BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pada tayangan program acara Orang Pinggiran yang tayang di stasiun televisi Trans 7, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1.
Tayangan Orang Pinggiran menonjolkan kemiskinan sebagai kondisi yang identik dengan kekurangan secara material dan ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari. 2.
Kemiskinan disebabkan sebagai bentuk kemiskinan struktural disebabkan oleh ulah manusia seperti kurangnya fasilitas suatu daerah
serta ketimpangan masyarakat daerah dengan masyarakat kota, serta kapitalisme.
1.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang diperoleh peneliti selama proses penelitian, terdapat beberapa saran yang penulis anggap
perlu sebagai masukan, diantaranya: 1.
Saran penelitian Kajian semiotika merupakan kajian yang membutuhkan wawasan yang
luas dalam penelitiannya. Oleh sebab itu peneliti hendaknya memperbanyak bahan bacaan sehingga mampu mengkaji topik
penelitian secara mendalam. 2.
Saran akademis Diadakannya pelajaran mengenai semiotika. Penelitian dengan
menggunkan kajian semiotika sudah banyak dikaji oleh mahasiswa, khusunya mahasiswa ilmu komunikasi. Oleh sebab itu, adanya
pelajaran mengenai semiotika akan membantu peneliti selanjutnya
untuk lebih memahami dan mempertajam topik penelitian yang terkait dengan ilmu komunikasi dengan menggunakan analisis semiotika
1. Saran Praktis
Lewat penelitian ini, diharapkan agar tayangan sejenis ini disajikan seobjektif mungkin mengingat bahwa tayangan ini merupakan reality
show yang berarti tayangan yang menampilkan realitas. juga
diharapkan tidak mengeksploitasi kehidupan masyarakat miskin sebagai suatu keuntungan semata untuk menaikkan rating acara dan
mendatangkan keuntungan bagi stasiun televisi semata. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan manfaat dan menjadi
refrensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti tayangan reality show dan sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para
peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut demi mencapai suatu penelitian yang lebih baik lagi di masa depan.
BAB II URAIAN TEORITIS
2.1.Paradigma Kajian
Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir kognitif, bersikap
afektif, dan bertingkah laku konatif. Paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya Vardiansyah,
2008: 27. Menurut Denzin dan Guba dalam Wibowo, 2013: 52 paradigma adalah basis
kepercayaan atau metaphysics utama dari sistem berpikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis, memuat
pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi dan kebijakan
terhadap pemilihan masalah. Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak
menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring
terlebih dahulu melalui cara seseorang melihat sesuatu Morissan, Andy dan Wardhany, 2009:107.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi bentukan. Teori ini beranggapan bahwa unsur objek
dan subjek sama-sama berperan dan saling berinteraksi dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pengetahuan tersebut dibangun dari proses kognitif dan interaksinya
dengan dunia objek material. Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah
hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran
manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas Ardianto dan Q-Aness, 2007: 153.
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang menyatakan bahwa kebenaran suatu realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial, yang bersifat relatif. Paradigma
konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme penafsiran yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma
konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak
dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative,
Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan defenisi sosial
Eriyanto 2004:13. Konstruktivisme muncul setelah para ilmuan menolak tiga prinsip dasar
positivisme: a ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terstruktur, b hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas guna
mengejar objektivitas, c hasil temuan harus merupakan generalisasi yang universal, berlaku kapan pun dan di mana pun Vardiansyah, 2008: 59.
Menurut Von Glasersferld dan Kitchener tahun 1987 dalam Ardianto dan Q- Anees, 2007: 155 secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan
dapat dirangkum sebagai berikut: 1.
Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan. 3.
Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan konstruksi peristiwa atau realitas dan, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam
studi komunikasi, paradigma konstruktivisme ini sering disebut paradigma produksi dan pertukaran makna. Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna Eriyanto, 2008: 37. Dalam pandangan konstruksionis, tidak ada realitas dalam arti riil, sebelum
peneliti mendekatinya. Sesungguhnya yang ada konstruksi atau suatu realitas. Realitas sosial bergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia, dan bagaimana
menafsirkannya. Penafsiran dan pemahaman itulah yang disebut realitas. Karena itu, peristiwa dan realitas yang sama bisa jadi menghasilkan konstruksi realitas yang
berbeda dari orang yang berbeda Eriyanto, 2008: 45.
2.2. Uraian Teoritis 2.2.1.