commit to user
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
Permasalahan diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia merupakan warisan sejarah masa lampau, terjadi saat Belanda datang dan merusak hubungan
yang telah berjalan dengan baik antara masyarakat Tionghoa dengan Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik devide et impera politik pecah
belah, yang membagi masyarakat di indonesia menjadi 3 golongan bertingkat dengan tujuan memecah belah Bangsa Indonesia. Golongan orang Eropa barat
menduduki tingkap paling tinggi dalam strata sosial, tingkat ke dua menjadi milik golongan timur asing vremde oosterlingen termasuk di dalamnya Tionghoa
Cina, Arab, India dan sebagainya, sedangkan penduduk pribumi Indonesia inlanders diletakkan pada tingkat paling bawah sebagaimana diatur dalam Pasal
163 Indische Staatsregeling. Diantara ketiga golongan tersebut, golongan pribumilah yang sangat jauh
ketinggalan, baik secara ekonomi mapun sosial, dibandingkan kedua kelompok lainnya. Perbedaan tersebut dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
mengadu domba antara golongan pribumi dengan etnis Tionghoa, dimana seolah- olah golongan pribumi itu inferior, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis
Tionghoa. Sebaliknya etnis Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, eksklusif, kikir dan srigala ekonomi, sehingga secara di bawah sadar timbul
kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa.
6
commit to user
Pandangan negatif tersebut muncul kembali saat pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno menyatakan perang melawan kolonialisme dan imperialisme.
Tentu saja pernyataan itu ditujukan kepada hegemoni Amerika Serikat dengan sekutunya NATO. Untuk mewujudkan impiannya melawan hegemoni negara adi
kuasa tersebut, Soekarno melakukan lobi dengan China dan Korea Utara. Terbentuklah poros Jakarta-Peking dan Hanoi.
Dengan terjalinnya hubungan erat antara Indonesia dengan China membuat etnik Tionghoa yang berada di Indonesia kal itu merasa di atas angin.
Kondisi tersebut semakin melebar ketika Partai Komunis Indonesia mewarnai kehidupan politik dan pemerintahan. Hal ini dimanfaatkan oleh etnik China
bergabung dan menjadi onderbouw PKI dalam wadah Baperki Badan Pembendaharaan Komunis Indonesia. Harmonisnya hubungan PKI dengan etnik
Tionghoa tercermin dari duduknya beberapa etnik China seperti Oei Tje Tat, SH menjadi menteri dalam kabinet. Sebagai onderbouw PKI Baperki berfungsi
sebagai donasi bagi PKI melakukan berbagai aktivitasnya termasuk melakukan makar dengan Gerakan 30 September. Seiring dengan penumpasan G.30.S di
bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto, PKI dan seluruh onder-bouwnya termasuk Baperki dibubarkan dan dilarang di seluruh antero tanah air, membuat
kiprah etnik Tionghoa semakin redup. Mengingat citra negatif komunitas Tionghoa pada masa Orde Lama, maka
pemerintah Orde Baru melakukan pengawasan ketat, dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengekang kebebasan mereka, terutama
commit to user
masalah kewarganegaraan. Sebagai negara hukum rechtsstaat, dan bukan negara kekuasaan machtstaat, semua tindakan dalam koridor kebangsaan Indonesia
seharusnya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Namun kenyataannya, rezim Orde Baru telah menggunakan hukum sebagai alat untuk mendiskriminasikan
etnis Tionghoa di Indonesia. Secara sistematis dan konsisten, rezim Orde Baru telah membatasi,
menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis
Tionghoa di Indonesia menjadi apolitis sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif.
Tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dilegitimasikan oleh Orde Baru yang jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di
Indonesia, seperti pelarangan terhadap huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, penggantian
nama Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya Cap Gome, upacara di Klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina serta perkawinan
antara pemeluk Kong Hu Cu yang tidak diakui sah oleh negara. Hal ini menimbulkan kesan segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis
Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari. Politik devide et impera kembali dipraktekkan dengan menciptakan
pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan antara Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas
commit to user
dan minoritas, pribumi dan non pribumi. Pada masa ini juga berkembang situasi dimana peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada sekelompok kecil ±
200-300 orang etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis, hanya memperkaya dirinya
sendiri tanpa memperdulikan nasib masyarakat di sekitarnya, sehingga timbul anggapan stereotip sebagaimana dideskripsikan kaum kolonial bahwa etnis
Tionghoa telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereotip yang diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep
persatuan dan kesatuan. A strategy of social cohesion refers to any kind of action which ensures that every citizen, every individuas can have within their
community the opportunity of access to meeting their basic needs, to progress, to rights and protection, and to dignity and self confidence.
5
Tindakan-tindakan Orde Baru tersebut jelas sengaja dilakukan untuk membatasi hak-hak asasi golongan Tionghoa, khususnya hak budaya cultural
right, serta mendiskriminasikan etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri. Tindakan tersebut dapat diartikan pula sebagai cultural genocide terhadap orang
dan kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa di satu pihak negara menginginkan pembauran dan integritas bangsa Indonesia, namun di
lain pihak perlakuan diskirminasi masih berlangsung secara formal dan informal yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika
unity in diversity.
5
Jane Jenson, Op. Cit.
commit to user
Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama kali di Surakarta, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-
eksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik ethiknya yang
dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan politik masa mengambang Orba.
Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang
Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya. Pada pihak Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu
sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit
sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi
yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulangpunggung kekuasaan,
kekuasaan kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu.
6
Sejarah mencatat, beberapakali terjadi di Kota Surakarta, kerusuhan besar dengan latar belakang masalah etnis dan golongan. Dua kerusuhan terakhir adalah
kerusuhan besar yang terjadi di era 1980-an dengan latar belakang masalah pribadi yang merembet hingga masalah rasial. Kemudian terulang kembali Tahun
6
Pramoedya Ananta Toer, Rasialisme Anti-Tionghoa dan Percobaan Menjawabnya; Jaringan Kerja Budaya, 22 Oktober 1999 Artikel
commit to user
1998, kerusuhan berlatar belakang politik yang merembet menjadi kerusuhan rasial dengan sasaran masyarakat Tionghoa masih membayang di benak
masyarakat Surakarta. Dengan terjadinya kerusuhan yang menimpa kolektivitas Tionghoa di
Surakarta pada pertengahan Mei 1998 dan peristiwa serupa di daerah – daerah lain karena menajamnya “konfigurasi pemilahan sosial pri-nonpri” maka hal ini telah
menjadi salah satu indikator yang kuat tentang rendahnya tingkat efektifitas pelaksanaan kebijaksanaan asimilasi, selain rapuhnya sistem yang ada.
7
Konfigurasi pemilahan sosial “pri-nonpri”, yaitu polarisasi sosial dengan parameter kesenjangan sosial – ekonomi, ras atau etnik, keterdekatan dengan
kekuasaan, tingkat pendidikan, agama dan budaya, antara kolektivitas pribumi dengan kolektivitas Tionghoa di Surakarta, merupakan faktor kondisi yang
menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik sosial antara kedua kolektivitas tersebut. Dalam polarisasi sosial itu, unsur kesenjangan sosial-ekonomi
merupakan faktor dominan dan kesenjangan sosial – ekonomi yang paralel dengan perbedaan ras atau etnik, merupakan kondisi sosial yang rawan dengan konflik.
Kondisi sosial yang demikian merupakan lahan subur bagi terjadinya konflik – konflik laten dengan intensitas yang tinggi antara kedua kolektivitas tersebut.
Dengan faktor pemicu yang relatif kecil saja akan dapat memunculkan konflik- konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi pula.
8
7
Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 05
8
ibid, hal 19
commit to user
Hadirnya Reformasi dan lepasnya “belenggu” yang selama ini mengekang aktivitas Masyarakat Tionghoa tentu memberi angin segar dan jalan yang terang
bagi kehidupan kemasyarakatan golongan Tionghoa. Termasuk aktivitas keagamaan, seni budaya, ekonomi, hingga politik. Setelah Reformasi secara
otomatis keberadaan masyarakat Tionghoa semakin diakui, namun keadaan di masyarakat masih menyimpan potensi laten konflik berlatar belakang etnis dan
antar golongan tersebut terulang kembali. Surakarta, dikenal dengan kondisi masyarakatnya yang beragam. Selain itu Surakarta dikenal sebagai kota dengan
“sumbu pendek”, mudah tersulut dan sangat berpotensi muncul konflik antar golongan dan berlatarbelakang rasial.
Masyarakat Surakarta dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus memulai kembali dari awal, merajut hubungan harmonis antar etnis dengan latar
belakang sejarah yang kusut. Konsep pembauran yang diusung orde baru ternyata menjadi usaha untuk menyeragamkan budaya. Sangat jauh dari nilai-nilai
Bhinekka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Pembauran bangsa merupakan masalah penting untuk dipecahkan bersama
oleh semua warga negara bangsa Indonesia. Pembauran bangsa pada hakikatnya merupakan satu proses transkultural antar golongan atau kelompok masyarakat
yang menjadi warga suatu negara dengan maksud memperkokoh persatuan dan kesatuan hidup bersama sebagai warga dari satu negara. Oleh karena itu
masyarakat Indonesia yang majemuk ini harus menjalankan proses saling membaur baik secara horisontal maupun vertikal sehingga kesetiakawanan atau
commit to user
kebersamaan sebagai warga negara Indonesia dapat terbina, dalam hal ini asimilasi merupakan manifestasi dari konsep pembauran bangsa tersebut.
The link between culture and social cohesion may be amongest the most challenging issues we will face in the twenty-first century. One of the greatest
demands to be placed upon us will be the challange of finding ways for people to live together on a planet growing more and more crowded ................ The
intermingling of diverse cultures will be the norm, while culture itself may hold the key to finding an accomodation within all this diversity.
9
Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang
terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses
mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Proses asimilasi terjadi jika ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok
tadi saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut
masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
10
9
M. Sharon Jeannotte Dick Stanley, Journal: How Will We Live Together, Department of Canadian Heritage, Canada, 2002.
10
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1990.
commit to user
Jadi masalah asimilasi yang terpenting adalah penggabungan golongan- golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan
sosiologis dan budaya. Hal ini berarti pula ingin diambil secara fleksibel unsur kebudayaan mana yang dibuang dan yang diambil dapat berpadu dengan harmonis
dengan unsur kebudayaan lain yang kemudian pantas disebut kebudayaan bangsa Indonesia.
Ditegaskan pula oleh Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain :
1. Toleransi 2. Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang
3. Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaanya 4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa
5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan 6. Perkawinan campuran amalgamation
7. Adanya musuh bersama dari luar
11
Konflik – konflik etnis tersebut ditangkap dan diamati oleh seorang sejarawan di Kota Solo, Drs. Sudarmono S.U dan menemukan adanya siklus
dalam setiap 15 – 18 tahun sekali selalu terjadi kerusuhan di kota Solo dan seringkali atau hampir selalu mengorbankan masyarakat Tionghoa. Jika ditarik
sejarahnya hitungan trsebut dimulai dari terjadinya “geger pacina” di Solo, yaitu
11
ibid
commit to user
runtuhnya Keraton Kartasura oleh serangan laskar Cina yang dipimpin oleh Mas Gerendi atau Sunan Kuning.
Lahirnya Kota Surakarta sendiri itu tidak lepas dari peristiwa pertama konflik “pri – nonpri”, ketika tanggal 30 Juni 1742 laskar Cina dibantu oleh
sejumlah massa rakyat berhasil mebobol benteng istana Kartasura, memporak – porandakan bangunan istana, menjarah apa saja yang bisa dijarah dan menduduki
istana selama beberapa bulan. Peristiwa ini dalam sejarah Jawa disebut Geger Pacina atau Bedah Kartasura.
12
Rentetan kejadian tersebut berulang kembali dan selalu dalam hitungan setiap 15 – 18 tahun sekali sampai dalam hitungan terakhir pada peristiwa
kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di kota Solo. Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi
interaksi sosial di Kota Solo. Tidak ada upaya yang nyata, sistematis dan berkelanjutan dari pemerintah kota untuk mengantisipasi fenomena sosial
tersebut. Pertanyaannya adalah, setelah adanya penelitian tentang siklus radikalisme
masyarakat Solo dalam siklus 15 tahun tersebut apakah akan terulang kembali? Ataukah kerusuhan Mei 1998 menjadi akhir dari siklus tersebut?
12
Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 149
commit to user
BAB III VISI, MISI, DAN TUJUAN PENGGARAPAN