Alat Pengumpulan Data Analisis Data Pengertian Landreform

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. kamus hukum, kamus Indonesia, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, internet, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan: 1 Studi kepustakaan library research, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier; 2 Studi lapangan field research, yaitu dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada narasumber dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas dan terarah agar mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara: 1 Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian; 2 Wawancara yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, berupa wawancara terarah dan sistematis yang ditujukan kepada Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. narasumber, 52 yang terlebih dahulu dibuat daftar pertanyaan. Penelitian dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Wawancara dilakukan kepada 2 dua orang nara sumber, yaitu: a. Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; b. Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan.

5. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah dengan penggunaan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menjawab permasalahan yang ada. 52 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 21. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

BAB II LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH

SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE GUNTAI A. Landreform

1. Pengertian Landreform

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanah mempunyai arti dan kedudukan yang amat penting di mana setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Berbagai upaya telah ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan serta pengalihan hak atas tanah untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan dan memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang-undang Pokok Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 53 , maka terciptalah unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum adat dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan yang disebut landreform di Indonesia. 54 Upaya pengaturan landreform telah dimulai pada tahun 1948 yang ditandai dengan terbentuknya beberapa panitia, yaitu : 53 “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 54 Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia., Bandung,: Mandar Maju, 1990, hlm. 28. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. 1. Panitia Agraria Yogyakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Oleh panitia ini diusulkan beberapa asas yang merupakan dasar hukum agraria yang baru yaitu perlu diadakan penetapan luas minimum dan maksimum tanah diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana. Untuk itu diusulkan minimum 2 hektar dan maksimum 10 hektar untuk petani yang berada di Pulau Jawa. Buat daerah-daerah luar Jawa dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut serta perlu diadakan registrasi pendaftaran tanah. 2. Panitia Agraria Jakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Beberapa hal penting dari hasil panitia ini adalah mengadakan batas minimum dan maksimum tanah pertanian. Oleh panitia ini ditentukan minimum 2 hektar dan maksimum 25 hektar untuk setiap keluarga. 3. Panitia Soewahjo yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Adapun pokok-pokok pikiran yang penting dalam rancangan UUPA yang diusulkan antara lain adalah perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum dan tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan secara sendiri oleh pemiliknya. 4. Rancangan Soenarjo. Hasil panitia Soenarjo ini pada dasarnya tidak berbeda dengan panitia Soewahjo dan pada masa Menteri Soenarjo inilah Rancangan Undang-undang Agraria pada tanggal 1 April 1958 resmi diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. panitia ini asas-asas landreform merupakan suatu hal yang penting diatur dalam hukum agraria yang baru. 5. Rancangan Sadjarwo. Sebagaimana diketahui bahwa rancangan Sadjarwo ini kemudian disahkan sebagai UUPA yang jika dipelajari banyak memuat asas-asas landreform bahkan ada sebagian ahli hukum menyatakan sebagai Undang Undang Landreform. 55 Dari uraian di atas, jelas bahwa program landreform tersebut penting bagi bangsa yang corak perekonomiannya bersifat agraris seperti Indonesia. Oleh sebab itu jika konsisten dengan konsep landreform dan dalam hubungannya dengan UUPA maka UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan baik menyangkut penguasaan ataupun pemilikan tanah serta dalam kerangka memperbaiki hubungan hukum mengenai penguasaan tanah yang disebut landreform di Indonesia. 56 UUPA merupakan induk dari landreform Indonesia, hal mana terbukti dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konsiderans hingga Pasal 19 UUPA. 57 Hal ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan landreform tidak boleh keluar dari sitematika yang telah dikembangkan oleh UUPA. 58 55 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 125-130. 56 Hustiati, Op.Cit., hlm. 28 57 A.P Parlindungan, Op. Cit., hlm. 7. 58 Hustiati, Op.Cit., hlm. 28. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. Dalam kepustakaan agraria sering dijumpai istilah agrarian reform dan landreform. Agrarian reform pembaharuan agraria atau adakalanya disebut reforma agraria istilah resmi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 2 menyebutkan bahwa: Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 2 tersebut, ada empat poin penting yang dinyatakan secara tegas yaitu penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan. “Penguasaan dan Pemilikan” adalah bagaimana hubungan hukum antara seseorang badan dengan sebidang tanah. Sedangkan “penggunaan dan pemanfaatan” berkenaan dengan bagaimana sebidang tanah dimanfaatkan, apakah akan ditanami padi, singkong, karet ataukah dibangun rumah atau mungkin dibiarkan saja menjadi hutan. Dengan demikian pembaruan agraria dapat dipilah dalam dua sisi yaitu 1 sisi penguasaan dan pemilikan yang biasa disebut dengan landreform dalam arti sempit, yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah; 2 sisi penggunaan dan pemanfaatan, yang biasa disebut dengan non-landreform, yaitu bagaimana menciptakan nilai ekonomi dari sebidang tanah yaitu dengan mengolahnya, Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. mengintroduksikan teknologi baru, menyediakan infra struktur, memberi bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian dan lain-lain. 59 Yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan agrarian reform dan landreform adalah tentang batasan “agraria”. Dalam Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA, yang dimaksud dengan agraria adalah “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya....” Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 pada bagian “Menimbang” butir a yaitu: “Bahwa sumber daya agrariasumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria namun tanah merupakan objek pokok yang dicakup dalam pengertian agraria. Selanjutnya dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 pada bagian “Berpendapat” butir d disebutkan: “ ... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.......”. Begitu besarnya esensi permasalahan “tanah” juga ditemui dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 Pasal 6 butir b yaitu “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan 59 Makalah “Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di Indonesia” oleh Sahyuti, Peneliti pada Pusat Penelitian Pengembangan Sosek Pertanian, Bogor. Di akses terakhir tanggal 13 April 2009. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. dan pemanfaatan tanah landreform yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat...”. 60 A.P Parlindungan menyatakan, “kalaulah mau konsekuen dengan bunyi ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA seharusnya digunakan istilah agrarian reform, dimana di dalamnya terdapat landreform, water reform, dan air reform.” Pentingnya posisi “tanah” dalam pengertian agraria tersebut secara tidak langsung memberi makna bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini karena pertanian merupakan sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah. Secara faktual terlihat bahwa landreform merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian. 61 Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia dengan tanah saja tetapi juga penataan dengan air dan ruang angkasa. Karena itu jika melihat ruang lingkup Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA lebih tepat digunakan istilah agrarian reform. 62 1. Perombakan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum; Agrarian Reform meliputi 5 program Panca Program yaitu : 2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; 60 Makalah ”Land Reform di Indonesia” oleh ALSA KLI UGM, Di akses terakhir tanggal 13 April 2009. 61 A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Mandar Maju, 1998, hlm. 79. 62 Boedy Harsono, Op.Cit., hlm 3-4. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; 4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan- hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan. 5. Perencanaan, persediaan, dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya dan kesanggupan serta kemampuannya. 63 Program yang keempat lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program agrarian reform tersebut seringkali disebut program landreform. Maka dikenal sebutan “landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit”. 64 Berkaitan dengan hal tersebut, Boedy Harsono secara tegas membedakan antara landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka agrarian reform Indonesia yang meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sedangkan landreform dalam arti luas disebut sebagai agrarian reform” 65 Secara harafiah perkataan landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata “land” dan “reform”. Land artinya tanah dan reform artinya perubahan atau perombakan. Jadi landreform berarti perombakan terhadap struktur pertanahan akan tetapi yang dimaksud bukan hanya perombakan terhadap struktur penguasaan pertanahan saja melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia berkenaan dengan tanah 63 Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria , Jogjakarta: Liberty, 1997, hlm. 66. 64 Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 3-4. 65 Boedi Harsono, Ibid Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. guna meningkatkan penghasilan petani. 66 Pengambilalihan luas tanah secara paksa yang biasanya dilakukan oleh negara dari pemilik-pemilik tanah yang dengan ganti rugi sebagian. Dan penguasaan tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia dengan tanah dapat tersebar lebih merata daripada sebelum pengambilalihan. Para ahli pun memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai konsep landreform. Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisikan konsep landreform sebagai berikut: 67 Dari segi lain, pengertian landreform adalah mengubah dan menyusun kembali tatanan dan prosedur-prosedur yang berlaku sebagai usaha untuk membuat sistem penguasaan tanah itu lebih konsisten dengan persyaratan-persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi. Dalam definisi tersebut landreform mengandung dua makna yaitu pada satu sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan kemudian membagi-bagikan tanah tersebut kepada perorangan dan keluarga dalam unit yang kecil dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Pada sisi yang lain tanah- tanah yang telah diambil alih tersebut diusahakan bersama secara kolektif dalam bentuk usaha bersama seperti koperasi atau usaha tani lainnya. 68 66 Hustiati, Op.Cit., hlm. 32. 67 Michael Lipton, Towards A Theory Of Landreform, dalam David Lehmann,ed, Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London, Feber and Faber, 1974, P. 269-281, sebagaimana dikutip oleh Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm. 314-315. 68 Peter Doner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books Australia, Ltd. 1972, hlm. 17-17, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi dalam Soediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Ibid Pandangan seperti ini bertitik tolak dari suatu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku dalam sistem penguasaan tanah pada Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan reformasi. Pandangan ini melihat landreform berorientasi pada aspek ekonomi. 69 Landreform refers to integral reform of the tenure, production and supporting services structure to eliminate obstacles to economic and social development a rising out defects in the agrarian structure by redistribution of wealth, opportunity and power, as menifest in the ownership and control of land, water and other resources. Perserikatan Bangsa Bangsa PBB mengartikan landreform dan agrarian reform sebagai berikut: 70 Agrarian reform is mean to cover all aspects institutional development including land reform. Tenure production and supporting services structure and relate institutions, such as local government, public administration in rural areas, rural education and rural social welfare intitution and so forth. Sedangkan agrarian reform diartikan sebagai berikut: 71 Dari uraian tersebut di atas, PBB membedakan pengertian antara landreform dan agrarian reform. Landreform dimaksudkan untuk menghilangkan penghalang- penghalang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi sosial dengan jalan redistribusi di bidang kekayaan kesempatan dan kekuasaan sebagai manifestasi dari pemilikan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya. Sedangkan agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek yang berkaitan dengan pembangunan termasuk landreform. Penghasilan produksi dan pelayanan termasuk 69 Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 287. 70 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Land Reform Di Indonesia Dan Permasalahannya, Medan: USU, 2005, hlm. 40. 71 Ibid Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. hubungan lembaganya. 72 Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Gunawan Wiradi yang menyatakan bahwa landreform mengacu kepada “penataan kembali susunan penguasaan tanah demi kepentingan petani kecil, penyakap tenants, buruh tani tak bertanah”. 73 Istilah landreform dan agraria reform selalu dipergunakan secara bergantian dalam diskusi-diskusi yang menyangkut perbaikan-perbaikan dan perubahan- perubahan dalam kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian. Sehubungan dengan hal tersebut Gunawan Wiradi menyatakan bahwa, “Di dalam suatu masyarakat non-industri, tanah mencerminkan bentuk dasar dari kemakmuran dan sumber dasar dari perekonomian dan politik.” Disisi lain sistem penguasaan tanah mencerminkan pula hubungan-hubungan dan susunan-susunan pengelompokan sosial. Kenyataan ini dan keadaan politik ekonomi dan sosial budaya pada umumnya dari suatu negara serta kemauan politik pemerintahnya menentukan pula corak reform yang dilakukan. Artinya program agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi dalam hal ini soal redistribusi tanah tidak begitu difokuskan dan ada yang menitik beratkan pada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, maka soal redistribusi tanah merupakan sasaran utama. 74 72 Ibid 73 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris, “Makalah”, Bandung, 1998, hlm. 14-15. 74 Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria, Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa Dan Madura Dari Masa Ke Masa, Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Jakarta: PT. Gramedia, 1984, hlm. 314. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. Selain itu landreform juga diartikan sebagai perubahan dasar perombakan struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam, landreform meliput i program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang sosial ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan. 75 Pandangan yang berbeda itulah yang membedakan kedua istilah tersebut di atas dipakai secara terpisah. Istilah landreform dipakai dalam rangka redistribusi tanah sedangkan agraria reform digunakan untuk tujuan yang lebih komprehensif sebab tidak hanya menyangkut masalah redistribusi saja tetapi juga menyangkut tindak lanjut dari redistribusi tersebut. 76 Kegiatan redistribusi tidak terhenti hanya sampai tanah dibagikan. Jika hanya sampai di tanah dibagikan para petani penerima tanah cenderung menjual tanah yang telah diterima masing-masing. Oleh karena itu dibutuhkan tindak lanjut berupa landreform by leverage yang menyempatkan petani memperoleh bantuan seperti kredit bersyarat ringan, pemasaran, pelatihan, pembibitan, manajemen, dan teknologi. 77 75 Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm, 39 76 Pendastaren, Op.Cit., hlm. 288-289. 77 Disampaikan oleh Kepala BPN, Luthfi I Nasoetion pada acara penyerahan 500 sertifikat tanah pola ajudikasi secara swadaya untuk petani di Kota Gajah, Lampung Tengah, tanggal 27 Juni 2003, diakses dari http:www.mediaindo.co.id tanggal 6 Agustus 2009. Para petani kecil harus mempunyai akses terhadap kredit dengan bunga rendah dan mudah dijangkau, penyediaan infrastruktur pendukung, memiliki akses pasar dan memperoleh harga yang adil, serta mendapat Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. dukungan teknis untuk mengembangkan sistem produksi pertanian-pangan yang berkelanjutan. Landreform by leverage atau pembaharuan agraria yang didasarkan pada kekuataan rakyat merupakan jawaban terhadap ketidakadilan agraria yang dibangun dalam kerangka pembangunan nasional yang selama ini memarjinalkan dan mencerabut hak-hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Penguatan organisasi rakyat merupakan prioritas utama dalam perjuangan pembaharuan agraria di Indonesia. Agar Pembaharuan Agraria dapat berjalan dengan baik maka harus ada inisistif bersama antara masyarakat dengan pemerintah. Program landreform atau lebih populer dengan redistribusi tanah pertanian negara secara singkat dapat didefinisikan 78 sebagai kebijakan dan kegiatan pemerintah meredistribusikan tanah-tanah pertanian negara kepada para petani berlahan sempit petani gurem dan terutama petani penggarap yang tidak memiliki tanah. 79 Selanjutnya A.P Parlindungan berpendapat bahwa landreform di Indonesia bukan sekedar membagi-bagikan ataupun bersifat politis akan tetapi adalah suatu 78 Landreform secara universalinternasional dipahami sebagai bagian dari agrarian reform dan bukan kegiatan parsial apalagi bersifat proyek “bagi-bagi tanah”, melainkan menuju ke arah perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menghilangkan hambatan- hambatan yang mengganjal para petani menuju kesejahteraan sosial dan ekonominya. Herman Hermit, Program Landreform dan Relevansinya dalam Pembangunan di Indonesia”, Jatinangor: Fakultas Teknik UNWIM, 2001, hlm. 13. 79 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Bandung: Mandar Maju, 2004, hlm. 183. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi. Di dunia internasional landreform itu mempunyai makna sebagai : 80 Pengertian lain landreform adalah menata kembali sistem pertanahan baik peruntukkan, persediaan, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah serta peralihan haknya. a. Perubahan hubungan antara manusia dengan tanah; b. Perubahan dan perlindungan petani penggarap dari tuan-tuan tanah atau penghapusan pertuanan tanah; c. Larangan pemilikan tanah yang luas disebut juga dengan larangan latifundia; d. Larangan absentee atau guntai; e. Penerapan suatu ceiling bagi pemilikan tanah. 81 80 A.P Parlindungan , Aneka Hukum Agraria, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 8. 81 Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, Medan, USU Press, 2006, hlm. 25. Dalam pengertian tersebut penataan mengenai peruntukkan adalah apakah telah sesuai dengan peruntukkannya, misalnya tanah tersebut digunakan untuk pertanian. Mengenai persediaan yaitu apakah juga dibenarkan tanah-tanah tersebut disediakan terlebih dahulu sebelum adanya pembangunan. Hal ini jika mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1998 tentang Tanah Terlantar tentu bertentangan. Demikian juga tentang penggunaan tanah banyak tanah yang dipergunakan tidak sesuai lagi dengan pengunaan tanah tersebut seperti tanah pertanian dipergunakan untuk pemukiman. Penataan tentang kepemilikan juga apakah hanya warga negara Indonesia saja yang boleh memiliki hak milik atas tanah, bagaimana ketentuan badan hukum atau apakah warga negara asing boleh memiliki hak milik atas tanah. Demikian juga halnya dengan masalah peralihan hak atas tanah yang memerlukan alat yang mutakhir dari sistem pendaftaran tanah yang baik sehingga tidak mungkin terjadi adanya peralihan hak atas tanah yang berdampak Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. kepada sistem pendaftaran yang dapat menimbulkan atau adanya sertipikat asli tapi palsu dan juga ada sertipikat tetapi tidak ada tanahlahan. Hal-hal inilah yang perlu ditata sehingga masyarakat yang akan berhubungan dengan kantor pertanahan dalam hal ini seksi pendaftaranpengukuran tanah dapat lebih cepat untuk mengetahui perkembangan sistem pertanahan di Indonesia. Inti dari agrarian reform adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya. 82 Seperti yang diungkapkan oleh Cohen, agrarian reform adalah sebagai upaya yang luas dari pemerintah yang mencakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi tanah berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru. 83 Jadi reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan ekonomi juga bermakna sebagai suatu program politik untuk merubah struktur kekuasaan dalam lapangan agraria. Dimana redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang ditentukan dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainya 82 Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, “Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih Baik” disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001. 83 Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005, hlm. 105. Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya menjadi suatu program penting dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah. Mengenai istilah landreform secara tegas tidak terdapat di dalam UUPA. Akan tetapi bila UUPA dipelajari secara mendalam maka dijumpai asas-asas atau prinsip-prinsip tentang landreform, hal ini dapat dipelajari baik dari pasal-pasalnya maupun penjelasan dari UUPA itu sendiri. Gouw Giok Siong 84 menyatakan bahwa di dalam UUPA terdapat prinsip- prinsip landreform. Boedi Harsono menyatakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok landreform itu dijumpai dalam UUPA 85 . Sedangkan A.P Parlindungan menyatakan bahwa UUPA tersebut sebagai induk landreform Indonesia. 86 Pandangan yang demikian didasarkan pada kenyataan bahwa UUPA mengandung ketentuan pokok mengenai landreform. Yang lebih tegas lagi Abdurrahman menyatakan bahwa UUPA sebagai Undang Undang Landreform Indonesia. 87 Dari uraian di atas, meskipun dirumuskan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi dapat disepakati bahwa pada dasarnya landreform danatau agrarian reform adalah suatu penataan proses perubahan alokasi dan realokasi, distribusi dan redistribusi pemilikan atau penguasaan sumber daya pertanahan terutama bagi petani “gurem” atau petani kecil yang kurang memiliki lahan pertanian. 88 84 Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria Jakarta: 1960, hlm. 22. 85 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 350 86 A.P Parlindungan, Landreform Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 10. 87 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 47. 88 Pendastaren Tarigan, Op. Cit. , hlm. 291 Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee Guntai: Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010. Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang pertanahan yang bersifat menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan di dalam penataan, pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan peralihannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat secara adil dan merata.

2. Tujuan Landreform