mubyarto, Growth and Equity in Indonesia Agricultural Development Yayasan Agro Ekonomika, 1982 Bab 7: Hlm.224. Universitas Sumatera Utara Salah satu faktor kemiskinan pada masa kolonial yang dialami Indonesia hampir mirip dengan apa yang terjadi pada Desa Sidodadi Batu 8 sebelum awal dibukanya usaha batu bata, yakni pertumbuhan penduduk yang semakin berkembang tidak seimbang dengan pendapatan masyarakat ataupun produksi pangan terhadap pertanian yang mereka usahakan. Setelah tanah perkebunan dialihfungsi menjadi pemukiman, jumlah penduduk kian bertambah dengan adanya perkawinan ataupun migrasi penduduk dari daerah lain di dalam desa tersebut, tetapi mata pencaharian masyarakat yang hanya sebagai buruh, supir, atau pertanian yang cukup sandang pangan tidak mencukupi kebutuhan hidup masyarakat yang jumlahnya terus bertambah. Kemerosotan ekonomi ini ditambah dengan adanya bencana banjir tahun 1954 menyebabkan pertanian hancur. Tidak ada bantuan pemerintah yang berarti ketika itu untuk memperbaiki situasi pertanian di desa ini. Sesuai dengan catatan di Kantor Kepala Desa Sidodadi Batu 8, baru pada tahun 1993 ada bantuan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di daerah pedesaan yakni program IDT sesuai dengan INPRES No.5 1993. Sebelum tahun 1993, tidak ada bantuan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di desa ini, sampai pada tahun1972 warga Desa Sidodadi, khususnya kepada para petani terkena musibah, yaitu bencana hama wereng yang mengakibatkan gagal panen dan terpaksa warga makan beras jagung sebagai pengganti nasi. Situasi dimana masyarakat tidak dapat lagi memproduksi beras atau tidak bisa mengkonsumsi beras , maka dapat disimpulkan masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka sehingga dapat dikatakan masyarakat desa ini mengalami kemiskinan. Sesuai dengan ukuran yang digunakan Sajogyo dalam menentukan kadar kemiskinan, yaitu didasarkan pada pendapatan yang kurang dari 20 kg beras perbulan. Demikian juga dapat digunakan pembedaan ukuran garis kemiskinan di pedesaan: miskin yaitu Universitas Sumatera Utara dengan pendapatan 320 kg beras per kepala per tahun: sangat miskin 180 kg per kepala per tahun. 12 Keadaan dimana masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 tidak dapat lagi mengkonsumsi dan menghasilkan beras dalam batas kecukupan berlangsung sampai dibukanya usaha batu bata di desa ini. Pada kasus kemiskinan yang terjadi di Desa Sidodadi batu 8 pada tahun 1972, warga desa bukan lagi tidak dapat sekedar memproduksi beras untuk ukuran 20 kg perbulan untuk satu keluarga, tetapi warga desa terpaksa makan beras dicampur jagung karena kesulitan untuk memproduksi beras. 13 Ketidak adanya kemampuan ataupun keahlian untuk menciptakan mata pencaharian baru seiring dengan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan banyaknya pengangguran karena kurangnya lapangan pekerjaan. Kebanyakan dari penduduk desa yang tidak memiliki keahlian pada bidang pertanian memilih untuk menjadi seseorang yang menganggur dan bekerja serabutan. Hal ini menyebabkan situasi keamanan desa yang tidak kondusif. Banyak diantara mereka yang menganggur melakukan kejahatan seperti mencuri hewan-hewan ternak di dalam ataupun di luar Desa Sidodadi Batu 8. 14 Situasi perekonomian yang terpuruk memunculkan keinginan masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 untuk mencari jalan agar perekonomian mereka membaik dengan jalan memunculkan usaha yang baru untuk merubah kehidupan mereka. 3.1.2. Rendahnya Tingkat Pendidikan. 12 Ibid, hlm.225.. 13 Wawancara dengan Jumadi mantan pengusaha batu bata, tanggal 25 Agustus 2013. 14 Wawancara dengan Basiran mantan pengusaha batu bata, tanggal 26 Agustus 2013. Universitas Sumatera Utara Kemiskinan yang terjadi pada desa Sidodadi Batu 8 menyebabkan terjadi rendahnya tingkat pendidikan pada masyarakat Sidodadi Batu 8. Ketiadaan dana untuk desa ataupun masayarakat desa, membuat desa tidak dapat mengadakan sarana pendidikan yang baik di Desa Sidodadi Batu 8. Begitu juga bagi masyarakat desa, dengan perekonomian cukup sandang pangan saja tidak begitu memikirkan untuk hal pendidikan. Kebanyakan dari mereka pada awal desa ini di buka sampai pada tahun 1970-an menamatkan pendidikan hanya sampai pada Sekolah Dasar. Daripada memikirkan mengenai pendidikan, masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 lebih memikirkan bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sekolah tidak terlalu diprioritskan. Kebanyakan dari mereka dengan perekonomian yang kurang baik, hanya memikirkan kebutuhan yang harus dipenuhi saat itu dalam rangka melangsungkan kehidupan mereka. 15 Dari mulai desa ini di buka sampai tahun 1970, hanya satu sekolah yang di bangun pada desa ini, yaitu SD. Negri No. 101911 Sidodadi. Kegiatan pendidikan dilangsungkan sangat sederhana, mengenai seragam dan peralatan sekolah pada waktu itu juga sangat apa adanya. Murid- murid SD pada desa ini tidak menggunakan seragam dan sepatu, tetapi hanya menggunakan pakaian sederhana dan tidak menggunakan alas kaki. Adapun yang menggunakan alas kaki hanya alas kaki yang sederhana. Setelah menamatkan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, kebanyakan anak-anak pada Desa Sidodadi Batu 8 tidak melanjutkan pendidikan untuk tahap Sekolah Lanjutan Pertama apalagi untuk tingkat Sekolah Menengah Atas, selain karena ketiadaan dana untuk melanjutkan 15 Wawancara dengan Mahmud mantan pengusaha batubata, pada tanggal 28 Agustus 2013. Universitas Sumatera Utara pendidikan, kesulitan transportasi untuk menuju Sekolah Lanjutan yang ada di luar desa mereka juga merupakan faktor yang menyebabkan mereka tidak melanjutkan pendidikan. Kesulitan- kesulitan ini menimbulkan minimnya harapan mereka untuk memperoleh pendidikan yang tinggi. Jangankan untuk memeperoleh pendidikan yang tinggi, untuk memenuhi wajib belajar sembilan tahun saja juga sulit untuk diraih. Anak-anak di Desa Sidodadi Batu 8 yang telah menamatkan pendidikannya pada tingkat Sekolah Dasar lebih memilih untuk membantu perekonomian keluarga sebagai tenaga tambahan pada usaha pertanian yang diusahakan keluarga, sekedar untuk membantu menambah kebutuhan kehidupan sehari-hari mereka. Rendahnya tingkat pendidikan pada Desa Sidodadi Batu 8 membuat sempitnya pemikiran pada masyarakat Desa Sidodadi Batu 8. Situasi perekonomian yang sulit dan menyengsarakan kehidupan mereka seharusnya segera diperbaiki, tetapi mereka hanya berusaha bertahan hidup sebisa mungkin dengan apa yang telah disediakan oleh alam. Mereka tidak dapat berpikir bagaimana untuk memberdayakan Sumber Daya Alam yang telah tersedia oleh alam. Sementara alam tidak selamanya dapat menyediakan kebutuhan hidup masyarakat. Dengan demikian masyarakat harus berbuat untuk mengatasi keadaan yang melanda kehidupan mereka, mereka seharusnya sebisa mungkin memanfaatkan Sumber Daya tersebut, tetapi karena tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 tidak berfikir seperti itu. Mereka hanya berfikir sederhana untuk hanya memenuhi kebutuhan hidup mereka pada waktu itu. 16 16 Wawancara dengan Jumadi mantan pengusaha batubata, tanggal 25 Agustus 2013. Universitas Sumatera Utara 3.2. Perkembangan Teknologi Produksi Batubata Usaha batu bata pada Desa Sidodadi Batu 8 mulai ada sejak tahun 1970- an. Usaha ini diprakarsai oleh seorang pendatang yang merantau ke desa ini. Beliau berasal dari daerah Sumatera Barat. Beliau bernama Asnawi. Beliau yang pertama kali merintis usaha batu bata di desa ini. Beliau datang ke desa ini pada tahun 1974. Usaha batu bata sangat cocok dengan jenis tanah yang ada di Desa Sidodadi Batu 8, karena tanahnya adalah tanah galong. Asnawi memulai usaha batu bata ini dengan teknologi yang masih sangat sederhana yakni dengan teknologi cetak tangan. Beliau melihat adanya peluang untuk usaha batu bata ini karena kecocokan tanahnya. Beliau mulai membuat coen pijakan tanah dengan pijakan kaki manusia di lakukan sendiri, memijak tanah dengan kaki.Teknik pencetakan dengan cetakan tangan satu blok, yakni cetak dibuat dari kayu dan hanya dapat memproduksi satu blok batu saja, begitu juga dengan pembakaran dan penjemuran dilakukan masih dengan teknologi yang sangat sederhana. Walaupun usaha batu bata yang dirintis oleh Asnawi masih mempergunakan teknik yang sangat sederhana, usaha ini cukup menjanjikan dan dapat memperoleh penghasilan yang lebih dibanding hanya sekedar menjadi buruh ataupun bekerja serabutan yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat Desa Sidodadi Batu 8. Teknologi usaha batu bata di Desa Sidodadi Batu 8 semakin berkembang dengan kedatangan penduduk yang berasal dari daerah Batang Kuis, beliau bernama Harjo. Beliau juga melihat peluang yang baik untuk usaha batu bata di desa ini. Pada sekitar tahun yang sama yakni 1976, hanya berselang sekitar dua tahun , beliau mengembangkan teknologi pengolahan Universitas Sumatera Utara kerajinan batu bata masih dengan teknik cetak tangan, tetapi untuk membuat coen pijakan tanah dengan menggunakan tenaga kerbau. Dengan menggunakan tenaga kerbau beliau dapat memproduksi batu bata dalam waktu yang lebih cepat dan jumlah yang lebih banyak per harinya. Seiring dengan perkembangan atupun kemajuan pembangunan pada daerah luar ataupun daerah perkotaan, permintaan akan barang material seperti batu bata secara otomatis meningkat pesat, sedangkan jumlah produksi sedikit. Jumlah produksi batu bata yang belum seimbang dengan permintaan akan batu bata, menyebabkan harga batu bata meningkat pada waktu itu. Tingginya harga batu bata membuat penghasilan pengusaha batu bata juga meningkat. Hal ini menumbuhkan keinginan penduduk Desa Sidodadi Batu 8 untuk meniru ataupun mencontoh Asnawi dan Harjo untuk belajar membuat usaha batu bata di lahan mereka masing- masing. Tingginya permintaan akan bahan material, dalam hal ini batu bata, menuntut agar produksi batu bata harus banyak. Pada awalnya, Asnawi dan Harjo membuka usaha batu bata ini hanya untuk usaha rumah tangga saja, tetapi kemudian karena tingginya permintaan akan produksi batu bata, membuat mereka membutuhkan tenaga kerja untuk memproduksi batu bata dalam jumlah yang besar dalam rangka mengembangkan usaha mereka. Tenaga kerja diperoleh dari penduduk setempat. Bekerja menjadi buruh batu bata membuat masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 mendapatkan keahlian dalam proses pembuatan batu bata. Keadaan tanah yang cocok, yakni tanah galong, dan kuantitas Sumber Daya Tanah yang masih banyak ketika itu menyebabkan setiap kepala keluarga pada desa Sidodadi Batu 8 tersebut Universitas Sumatera Utara mulai mengusahakan usaha batu bata di desa mereka untuk mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Usaha batu bata yang mulai berkembang di desa ini memecah kebuntuan terhadap persoalan perekonomian yang selama ini mereka alami. Dengan adanya usaha batu bata ini membuat penduduk Desa Sidodadi Batu 8 perlahan mulai dapat keluar dari permasalahan ekonomi yang selama ini dialami. Usaha batu bata di desa ini pada mulanya adalah usaha yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi lama kelamaan usaha ini menjadi meningkat dan demikian juga terhadap hasil produksinya, sehingga usaha batu bata ini terus berkembang. Perkembangan usaha batu bata ini kemudian selain menjadikan sebagai mata pencaharian utama, juga sebagai usaha yang turun temurun dilakukan pada generasi selanjutnya di desa ini sebagai usaha keluarga dengan anak dan istri sebagai tenaga kerja untuk memproduksi batu bata. Dalam tahun-tahun selanjutnya usah batu bata mulai menjadi mata pencaharian utama di Desa Sidodadi Batu 8 . Masyarakat Desa Sidodadi Batu 8 pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah mengusahakan batu bata. Sebahagian kecil masih ada juga bekerja pada bidang pekerjaan lain, seperti supir, buruh pabrik, atau tukang rumah. Mereka yang memilih tidak membuka usaha batu bata dikarenakan karena pekerjaan ini tidak sesuai dengan kepandaian yang mereka miliki, dan tidak adanya keinginan untuk medapatkan pengetahuan mengenai teknologi pembuatan batu bata. Universitas Sumatera Utara Tabel 4 Daftar Awal Usaha Batubata No Nama Kepala Keluarga Mulai Usaha Status 1 Asnawi 1974 Perintis 2 Harjo 1976 Perintis 3 Basiran 1980 Memulai 4 Wiriadi 1982 Memulai 5 Mahmad 1995 Penerus 6 Paiman 1980 Memulai 7 Sofyan 1995 Penerus 8 Safarudin 1996 Penerus Sumber : Data Lapangan Tahun 2013 Tabel di atas menunjukkan gambaran mengenai alur perkembangan teknologi pengolahan batu bata di Desa Sidodadi Batu 8 yang dirintis oleh penduduk pendatang dari luar Desa Sidodadi Batu 8. Mereka mengembangkan teknologi pengolahan batu bata di desa ini, hingga usaha batu bata berkembang menjadi usaha keluarga di Desa Sidodadi Batu 8 ini. Teknologi pengolahan batu bata berkembang di secara turun temurun menjadi mata pencaharian utama di desa ini. Mereka yang pada awalnya bekerja sebagai buruh batu bata pada usaha yang dikembangkan para perintis kemudian mencoba memulai usaha ini untuk memperbaiki perekonomian mereka. Mereka yang disebut memulai. Usaha ini dikembangkan secara turun temurun kepada anak mereka yang telah bekeluarga, mereka yang meneruskan usaha keluarga di sebut penerus. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERKEMBANGAN USAHA BATU BATA DI DESA SIDODADI BATU 8