Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

(1)

REPRESENTASI KEMISKINAN PADA TAYANGAN REALITY SHOW (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Disususun Oleh:

ENDOWIDYA MARSELINA 110904034

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Endowidya Marselina

NIM : 110904034

Departemen : Ilmu Komunikasi (Jurnalistik)

Judul : REPRESENTASI KEMISKINAN PADA TAYANGAN REALITY

SHOW (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi

Drs. Hendra Harahap, M.Si Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

NIP.196710021994031002 NIP. 192082819870122001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002


(3)

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Endowidya Marselina

NIM : 110904034

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : (………..)

Penguji : (………..)

Penguji Utama : (………..)

Ditetapkan di : Tanggal


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show”. Sebuah studi analisis semiotika tayangan reality show Orang Pinggiran episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ Tayangan ini dianalisis dengan menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos dibaliknya dan melihat representasi kemiskinan yang ditampilkan melalui tayangan Orang Pinggiran. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan pisau analisis Roland Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan Barthes. Dari hasil penelitian ini ditemukan gambaran tentang kemiskinan menurut realitas media dalam tayangan reality show didefenisikan sebagai orang yang tinggal di luar perkotaan dan kekurangan secara materi semata. Ketiadaan harta benda, kekurangan bahan makanan, keadaan rumah yang tidak layak untuk ditempati, serta rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang menjadi hal yang paling sering disoroti oleh media.


(5)

ABSTRACT

This research title is “Representation of Poverty on Reality Show”. A semiotics analysis studies of Orang Pinggiran’s reality show episode ‘A Meatball Seller Hopes (Derai Harap Bocah Penjual Bakso)’. These shows were analyzed using Roland Barthes semiology in order to know the meanings, myths and a representation of poverty shown through reality show. This research used qualitative research method. Roland Barthes semiology (lexia analysis and five code of perusal) helped the researcher to dig out the meaning and myths. Result of study was an overview of poverty according to media reality on reality show defined as people living outside urban areas and lack in material incomes. Lack of property and food, a house unfit for human life, and would do anything to get money becomes the most often highlighted by the media.


(6)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Nama : Endowidya Marselina

NIM : 110904034

Tanda Tangan: …………..


(7)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Endowidya Marselina

NIM : 110904034

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Analisis Semiotika Representasi Kemiskinan pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


(8)

(Endowidya Marselina) KATA PENGANTAR

Pujian, rasa syukur, serta terima kasih yang tiada henti-hentinya saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan besar kuasa-Nya dalam hidup penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini hingga akhir. Skripsi ini berjudul Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show (Analisis Semiotika pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7) merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih teristimewa dan sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua penulis, Ir. Tumpal Hasugian, SP (Bapak) dan Dra. Serbaria Aritonang (Mama) karena telah mencurahkan melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan yang terbaik untuk penulis. Terima kasih karena telah memberikan doa, waktu, tenaga, dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

menyediakan waktu dan tenaga yang secara ikhlas untuk membimbing dan memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Kepada seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu

pengetahuan selama masa perkuliahan.

3. Kepada saudara-saudara penulis Maktua Nella, Tulang Joshua, Bang Rio

Bang Felix, dan lainnya yang selalu mendengarkan curahan hati penulis dan selalu memberikan dukungan. Khususnya kepada saudara yang selalu


(9)

dirindukan penulis yaitu member Trio Tandoteng, Tania dan Kuteng yang selalu bersama sejak kecil dan sekarang harus terpisah oleh jarak. Semoga kita bisa kumpul sama-sama lagi.

4. Kepada teman-teman seperjuangan Eva Elfira, Risa Riskayanti, Ummul

Khaira, Nurhasanah Harahap, Ewitha, Desi Trinanda, dan Apriani yang selalu mengingatkan penulis untuk segera tamat kuliah.

5. Terima kasih buat teman-teman alumni XII IPA 3 SMAN 3 Medan tamatan

2011 yang masih menjalin tali persahabatan dengan penulis meskipun sudah lama tamat dari SMA. Terutama yang kuliah di USU Eny Noveyona, Nur Tri Hardi, dan M. Dian Nugraha, semoga bisa wisuda sama-sama. Kepada teman-teman lainnya Siska di Solo, Esi, Agung, Anggota H2S (Nona Maharani Hasibuan dan Benny Sianipar) semoga kalian juga cepat lulus dan bisa kumpul lagi.

6. Kepada teman-teman yang menuliskan nama saya di skripsi mereka.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu diperlukan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang membutuhkannya.

Medan, 14 September 2015

Hormat Saya Endowidya Marselina


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS KATA PENGANTAR... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar BelakangMasalah ... 1

1.2. Fokus Masalah... ... 7

1.3. Pembatasan Masalah... ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Paradigma Kajian ... 9

2.2. Uraian Teoritis... ... 11

2.2.1. Semiotika ... 11

2.2.2. Semiologi Roland Barthes ... 17

2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa ... 20

2.2.3.1. Reality Show ... 29

2.2.4. Representasi ... 30

2.2.5. Prinsip Dasar Pengambilan Gambar ... 32

2.2.5.1. Ukuran Pengambilan Gambar ... 33

2.2.5.2. Camera Angle ... 34

2.2.6. Kemiskinan ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.MetodePenelitian ... 38


(11)

3.3. Objek Penelitian ... 39

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.5. Teknik Analisis Data... ... 40

3.5.1. Analisis Leksia ... 41

3.5.2. Kode Pembacaan ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Tayangan Reality Show Orang Pinggiran ... 43

4.2. Analisis Data ... 44

4.2.1. Analisis Scene 1 ... 44

4.2.2. Analisis Scene 2 ... 47

4.2.3. Analisis Scene 3 ... 51

4.2.4. Analisis Scene 4 ... 55

4.2.5. Analisis Scene 5 ... 58

4.2.6. Analisis Scene 6 ... 61

4.2.7. Analisis Scene 7 ... 65

4.2.8. Analisis Scene 8 ... 68

4.3. Pembahasan ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Kemiskinan pada tayangan Reality Show”. Sebuah studi analisis semiotika tayangan reality show Orang Pinggiran episode ‘Derai Harap Bocah Penjual Bakso’ Tayangan ini dianalisis dengan menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos dibaliknya dan melihat representasi kemiskinan yang ditampilkan melalui tayangan Orang Pinggiran. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan pisau analisis Roland Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan Barthes. Dari hasil penelitian ini ditemukan gambaran tentang kemiskinan menurut realitas media dalam tayangan reality show didefenisikan sebagai orang yang tinggal di luar perkotaan dan kekurangan secara materi semata. Ketiadaan harta benda, kekurangan bahan makanan, keadaan rumah yang tidak layak untuk ditempati, serta rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang menjadi hal yang paling sering disoroti oleh media.


(13)

ABSTRACT

This research title is “Representation of Poverty on Reality Show”. A semiotics analysis studies of Orang Pinggiran’s reality show episode ‘A Meatball Seller Hopes (Derai Harap Bocah Penjual Bakso)’. These shows were analyzed using Roland Barthes semiology in order to know the meanings, myths and a representation of poverty shown through reality show. This research used qualitative research method. Roland Barthes semiology (lexia analysis and five code of perusal) helped the researcher to dig out the meaning and myths. Result of study was an overview of poverty according to media reality on reality show defined as people living outside urban areas and lack in material incomes. Lack of property and food, a house unfit for human life, and would do anything to get money becomes the most often highlighted by the media.


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Budaya menonton televisi memang sudah menjadi konsumsi masyarakat kita. Tidak peduli di desa atau di kota. Tidak peduli kalangan atas atau bawah. Kini mereka menjadikan televisi sebagai kebutuhan pokok. Dalam arti ritme kehidupan masyarakat kita lama kelamaan terpengaruh tayangan televisi (Baksin, 2006: 59). Di era sekarang ini televisi sudah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang. Fungsinya yang banyak dianggap sebagai penghibur, pemberi informasi, dan terkadang edukator, menjadi alasan utama orang memiliki televisi. Bahkan, untuk sebagian orang kehadiran televisi di rumah adalah suatu keharusan untuk menunjang unsur kemewahan semata. Yang terakhir ini sudah jelas melenceng dari fungsi awal televisi. Keberadaan media massa khusus nya televisi di Indonesia telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Televisi dengan berbagai macam acara yang ditayangkannya telah mampu menarik minat pemirsanya. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa orang Indonesia untuk mendapatkan informasi baru dengan melakukan kegiatan menonton televisi sebesar 85,9 % sedangkan membaca sebesar 23,5 % dan mendengarkan radio sebesar 40,3 % dari total penduduk Indonesia. Dilihat dari data tersebut diatas dapat kita artikan bahwa intensitas kegiatan menonton televisi masyarakat kita masih tinggi dibanding kegiatan membaca buku dan mendengarkan radio. Padahal perkembangan program acara televisi saat ini lebih dirasa mengacu pada trend bukan atas dasar sasaran dan tujuan program televisi itu sendiri walaupun tidak semua program acara televisi demikian. (Musthofa, 2012: 2-3)

Di antara bentuk-bentuk media massa yang ada, televisi adalah salah satu medium massa yang paling populer di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan survey AC Nielsen, televisi menempati urutan pertama dengan perolehan presentase sebanyak 95% sebagai medium utama yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selain itu,


(15)

di Amerika Serkat sebanyak 99% memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita, dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam sehari (Ardianto dan Erdiana, 2004: 125).

Televisi memiliki keistimewaan dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. Menurut Wibowo (1997) televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Kelebihannya terletak pada penggunaan bahasa verbal dan visual dalam penyampaian pesan, informasi, pengajaran, ilmu dan hiburan. (Ardianto dan Erdiana, 2004: 128).

Posisi dan peran televisi dalam operasionalnya di masyarakat tidak berbeda dengan cetak dan radio. Robert K. Avery dalam bukunya “Communication and The Media” dan Stanford B. Wienberg dalam “Messeges – A Reader in Human Communication”, Random House New York 1980, mengungkapkan tiga fungsi media (Kuswandi, 1996:24).

1. The Surveillance of the environment, yaitu untuk mengamati lingkungan 2. The Correlation of the part of society in responding to the environment,

yaitu mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran, karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi dan interpretasi.

3. The transmission of the social heritage from one generation to the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke genarasi berikutnya.

Stasiun-stasiun televisi saat ini telah menyediakan program acara yang beragam dan menarik sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat diantaranya drama, reality show, dan berita. Salah satu acara menarik yang banyak ditayangkan di televisi adalah tayangan reality show yang menampilkan gambaran kebudayaan dan kehidupan masyarakat. Program acara ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata (riil) dengan cara yang sealamiah mungkin tanpa rekayasa (Morrisan, 2008: 217).


(16)

Reality show mempunyai perbedaan dibandingkan tayangan lainnya yang disiarkan di televisi. Reality show diproduksi berdasarkan realitas kehidupan dengan menampilkan ekspresi, atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang. Pada tayangan reality show, pelaku utama tidak harus berasal dari orang-orang terkenal, tapi masyarakat biasa dapat menjadi pelaku utama dalam tayangan ini. Keberhasilan reality show dalam merebut perhatian penonton juga dikarenakan banyaknya konflik dalam tayangan jenis ini. Konflik adalah bagian dari nilai jual suatu pesan media.

Reality show diproduksi dengan tujuan untuk menghibur, mendidik dan memberikan inspirasi kepada penontonnya. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi. Tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi (Ardianto dan Erdiana, 2004: 128).

Menurut Charles Wright hal ini jelas sebagai salah satu fungsi yang lebih bersifat human interest. Maksudnya, agar masyarakat tidak merasa jenuh dengan berbagai isi pesan yang disajikan oleh televisi. Selain itu, fungsi hiburan media massa juga berdaya guna sebagai sarana pelarian pemirsa/masyarakat sasaran terhadap satu masalah (Kuswandi, 1996: 25).

Reality Show pertama sekali muncul di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1948 melalui program acara Candid Camera yang diproduksi oleh Allen Funt. Pada acara ini, orang-orang akan dihadapkan dengan situasi yang tidak biasa, menggunakan suatu trik dan alat peraga tertentu untuk mengetahui reaksi seseorang akan situasi yang direkam melalui kamera tersembunyi. Sebelumnya acara ini juga pernah disiarkan di stasiun ABC Radio melalui program acara The Candid Microphone. Pada tahun 1950 muncul program acara dengan format yang sama dengan acara sebelumnya yaitu Truth or Consequences yang juga menggunakan sistem kamera tersembunyi. Selanjutnya pada tahun 2000-an, tayangan reality show dengan format lain, seperti game show mulai berkembang pesat di stasiun-stasiun televisi Amerika. Salah satu contohnya adalah program acara Survivor yaitu sebuah acara kompetisi dengan mengambil lokasi


(17)

di sekitar hutan dengan membangun kemah berkelompok. Program acara ini mampu memperoleh rating pertama dengan jumlah penonton sekitar 27 juta orang. Selain itu selama tiga episode terakhir program acara ini disiarkan, pihak stasiun televisi telah mendapatkan keuntungan sebesar 50 juta dollar melalui iklan (Hill, 2005: 2).

Reality show sendiri sangat terkenal di UK. Pada tahun 2000, lebih dari 70 persen dari populasi penduduk (usia 4-65 tahun) menonton program reality show. Jenis-jenis reality show yang mereka tonton seperti program polisi atau program kriminal seperti pada program acara Camera Action! pada chanel ITV1 yang ditonton sejumlah 71 persen orang dewasa dan 72 persen anak-anak. Program Airport pada chanel BBC1 ditonton sebanyak 71 persen orang dewasa dan 75 persen anak-anak. Hal ini tentunya semakin berkembang dengan semakin banyaknya program-program reality show yang ditayangkan. (Hill, 2005:3)

Istilah reality show mulai mengemuka dalam pertelevisian nasional setelah ‘Akademi Fantasi Indosiar’ (AFI) digelar, disertai penayangan dan iklan yang sangat intens. Dalam beberapa bulan kemudian disusul oleh RCTI dengan ‘Indonesian Idol’, yang sebelumnya diawali dengan American Idol tayangan asli Fox Network America, yang ternyata diterima dengan baik oleh penonton tanah air. Sukses Indosiar dengan ‘konser AFI’ menempatkan ratingnya pada posisi puncak, membuat tayangan reality show semakin dikenal dan diminati penonton. Beberapa stasiun televisi lain berlomba membuat program sejenis. Maraknya stasiun televisi berlomba merancang berbagai program dengan memanfaatkan momentum naik daunnya reality show. Seperti yang disampaikan oleh Shuman Ghosemajumder (2003) bahwa televisi merupakan media yang paling cocok dan tepat untuk reality show, karena selain memungkinkan untuk siaran langsung (live) juga mempunyai sifat audio visual (Sugihartono, 2004: 73).

Setelah sukses dengan reality show pencarian bakat, berbagai acara reality show dengan tema berbeda mulai diproduksi oleh beberapa stasiun televisi. Beberapa diantaranya mengusung tema percintaan, hiburan, permainan, serta tema sosial yang cukup banyak disiarkan di televisi Indonesia. Program acara “Katakan Cinta” adalah


(18)

reality show pertama di Indonesia dengan tema percintaan yang disiarkan sejak 19 Januari 2003 di RCTI setiap hari Minggu pukul 16.30 WIB. “Katakan Cinta” terpilih sebagai reality show terfavorit dalam ajang Panasonic Awards 2003, dan nominator reality show terfavorit Panasonic Awards 2004. Kesuksesan program acara “Katakan Cinta” telah mendorong stasiun televisi lain untuk berlomba-lomba memproduksi reality show dengan tema sejenis. Beberapa contoh diantaranya seperti SCTV dengan Playboy Kabel, Kontak Jodoh, dan Harap-harap Cemas (H2C), Pacar Usil, Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), Cinta Lokasi, Masihkah Kau Mencintaiku, dan masih banyak lainnya. Selain percintaan, beberapa stasiun televisi lain justru tertarik memproduksi reality show dengan tema mistis karena dianggap dapat menarik rasa penasaran para penonton yang menyaksikannya seperti pada program acara Masih Dunia Lain.

Namun ternyata para kreator stasiun televisi tidak terhenti pada lingkup tema-tema tersebut, hingga muncullah reality show bertema sosial dengan mengangkat sesuatu yang berbau kemiskinan dan privacy. Beberapa contohnya yaitu pada program acara Rumah Gratis dan Jika Aku Menjadi yang pernah ditayangkan di stasiun televisi TRANS TV, Bedah Rumah dan Minta Tolong yang pernah ditayangkan di stasiun televisi RCTI, Catatan si Olga yang pernah ditayangkan di ANTV, serta program acara Orang Pinggiran yang sampai sekarang masih ditayangkan di stasiun televisi Trans 7.

Reality show dengan tema sosial ini pada umumnya mengangkat kisah seseorang yang hidup dalam garis kemiskinan dan mempunyai kekurangan baik secara ekonomi maupun secara fisik. Kondisi tempat tinggal yang kurang layak, pekerjaan yang tidak didukung dengan penghasilan yang mencukupi, serta kurangnya sarana prasarana yang memadai di lingkungan sekitar merupakan beberapa hal yang paling sering disoroti.

Fenomena kemiskinan merupakan salah satu dari banyaknya masalah sosial yang dialami Indonesia saat ini. Usaha-usaha pemberantasan kemiskinan sampai sekarang belum efektif dalam memberantas kemiskinan di Indonesia. Hingga saat ini,


(19)

masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini terbukti berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dimana hingga tahun 2013 sebanyak 28 juta dari 250 juta masyarakat Indonesia atau dengan presentase sebesar 11,47% yang masuk dalam kategori masyarakat miskin

mengangkat masalah kemiskinan sebagai salah satu tema dalam tayangan reality show. Salah satunya yaitu pada program acara Orang Pinggiran.

Orang Pinggiran adalah program acara semi dokumenter yang tayang setiap hari Rabu–Jumat pukul 15.45-16.15 WIB di stasiun televisi Trans 7. Tayangan ini bercerita mengenai perjuangan orang pinggiran untuk bisa bertahan hidup meskipun kehidupan mereka terus tergerus oleh perkembangan zaman. Memenuhi berbagai kebutuhan hidup meskipun dengan keterbatasan dan ketertinggalan menjadi inspirasi tersendiri bagi penonton. Motivasi dan semangat mereka menjalani hidup dapat

mengatasi berbagai halangan yang ada

kisah dari kehidupan seseorang yang mempunyai kekurangan baik secara ekonomi, atau pun fisik dimana sehari-hari mereka harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan penghasilan seadanya. Namun, beberapa penonton menganggap bahwa acara ini melebih-lebihkan fakta, serta menyoroti kesusahan hidup seseorang menjadi sebuah tayangan yang menarik dan membawa keuntungan bagi pihak produksi acara serta stasiun televisi yang bersangkutan.

Beberapa masyarakat menganggap tayangan ini diproduksi dengan tujuan untuk menguntungan pihak-pihak tertentu saja dari hasil penayangan acara ini. meskipun acara ini merupakan reality show, bukan berarti acara ini menampilkan realitas secara keseluruhan. Meskipun begitu, masyarakat lainnya mengganggap tayangan ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi penontonnya. Hal ini terbukti sejak awal penayangannya pada tanggal 13 Desember 2010 hingga saat ini program acara Orang Pinggiran telah mendapat berbagai apresiasi yang positif. Beberapa diantaranya yaitu melalui penghargaan yang diberikan oleh Dompet Kaum Duafa dengan kategori


(20)

Program Televisi paling Inspiratif tahun 2012, serta Anugerah Adiwata Sampoerna 2011 dengan episode Sang Juara dari Bantaran Rel. selain penghargaan tersebut, berbagai apresiasi juga muncul melalui beberapa akun media sosial resmi Orang Pinggiran di facebook, dan twitter.

Dari pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti representasi kemiskinan pada program acara Orang Pinggiran untuk melihat bagaimana sebuah fenomena kemiskinan dikonstruksi dan direpresentasikan melalui media massa. Peneliti kemudian memilih program ini sebagai objek penelitian, dengan alasan karena program ini merupakan salah satu program acara reality show yang mempunyai jam tayang cukup panjang. Program ini juga mempunyai banyak penggemar, karena di empat tahun penayangannya rating program ini masih tetap terjaga.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimanakah kemiskinan direpresentasikan dalam tayangan reality show Orang Pinggiran di Trans 7?”

1.3. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, maka diperlukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan pada reality show Orang Pinggiran episode ‘Derai Harap

Bocah Penjual Bakso’ dengan durasi 22 menit 8 detik.

2. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif Analisis pada


(21)

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui representasi kemiskinan pada tayangan reality show Orang Pinggiran di Trans 7.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

bagi pengembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi dan sumber bacaan mahasiswa FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

memperluas wawasan bagi pengembangan Ilmu Komunikasi, khususnya bagi mahasiswa atau masyarakat yang tertarik dengan topik penelitian.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

mahasiswa atau masyarakat yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai analisis semiotika pada tayangan reality show.


(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS 2.1.Paradigma Kajian

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27).

Menurut Denzin dan Guba (dalam Wibowo, 2013: 52) paradigma adalah basis kepercayaan atau metaphysics utama dari sistem berpikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi dan kebijakan terhadap pemilihan masalah.

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, Andy dan Wardhany, 2009:107).

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan). Teori ini beranggapan bahwa unsur objek dan subjek sama-sama berperan dan saling berinteraksi dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pengetahuan tersebut dibangun dari proses kognitif dan interaksinya dengan dunia objek material. Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran


(23)

manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 153).

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang menyatakan bahwa kebenaran suatu realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial, yang bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Konstruktivisme muncul setelah para ilmuan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (a) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terstruktur, (b) hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas guna mengejar objektivitas, (c) hasil temuan harus merupakan generalisasi yang universal, berlaku kapan pun dan di mana pun (Vardiansyah, 2008: 59).

Menurut Von Glasersferld dan Kitchener tahun 1987 (dalam Ardianto dan Q-Anees, 2007: 155) secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi

selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu

untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi

membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan konstruksi peristiwa atau realitas dan, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam


(24)

studi komunikasi, paradigma konstruktivisme ini sering disebut paradigma produksi dan pertukaran makna. Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (Eriyanto, 2008: 37).

Dalam pandangan konstruksionis, tidak ada realitas dalam arti riil, sebelum peneliti mendekatinya. Sesungguhnya yang ada konstruksi atau suatu realitas. Realitas sosial bergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia, dan bagaimana menafsirkannya. Penafsiran dan pemahaman itulah yang disebut realitas. Karena itu, peristiwa dan realitas yang sama bisa jadi menghasilkan konstruksi realitas yang berbeda dari orang yang berbeda (Eriyanto, 2008: 45).

2.2. Uraian Teoritis 2.2.1. Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain (Wibowo, 2013: 7).

Menurut Eco (1979), secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest (1996) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.” (Sobur, 2004: 96).

Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu dan metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha


(25)

mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. (Sobur, 2004: 15).

Preminger memberi batasan semiotika yang menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan lewat kata-kata dan tanda-tanda lain digunakan dalam konteks sosial. hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada. (Zamroni, 2009: 92)

Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni; (Sobur, 2004: 94)

1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda,

seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi

bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3. Kebudayaan di nmana kode dan lambang itu beroperasi

Charles Morris menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2013: 5).

1. Sintaktik (syntactic) merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang

mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengetian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’.


(26)

2. Semantik (semantics) merupakan cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

3. Pragmatik (pragmatics) merupaka suatu cabang penyelidikan semiotika yang

mempelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khusunya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

Kajian komunikasi saat ini telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Semiotika signifikasi adalah memberi tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada suatu konteks tertentu (Suprapto, 2009: 98).

Menurut Berger (dalam Sobur, 2004: 31), ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang menjadi rujukan para ahli Pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. (Kurniawan, 2001: 14). Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:


(27)

Gambar 2.1. Elemen-elemen makna dari Saussure

Sumber: Fiske, John. 2002. Introduction Communication Studies. London and New York: Routledge, hlm. 44

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf bernama Charles Sanders Peirce (1839- 1914). Peirce menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda. (Sobur, 2004: 34).

Menurut Charles Sanders Peirce, tanda dibentuk dalam tiga sisi yaitu representament atau tanda itu sendiri, objek yang dirujuk oleh tanda dan akan membuahkan interpretant. Interpretant merupakan tanda seperti yang dicerap oleh benak kita. Mengenai makna sendiri menurut Peirce akan timbul ketika ketiga hubungan elemen tiga sisi tadi bekerja. Interpretant yang terbentuk oleh segitiga makna yang dibuat oleh Peirce ini dapat menimbulkan untaian rantai makna karena sifat makna yang berubah-ubah. Maka itu Peirce mengajukan sebuah gejala tanda yang disebut sebagai dinamisme internal dimana interpretant dari setiap tanda bisa menjadi tanda baru lagi. (Wibowo, 2013: 147).


(28)

Sebuah tanda mengacu pada sesuatu (objeknya), untuk seseorang (interpretannya) dan dalam respek atau penghargaan (ground-nya). Relasi dari ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol. (Kurniawan, 2001: 21).

Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif akibat dari suatu kebiasaan ketika kita meyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004: 35).

Ikon merupakan “tanda” juga karena tampak seerti apa yang ditandakan (signified). Jika dalam contoh di atas, “anjing” sebagai objek yang mewakili suatu realitas yang asli, maka salah satu ciri ikon adalah tidak ada hubungan “nyata” antara objek dan ikon, artinya tampilan ikon itu mirip dengan objek asli namun kita harus berpikir untuk melihat-lihatnya lagi. Dengan kata lain, tampilan ikon selalu semakin jauh dari kenyataan atau keaslian suatu objek. Ikon sebenarnya merupakan modis di mana penanda (signifier) dianggap “menyerupai” atau “meniru” apa yang ditandakan (signified) dilihat, dikenal, didengar, dirasakan, dikecap, atau diciumi (berbau mirip). (Liliweri, 2011: 349)

Indeks memiliki hubungan sekuensial dengan material yang ditandai. Indeks secara langsung dapat dipahami sebagai peristiwa yang dapat bertindak sebagai referensi dari kejadian-kejadian yang tidak secara langsung dapat dipahami. Indeks dengan demikian adalah sesuatu yang terlihat dan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari pandangan. Indeks merupakan petunjuk pertama bagi setiap orang untuk melacak tanda-tanda yang mungkin sudah hilang. Sifat utama indeks adalah


(29)

tidak mempunyai hubungan dengan apa yang ditandakan (signified). (Liliweri, 2011: 350)

Simbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh simbol. Cincin merupakan simbol pernikahan, sepasang angsa melambangkan kesetiaan, seragam merupakan lambang korps, bendera sebagai simbol bangsa, dan jubah putih sebagai simbol kesucian. Jika tanda mempunyai satu arti (yang sama bagi semua orang), maka simbol mempunyai banyak arti (tergantung pada siapa yang menafsirkannya). Manusia berkomunikasi dengan bahasa, bahasa tergantung pada kata dan tata bahasa. Semua kata yang digunakan adalah simbol. Karena mempunyai banyak arti. Karena simbol selalu diwakili oleh kata-kata yang dapat saja memiliki pengertian yang berbeda-beda maka kata Verbender (1986), komunikasi verbal lisan maupun tertulis tergantung pada penguasaan kata dan tata bahasa. (Liliweri, 2011: 350)

Hubungan antara ikon, indeks, dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :

Gambar 2.2 : Semiotic Triangle Ogden and Richards

Sumber: Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 159

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi

acuan simbol


(30)

yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satu pengertian tertentu.

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks (Wibowo, 2013: 11).

Semiotika memecah-mecah kandungan dalam teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan di mana dia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi. Ia mengulas cara-cara beragam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna (Stokes, 2007 : 77).

2.2.2. Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. (Sobur, 2004: 63).

Semiologi Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah


(31)

kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang meyatukan keduanya (Hawkes, 1977: 130 dalam Kurniawan, 2001 : 22)

Barthes mendefenisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified. Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memilki makna yang berbeda ketimbang semula. Primary sign disebut sebagai denotatif sedangkan secondary sign adalah salah satu dari konotatif. Fiske menyebut model ini sebgai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dengan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal (Wibowo, 2013: 21).

Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes:

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2.3 : Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, hlm. 22


(32)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. (Sobur, 2004: 69).

Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan degan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu. (Sobur, 2004: 70).

Signifikasi tahap kedua berhubungan dengan isi, yakni ketika tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi (Wibowo, 2013: 22). Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos (Kurniawan, 2001: 23).


(33)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. (Sobur, 2004: 69)

Menurut Barthes, terdapat lima kode pokok yang beroperasi di dalam teks. Lima kode pokok tersebut, diantaranya: (Sobur, 2004: 65-66)

1. Kode hermeneutik atau kode teka- teki berkisar pada harapan pembaca untuk

mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses

pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita akan mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan

bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.

4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan

utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomic atau kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang

sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan budaya apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu.

2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa

Komunikasi massa menurut Tan dan Wright merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan


(34)

secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto dan Erdiana, 2004: 3-4).

Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan massa yang dilakukan melalui media, yakni media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio dan televisi. Seluruh proses komunikasi media melibatkan di dalamnya pelbagai aspek perbedaan latar belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran atau media massa, pesan-pesan, hingga kepada khalayak sasaran maupun dampak. (Liliweri, 2011: 218)

Komunikasi massa terjadi ketika sejumlah orang mengirimkan pesan kepada audiens yang besar yang bersifat anonymous dan heterogen melalui penggunaan media komunikasi khusus. Studi komunikasi massa mempelajari pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara lain pesan, media, dan audiens. (Liliweri, 2011: 219)

Joseph A. Devito merumuskan bahwa komunikasi massa yaitu: pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa atau barangkali akan lebih mudah atau lebih logis bila di defenisikan menurut bentuknya; televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan film. Sedangkan menurut Jay Black dan Fredrick C. Whitney disebutkan bahwa komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/tidak sedikit


(35)

itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen (Nurudin, 2004: 10).

Pengertian massa dalam komunikasi massa tidak sekadar orang banyak di suatu lokasi yang sama. Menurut Berlo (1996), massa diartikan sebagai “semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran.” Massa mengandung pengertian yang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama (Wiryanto, 2000: 3). Pesan-pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas. Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembaga yang menentukan agendanya. (Mulyana, 2008: 84)

Seperti yang dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr., komunikasi massa itu adalah keterampilan, seni, dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dengan melalui media massa dibandingkan dengan jenis-jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempuntai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (Effendy, 2007: 21)

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Ini berarti bahwa tidak terdapat arus

balik dari komunikan kepada komunikator.

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Media massa sebagai

saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing disebut institutionalized communicator atau organized communicator.

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui

media massa bersifat umum (public) karena ditunjukkan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Ciri lain dari media

massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Pesan yang disiarkan melalui media massa akan diterima oleh masyarakat secara serempak.


(36)

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana manusia satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi.

McQuail (dalam Pawito, 2008: 17-18) menyatakan bahwa ada empat subbidang kajian komunikasi massa yang oleh McQuail disebut sebagai perspektif. Keempat bidang kajian ini terbangun dari persilangan antara sumbu media-masyarakat dengan sumbu kebudayaan-material yang kemudian meliputi:

a. Media-cultralist perspective, lebih menitikberatkan persoalan isi dan

penerimaan isi (pesan-pesan media) oleh khalayak.

b. Media-materialist perspective, berkenaan dengan persoalan ekonomi politik

media.

c. Social culturalist persepective, lebih menekankan pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap produksi dan penerimaan isi atau pesan-pesan media dalam kehidupan masyarakat.

d. Social-materialist perspective, yang lebih melihat media massa sebagai

cerminan dari kondisi-kondisi ekonomi dan material masyarakat.

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto dan Erdiana, 2004: 15):

1. Surveillance (pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu:

a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan oleh

media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran

informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. 3. Linkage (Pertalian)

Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.


(37)

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

Industri media massa memiliki kemampuan dalam menyediakan informasi dan hiburan. Akan tetapi, media massa juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Media massa secara aktif memengaruhi masyarakat serta mencerminkannya. Media massa sudah begitu memenuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga kita sering tidak sadar lagi dengan kehadirannya, apalagi dengan pengaruhnya. Media massa sering kali menganggap masyarakat sebagai komoditas semata. Akan tetapi, media massa menolong dalam mendefenisikan diri kita; membentuk realitas kita. (Baran, 2012: 5)

Budaya adalah suatu tingkah laku yang dipelajari oleh anggota suatu kelompok sosial. Penciptaan dan pemeliharaan budaya terjadi melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa, yaitu ketika professional media memproduksi isi pesan yang kita lihat, baca, dengarkan, atau tonton, makna yang sedang dibagikan dan budaya sedang dikonstruksi dan dipelihara. (Baran, 2012: 11)

Sepanjang kehidupan komunikasi,kita sudah mempelajari hal-hal yang diharapkan oleh budaya dari kita. Akan tetapi, dampak budaya yang membatasi dapat berakibat negatif, seperti ketika kita tidak mau atau tidak dapat mengubah cara berpikir, bertindak, berperasaan, yang terpola dan berulang, atau kita mempercayakan “pembelajaran” kita kepada guru yang memiliki kepentingan yang berpusat pada diri sendiri, sempit, atau mungkin justru tidak sesuai dengan pemikiran kita. (Baran, 2012: 12)


(38)

Media tidak hanya menentukan standar daya tarik seseorang, namun media juga mengingatkan kita bahwa kita tidak harus merasa sedih jika kita tidak sesuai dengan suatu standar tertentu. Acara televisi seperti Nip/Tuck dan Dr.90210 menyampaikan kepada kita bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang kita butuhkan dalam hidup, tetapi komoditas yang dapat dibeli. Pesan dan jutaan pesan lainnya sampai kepada kita terutama lewat media, dan walaupun bukan berarti orang-orang yang memproduksi media ini mementingkan diri sendiri dan jahat, tidak dapat dipungkiri motivasi mereka adalah uang. Kontribusi mereka terhadap cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam budaya sudah pasti buka pertimbangan utama mereka ketika mempersiapkan komunikasi ini. Budaya tidak hanya membatasi. Representasi media akan kecantikan wanita sering menemui perdebatan dan ketidaksepakatan yang merujuk pada fakta bahwa budaya juga dapat membebaskan. Hal ini dapat terjadi karena nilai budaya juga dapat dipertentangkan. (Baran, 2012: 14)

Media massa sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan, tetapi juga hal-hal lain di luar pemberitaan yaitu dengan merepresentasikan orang, kelompok, atau gagasan tertentu. Berikut tiga proses yang terjadi dalam representasi menurut Fiske. (Wibowo, 2013: 148)


(39)

Tabel 2.1: Tabel Proses Representasi Fiske LEVEL PERTAMA REALITAS

(Dalam bahas tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi, suara)

LEVEL KEDUA REPRESENTASI

(Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dan sebagainya.)

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya.

LEVEL KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualism, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagainya.

Sumber: Fiske, John. 1987. Television Culture. London and New York: Routledge, hlm 5. Pertama, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media massa dalam bentuk bahasa gambar. Ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu ditandakan dengan sesuatu yang lain. Kedua, representasi, dalam proses ini adalah realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan


(40)

diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. (Wibowo, 2013: 149)

Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu akan mengalami proses seleksi. Tanda yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologis yang akan digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan. Realitas dalam representasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya, dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang banyak. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada representasi realitas, terutama di media yang benar atau nyata sepenuhnya. (Wibowo, 2013: 149)

Televisi sebagai budaya adalah bagian penting dari dinamika sosial dimana struktur sosial mempertahankan dirinya dalam proses produksi dan reproduksi makna, kepopuleran, sebagai bagian dari struktur sosial. (Fiske, 2001: 1) Budaya televisi merupakan fenomena yang ada baik di layar ataupun saat off- screen, suka atau tidak suka, meskipun sebagian besar pemirsa, memahami bahwa "realitas" hidup di layar berbeda dari realitas kehidupan off-screen. (Fisherkeller 2002: 3)

Kebiasaan sehari-hari, ritual, dan kegiatan seperti makan malam keluarga, drama sekolah, menonton televisi, dan berkirim pesan email berperan dalam mengatur dan membentuk budaya masyarakat. Tetapi orang-orang tidak mempelajari semua budaya yang disajikan kepada mereka, dan individu yang berbeda tidak belajar dari budaya dengan cara yang sama. Belajar dalam budaya TV tidak berbeda. Individu dalam situasi yang berbeda memiliki akses ke berbagai jenis televisi, dan mereka membuat keputusan yang berbeda tentang apa yang harus melihat. Mereka juga berbeda dalam bagaimana mereka membuat berpartisipasi dalam ritual melihat dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman menonton mereka. (Fisherkeller, 2002: 13)

Terlepas dari cara kita melihat proses komunikasi massa, tidak dapat disangkal lagi bahwa manusia menghabiskan waktu yang sangat besar dalam kehidupannya untuk berinteraksi dengan media massa. (Baran, 2012: 21). Media ini merupakan


(41)

media yang dapat mendominasi komunikasi massa, karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi ke setiap rumah para pemirsa di manapun mereka berada (Ardianto dan Erdiana, 2004: 40).

Menurut Skormis (Kuswandi, 1996:8) dalam bukunya “Television and Society: An Incuest and Agenda” dibandingkan dengan media lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya). Televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat informatif, hiburan, dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Informasi yang disampaikan oleh televisi, akan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual.

Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audio visual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan sangat tinggi dalam mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu. Jumlah individu ini menjadi relatif besar bisa isi audio visual gerak ini disajikan melalui televisi. Saat ini, berkat dukungan teknologi satelit komunikasi dan serat optik, siaran televisi dibawa oleh gelombang elektromagnetik, tidak mungkin lagi dihambat ruang dan waktu. Bahkan khalayak sasarannya tidak lagi bersifat lokal, nasional, dan regional, tetapi sudah bersifat internasional atau global (Baksin, 2006: 16).

Televisi merupakan salah satu media yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat saat ini. Menurut R. Mar’at, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan bagi penontonnya hal ini disebabkan oleh pengaruh psikologis televisi itu sendiri. Televisi seakan-akan menghipnotis pemirsa, sehingga mereka hanyut dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikannya. (Effendy 2004: 122)


(42)

2.2.3.2.Reality Show

Program reality show adalah sebuah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain umumnya khalayak biasa. (Totona, 2010: 3). Menurut Widyaningrum dan Christiatuti (dalam Musthofa, 2012: 5) Reality show adalah suatu acara yang menampilkan realties kehidupan seseorang yang bukan selebriti (orang awam), lalu disiarkan melalui jaringan TV, sehingga bisa dilihat masyarakat. Reality show tak sekedar mengekspose kehidupan orang, tetapi juga ajang kompetisi, bahkan menjahili orang.

Program reality show memang muncul di awal-awal tahun 2000 dan reality show masih banyak diproduksi dan ditayangkan di televisi termasuk dalam dunia pertelevisian Indonesia. Namun ketika ditanya darimana reality show ini berasal, pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Asal-usul fakta-fakta televisi populer merupakan hal yang rumit. Sebagai jenis program peranakan, reality show merupakan program yang sulit dikategorisasikan. Ada tiga dasar utama kaitannya dengan fakta-fakta televisi populer atau program-program televisi yang berdasarkan fakta yaitu tabloid journalism, documentary television, dan popular entertainment (Hill, 2008: 15).

Dalam penyajiannya acara reality show dapat diartikan sebagai gabungan rekaman asli dan plot. Disini penonton dan kamera menjadi pengamat pasif dalam mengikuti orang-orang yang sedang menjalani kegiatan sehari-hari mereka, baik yang professional maupun pribadi. Dalam hal ini produser menciptakan plot sehingga enak ditonton oleh pemirsa. Para kru dalam proses editing menggabungkan setiap kejadian sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga akhirnya terbentuk cerita berdurasi 30 menit tiap episode. Acara televisi yang menyajikan realitas kehidupan sehari-hari. Adegan-adegan dalam acara tersebut memperlihatkan serangkaian kejadian nyata tanpa direkaya terlebih dahulu. Para pemain umumnya khalayak biasa. Genre ini sering dianggap sebagai dokumenter. (Musthofa, 2012: 5).


(43)

Program acara reality show di Indonesia mencoba menyajikan suatu situasi seperti konflik, persaingan, atau hubungan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain, program ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata (riil) dengan cara sealamiah mungkin tanpa rekayasa. Terdapat beberapa bentuk reality show, yaitu: (Morissan, 2008: 217- 218).

1. Hidden Camera atau kamera tersembunyi. Ini adalah program yang paling

realistis yang menunjukkan situasi yang dihadapai seseorang secara apa adanya. Kamera ditempatkan secara tersembunyi yang mengamati gerak-gerik atau tingkah laku subjek yang berada di tengah situasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

2. Competition show. Program ini melibatkan beberapa orang yang saling

bersaing dalam kompetisi yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu untuk memmenangkan perlombaan, permainan (game), atau pertanyaan. Setiap peserta akan tersingkir satu per satu melalui pemungutan suara (voting), baik peserta sendiri ataupun audien. Pemenangnya adalah peserta yang paling akhir bertahan.

3. Relationship show. Seseorang kontestan harus memilih satu orang dari

sejumlah orang yang berminat untuk menjadi pasangannya. Para peminat harus bersaing untuk merebut perhatian kontestan agar tidak tersingkir dari permainan. Pada setiap episode ada satu peminat yang harus disingkirkan.

4. Fly on the wall. Program yang memperlihatkan kehidupan sehari-hari dari

seseorang mulai dari kegitan pribadi hingga aktivitas profesionalnya. Dalam hal ini kamera membuntuti ke mana saja orang yang bersangkutan pergi.

5. Mistik. Program yang terkait dengan hal-hal supranatural menyajikan

tayangan yang terkait dengan dunia gaib, paranormal, klenik, praktik spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, dan lain-lain. Program mistik merupakan program yang paling diragukan realitasnya.

2.2.4. Representasi

Istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi itu penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto


(44)

macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak (Eriyanto, 2001: 113).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual), dan masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagi suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam peberitaan (Wibowo, 2013: 148).

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru. Menurut Nuraini Julianti (dalam Wibowo, 2013: 150), representasi berubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan yang statis tapi merupakan proses dimanis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan pengguna tanda yaitu manusia yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Julianti (dalam Wibowo, 2013: 150) juga mengatakan bahwa melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu

Ada dua proses besar yang dilakukan media dalam memaknai realitas. Pertama, memilih fakta. Aspek memilih fakta tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta itu dipahami oleh media. Hampir mustahil kita melihat dunia tanpa membuat kategorisasi atau perspektif tertentu. “Realitas” yang sama dapat menciptakan “relitas” yang berbeda kalau ia didefenisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Selain itu, proses pemilihan fakta ini menimbulkan akibat yang jauh. Karena begitu fakta


(45)

didefenisikan, maka selalu terjadi proses pemilihan dan mengakibatkan penghilangan atas bagian tertentu dari realitas Proses pemilihan fakta ini hendaknya tidak dipahami semata-mata sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga praktik representasi. Yakni bagaimna dan dengan cara apa strategi tertentu media secara tidak langsung telah mendefenisikan realitas (Eriyanto, 2001: 116).

Kedua, mengenai proses penulisan fakta. Proses ini berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menyusun realitas untuk dipahami khalayak. Pilihan kata-kata tertent yang dipakai tidak sekadar teknik jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kenneth Burke menyatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu (Eriyanto, 2001: 119).

2.2.5. Representasi dan Teknik Pengambilan Gambar di Televisi

Tayangan yang disajikan pada televisi berupa gambar yang bergerak yang menuturkan cerita. Penonton memperhatikan terutama sekali apa yang sedang terjadi sekarang dan di kemudian. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan memahami teknik-teknik pengambilan gambar sebagai sarana untuk menuturkan cerita. (Purba, 2003: 1)

Pada medium massa televisi, tayangan yang disajikan lebih menarik karena dapat didengar dan dilihat. Gerakan cepat (fast motion) untuk adegan yang dramatik atau menegangkan, gerakan lambar (slow motion) untuk adegan yang romantis. Close-up memberi keintiman, medium shot mengesankan hubungan perorangan, netral dan objektif, sedangkan full shot berarti hubungan sosial. kamera ke atas (pan up) memberi kesan pihak yang disorot sebagai kurang kredibel. Semua adegan langka atau luar biasa, penuh warna dan nuansa, baik yang nyata ataupun fiktif, lewat penggunaan model-model mini dan efek khusus. (Mulyana, 2008: 149-150)


(46)

2.2.5.2.Ukuran Pengambilan Gambar

Objek gambar di televisi hampir semuanya manusia. Oleh karena itu, standarisasi ukuran gambar juga didasarkan pada ukuran manusia. Gambar-gambar atau shot-shot dideskripsikan dalam bahasa kamera dalam hubungannya dengan panjang tubuh manusia yang diperlihatkan. (Purba, 2013: 17).

Ukuran pengambilan gambar selalu dikaitkan dengan ukuran tubuh manusia, namun penerapan ukuran ini juga berlaku pada benda lain dengan menyesuaikan ukurannya. Berikut sembilan shot sizes (ukuran gambar) tersebut: (Fachruddin, 2012: 148-151)

1. Ekstreme Long Shot (ELS) dalam representasi. Pengambilan gambar yang

menunjukkan background sangat dominan dan objek sangat kecil. Menyajikan bidang pandangan yang sangat luas, jauh, panjang, dan berdimensi lebar. Ukuran gambar ini memberikan orientasi kepada penonton situasi secara keseluruhan.

2. Very Long Shot (VLS) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan

background mendominasi objek agak kecil. Tujuannya untuk memberikan penekanan pada suasana atau latar belakang tetapi objek tetap dapat dikenali. 3. Long Shot (LS) dalam representasi. Keseluruhan gambaran dari pokok materi

dilihat dari kepala sampai kaki atau gambar manusia seutuhnya. LS bertujuan untuk memberikan informasi secara lengkap mengenai suasana dari adegan. LS dikenal sebagai landscape format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suasana dan objek.

4. Medium Long Shot (MLS) dalam representasi. Memotong pokok materi dari

lutut sampai puncak kepala pokok materi. Setelah gambar LS ditarik garis imajiner lalu di-zoom in sehingga lebih padat, maka masuk ke medium long shot. Angle MLS sering dipakai untuk memperkaya keindahan gambar.

5. Medium Shot (MS) dalam representasi. Pengambilan gambar batas kepala

hingga pinggang/perut bagian bawah. Tujuannya untuk membentuk keseimbangan antara dominasi objek dengan background. Ukuran MS, biasa digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk wawancara. Pemirsa dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari wawancara yang sedang berlangsung.

6. Medium Close Up (MCU) dalam representasi. Memperlihatkan subjek mulai

dari ujung kepala hingga dada atas. MS memperdalam gambar dengan menunjukkan profil dari objek yang direkam. Kesan yang ditimbulkan adalah subjek yang terfokus, sedangkan background tidak terfokus, sehingga akan menonjolkan subjek.

7. Close Up (CU) dalam representasi. Pengambilan gambar dari ujung kepala

hingga leher bagian bawah. CU fokus pada wajah, digunakan sebagai komposisi gambar yang paling baik untuk menggambarkan emosi atau reaksi


(47)

seseorang. Terhadap benda lain pun demikian, karena mampu mengeksplorasi daya tarik yang tersembunyi.

8. Big Close Up (BCU) dalam representasi. Pengambilan gambar dari batas

kepala hingga dagu. BCU menunjukkan detail ekspresi wajah aktor dengan menekankan mata dan mencakup sisa wajah sebanyak yang diperluykan atau dalam adegan proses produksi menekankan pada detail proses pembuatan secara dekat.

9. Ekstreme Close Up (ECU) dalam representasi. Pengambilan suatu gambar

yang mencakup salah satu bagian tubuh. Paling sering digunakan untuk memperhebat emosi dari suatu pertunjukan musik atau situasi yang dramatis. Fungsinya adalah mengetahui detail suatu objek, dimana objek mengisi seluruh layar dan detailnya sangat jelas.

2.2.5.3.Camera Angle

Camera angle yaitu penempatan atau posisi kamera terhadap suatu sudut tertentu. Sebuat cerita terbentuk dari sekian banyak shot. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera yang paling baik bagi pandangan mata penonton. Artinya pemilihan angle sangat berpengaruh terhadap yang diinginkan penonton. Angle yang tidak tepat akan membingungkan penonton mengikuti jalan cerita yang dibuat. (Purba, 2013: 25)

Meletakkan lensa kamera pada sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dan mempunyai motivasi tertentu untuk membentuk kedalaman gambar/dimensi dan menentukan titik pandang penonton dalam menyaksikan suatu adegan dan membangun kesan psikologi gambar, seperti: (Fachruddin, 2012: 151-152)

1. High angle (HA) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan meletakkan

tinggi kamera di atas objek/garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disampaikan objek tampak seperti tertekan.

2. Eye level (normal) dalam representasi. Tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat.

3. Low angle (LA) dalam representasi. Pengambilan gambar dengan meletakkan

tinggi kamera di bawah objek atau di bawah garis mata orang. Adapun kesan psikologis yang ingin disajikan adalah objek yang berwibawa.

4. Canted angle dalam representasi. Menghasilkan gambar dengan cara

memiringkan kamera pada bidang horizontalnya. Gambar yang dihasilkan menjadi dinamis dan labil sehingga dapat menggambarkan fantasi, ketegangan, atau khayalan penonton.


(48)

2.2.6. Kemiskinan

Menurut Brendley kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok (Setiadi dan Kolip, 2011: 794-795)

Kemiskinan, pertama-tama dapat diartikan sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki yang layak dalam meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, kemiskinan didefenisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan atau ketiadaan nonmateri yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak. (Rohidi, 2000: 25). Kemiskinan dapat dipahami dalam berbagai cara, di antaranya: (Setiadi dan Kolip, 2011: 792)

1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

sehari-hari, sandang, perumahan dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan, ketergantungan, dan

ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. hal ini termasuk pendidikan dan informasi. keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi dalam bidang ekonomi.

3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna

“memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Friedmann merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi ini dirumuskan sebagai berikut: (Setiadi dan Kolip, 2011: 794)

1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan,


(1)

Munculnya tayangan Orang Pinggiran memberikan gambaran bahwa masih banyak daerah yang penduduknya masuk dalam golongan masyarakat miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data terbaru jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada September 2014, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 27,73 juta orang atau mencapai 10,96 persen dari keseluruhan penduduk. Dilihat dari persebarannya, orang miskin di perkotaan mencapai 10,36 juta jiwa atau 8,16 persen. Sedangkan orang miskin di pedesaan mencapai 17,37 juta jiwa atau sebesar 13,76 persen. Kemiskinan dalam pembahasan diatas dapat dikategorikan ke dalam bentuk kemiskinan struktural. Bentuk kemiskinan ini disebabkan karena faktor-faktor yang disebabkan oleh manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Setiadi dan Kolip, 2011: 797).

Tayangan ini memberikan informasi mengenai gambaran kemiskinan. Bahwa kemiskinan diterjemahkan sebagai suatu kondisi kekurangan materi semata. Sedangkan solusi untuk menanggulangi kemiskinan tidak dibahas sama sekali. Orang miskin ditampilkan sebagai orang yang menyedihkan dan tidak mendapat perhatian sama sekali dari lingkungan sekitar maupun pemerintah. Selain itu muncul faktor-faktor dominan yang terkait dengan kemiskinan pada tayangan ini seperti budaya, lingkungan, agama, suku, serta kapitalisme.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada tayangan program acara Orang Pinggiran yang tayang di stasiun televisi Trans 7, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tayangan Orang Pinggiran menonjolkan kemiskinan sebagai kondisi yang identik dengan kekurangan secara material dan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.

2. Kemiskinan disebabkan sebagai bentuk kemiskinan struktural (disebabkan oleh ulah manusia) seperti kurangnya fasilitas suatu daerah serta ketimpangan masyarakat daerah dengan masyarakat kota, serta kapitalisme.

1.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang diperoleh peneliti selama proses penelitian, terdapat beberapa saran yang penulis anggap perlu sebagai masukan, diantaranya:

1. Saran penelitian

Kajian semiotika merupakan kajian yang membutuhkan wawasan yang luas dalam penelitiannya. Oleh sebab itu peneliti hendaknya memperbanyak bahan bacaan sehingga mampu mengkaji topik penelitian secara mendalam.

2. Saran akademis

Diadakannya pelajaran mengenai semiotika. Penelitian dengan menggunkan kajian semiotika sudah banyak dikaji oleh mahasiswa, khusunya mahasiswa ilmu komunikasi. Oleh sebab itu, adanya pelajaran mengenai semiotika akan membantu peneliti selanjutnya


(3)

untuk lebih memahami dan mempertajam topik penelitian yang terkait dengan ilmu komunikasi dengan menggunakan analisis semiotika 1. Saran Praktis

Lewat penelitian ini, diharapkan agar tayangan sejenis ini disajikan seobjektif mungkin mengingat bahwa tayangan ini merupakan reality show yang berarti tayangan yang menampilkan realitas. juga diharapkan tidak mengeksploitasi kehidupan masyarakat miskin sebagai suatu keuntungan semata untuk menaikkan rating acara dan mendatangkan keuntungan bagi stasiun televisi semata.

Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan manfaat dan menjadi refrensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti tayangan reality show dan sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut demi mencapai suatu penelitian yang lebih baik lagi di masa depan.


(4)

DAFTAR REFERENSI

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Aness. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Ardianto, Elvinaro & Lukiati K. Erdiana. (2004). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Baksin, Askurifai. (2006). Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Baran, Stanley J. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan Budaya. Jakarta: Erlangga.

Day, Mila. (2004). Buku Pintar Televisi. Jakarta: Trilogos Library.

Effendy, Onong Uchajana. (2004). Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung: Alumni.

Effendy, Onong Uchjana. (2007). Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS

Eriyanto. (2004). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta: LKiS Eriyanto. (2008). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.

Yogyakarta: LKiS

Fachruddin, Andi. (2012). Dasar-Dasar Produksi Televisi: Produksi Berita, Feature, Laporan Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta: Kencana.

Fisherkeller, JoEllen. (2002). Growing Up with Television. Philadelphia. Temple University Press.

Fiske, John. (2001). Television Culture. London and New York: Routledge.

Hermawan, Anang. (2011). Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.

Hill, Annette. (2005). Reality TV: Audiences and Popular Factual Television. New York: Routledge.


(5)

Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesiatera. Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi.

Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana.

Morissan. (2008). Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Jakarta: Kencana.

Morissan, Andy dan Wardhany. (2009). Teori Komunikasi tentang Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda

Musthofa, As’ad. Jurnal Ilmiah Komunikasi MAKNA Vol. 3 No. 1, Februari- Juli 2012. Komodifikasi Kemiskinan oleh Media Televisi. Magister Ilmu Komunikasi UNDIP.

Nurudin. (2004). Komunikasi Massa. Malang : CESPUR.

Pawito. (2008). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Purba, Januarius Andi. (2013). Shooting yang Benar. Yogyakarta: Andi.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Bandung: Nuansa.

Setiadi, Elly. M dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Sobur, Alex. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Stokes, Jane (2007). How to do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soetomo. (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Sugihartono, Ranang Agung. Ornamen Vol. 1, No. 2, Juli 2004. Reality Show, Sebuah Tren Baru Acara Pertelevisian. Jurnal Seni Rupa STSI Surabaya.


(6)

Suprapto, Tommy. (2009). Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: MedPress.

Totona, Saiful. (2010). Miskin itu Menjual: Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan. Yogyakarta: Resist Book.

Vardiansyah, Dani. (2008), Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2013). Semiotika Komunikasi: Aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Wiryanto. (2000). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.

Zamroni, Mohammad. (2009). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sumber internet

2015 pukul 16.32 WIB.

2015 pukul 15.46 WIB


Dokumen yang terkait

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 18 94

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7).

0 0 109

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7).

3 9 109

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP TAYANGAN REALITY SHOW “MASIH DUNIA LAIN” DI TRANS 7(Studi Deskriptif Opini Masyarakat Surabaya Terhadap Tayangan Reality Show “ Masih Dunia Lain: di Trans 7).

0 4 88

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 11

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 2

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 8

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 1 29

Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

0 0 3

OPINI MASYARAKAT SURABAYA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW “ORANG PINGGIRAN” DI TRANS 7 (Studi Deskriptif Opini Masyarakat di Surabaya Tentang Program Reality Show “Orang Pinggiran” di Trans 7)

0 0 27