Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Konflik Pertanahan Diareal Tanah Garapan (Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat

(1)

TESIS

Oleh

NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI

077011051/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI

077011051/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI

Nomor Pokok : 077011051

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI

Nim : 077011051

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN

KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL TANAH

GARAPAN (STUDI DI KANTOR PERTANAHAN

KABUPATEN LANGKAT)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI Nim :077011051


(6)

tempat tinggal, tempat usaha maupun sebagai sumber mata pencaharian. Karena begitu pentingnya tanah sebagai penunjang kebutuhan pokok setiap orang, maka dalam memperoleh tanah tersebut tak jarang terjadi sengketa antara para pihak dalam memperebutkan sengketa bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan ketegangan dalam masyarakat itu sendiri. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah penduduknya mayoritas bermata pencaharian bertani, merupakan wilayah yang sering terjadi konflik dibidang pertanahan khususnya dalam diareal tanah garapan yang tak jarang menimbulkan konflik/ketegangan dan juga kekisruhan dalam masyarakat tersebut karena tidak adanya penyelesaian yang baik terhadap konflik tanah tersebut.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang didasarkan pada penelitian lapangan (field research) dihubungkan dengan teori hukum yang bersifat khusus dibidang hukum pertanahan. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada di lapangan untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan menyimpulkan data primer dan data sekunder yang selanjutnyaa dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan data lapangan dan peraturan perundang-undangan terkait bidang hukum pertanahan untuk memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Konflik pertanahan di Kabupaten Langkat terjadi karena faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum pada masyarakat serta perilaku yang kurang baik akibat tingginya ketergantungan atas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masyarakat di Kabupaten Langkat.

Penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di Kabupaten Langkat tersebut dilakukan melalui jalur mediasi Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan apabila jalur mediasi mengalami kegagalan maka pada umumnya konflik tersebut dilanjutkan melalui jalur litigasi (pengadilan).


(7)

many people to be their housing and business sites. Because the land is very important to support the basic need of each individual, in their effort to obtain the land, dispute always occurs between the parties in community that it results in extended conflict which eventually creates tensions whithin the community itself. Langkat District as one of the districts in Sumatera Utara Province where the occupation of the majority of its population is farming is an area with frequent land conflict especially in the area of illegally-cultivated land due to the absence of good settlement of the land dispute.

This is an analytical descriptive empirical juridical study to analyze the data obtained through field research related to the specific theory of law related to agrarian law. Through this study, the problems found in the field were explained and analyzed then a conclusion was drawn to be the solution to problems. The data analysis was conducted by concluding the primary and secondary data which then were evaluated and qualitatively analyzed to discuss the problems based on the data found in the field and the regulations of legislation related to the agrarian law to obtain new description or to strengthen the existing description in answering the problems and drawing a conclusion as well as beneficial suggestions.

Land conflict in Langkat District occured due to the factors of lack of knowledge and legal awareness and unfavorable behavior due to the high dependence on land in meeting the daily life necessities in the community in Langkat District.

The settlement of the conflict occured in Langkat District was done through mediation at the Langkat District Land Office and if this mediation failed the conflict settlement was usually continued to be sttled through litigation (court of law).


(8)

berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik

Adapun judul tesis ini “ANALISI YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DIAREAL TANAH GARAPAN (STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN LANGKAT)"

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus di penuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan masukan dan saran yang sifatnya membangun. Untuk itu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Komisi Pembimbing Saya :

1. Dr. Pendasteran Tarigan, SH, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing 2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum sebagai anggota Komisi Pembimbing 3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH

Atas kesediaanya memberikan bimbingan dan masukan, serta nasehat demi kesempurnaan tesis ini, dimana berkat bimbingan yang di berikan sehingga mendapat hasil yang maksimal.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu ;

1. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin. SH, MS, CN 2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

Atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(9)

2. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, memberikan kesempatan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan Studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin. SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara memberikan kesempatan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan Studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Pada Bapak dan Ibu dosen di Lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak member pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan studi ini

5. Para Pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati. 6. BapakPerwira Karo Sekalidan BapakIwan Sinaga, selaku pegawai di Kantor

Pertanahan Kabupaten Langkat yang telah banyak member bantuan dan data dalam penulisan tesis ini.

7. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara teristimewa buat. Vina Verawaty Pasaribu, Okto Veri, Meliani, Maria Magdalena Barus dan semuanya yang tak dapat saya sebutkan satu-satu terimakasih atas kerjasamanya selama ini

Secara Khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud terimakasih yang tak terhingga, kepada yang tercinta AyahandaPercaya Surbaktidan IbundaJuniarti br Bangun yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasehat serta membimbing dan memberikan segala kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, serta ucapan


(10)

pengertiannya, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Kila dan Bibi,Drs Siang Ginting dan Riah br Surbakti atas dukungan dan doa restunya hingga saya dapat menyelesaikan studi, serta terimakasih buat adik-adikku tersayang Pridara Suci Surbakti SE dan Edy Tarigan, dr Pebrini Juita Surbakti dan Gorby Sanjaya Surbaktijuga ponakannkuPedro Armada Wijaya Tarigan, biringku IbuH Pandia juga bibi-bibiku yang banyak memberi masukan Ukurerlayas, Yulistina Sinulingga yang tak henti –hentinya mengajari berbagai hal

Diatas semuanya saya ucapkan puji syukur dan terima kasih pada Yesus Kristus yang telah memberikan KasihNya sehingga di berikan perlindungan, kesehatan dan pemikiran sehingga dapat terselesaikan tesis ini

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna karena penulis hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan, tetapi penulis berharap semoga tesis ini berguna dab bermanfaat bagi pembaca, Terima Kasih

Medan, Januari 2014 Penulis


(11)

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Natal Ria Argentina Br. Surbakti Tempat/Tgl. Lahir : Binjai/13 Desember 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Alamat : Jl. Ikan Arwana No. 39 Binjai

II. KELUARGA

Ayah : Percaya Surbakti

Ibu : Juniarti Br Bangun

Suami : Apriandi Asmaranta Ginting

Anak : Valeria Ernia Claudya Ginting

Alexander Berjaya Ginting

III. PENDIDIKAN

SD Methodist Binjai : Lulus Tahun 1996

SMP Methodist Binjai : Lulus Tahun 1999

SMA Negeri 2 Binjai : Lulus Tahun 2002

S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Lulus Tahun 2007 S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU : Lulus Tahun 2014


(12)

vii

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA KONFLIK PERTANAHAN PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN LANGKAT ... 35

A. Konflik Pertanahan Sebagai Gejala Sosial ... 35

B. Jenis-jenis Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat ... 37

C. Faktor-Faktor Timbulnya Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat ... 41

D. Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung Tinggi Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling ... 44


(13)

viii

A. Asas Musyawarah dan Mufakat Sebagai Budaya Bangsa

Indonesia ... 47

B. Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi .... 54

C. Perbedaan Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi Dengan Litigasi ... 60

D. Mekanisme Mediasi Dalam Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling ... 62

E. Negosiasi Akhir dari Para Pihak ... 69

BAB IV HAMBATAN – HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL TANAH GARAPAN KABUPATEN LANGKAT ... 74

A. Terbatasnya Pengetahuan dan Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Bidang Hukum Pertanahan ... 74

B. Ketentuan-ketentuan Bidang Pertanahan yang Dapat Mencegah dan Mengantisipasi Konflik Pertanahan... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN


(14)

tempat tinggal, tempat usaha maupun sebagai sumber mata pencaharian. Karena begitu pentingnya tanah sebagai penunjang kebutuhan pokok setiap orang, maka dalam memperoleh tanah tersebut tak jarang terjadi sengketa antara para pihak dalam memperebutkan sengketa bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan ketegangan dalam masyarakat itu sendiri. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah penduduknya mayoritas bermata pencaharian bertani, merupakan wilayah yang sering terjadi konflik dibidang pertanahan khususnya dalam diareal tanah garapan yang tak jarang menimbulkan konflik/ketegangan dan juga kekisruhan dalam masyarakat tersebut karena tidak adanya penyelesaian yang baik terhadap konflik tanah tersebut.

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang didasarkan pada penelitian lapangan (field research) dihubungkan dengan teori hukum yang bersifat khusus dibidang hukum pertanahan. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada di lapangan untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan menyimpulkan data primer dan data sekunder yang selanjutnyaa dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan data lapangan dan peraturan perundang-undangan terkait bidang hukum pertanahan untuk memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.

Konflik pertanahan di Kabupaten Langkat terjadi karena faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum pada masyarakat serta perilaku yang kurang baik akibat tingginya ketergantungan atas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masyarakat di Kabupaten Langkat.

Penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di Kabupaten Langkat tersebut dilakukan melalui jalur mediasi Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan apabila jalur mediasi mengalami kegagalan maka pada umumnya konflik tersebut dilanjutkan melalui jalur litigasi (pengadilan).


(15)

many people to be their housing and business sites. Because the land is very important to support the basic need of each individual, in their effort to obtain the land, dispute always occurs between the parties in community that it results in extended conflict which eventually creates tensions whithin the community itself. Langkat District as one of the districts in Sumatera Utara Province where the occupation of the majority of its population is farming is an area with frequent land conflict especially in the area of illegally-cultivated land due to the absence of good settlement of the land dispute.

This is an analytical descriptive empirical juridical study to analyze the data obtained through field research related to the specific theory of law related to agrarian law. Through this study, the problems found in the field were explained and analyzed then a conclusion was drawn to be the solution to problems. The data analysis was conducted by concluding the primary and secondary data which then were evaluated and qualitatively analyzed to discuss the problems based on the data found in the field and the regulations of legislation related to the agrarian law to obtain new description or to strengthen the existing description in answering the problems and drawing a conclusion as well as beneficial suggestions.

Land conflict in Langkat District occured due to the factors of lack of knowledge and legal awareness and unfavorable behavior due to the high dependence on land in meeting the daily life necessities in the community in Langkat District.

The settlement of the conflict occured in Langkat District was done through mediation at the Langkat District Land Office and if this mediation failed the conflict settlement was usually continued to be sttled through litigation (court of law).


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketergantungan manusia terhadap tanah sudah berlangsung lama yakni sejak manusia memulai pola hidup bertani dan memanfaatkan tanah di sekitarnya baik sejak hidup berpindah-pindah atau menetap. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang semakin bertambah maka diperlukan tanah baik untuk pertanian maupun untuk permukiman guna mencukupi kebutuhan hidup. Kenyataan tersebut membuktikan sangat tingginya ketergantungan manusia terhadap tanah, dimana sebagai kebutuhan yang sangat esensial di atas tanah tersebut manusia hidup dan sekaligus untuk mempertahankan hidup.

Pesatnya pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan fisik yang sedang dilaksanakan mengakibatkan permasalahan tanah pun semakin meningkat dan bertambah kompleks. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa masalah pertanahan yang terjadi di wilayah antara kota dan kabupaten merupakan suatu perspektif yang harus dihadapi. Keadaan tersebut disebabkan bahwa kota sebagai suatu unit memiliki ruang hidup yang terbatas dan mempunyai penduduk yang lebih padat, sehingga gerakan penduduk untuk mencari tanah cenderung diarahkan pada areal yang terletak dipinggiran kawasan kota. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya konflik dan benturan kepentingan yang tidak dapat dihindarkan antara berbagai kepentingan yang membutuhkan tanah.


(17)

Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kegiatan pembangunan yang ditujukan bagi kesejahteraan umum. Berkenaan dengan konsep tersebut, pembangunan harus dicapai dengan menitikberatkan pelaksanaan penguasaan tanah yang mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Hal ini terutama karena alasan bahwa Hukum Agraria Nasional yang dikenal hari ini pada hakekatnya telah lahir, sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara nomor 104 tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) untuk menunjang tujuan tersebut.1 Adalah suatu hal yang sia-sia jika suatu produk hukum diciptakan namun tidak dilaksanakan dengan baik. Apalagi produk hukum tersebut secara substantif merupakan cerminan kebutuhan masyarakat atau rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 2dan Pasal 2 ayat (2) UUPA3 mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan atas tanah. Mengenai pengaturan maksudnya terlaksananya kepastian hukum, kepastian kepemilikan atas tanah. Tegasnya secara juridis, pemerintah bertanggung-jawab untuk melaksanakan pendaftaran tanah sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah.

1A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit

C.V. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 20.

2Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan: “bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kmakmuran rakyat. “

3

Pasal 2 Ayat (2) UUPA antara lain menyatakan tentang kewenangan pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.


(18)

Pendaftaran tersebut akan menegaskan siapa yang memiliki hak atas tanah. Siapa subjek hukum yang akan diminta bertanggungjawab untuk memanfaatkan tanah sesuai tujuan pembangunan. Menggunakan tanah sesuai peruntukannya. Kemudian, tanah yang tidak berpemilik selayaknya dimanfaatkan pula untuk menunjang kesejahteraan tersebut. Jadi tidak dibiarkan begitu saja. Sehingga apa yang diatur oleh ketentuan Pasal 6, 7, 10, 11 dan Pasal 6 UUPA benar-benar terlaksana.4

Dengan pelaksanaan pasal-pasal UUPA tersebut di atas berarti pula penguasaan tanah secara konsisten menyokong tercapainya pembangunan yang berkemakmuran dan berkeadilan. Karena dengan adanya penguasaan tanah dalam konteks kepemilikan yang tertib dan pasti dengan sendirinya tercapai penguasaan tanah dalam konteks pemanfaatan. Terutama bila hal ini dititikberatkan pada proses pertanggungjawaban. Tercapainya kedua bentuk penguasaan sedemikianlah yang dimaksud menjadi bagian penting dari tujuan UUPA dalam rangka pencapaian pembangunan tersebut.

Untuk itu masalah penguasaan tanah membutuhkan penanganan yang amat serius, yang harus dikendalikan dan diawasi secara efektif demi tercapai tujuan tersebut, karena sampai pada masa sekarang konflik penguasaan tanah masih terus

4 Pasal 6 UUPA berbunyi : semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 7

UUPA berbunyi Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 10 UUPA berbunyi : 1). Setiap orang dan Badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. 2). Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 3). Pengecualian pada ayat 1 Pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 11 UUPA berbunyi: 1). Hubungan hukum antara orang, termasuk dalam hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapainya tujuan yang disebut dalam Pasal 2 Ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. 2). Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dan golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah.


(19)

berlangsung, seperti halnya konflik kepemilikan di areal tanah garapan masyarakat.

Penggarapan tanah oleh masyarakat di Indonesia diawali dengan penggarapan tanah areal perkebunan yang sejak Perang Dunia ke II sudah terjadi, sebagai akibat dari pada usaha pemerintah bala tentara Jepang untuk menambah hasil bahan pangan. Kemudian keadaan tersebut juga diakibatkan dari perjuangan kemerdekaan yang antara lain karena adanya blokade musuh yang telah menimbulkan keadaan darurat dalam hal persediaan bahan pangan, menyebabkan banyak sekali rakyat yang memakai tanah-tanah perkebunan. Dengan demikian sejak saat itu penggarapan atas tanah khususnya areal perkebunan semakin berkembang.

Pada awal tahun 1948, pada masa pendudukan Belanda dikeluarkan “ordonantie onrechtsmatige occupatie van gorden” (Stb. 1948 -110). Penerbitan ordonantie ini dimaksudkan agar penggarap-penggarap tanah perkebunan dapat segera meninggalkan tanah garapannya, setidaknya membatasi rakyat mengadakan penggarapan baru. Namun, demikian menurut kenyataan kegiatan-kegiatan penggarapan di atas tanah justru terus berkembang.

Kondisi tersebut semakin diperparah saat terjadinya kerawanan pangan sebagai dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak awal tahun 1997. Era reformasi yang bergulir menjadi momentum perjuangan rakyat untuk menguasai areal-areal perkebunan terutama areal yang sedang kosong dan tidak ditanami oleh pihak perkebunan, karena sedang penanaman kembali (replanting). Hal tersebut dapat dilihat dari tuntutan masyarakat di Sumatera Utara, pada 5 (lima) Desa yaitu: Desa


(20)

Muliyorejo, Desa Paya Bakung, Desa Helvetia, Desa Tunggu Rono dan Desa Kelambir V. Keadaan itu ditambah lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami masyarakat dengan tanaman palawija dan telah diartikan salah oleh masyarakat dengan memperluas lahan garapannya serta menganggap kebijakan tersebut sebagai legalisasi untuk menguasai areal perkebunan.5

Selain faktor yang dikemukakan di atas, ternyata permasalahan penguasaan rakyat atas areal perkebunan semakin diperparah dengan adanya penerbitan surat-surat kepemilikan atas tanah oleh aparat pemerintah di daerah kepada masyarakat. Padahal areal perkebunan tersebut secara nyata dan sah dikuasai oleh perusahaan dengan Hak Guna Usaha. Kecuali Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Kepala Desa dan Camat setempat di atas areal tersebut juga kadang-kadang ada yang diterbitkan sertifikat Hak Milik atas nama masyarakat.

Selanjutnya menurut Noer Fauzi, sengketa agraria yang terjadi pada masa orde baru dapat dibedakan menjadi empat kategori:Pertama, perusahaan perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Investasi perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utamanya. Fakta menunjukkan bahwa tanah-tanah di Jawa, kecuali lahan hutan, hampir tidak ada lahan kosong yang terlantar. Tanah-tanah eks perkebunan Belanda (hak erpacht) maupun tanah-tanah negara tidak ada yang tersisa. Masalah-masalah utama yang muncul, antara lain

5Dayat Limbong, Konflik Pertanahan di Areal Perkebunan, Pustaka Bangsa Press,


(21)

adalah; (i) penolakan petani atas pencabutan hubungannya dengan tanah; (ii) ganti rugi untuk petani yang tidak memadai; (iii) ploretarisasi petani karena hilangnya hubungan dengan tanah; (iv) pemukiman kembali (resetlement) petani yang tergusur dari tanahnya.6

Kedua, konflik tanah akibat eksploitasi hutan. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada swasta dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengeksploitasi hutan seraya meminggirkan masyarakat sekitarnya. Atas dasar peta hutan yang berlaku di akhir kekuasaan kolonial Belanda, pemerintah membuat batas-batas hutan dan pemukiman dari tanah penduduk setempat. Dalam kasus sengketa tanah berbasis hutan, masalah utama yang sering muncul adalah; (i) penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim; (ii) kehancuran sumber daya subsistensi masyarakat adat; (iii) penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai; (iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global.7

Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk program pembangunan, baik pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, real estate, mall, tempat wisata dan lain-lain membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dalam hal ini, beberapa masalah yang mengemuka adalah; (i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya; (ii) ganti rugi yang

6 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Nasiona,

Insist Press dan KPA, Yogyakarta, 1999, hal. 199.


(22)

tidak layak dibanding dengan harga tanah di pasar umum; (iii) pemukiman kembali penduduk (resetlement) yang tidak memadai dan alternatif usaha ekonomi.8

Keempat, sengketa tanah yang melibatkan antar warga. Meskipun jenis sengketa yang demikian tidak berdimensi luas, namun bila pihak yang bersengketa cukup banyak dapat menjadi persoalan tersendiri. Masalah-masalah krusial yang mengikuti jenis sengketa ini antara lain (i) menempati lahan tanpa hak; (ii) sengketa wakaf dan lain-lain.9

Karakteristik sengketa konflik agraria terus berubah. Apa yang terjadi sesungguhnya bukan sekedar kelangkaan sumber daya alam saja, tetapi terutama adalah ekspansi modal besar-besaran yang difasilitasi hukum dan kebijakan pemerintah. Kenyataan ini membantah asumsi mazhab klasik yang mengabaikan bagaimana modal bekerja dan merusak hubungan sosial masyarakat yang lama.10 Penyebab sengketa agraria, menurut cara pandang Adam Smitt dan Ricardo, adalah karena kepadatan penduduk di atas tanah yang paling subur terus meningkat, dan organisasi sosial ekonomi tidak disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kepadatan penduduk tadi.11

Dengan demikian, menurut Simon, faktor konflik agraria di Indonesia disebabkan beberapa hal:12

8Ibid.,hal. 200 9Ibid.,hal. 202. 10Ibid.,hal. 2. 11

Lihat, Sumitro Djojoadikusumo,Perkembangan Pemikiran Ekonomi,Buku I, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, hal. 40-49.

12Simon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro, “Gejala Konflik Pertanahan di


(23)

1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal (domestik maupun internasional) dalam bentuk investasi. Sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, pemerintah umumnya memfasilitasi kehadiran investor untuk menanamkan modalnya dengan berbagai fasilitas kemudahan dan kepastian hukum. Di sisi lain, pemerintah cenderung melupakan nasib rakyatnya yang juga membutuhkan tanah untuk kehidupannya.

2. Watak otoritarianisme pemerintah yang sering menggunakan pendekatan represif dalam menyelesaikan sengketa tanah. Umumnya pemerintah lebih melindungi kepentingan pengusaha atau investor, dari pada rakyat.

3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber agraria dari populis (Orde Lama) menjadi kapitalistik (Orde Baru). Pengintegrasian Indonesia sebagai bagian dan komunitas kapitalisme Internasional (pasar bebas) akan mengarah pada pemenuhan tuntutan-tuntutan Internasional seraya mengenyampingkan kepentingan masyarakat lokal. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan Land Acquisition Program (LAP) dari World Bank yang pada intinya bertujuan agar semua tanah di indonesia memiliki kejelasan hak dan kepemilikan yang kemudian akan memudahkan pemindahtanganan sehingga mempermudah terciptanya pasar tanah (land market)

Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, atau pelepasan hak-hak atas tanah untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktiknya belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa dan ketentuan-ketentuannya sehingga pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah tidak mendapat perlindungan hukum. Adapun pemerintah atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk membangun proyeknya. Secara faktual pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dengan penguasa/ pemerintah, serta penerapan hukum dari para hakim yang sangat bernuansa paham


(24)

positivis yang mengabaikan kaidah-kaidah sosial lainnya dan hukum yang hidup (living law) serta moral dalam masyarakat.13

Konflik atas tanah mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lainnya atau sekedar untuksurvive(subsistem) sebagai tempat tinggal atau tanah pertanian. Bagi petani, nelayan, masyarakat adat atau kaum miskin kota, penguasaan, atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup.14

Pemerintah sigap mengamankan. dan memfasilitasi kehadiran investor dengan berbagai instrumen hukum. Sedang orang-orang miskin berjuang sendirian baik untuk mendapat sepetak tanah maupun saat mempertahankan haknya. Perlindungan dan keberpihakan hukum dan politik secara nyata diberikan sepenuhnya kepada investor. Sementara rakyat kecil tidak berdaya menghadapi alat berat dan ratusan aparat yang siapa mendukung kebijakan pemerintah.15

Setiap kali sengketa tanah, umumnya tidak bisa diakhiri dengan win-win solution. Penggusuran, intimidasi atau bahkan pengosongan paksa menjadi ending yang terus berulang. Korbannya selalu rakyat kecil yang memiliki puluhan meter tanah garapan dan harus merelakan bila sewaktu-waktu diambil paksa oleh pemerintah demi kepentingan umum.16

13Ibid.,hal. 47. 14

Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo, Press, Semarang, 2008, hal. 71.

15Ibid.,hal. 71. 16Ibid.,hal. 71.


(25)

Akibat penyelesaian penggarapan yang dilakukan oleh Pemerintah dianggap oleh kaum penggarap tidak berpihak kepadanya, maka masalah penggarapan berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat, yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, demikian juga halnya yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara.

Daerah Sumatera Utara mempunyai permasalahan sangat kompleks dalam masalah penggarapan rakyat atas tanah, karena sebagai daerah perkebunan wilayah ini sangat potensial menimbulkan permasalahan penguasaan atau penggarapan di atas tanah areal perkebunan tersebut.

Konflik pertanahan yang tergolong struktural itu melibatkan kelompok masyarakat berhadapan dengan kekuasaan Negara, baik sebagai pelaku maupun penjamin hak dan karenanya sengketa ini atau masalah pertanahan tidak mudah diselesaikan dan bersifat berkepanjangan.

Sifat berkepanjangan konflik pertanahan struktural ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:17

1. Rumusan UUPA tentang status Hak-hak Adat Masyarakat Adat Lokal yang tidak jelas, sehingga membingungkan.

2. Ketidakpedulian masyarakat terhadap substansi undang-undang, dan lebih mempersoalkan buruknya prilaku dan sistem hukum yang menjadi pedoman aturan main bernegara.

3. Perumusan Undang-Undang yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penafsiran sesuai kebutuhan dan kemauan politik penguasa dalam menanggapi persoalan hak masyarakat adat.

17Iman Jauhari, “Permasalahan Hukum Bidang Pertanahan Di Wilayah Pemerintahan


(26)

Akar konflik pertanahan struktural yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara sudah sangat meluas dan kasus-kasus yang sudah terjadi banyak menelan korban jiwa dan harta benda pada kasus-kasus tanah perkebunan yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU),18 akibat terjadinya perlawanan masyarakat lokal terhadap pihak-pihak pemegang hak itu karena tidak adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumber alam lainnya.

Selanjutnya tulisan ini difokuskan pada salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Langkat, karena pada saat ini sedang terjadi dan masih berlangsung konflik pertanahan antara masyarakat dengan pihak pengusaha atau perkebunan, yaitu konflik penguasaaan tanah masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit dengan PTPN II Tanjung Keliling yang berawal pada tahun 1942, dimana masyarakat telah menguasai lahan seluas kurang lebih 98 hektar, kemudian pada tahun 1951 lahan yang seluas 8 hektar yang merupakan pemukiman penduduk dan lahan pertanian di rampas oleh Pihak perkebunan, lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang bernama Ngadinan dan kawan – kawan dengan alas hak karo Belasting yang pada saat itu dirampas atau diserobot oleh seorang Centeng Kebun yang bernama Kriting atas suruhan dari SAMPE TUAH BANGUN selaku Kepala Distrik.

Kemudian pada tahun 1991 lahan kurang lebih 91,2 hektar, yang merupakan lahan pertanian dan persawahan penduduk juga dirampas oleh pihak PTPN-II, lahan 18Dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA disebutkan: Hak Guna Usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.


(27)

tersebut adalah merupakan lahan dari beberapa warga masyarakat yang antara lain bernama Djuaken Sembiring, Mohamad Sembiring, Bena Sinuraya dan Raja Mentu Meliala serta beberapa warga masyarakat lain, lahan tersebut kemudian ditanami kelapa sawit dan sebagian tanah karet oleh pihak PTPN-II Tanjung Keliling dan dikuasainya hingga sekarang ini.

Berdasarkan konflik penguasaaan tanah dalam hal ini tanah garapan antara masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat dengan PTPN II Tanjung Keliling tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Konflik Pertanahan di Areal Tanah Garapan (Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat)”.

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat di Kabupaten Langkat?

2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?

3. Apakah hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?

C. Tujuan Penelitian


(28)

1. Untuk menjelaskan faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat di Kabupaten Langkat.

2. Untuk menjelaskan pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat.

3. Untuk menjelaskan hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum pertanahan.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan bagi aparat pemerintahan yang terkait, khususnya dalam hal konflik di areal tanah garapan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan Ilmu Magister Hukum maupun pada perpustakaan Magister Kenotariatan di lingkungan Universitas Sumetara Utara (USU) Medan sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini.

Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan masalah perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Tesis atas nama, Amran Simbolon, NIM : 067011018, dengan judul “Analisis Yuridis Mengenai Faktor Tidak Didaftarkannya Perubahan Data Fisik dan Data


(29)

Yuridis Tanah Oleh Masyarakat di Kecamatan Medan Timur Pada Kantor Pertanahan Kota Medan”.

2. Tesis atas nama, Sriyono, NIM : B4B005227/Mkn Undip, dengan judul “Peran Kantor Pertanahan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kab. Karanganyar”.

Substansi permasalahan yang dibahas didalam kedua penelitian tersebut di atas adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,19 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21

Setidaknya ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melihat fakta sosial konflik agraria dan resolusinya, diantaranya: Pertama, teori konsensus (salah satunya adalah fungsionalisme struktural) yang memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat, memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial (tertib hukum)

19

J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

20Ibid.,hal. 16.


(30)

berdasarkan kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan terjadi secara lambat dan teratur. Kedua, teori konflik memandang masyarakat berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan terus menerus antar kelompok. Teori konflik melihat tertib hukum didasarkan atas manipulasi dan kontrol dari kelompok dominan kepada kelompok dibawahnya.22

Kedua teori ini bertentangan secara diametral, karena teori yang terakhir dibangun untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Oleh karena itu, kedua teori itu dapat dipakai sekaligus untuk melihat masyarakat. Teori konsensus akan menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasaan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf, mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain.23

Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat dapat berperan dalam menjaga stabilitas. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral.24

22Goerge Rizer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, edisi VI, Kencana,

Jakarta, 2004, hal. 116.

23

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, penyunting Ali Mandan, Rajawali, Jakarta, hal. 25.


(31)

Oleh karena itu kedua teori di atas, akan digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, yang membahas tentang analisis yuridis terhadap penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan (studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat).

Menurut Parsons, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem sosial adalah internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu ‘dimasukkan’ (intenalized) dan menjadi bagian dari ‘kesadaran” aktor.25 Dengan kata lain, agar tercapai tertib hukum di masyarakat dibutuhkan internalisasi dan sosialisasi hukum, norma atau nilai secara berkesinambungan dan berkeseimbangan.

Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya) dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian tersebut. Meskipun UUPA sama sekali tidak menyebut bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah.

Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu dikedepankan:26

1. Ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan;

2. Perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih flesksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang sedang bersengketa; 3. Mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara

partisipatif; keempat, memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.

25Goerge Rizer dan Douglas J. Goodman,op. cit.,hal. 125. 26Abu Rohmad,Op. Cit.,hal. 118-119.


(32)

Oleh karena tanah merupakan persoalan yang unik dan kompleks, maka mekanisme penyelesaian sengketanya tidak hanya berdasar logika hukum semata. Logika keadilan sosial dan kemaslahatan bersama juga perlu disejajarkan bersama untuk memperoleh penyelesaian yang substantif. Menurut Satjipto Rahardjo, tidak ada standar tipe penegakan hukum yang absolut, yang ada merupakan semacam standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena itu, dimungkinkan modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut karakteristik bangsa tertentu.27 Meminjam logika penegakan hukum di atas, karakteristik penyelesaian sengketa tanah yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak anarkis dan tetap dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna, berkeadilan sosial dan bertumpu pada masyarakat yang otonom.28

Situasi konflik, menurut Paul Conn, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict). Meskipun Conn berbicara pada konteks politik, namun terdapat substansi yang dapat ditarik ke dalam skala konflik hukum juga atau konflik pada umumnya. Konflik menang-kalah adalah situasi konflik yang bersifat antagonistik, tak mungkin diadakan kerja sama, dan hasil dari konflik hanya akan dinikmati oleh pemenang saja. Penyelesaianzero-sum conflict akan diselesaikan lewat pengadilan dengan instrumen utamanya hukum dan perundang-undangan (adjudikatif). Sebagaimana ungkapan Nader, cara give a little, get a little akan digantikan dengan cara yang lebih adil

27Satjipto Rahardjo, dalamIbid.,hal. 119. 28Ibid.,hal. 119.


(33)

menurut bunyi kaidah hukum negara yang positivis, yaitu yang berhak (menurut hukum yang berlaku) akan memperoleh semua obyek tuntutannya: the winner will take all.29

Konflik yang kedua (non zero-sum conflict) adalah konflik di mana kedua belah pihak atau lebih masih mungkin bertemu, berdialog, mengadakan kompromi-kompromi dan saling kerjasama untuk berbagi hal yang sedang diperebutkan. Penyelesaian yang demikian bukan berarti bila ada pihak-pihak yang tanpa dasar jelas mengklaim hak milik orang lain, lalu sekonyong-konyong pemilik yang sah berbagi dengan mereka karena adanya tuntutan itu. Penyelesaian yang demikian tentu bersifat anarkis, bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum pada umumnya dan tentu tidak berkeadilan. Dalam penyelesain alternatif sengketa, dasar-dasar tuntutan harus tetap berdasar hukum dan tidak asal menuntut.30

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10 disebutkan, ”alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.

Ketentuan itu diperkuat dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian

29Ibid.,hal. 121-122 30Ibid.,hal. 122.


(34)

secara litigasi di Pengadilan Negeri.” Namun, tidak ditemukan penjelasan rinci apa yang dimaksud dengan konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, kecuali penjelasan mengenai arbitrase.

Tidak ada bentuk yang seragam bagaimana konflik harus diselesaikan. Pada setiap budaya masyarakat memiliki metode, cara-cara dan mekanisme tersendiri dalam memecahkan konflik yang mereka hadapi.

Meski tidak semua konflik dapat diselesaikan secara non-litigasi, namun pendekatan ini merupakan cara lain yang dapat dipilih oleh masyarakat yang sedang bersengketa. Landasan berpikirnya terletak pada asumsi bahwa masyarakat lebih suka hidup damai daripada bersengketa. Jika terpaksa bersengketa, cara-cara musyawarah mufakat lebih didahulukan dari pada berpekara di pengadilan. Setiap masyarakat memiliki kearifan (local wisdom) sebagai cara untuk mengatasi sengketa di antara mereka. Cara-cara penyelesaian alternatif lebih menggunakan teknik bagaimana meyakinkan, mendidik atau memberdayakan potensi yang dimiliki masyarakat. Oleh karena itu, cara non-litigasi menjanjikan win-win solution, tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Di samping itu, cara ini sangat dipengaruhi oleh kenyataan adanya kekecewaan terhadap peradilan yang tidak efisien, mahal dan terlalu lama. Banyak perkara yang menumpuk di pengadilan karena terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki.


(35)

Menurut Mas Ahmad Santoso, tipologi penanganan konflik menjadi beberapa kategori, yaitu:31

1. Penghindaran konflik (conflictavoidance) yaitu jika pihak-pihak yang berkonflik berusaha saling menghindar untuk berinteraksi dalam mencari solusi penyelesaian;

2. Pencegahan konflik (conflict prevention) yakni upaya yang dilakukan untuk mencegah konflik sebelum terjadinya kondisi yang negatif dan destruktif; 3. Pengelolaan konflik (conflict management) adalah upaya untuk menangani

konflik dengan memfokuskan pada penanggulangan dampak negatif sebagai akibat dan konflik tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan konflik memfokuskan pada causa bella (dampak yang muncul) dan bukan causa prima(penyebab terjadinya konflik);

4. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah upaya menyelesaikan konflik baik secara langsung (negosiasi) maupun melalui mediasi secara komprehensif. Dengan kata lain, kesepakatan yang dibangun bukan hanya berkaitan dengan dampak yang muncul tetapi juga berkaitan dengan sumber permasalahannya;

5. Penyelesaian konflik (conflict settlement) adalah upaya penyelesaian konflik yang memfokuskan pada hasil. Namun demikian hasil dimaksud belum tentu memenuhi kepentingan para pihak, tetapi diterima sebagai kesepakatan karena adanya tekanan dengan menggunakanpower;

6. Rekonsiliasi yakni upaya mencari solusi terhadap akar permasalahan dan berusaha memperbaiki hubungan diantara para pihak ke arah yang lebih baik.

Konflik pada dasarnya tidak mungkin dihindari dalam masyarakat yang kompleks karena masing-masing harus berjuang untuk tetap hidup (survival of the fittest). Oleh karena itu, diperlukan katub penyelamat (safety value) sebagai mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa mengancurkan seluruh struktur, atau agar tidak terjadi konflikzero sum game di mana keuntungan salah satu pihak berarti kerugian bagi pihak lain.32

31Mas Ahmad Santoso, Kumpulan Bahan tentang Arbitrase, Dispute Resolution, ICEL,

Yakarta, 2000, hal. 20.


(36)

Hukum dan peradilan dapat menjadi katub pengaman bagi pihak-pihak yang sedang berkonflik. Begitu pula dengan cara-cara alternatif penyelesaian konflik dapat memainkan peran sebagai lembaga yang otonom. Pola penyelesaian konflik melalui pengadilan masih menjadi paradigma dominan masyarakat, tetapi pola non pengadilan diharapkan semakin membesar perannya di masa datang kelak.

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seuruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan yang demikian mengandung pengertian tidak hanya berusaha mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, melainkan mengejar keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya.

Salah satu segi pembangunan nasional adalah berkaitan dengan kebijaksanaan pertanahan. Masalah pertanahan adalah masalah yang terkait langsung dengan rakyat. Sebab tanah merupakan kebutuhan dasar masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan penanganan serta pengaturan yang ekstra hati-hati dan seksama.

Untuk mengarahkan kebijaksanaan pertanahan itu, pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).33 Pelaksanaan UUPA ini mempunyai arti ideologis yang sangat penting. Sebab, undang-undang ini merupakan penjabaran langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai basis atau landasan kekuatan demokrasi ekonomi yang sedang dikembangkan dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat.


(37)

Untuk merealisasikan cita-cita sebelumnya, dapat melalui prinsip-prinsip yang menjadi keinginan politik dari UUPA ketika diundangkan pada tahun 1960. Prinsip-prinsip itu ialah kesatuan hukum agraria, penghapusan pernyataan dokumen negara, fungsi sosial hak atas tanah, pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan hak ulayat, persamaan derajat warga Indonesia, pelaksanaan performa hubungan antara manusia Indonesia di tanah atau bumi air dan ruang angkasa, rencana umum penggunaan persediaan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, prinsip rasionalitas.34

Semua itu bermuara dari demokrasi Pancasila, yang ingin mewujudkan cita-cita negara hukum yang berkesejahteraan dan berkeadilan dengan dilandasi 3 (tiga) aspek penting, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Hal ini didasari, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia merupakan insan sosial, insan ekonomi, dan insan politik dalam kaitan itu persoalan tanah juga dilihat dari tiga aspek tersebut.35

Dengan demikian, melaksanakan UUPA secara murni dan konsekuen berarti melaksanakan salah satu kebijaksanaan terpenting dalam demokrasi ekonomi. Sebab, hal tersebut merupakan aktualisasi dari salah satu segi penting dari demokrasi Pancasila.

Sudargo Gautama, mengemukakan:

34A.P. Parlindungan, Dimensi Kerakyatan dalam UUPA Peraturan Pelaksanaan dan Pelaksanaannya Persoalan dan Rekomendasi Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional dan Aspek Pertanahan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, cet. I, 1996, hal. 186-187.

35Cosmas Batubara dalam C. Djembut Blaang (penyunting), Perumahan dan Permukiman Sebagai Kebutuhan Pokok,Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta, 1986, hal. 5..


(38)

UUPA dimaksudkan oleh pembuatnya untuk membawa lebih banyak kepastian-kepastian hukum. Hal ini telah ditegaskan berulang-ulang. Antara lain dapat disaksikan pertimbangan dalam konsiderans yang mengemukakan bahwa hukum agraria penjajahan bagi rakyat asli “tidak menjamin kepastian hukum”. Kata-kata ini diulangi lagi dengan lengkap dalam Memori Penjelasan.36

Hak-hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya. Hak-hak atas tanah itu pokok-pokok ketentuannya ada dalam Pasal 4, 9, 16 dan BAB II UUPA.37

Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli, tukar menukar dan lain-lain.38

Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah, dengan kata lain yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh dan luas (semua macam hak) adalah Warga Negara Indonesia (WNI), baik laki-laki maupun perempuan, yakni

36Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung: Alumni, 1989,

hal. 13.

37

Boedi Harsono,Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,Jakarta: Universitas Trisakti, 2002, hal. 41.


(39)

untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Sedangkan yang bukan WNI atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi sekali, hanyalah hak pakai dan hak sewa saja. Mengenai badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai semua macam hak atas tanah kecuali hak milik terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundangan saja.39

Mengenai lahirnya hak atas tanah, dimulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechts gemeenschappen). Artinya, orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau menyerahkan tanah kepada orang asing. Orang asing atau mereka yang bukan anggota warga persekutuan, hanya berhak mendapatkan hak mengolah tanah dan menikmati hasil tanah persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.40

Anggota warga persekutuan hukum yang ingin memiliki tanah dengan hak milik, terlebih dahulu memilih dan menetapkan bidang tanah yang akan diduduki dan dikuasainya. Hak untuk memilih dan menetapkan pilihan bidang tanah dan pemberian tanda-tanda larangan untuk dikuasai itu disebut “hak wenang pilih”. Hak ini adalah

39Ibid,hal. 17. 40

Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan Kepastian Hukum Atas Pemilikan, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah: Rekomendasi dan Masukan untuk Penyempurnaan Naskah KKPN”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Finalisasi KKPN-BAPPENAS Tanggal 6 Nopember 2006 di Jakarta, hal. 17.


(40)

bukti awal pendudukan yang sama dengan occupare pada sistem hukum Romawi atau bezit pada hukum civil Belanda. Dari hak wenang pilih ini orang harus menunjukkan penguasaan nyata berupa pemberian tanda-tanda batas setelah tanah dibersihkan menjadi lahan siap pakai. Pemberian tanda-tanda batas bidang tanah ini menyebabkan orang tersebut mendapatkan pengakuan masyarakat dengan hak yang lebih kuat lagi yaitu “hak terdahulu” (voorkeursrecht).41

Kemudian setelah tanah ditanami dan dibangun rumah tempat tinggal, maka ia memperoleh “hak menikmati” (genoorsrecht). Hak menikmati ini sama dengan “jus ad rem” pada hukum Romawi yaitu merupakan “hak mempunyai” yang peralihan haknya tidak harus dilakukan dengan tata cara “mancipatie”. Setelah tanah ditanami atau didiami cukup lama maka lahir “hak pakai” (gebruiksrecht). Hak pakai inilah yang merupakan dasar bagi pertumbuhan menjadi hak milik. Maka hak pakai adat ini dapat disamakan dengan “jus in re” dengan hak mempunyai yang sudah berakibat hukum yang dalam sistem hukum Romawi disebut “jus possidendi”.42

Kemudian setelah tanah diwariskan kepada keturunannya, maka lahir hak yang terkuat dan terpenuh yang disebut “milik” atau “hak milik”. Hak milik inilah yang dapat disamakan dengan “dominium eminens”atau “domain” pada teori sistem hukum Romawi. Hak milik ini disebut juga “hak milik adat”, yang dalam kepustakaan hukum Adat disebut individuelle bezitsrecht. Disebut demikian karena sistem hukum Hindia Belanda tidak mengakui keberadaan “hak milik adat”, sehingga

41Ibid.,hal. 17.

42Sopomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Jambatan, Jakarta,1982, dalam Herman


(41)

pemerintah Hindia Belanda pun tidak mengakuinya sebagai hak yang sama kedudukan hukumnya denganeigendom.43

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikings recht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik secara individual.44

Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau mengubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.45 Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dan tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi menggarapnya. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah hak ulayat.46

Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau

43Ibid.,hal. 18.

44Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 4

45

Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Prajnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 91.


(42)

pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.47

Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi bahagian penting dari padanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi. Tetapi dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual. Maka untuk menjaga keharmonisan atas kepemilikan yang makin lama menjadi kecil luas dan penguasaannya ini.

Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah-tanah di tengah masyarakat maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntutan demi menjaga kepemilikan rakyat tadi. Sekalipun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntutan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang sifatnya keperdataan diakui sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.48

47Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Ada, Gunung Agung,

Jakarta, 1984, hal. 201-202.

48Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas

Tanah Dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, 2 September 2006, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 3


(43)

Dari teori lahirnya hak kepemilikan tanah seperti diuraikan di atas, terbukti bahwa semua sistem hukum menjadi kedudukan hukum para warganya sebagai pemilik tanah. Hukum pertanahan Adat Indonesia pun menjamin kedudukan warganya sebagai pemilik tanah. Kedudukan sebagai pemilik tanah itu, oleh warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum adat, adalah pertama-tama merupakan hak kepemilikan de facto yaitu hak milik yang diperoleh karena kedudukan sebagai warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum. Hakde facto itu, setelah diputuskan pengakuannya oleh negara/pemerintah, maka lahirlah hak kepemilikan de jure. Artinya hak kepemilikan de jure adalah hak yang sudah dilindungi negara dan diatur oleh hukum harta kekayaan, sehingga penyerahan tanah atau peralihan haknya harus memenuhi tata cara khusus menurut ajaran hukum dan sesuai ketetapan undang-undang. Ajaran hukum itulah yang disebut ajaran lamanya waktu atau verjaring dengan ajaran penyerahan benda tetap yang disebut levering.49

Kemudian berdasarkan UUD 1945 karena kedudukan hukumnya sebagai warga negara Indonesia (WNI) secara otomatis menjadi pemilik tanah de facto. Ketentuan umum kewarganegaraan yang diatur UUD 1945 itu kemudian dipertegas tujuan penggunaan tanahnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa tanah harus ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan:


(44)

(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.

(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Pasal 9 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa WNI adalah pemilik tanah, karena hanya WNI-lah yang berhak mempunyai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Jadi baik UUD 1945 maupun UUPA, menetapkan bahwa WNI adalah pemilik tanah de facto atas tanah dalam wilayah negara RI. Hak milik de facto itu baru berubah menjadi hak milikde jure, setelah orang (WNI) tertentu menguasai dan mempunyai tanah dan haknya didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka WNI yang semula merupakan pemilik tanahde facto, berubah menjadi pemilik tanahde jureyang dilindungi hukum Negara.50

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut denganoperational definition.51Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.52 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa

50Ibid.,hal. 19-20.

51Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

52Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara,Disertasi, Medan: PPs-USU, 2002, hal 35


(45)

konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas.53

b. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atas bagian bangunan di atasnya.54

c. Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.55

d. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.56

e. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.57

53

Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 54

Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

55

Pasal 1 angka 7 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

56Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 57Pasal 1 angka 23 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


(46)

f. Konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.58

g. Penggarap adalah orang yang bekerja pada sebuah lahan kebun atau sawah secara terus menerus dan turun temurun.59

h. Ganti Kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.60

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,61 dalam hal ini penyelesaian konflik di areal tanah garapan. Sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.62

58Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, Majalah Masalah Hukum,Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 22.

59Dayat Limbong,Op. Cit.,hal. 23. 60

Pasal 1 angka 7 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

61Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 62Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13


(47)

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan penelitian dengan menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada dibantu dengan data yang diperoleh di lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini

Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yaitu Pejabat

Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat, b. Data Sekunder, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah d) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

e) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

f) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.


(48)

g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

h) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

i) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Uraian Tugas Sub Bagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional di Propinsi Dan Uraian Tugas Sub Bagian, Seksi Dan Urusan Serta Sub Seksi Pada Kantor Pertanahan.

j) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini.

3) Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus Indonesia dan artikel-artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. 3. Alat Pengumpulan Data

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran hasilnya, maka dalam hal ini digunakan alat penggumpulan data, yaitu:


(49)

1. Studi Dokumentasi, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di areal tanah garapan. 2. Studi Lapangan, yang dilakukan dengan pedoman wawancara terhadap informan,

yaitu : Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat. 4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penulisan tesis ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(50)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA KONFLIK PERTANAHAN PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN LANGKAT

A. Konflik Pertanahan Sebagai Gejala Sosial

Penyebab utama dari adanya konflik dapat ditelusuri dari akar-akar ekonomi, politik konflik di bidang pertanahan dilihat sebagai suatu masalah ekonomi politik dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaiannya haruslah mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik63. Konflik hak atas tanah timbul karena adanya pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi keberatan dan tuntutan terhadap suatu keputusan tata usaha negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dimana keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.64

Meningkatnya berbagai masalah pertanahan di berbagai daerah saat ini, dapat diamati dari berbagai isi pemberitaan media massa baik surat kabar maupun elektronik yang hampir setiap hari memuat berita tentang konflik di bidang pertanahan.

Dari berbagai permasalahan yang terjadi seputar masalah konflik pertanahan di masyarakat tersebut, hanya sebahagian kecil saja yang memperoleh penyelesaian secara tuntas selebihnya penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat politis bahkan

63

Hadi Mulyo, Mempertimbangkan ADR,Kajian Alternatif Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan,Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1997.

64Ali Achmad Chomzah, Penyelesaian Konflik Hak Atas Tanah,Prestasi Pustaka Publisher,


(51)

dengan penyelesaian sifatnya sementara saja, sehingga tetap menjadi atau menyimpan masalah65. Pada saat masalah konflik pertanahan muncul ke permukaan, hukum dituding tidak dapat melindungi hak-hak atas tanah rakyat, dimana seharusnya hukum berpihak kepada golongan ekonomi lemah, sebagaimana dijanjikan dalam Pasal 11 UUPA. Oleh karena itu janji hukum agraria untuk melindungi hak atas tanah rakyat dirasakan jauh dari kenyataan, hanya dapat terwujud dalam impian sebagai penyelesaian masalah konflik pertanahan di masyarakat yang hanya dalam cita-cita semata. Akhirnya rakyat yang terus mengharapkan penyelesaian yang adil dalam kenyataan yang didambakannya menjadi putus asa untuk memperoleh penyelesaian hukum.

Masyarakat menilai penyelesaian konflik pertanahan selalu berpihak kepada kelompok tertentu yang tidak pantas untuk dilindungi. Sedangkan pihak yang tidak pantas memperoleh perlindungan hukum tersebut tidak pernah iba melihat nasib rakyat yang tertindas hak atas tanahnya dan pada akhirnya rakyat kehilangan kesabaran, dan melakukan tindakan yang berada di luar jalur hukum. Kenyataan ini membuat masyarakat pesimis terhadap penyelesaian konflik pertanahan yang mereka hadapi secara hukum sehingga akhirnya melahirkan tindakan yang berada di luar jalur hukum yang menimbulkan konflik berkepanjangan di masyarakat. Dampak sosial konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial diantara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerjasama diantara warga masyarakat.

65Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria,


(52)

B. Jenis-jenis Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat

Jenis-jenis konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Langkat dapat dikelompokkan menjadi tujuh bagian besar yaitu.66

1. Tanah warisan

2. Pelepasan hak dan ganti rugi 3. Jual beli

4. Penguasaan (penyerobotan) tanah 5. Batas-batas tanah

6. Ganti kerugian 7. Pengosongan tanah 1. Tanah warisan

Konflik tanah warisan yang terjadi di Kabupaten Langkat pokok permasalahan yang dikonflikkan adalah tentang pemegang hak, tentang pemindahan hak yang dikuasai oleh pihak ketiga, terhadap jual beli tanah warisan yang belum dibagi kepada ahli waris. Pada konflik ini yang dipersoalkan adalah tentang Penerbitan sertifikat ke atas nama seluruh ahli waris dimana tanah tersebut belum dibagi kepada masing-masing ahli waris (masih dalam boedel waris) namun telah diterbitkan sertifikat hak milik atas nama salah seorang ahli waris. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku karena harus diterbitkan juga ke atas nama ahli waris yang lain, terkecuali ahli waris tersebut telah melepaskan hak

66 Wawancara dengan Muhammad Irsan, Staff Bidang Konflik Perkara, Kantor Pertanahan


(53)

kewarisannya atau menyetujui tanah tersebut diatas namakan kepada salah satu ahli waris saja. Pada konflik ini, ahli waris berkonflik dengan pihak ketiga mengenai hak kepemilikan atas tanah warisan tersebut.

2. Pelepasan hak dan ganti rugi

Pada konflik tanah dengan jenis pelepasan hak dengan ganti rugi dan konflik jual beli, jenis konflik yang dipermasalahkan adalah tentang pengalihan haknya yang dialihkan kepada pihak pembeli sebelum dilakukan pembagian kepada ahli waris. Pelepasan hak dan ganti rugi lainnya mempersoalkan terhindarnya surat pelepasan hak dan ganti rugi tersebut cacat hukum dan tidak terpenuhinya uang pembayaran ganti rugi pada peralihan hak tersebut atau harga pelepasan hak dan ganti rugi tidak sesuai dengan harga pasaran tanah di daerah tersebut. Pada konflik mengenai tidak adanya kesesuaian atas harga ganti rugi atas tanah tersebut, biasanya melibatkan kelompok masyarakat dengan badan hukum baik swasta maupun pemerintah. Pada konflik pelepasan hak dan ganti rugi dengan pokok permasalahan kesesuaian harga ganti rugi para pihak tidak mengindahkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 mengenai pelepasan hak dan ganti rugi atas tanah untuk kepentingan umum. Pada konflik jenis pelepasan hak dan ganti rugi ini, masyarakat pemilik tanah sering dirugikan dalam hal harga ganti rugi sehingga terjadi perlawanan oleh masyarakat tersebut terhadap badan hukum baik swasta maupun pemerintah.

3. Jual beli

Untuk jenis konflik jual beli yang dipermasalahkan adalah tentang pengalihan haknya kepada pihak ketiga, kemudian mempersoalkan tentang ganti rugi tentang


(54)

batas-batas tanah yang diperjualbelikan. Pengertian batas-batas tanah yang diperjual belikan disini adalah bahwa pada saat terjadinya jual beli, batas-batas tanah yang diperjualbelikan tersebut kurang jelas, sehingga pada saat telah terjadi jual beli pihak ketiga merasa keberatan karena menganggap tanah yang telah diperjual belikan tersebut melampaui batas-batas hak kepemilikannya. Konflik jual beli ini juga ada yang mempermasalahkan tentang penguasaan (penyerobotan) hak dengan cara mendirikan tonggak-tonggak di atas tanah yang telah dijual kepada pembeli. Jenis konflik jual beli yang paling unik adalah mempersoalkan tentang penerbitan sertifikat mempermasalahkan tentang tumpang tindih hak dan mempersoalkan tentang perjanjian dalam pengikatan jual beli.

4. Penguasaan (penyerobotan) tanah

Jenis konflik lainnya yang terjadi di Kabupaten Langkat adalah konflik penyerobotan tanah. Jenis konflik ini memperkirakan tentang pengalihan haknya, penyerobotan haknya dengan cara mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain. Selain itu memperkarakan tentang penerbitan sertifikat juga memperkarakan tentang perjanjiannya.

5. Batas-batas tanah

Jenis konflik tanah lainnya yang juga cukup banyak terjadi di Kabupaten Langkat yaitu konflik mengenai batas-batas tanah. Konflik jenis ini mempermasalahkan tentang penyerobotan batas-batas tanah ini ada yang mendirikan bangunan di atas batas-batas tanah yang menjadi hak milik orang lain. Konflik batas tanah juga mempersoalkan tentang penerbitan sertifikat dari batas-batas tanah. Selain


(1)

1 2 3 4 8 Tuntutan Sdr.Zainal

Tarigan dan Kawan-kawan (489 KK) atas tanah seluas ± 175 Ha terletak di Pasar 6,7 Desa kwala Mencirim Kecamatan Sei Bingai melalui Kuasa

Hukumnya LKBH Karpin Golkar Tk. I Sumut

- Lokasi tersebut juga dituntut oleh Sdr.Abd. Kadir cs, Legen Ginting dan Mulia Sembiring Dasar tuntuLan mereka adalah Surat Keputusan Gubernur K.DH Tk.I Sum.Utara Nomor 73 Tahun 1980 tanggal 18 Mei 1980 tentang pene gasan tanah seluas ± 350 Ha yang terletak di Pasar 3,4,5,6 dan 7 Kwala Mencirim Perkebunan Timbang Langkat Kec. Sei Bingai ada lah tanah yang diper1indungi Undang-undang Darurat No.X Tahun 1954 dan menyatakan bahwa seluas 175 Ha menjadi HGU Perkebunan Tim bang Langkat serta seluas 175 Ha dikeluarkan dari area.

- Perkebunan Timbang Langkat PTP-IX dengan statusnya menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara dan menjadi objek Landre form untuk diberikan kepada penggarap yang berhak, namun sampai saat ini belum teralisasi.

- Upaya-upaya juga telah dilakukan secara maksimal melalui pertemuan maupun peninjaun lapangan dan terakhir melalui Posko Kewaspada an Kodim 0203 Langkat telah meninjuan kelapangan pada tanggal 21 Juli 1998 dimana atas lahan yang dituntut secara fisik masih tetap dikelola PTPN-II Kebun Timbang Langkat (HGU dengan tanaman tebu giling.

Telah disampikan kepada pihak PTPN-II melalui Surat Bupati KDH Tk.11 Langkat No.593-4236/Ket 1997 tanggal 25 Nopember 1997 untuk proses penye lesaian lebih lanjut.

9 Permasalahan tanah seluas ± 100 Ha yang dituntut oleh

Sdr.Mahmuri dkk (180 KK) atas tanah Hak Guna Usaha PTPN-II

- Lahan tersebut menurut masyarakat (Sdr.Mah-muri) telah diusahai untuk lahan pertanian sejak Tahun 1975 diambil oleh PTP-IX tanpa memperoleh imbalan ganti rugi.

- Pada Tahun 1980 sesuai dengan Surat Keputu-san Gubernur KDH Tk.I Sum.Utara No.71 Tahun 1980 tanggal 13 Maret 1980 telah dinyatakan bahwa tanah tersebut sudah dikuasai

Areal tersebut adalah Hak Guna Usaha PTPN-II Kebun Kwala Madu dan pihak PTPN-II pada peninjauan tersebut menyarankan


(2)

Kebun Kwala Madu ayang terletak di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai melalui Kuasa Hukumnya LKBH Karpin Golkar Tk.I Sum. Utara.

oleh PTP-IX dan kcpada para petani penuntut telah diberi waktu yang cukup untuk membuktikan kebenaian

tuntutannya serta telah di tegaskan bahwa tanah seluas ± 100 ha yang terletak dipasar 3,4 dan 5 Perkebunan Kwala Begumit Desa Sambirejo Kec.Binjai Kabupaten Langkat ada I ah tanah garapan yang tidak di lindungi Undang-undang Darurat No.8 Tahun 1954 atau Perpeti No.2 Tahun 1960.

- Atas dasar kcputusan ini masyarakat tidak merasa puas yang menganggap keputusan itu sepihak untuk kemudian saat ini mengajukan keberatan/permasalahan melalui kuasa hukum Karpin Golkar Kepala Posko Kewaspadaan Kodim 0203 Langkat dan telah ditinjau langsung kelokasi pada tangal 15 Juli 1998 dimana secara lisik lahan tersebut dikuasai oleh PTPN II dengan tanaman tebu.

agar proses penyelesaiannya ditempuh melalui jalur Hukum yang ada

10 Permasahan tanah seluas ± 125 Ha yg dituntut oleh

Sdr.Nurdin AD PA an. (150 KK) dengan PTPN-II Kebun Padani Hrahrang.

- Upaya penyelesaian masalah ini telah dilaksanakan

pertemuan di Aula Makodin 0203 Langkat bersama Instansi terkait dengan kuasa hukumnya LKBH Karpin Golkar dan dilanjutkan dengan kegiai.m peninjauan lapangan pada tanggal 23 Juli 1998 dimana secara fisik lokasinya dikuasai oleh PTPN-II Kebun Pd. Brahrang dengan tanaman Kelapa Sawit dan termasuk didalam HGU PTPN-II.

Pihak PTPN-II menyarankan agar penyelesaiannya ditempuh melalui jalur hukum yang ada.

11 Tuntutan Sdr.Open Sitepu An.Masyarakat (500 KK) atas tanah seluas 500 Ha yang dikelola PTPN-II

- Menurut Masyarakat pada saat dilaksanakan peninjauan lapangan bersama Instansi ter-kait dan kuasa rnasayarakat (KBH) Karpin Gol kar serta Posko Kewaspadaan Kodim 0203 Langkat tanah tersebut adalah merupakan tanah garapan mereka yang pada tahun 1966 diambil secara paksa

Disarankan agar masalahnya

diselesaikan melalui jalur hukum


(3)

1 2 3 4 Kebun Pd. Brahrang oleh pihak PTP.

- Masyarakat tidak dapat membuktikan atas Hak tanah garapannya dan saat dilakukan peninjauan kelapangan secara fisik areal tersebut dikuasai/dikeloal dengan baik oleh pihak PTPN-II Kebun Pd.Brahrang dengan tana-man Kelapa Sawit yang berumur ± 5 Tahun.

- Mengingat Lilian dimaksud merupakan areal HGU PTPN-II, oleh PTPN-II disarankan agar penyelesaiannyaa

ditempuh melalui jalur hukum. 12 Permohonan tanah

seluas ± l£& Ha (63 KK) an.Sdr.Legimin,B di Dusun XII Lintasan Desa Kwala Bingai

Telah dilaksanakan peninjauan lapangan pada tanggal 14 Jul i 1998 oleh Posko Kewaspadaan Kodirn 0203 l.angkat/Instans i terkait yang terdiri dari 1 (tiga) lokasi :

a. Lokasi pertama adalah merupakan tanaman Kakao PTPN 11 Kebun Kwala Bingai.

b. Lokasi kedua dan ketiga merupakan perumahan yang dihuni oleh Pensiunan janda pensiunan Karyawan serta Kebun Sayur dan sebahagian telah ada yang keluar dari HGU Lokasi ini termasuk HGU PTPN-II Kwala Bingai

Untuk point b disaranka dapat

dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari areal HGU

13 Masalah tanah seluas ± 175 Ha yang terletak di Dusun Lau Tengas Hulu De sa Purwo Binangun Kec. Sei Bingai atas HGU PTPN-II Kebun Timbang Langkat.

Pada tanggal 21 Juli 1998 oleh Posko Kewas-padaan Kodim 0203 Langkat dan Instansi terkait telah melaksanakan

peninjauan lapangan dan secara fifik areal ini masih dikuasai oleh PTPN-II Kebun Timbang Langkat

Termasuk didalam areal HGU PTPN-II Kebun Timbang Langkat.


(4)

14 Tuntutan Sdr.Somad an (40 KK) atas tanah seluas ± 54 Ha yang terletak di Pasar 6 Ara Condong Desa Mangga Kecamatan Stabat.

Permasalahan ini telah dikuasai kepada LKBH Karpin Golkar sesuai dengan surat No.1498/ LKG.2/K/VI/I998 tanggal 31 Juli 1998 yang ditujukan kepada Pangdam I/BB selaku Ketua Bakortanasda.

Tidak pernah diadakan pertemuan untuk dibicarakan upaya penyelesaiannya

15 Masalah tanah seluas ± 32,5 Ha yang dituntut oleh Sdr.Saiman dkk (51 KK) atas

sebahagian HGU PTPN-II Kebun

Permasalahan ini telah ditinjau oleh Posko Kewaspadaan Kodim 0203 Langkat dan Instansi terkait pada tanggal 16 Juli 1998.

Lokasi tanah tersebut merupakan HGU PTPN-II Kwala Bingai

Areal HGU PTPN-II Kwala Bingai

16 Tuntutan Sdr.M.Haris Sembiring (150 KK) atas tanah seluas ± 350 Ha dgn. PTPN-II di Desa Sei Musam Kec. Pd. Tualang.

Masalah ini termasuk pada kasus yang di kuasakan melalui LKBH Karpin Golkar Namun tidak pernah dibahas maupun ditinjau kelokasi.

Permasalahan ini tidak jelas

17 Masalah tanah seluas ± 80 Ha di Dsn.

Batengger Desa Lau Mulgap Kec. Sele-sai yang dituntut oleh Sdr. Malem Karina Stp (80 KK) dengan PTPN-II.

Masalah ini termasuk pada kasus yang di kuasakan melalui LKBH Karpin Golkar naraun tidak pernah dibahas maupun ditinjau kelokasi.

Permasalahan ini tidak jelas


(5)

1 2 3 4 18 Permasalahan tanah

yang dituntut Sdr Abd.Kadir dkk (250 KK) seluas ± 350 Ha yang terletak di Pasar 3,4,5,6 & 7 Desa Kwala Mencirim Kec.Sei Bingai dengan PTPN-II.

Masalah tanah ini telah ditinjau Posko Kewaspadaan kodim 0203 Langkat dan Instansi terkait pada tanggal 21 Juli 1998. Tanah tersebut juga dituntut oleh Sdr.Zainal Tarigan, Legen Ginting dan Mulio Sembiring

HGU PTPN-II Kebun Timbang Langkat

19 Tuntutan Sdr.Chatib Ahmad, dkk (100 KK) atas tanah seluas ± 30 Ha yang terletak di Dusun Aras Tunggal Desa Pekan Selesai Kec.Selesai dengan PTPN-II.

Masalah ini Lermasuk dalam tuntutan masyarakat yang dikuasakan kepada LKBH Karpin Golkar sesuai dengan Surat No.1492/LKG-2/K/ V/1998 tgl 4 Mei 1998 namun tidak pernah di bahas maupun ditinjau lapangan.

Permasalahan ini tidak jelas

20 Tuntutan Sdr. Kepe Karo-karo (30 KK) atas tanah seluas ± 40 Ha yang terletak di Pasar 6 & 7 Desa Sidorejo Kecamatan Sei Bingai

Masalah ini termasuk dalam tuntutan masya-rakat yang dikuasakan kepada LKBH Karpin Golkar sesuai dengan Surat No.1492/LKG-2/K/ V/1998 tgl 4 Mei 1998 namun tidak pernah di bahas maupun ditinjau lapangan. .

Permasalahan ini tidak jelas


(6)

21 Tuntutan DPD Lapindo Tk.I Prop.Sum, Utara sebagai kuasa

penggarap atas atah seluas + 92 Ha yang terletak dilorong Bukit Mas Desa Perdamaian Kecamatan Stabat

Permasalahan tanah yang pertama menuntut adalah Sdi.Kahmat Rangkuti tetapi tidak ber hasil karena yang bersangkutan tidak dapat membuktikan kcbenaran tuntutannya, kemudian muncul Sdr . Fl,. Lachmuddin sebagai sponsor dan mendapal tanggapan dengan melakukan pembahasan baik ditingkat I maupun di Tk.11 di antaranya pada rapat tanggal 26 Februari 1987 telah diambi 1 kesimpulan kepada Sdr.Fl Lachmuddin diberikan kesempatan sampai 3 Maret 1987 untuk melengkapi data yang berkaitan dengan tanah yang dipermasalahkan

Disarankan agar penyelesainya

ditempuh melalui jalur hukum yang ada.