Kerangka Teori dan Konsepsi 1.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pertanahan khususnya mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee guntai. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para praktisi maupun bagi para pihak mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee guntai.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai”: Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dapat dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.

Kerangka Teori Kerangka teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 29 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data. 30 Rianto Adi menyatakan: “Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori itu masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. 31 Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan diusahakan sebesar-besarnya guna meningkatkan kemakmuran masyarakat banyak. Artinya penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi bukan oleh petani Secara teoritis penguasaan tanah secara latifundia dan absentee akan membawa akibat negatif kepada produktivitas tanah pertanian. Karena pemilik tanah yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya. Selain itu juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya uang dan pengetahuan untuk menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan menjadikannya sarana eksploitasi terhadap masyarakat petani yang dianggap miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun sudah pasti yakni terhimpunnya tanah pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah landlord. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dibidang penguasaan tanah pertanian. 29 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 80. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm.122. 31 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 29. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan tanah pertanian wajib diatur oleh pemerintahan negara agar tercipta keadilan sosial. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut : 32 Abdurahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang atau peraturan, yaitu: a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum menegakkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 33 32 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 15. 33 Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1985, hlm. 3. a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistem peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut. b. Faktor pelaksana dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut. c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. d. Faktor masyarakat dan budaya setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur dari efektifitas berlakunya undang-undang atau peraturan. Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari Lawrence Meir Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai suatu proses ada 3 komponen yang harus diperhatikan, yaitu : a Legal structure struktur hukum; b Legal subtance substansi hukum; dan c Legal culture budaya hukum. 34 Struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum mencakup pranata-pranata penegakan hukum, prosedur-prosedur hukum, jurisdiksi pengadilan dan orang-orang yang terlibat didalamnya aparat hukum. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan- ketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat penegak hukum. Unsur substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem itu. Substansi ini merupakan keadaan faktual yang dihasilkan oleh sistem huku m. Dan unsur kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan dihindari atau disalahgunakan. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Friedman mengemukakan cara lain untuk 34 Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan.Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hlm. 76. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. 35 Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah- masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan di dalam eksistensi larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee. Sehingga dapat diketahui bahwa timbulnya larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee guntai secara filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan dengan para pemilik modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata. Perlindungan ini Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem yang saling mempengaruhi satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam masyarakat. 35 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Jakarta: Republika, 2008, hlm. 80. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas dalam rangka mengadakan strukturisasi pemilikan tanah pertanian. Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah dikeluarkan UU Landreform yang menetapkan luas maksimum tanah pertanian yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk mengendalikan restrukturisasi pemilikan tanah pertanian kepada orang yang memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang mengalihkannya secara langsung kepada pihak lain dengan ancaman pidana 36 1. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; . Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee guntai, yaitu : 2. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang juga dikenal dengan Peraturan Redistribusi selanjutnya disebut dengan Undang-undang Redistribusi; 36 Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai Absentee Bagi Para Pensiun Pegawai Negeri. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 membahas tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian namun salah satu materi muatan yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara absentee. Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, atau pemilik tanah pindah ke tempat dimana tanah berada.” Dalam larangan pemilikan tanah secara absentee, masih dimungkinkan adanya dua macam pengecualian, yaitu: 37 1. Pemilikan tanah secara absentee masih diperbolehkan apabila tanah pertanian dan pemiliknya berada dalam kecamatan yang berbatasan karena hal itu masih memungkinkan pemiliknya mengerjakan tanahnya secara aktif; 2. Kalangan tertentu masih diperbolehkan memiliki tanah secara absentee karena mereka berada di tempat lain untuk melaksanakan kewajiban negara dan agama. Dalam peraturan pelaksanaannya, daerah yang menjadi ukuran pemilikan secara absentee adalah wilayah kecamatan 38 . 37 Ibid 38 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 3. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

2. Konsepsi