Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

(1)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA

LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR

PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Oleh

ARTHA RUMONDANG SIBURIAN

077011006/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA

LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR

PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARTHA RUMONDANG SIBURIAN

077011006/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Judul Tesis : EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI); STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG

Nama Mahasiswa : Artha Rumondang Siburian Nomor Pokok : 077011006

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN)

(Notaris Syafnil Gani,SH.M.Hum) (

Anggota Anggota

Hj.Chadidjah Dalimunthe,SH.M.Hum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN) (Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum)


(4)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Telah diuji pada

Tanggal : 08 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH. M.Hum

2. Hj.Chadidjah Dalimunthe, SH. M.Hum 3. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH. CN. M.Hum 4. Chairani Bustami, SH. SpN. M.Kn


(5)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

ABSTRAK

Indonesia merupakan sebuah negara agraris, dimana penduduknya sebagian besar bermatapencaharian dengan pertanian. Oleh karena itu tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. UU Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA menyatakan bahwa tanah diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat/Bangsa Indonesia, oleh karena itu penguasaan tanah yang melampaui batas oleh segelintir orang tidak diperkenankan. Larangan kepemilikan tanah secara latifundia adalah larangan penguasaan tanah pertanian luas yang melampaui batas maksimum, sedangkan larangan tanah absentee (guntai) adalah larangan kepemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah. Larangan kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee (guntai) merupakan program dari landreform yang bertujuan

untuk memperbaharui struktur keagrariaan terutama terhadap tanah pertanian yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dan memperkuat serta memperluas pemilikan tanah, terutama kaum petani. Peraturan pelaksanaannya adalah pasal 7, 10, 17 UUPA dan selain itu Pemerintah menerbitkan UU No. 56 Prp Tahun 1960, PP No. 224 Tahun 1961, PP No. 41 Tahun 1964 dan PP No. 4 Tahun 1977. Seiring dengan berjalannya waktu program landreform sejak diterbitkannya UU No 56 Tahun 1960 dan berbagai peraturan pelaksanaannya hingga saat ini tidak berjalan lancar, hal tersebut dikarenakan adanya indikasi ketimpangan penguasaan tanah akibatnya banyak petani miskin yang tidak memiliki tanah pertanian ditambah lagi dengan pertambahan penduduk berakibat menurunnya kesejahteraan petani dan bertambahnya tuna kisma. Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang landreform yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang.

Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan tanah tersebut dan apakah peraturan-peraturan tersebut masih efektif dioperasionalkan serta bagaimana peran dari Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap pelaksanaan larangan kepemilikan tanah tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat sehingga ditemukan gambaran yang jelas mengenai eksistensi larangan kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Metode

pendekatannya yaitu yuridis normatif dan empiris. Sumber data berasal dari data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yaitu Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang serta data sekunder yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder dan dengan studi lapangan yang dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.


(6)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa yang menjadi latar belakang timbulnya pemilikan tanah secara latifundia dan absentee yaitu adanya kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), adanya penggunaan kuasa mutlak sehingga terjadi penyelundupan hukum, serta banyaknya tanah-tanah yang tidak terdaftar membuat jangkauan pelaksanaan landreform tidak sampai kepada sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi dari peraturan tersebut sudah tidak efektif lagi. Sehingga perlu pengawasan yang ketat dari aparat Kantor Pertanahan terhadap tanah-tanah yang sudah diredistribusikan ataupun belum dan juga sistem informasi pertanahan melalui komputerisasi kantor pertanahan segera di lakukan agar untuk pemilik tanah yang ingin mendaftarkan tanahnya dapat diproses dengan cepat dan mudah.

Kata Kunci : Eksistensi, Latifundia, Absentee (Guntai)


(7)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

ABSTRACT

Indonesia is an agrarian country, in which majority of the population live in an earning in agriculture. There fore, land is a significantly important factor for the life of Indonesian nation. The Agrarian law No. 5/1960 which is also well known as UUPA that land is used as great as possible for welfare of the people/ nation of Indonesia, therefore over possession of land by some persons is not allowed.

The prohibition to own land by latifundia is the prohibition to own an agricultural land with exceeding maximun size, while the prohibition to own absentee (guntai) land is the prohibition to own an agricultural land located outside of the sub-district where the land owner’s domicile. The prohibition to own latifundia and absentee (guntai) land is the program of the landreform intended to renew the structure of agrarian matters especially for the agriculture land to improve the welfare of the just and prosperous society and to strengthen and to expand the ownership of land especially for the farmer’s community. The regulation of implementation of this program is found in Article 7,10, 17 of Agrarian Law and Law No. 56 Prp/1960, Government Regulation No. 224/1961, Government Regulation No. 41/1964, Government Regulation No. 4/1977. From the issuance of law No. 56/1960 and its various regulations of implementation to present, the landreform program has not yet gone smoothly because of the indication of the imbalance of land ownership resulted consequently a great number of the farmers became poorer and even they failed to own their agriculture land, in addition the increased population resulted in their welfare decreased and the number of farmers increased. The regulations of legislation on land reform does not go any more with the current condition.

Therefore, it needs to study the background of the incident of the land ownership and whether or not the regulations are still effective to be operated and how the Land Office plays its role in implementing the prohibition of land ownership. The purpose of this analytical descriptive study with normative and empirical juridical approach is to collect and analyze the factual and accurate data systematically obtained to find out a clear description of the existence of the prohibition to own latifunfia and absentee (guntai) lands in the Land Office, Deli Serdang District. The primary data the for this study were obtained through directly interviewing the officers of the Land Office, Deli Serdang District and the secondary data for this study were collected through library research by studying the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The result of this study shows that the incident of owning latifundia and absentee (guntai) lands was caused by the simplicity of making the identification card for the residents, the use of absolute power that resulted in law infiltration, and the great number of unregistered lands that the implementation of landreform could reach the person targeted. This condition shows that the existence of the regulation is not effective any more that a strict control from the apparatuses of Land Office on


(8)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

the lands which have been or have not been redistributed and computers should be installed in the Land Office for the land information system that the land owner who wants to register his land can be easily and quickly processed.


(9)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih, karena berkat dan kasihNya Penulis diberi kesehatan, kekuatan, dan kesabaran serta khidmat, sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis Penulis adalah “EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG.”

Dalam menyelesaikan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal Penulis menjalani perkuliahan hingga penyusunan tesis ini dan penyelesaiannya.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan;


(10)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Abdul Rahim Lubis, SH. M.Kn, selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan Bapak Drs. Aman Tarigan, selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan, yang telah bersedia penulis wawancarai dan memberikan informasi serta telah menjawab seluruh pertanyaan sehubungan dengan penulisan tesis ini;

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH. MS. CN selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing Utama, yang telah begitu terbuka dan penuh perhatian memberi bimbingan, arahan dan dorongan sehingga Penulis selalu terdorong untuk menjadi lebih baik lagi. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya;

5. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, perhatian, dorongan dan arahan kepada

Penulis;

6. Ibu Hj. Chadidjah Dalimunthe, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis Penulis;

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji dalam penulisan ini yang telah memberi masukan kepada Penulis;


(11)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

8. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis;

9. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara atas jasa mereka yang telah mencurahkan ilmu pengetahuannya dan mendidik Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini;

10. Seluruh Staf Administrasi Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang senantiasa memberikan bantuannya kepada Penulis selama masa perkuliahan;

11. Kepada yang terhormat dan terkasih (Alm) Papa R.J.S Siburian, SH dan Mama R Aritonang sebagai orang tua terbaik yang selalu mendoakan, membesarkan Penulis dengan penuh pengorbanan, sabar dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya yang menjadi bagian dalam hidup Penulis serta memotivasi untuk melanjutkan pendidikan S2;

12. Kepada kakakku Ir.Roselyne Siburian dan H Sitorus SE, abang-abangku: Ir. Willfried Siburian dan Dr. Imelda Simbolon serta Andreas Siburian, SH dan Lina Manurung, Amd.AK serta keponakan-keponakanku: Yohannes Christian, Yohana Carla, Josephine, Jeremia, dan Gabriela terimakasih yang tulus buat doa, semangat serta motivasi yang tiada hentinya kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan. I love u All ...

13. Kepada Bang Sopar Siburian, SH. SpN. M.H, yang telah memberikan dukungan, nasehat yang tiada hentinya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan


(12)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Program Studi Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Serta untuk semua teman-temanku: Monalisa Simatupang, SH.M.Kn, Kak Rani, Bang Pendi, Diana, Armaini, Anna, Freddy, Juni di Kantor Notaris Sopar Siburian,SH,SpN,M.H, terimakasih atas dukungan dan motivasi yang tiada hentinya;

14. Teman-teman mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara angkatan 2007. To my best friends: Juliana, Lisbeth, Novi, Lenny, Afni, Juni Surbakti, thanks for your kindness. Juga untuk kelas B dan C, special kelas A yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, thanks atas kekompakannya selama ini dan yang selalu memotivasi serta memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini;

15. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini;

16. Special untuk Keluarga Besar Inangtua Sipahutar yang telah memberikan tempat

tinggal untuk Penulis tempati selama menyelesaikan pendidikan Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara;

17. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.


(13)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua dan penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2009 Penulis,


(14)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Artha Siburian

Tempat/Tanggal lahir : Tg. Balai Karimun, 16 Juli 1974 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Malaka II Nomor 126. Klender Jakarta Timur. (13460)

II. Orang Tua

Nama Ayah : (Alm) RJS Siburian, SH Nama Ibu : R Aritonang

III. Pendidikan

1. SDN Malaka 09 Pagi, Jakarta Timur, lulus tahun 1986 2. SMPN 165 Jakarta Timur, lulus tahun 1989

3. SMAN 59 Jakarta Timur, lulus tahun 1992

4. Sarjana Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, Irian Jaya, lulus tahun 1997.


(15)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 26

BAB II LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI) ... 30

A. Landreform ... 30

B. Kepemilikan Tanah Secara Latifundia ... 52


(16)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

BAB III LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)

DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 73

A. Pelaksanaan Peraturan Kepemilikan Tanah Latifundia dan Absentee (Guntai) ... 73

B. Efektifitas Larangan Kepemilikan Tanah Latifundia dan Absentee (Guntai) ... 83

BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB KANTOR PERTANAHAN TERHADAP TANAH LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI) DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 92

A. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 ... 92

B. Peran dan Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang Terhadap Kepemilikan Tanah Secara Latifundia dan Absentee (guntai) ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 107


(17)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat balasan riset dari Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang


(18)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian besar bermatapencaharian dibidang pertanian (agraris) baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan orang yang tidak membutuhkan tanah.1 Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. 2

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1945 Indonesia menghadapi masalah mendasar dibidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah

Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

1

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik Medan, 2005), hlm. 2.

2

G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 1


(19)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

yang tidak proporsional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus serta didorong oleh jumlah pertambahan penduduk. Dalam mengatasi masalah tersebut sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur kehidupan bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional.

Pembaharuan struktur keagrariaan terutama pada tanah pertanian dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semula tidak memiliki lahan olahan atau garapan untuk memiliki atau mempunyai lahan. Berbagai upaya telah dilakukan dan diawali pada tahun 1945 dengan penghapusan hak-hak istimewa di desa Perdikan (desa-desa bebas).3 Selanjutnya pada Tahun 1958, Pemerintah menghapuskan tanah-tanah partikulir4 yang semula dijual kepada warga negara Inggris, Arab dan Cina oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, selama masa kesulitan ekonomi pada awal abad ke 19.5

3

Desa Perdikan adalah desa yang mempunyai hak istimewa berupa pembebasan dari pembayaran pajak tanah, karena jasa-jasa tertentu pendirinya kepada Raja atau Sultan yang berkuasa. Para pendiri desa diangkat sebagai kepala desa dengan jabatan yang bersifat turun temurun. Para kepala desa menganggap bahwa diri mereka adalah pemilik tanah-tanah luas yang dikerjakan dan digarap oleh penduduk asli sebagai penyakap atau penggarap bagi hasil. (Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 1999), hlm. 90.

4

Tanah Partikulir adalah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum UU ini berlaku mempunyai hak-hak pertuanan. (Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Hak-hak pertuanan yang ada pada tanah partikulir itu adalah: (1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memberhentikan kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum; (2) Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; (3) hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk; (4) hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan; (5) Hak-hak untuk mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan. (Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Medan: USU, 2005, hlm. 32)

5

Erman Rajagukguk, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup. (Jakarta: Chandra Pratama, 1995), hlm. 2.

Dan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikulir, terhadap pemilik tanah diberikan pilihan untuk menjual tanahnya baik secara langsung kepada petani atau pemerintah untuk dibagi-bagikan. Dan pada saat yang


(20)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

bersamaan diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai dengan dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuan yang diatur dalam Agrarische Wet Tahun 1870. Dimulai dari Panitia Agraria Yogya (1948)6, Panitia Agraria Jakarta (1951)7, Panitia Soewahjo (1956)8, Rancangan Soenarjo (1958)9 dan Rancangan Sadjarwo (1960).10

Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan dibidang keagrarian pada periode tahun 1960-an sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia. Program dari landreform tersebut adalah :

11

a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; b. Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai);

6

Panitia ini bertemu di Yogyakarta, dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.

7

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia baru agrarian, yang berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo.

8

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan diganti dengan panitia baru, dan diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo.

9

Rancangan Undang-undang Agraria diselesaikan oleh Panitia Soewahjo pada tanggal 6 Pebruari 1958 namun kemudian diganti dengan rancangan yang baru. Dikenal dengan Rancangan Soenarjo yang menjabat sebagai Menteri Agraria pada waktu itu. Rancangan ini diajukan ke Parlemen pada tanggal 24 April 1958.

10

Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1959, Rancangan Undang-undang yang telah dimajukan sekali lagi diubah. Rancangan yang baru dinamakan Rancangan Sadjarwo dan dimajukan pada Parlemen tanggal 1 Agustus 1960.( Erman Rajagukguk, Ibid)

11


(21)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;

d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;

e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, dimana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui batas dan di lain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari prinsip keadilan sosial.

Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur pemilikan dan penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh M. Yamin: 12

“ Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali

12

Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 94.


(22)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah.”

Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program

landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi “Untuk tidak

merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang dinamakan dengan groot grondbezitter13 yaitu larangan pemilikan tanah yang melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus berkurang. Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi.14

13

Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 354

14

A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 23-24.

Hal ini akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.


(23)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tidak bertanah.15

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang luas dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik, padahal hal menurut PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah pertanian.

Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian lainnya adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam perjanjian bagi hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan semakin bertambah. Ini berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan akan semakin berat disebabkan bertambahnya petani yang memerlukan tanah garapan. Dan biasanya orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama tanahnya akan semakin bertambah baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil pertanian menjadi tidak merata.

16

Seperti juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria bahwa: 17

Jika ditelusuri dari berbagai kebijakan pemerintah, penguasaan lahan dalam jumlah besar agaknya bermula pada tahun 1980-an. Sebagian besar penguasaan tanah tidak hanya berada di tangan perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan),

15

Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 354

16

M. Yamin, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 10.

17

“Majalah Forum Keadilan” Nomor 27 tanggal 20 Oktober 2002, seperti yang dikutip dalam buku Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 204.


(24)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi pertambangan atau kontrak kerja pertambangan. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar yang berbisnis dibidang perkebunan atau agrobisnis juga menguasai lahan yang tidak sedikit.

Selain para perusahaan pertambangan yang mendapat konsesi dari pemerintah pusat berdasarkan kontrak kerja tersebut, banyak juga perusahaan-perusahaan lain yang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan atas tanah tersebut. Banyak diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para pengusaha papan atas. Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum oleh segelintir orang pun terjadi di kota-kota besar. Seperti adanya pembangunan perumahan mewah yang ekslusif di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi), pemberian pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan, pertambangan, lapangan golf dan lain-lain.18

Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas

Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas. Untuk itu perlu adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi penumpukan pada segelintir orang, maka akan merugikan para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sumber mata pencaharian.

18


(25)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan hak milik atau dengan hak yang lain.

Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan:

Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah menjadi pemiliknya.19

Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan undang-undang ini merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia.20

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;

Undang-undang ini mengatur 3 masalah yang pokok, yaitu mengenai:

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.21

Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan

19

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.

20

UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang disebut “Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.

21


(26)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undang-undang ini luas tanah maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur secara rinci dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian.

Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang Landreform ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.22 Setiap orang yang mempunyai tanah lebih tidak boleh mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau tidak melaporkan kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda Rp.10.000.23

22

Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, Pasal 3.

23

Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Pertanian.


(27)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah dengan menetapkan skala prioritas penerima.24

Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian yang diambil oleh Pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain mengatur tentang redistribusi tanah, dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kepemilikan tanah

absentee dimana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemilik tanah yang bertempat

tinggal di luar kecamatan tempat tanah itu terletak dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanahnya itu atau pindah ke kecamatan tempat letak tanahnya berada. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961. Penambahannya terdapat dalam Pasal 3(a) yaitu tentang kewajiban melapor bagi pemilik tanah yang meninggalkan tempat kediamannya selama 2 tahun berturut-turut, apabila pemilik

24

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 8.

Tanah kelebihan tersebut terlebih dahulu diberikan kepada: a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari derajat kedua dengan bekas pemiliknya dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang; b. Petani yang terdaftar sebagai veteran; c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur; d. Petani yang menjadi korban kekacauan.

Kemudian lagi dapat dibagikan kepada para petani menurut prioritas sebagai berikut: a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b. Buruh tani pada bekas pemilik, yang

mengerjakan tanah yang bersangkutan; c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. Penggarap yang mengerjakan tanah pemilik; f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2 ) dan (3); g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar; i. Petani atau buruh tani. (A.P.Parlindungan, Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Bandung: Alumni, 1990, hlm. 48)


(28)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tanah melaporkan kepada pejabat yang berwenang, maka pemilik tanah mendapatkan perpanjangan jangka waktu 1 (satu) tahun lagi untuk memindahkan hak milik atas tanahnya pada orang lain dimana tanah itu berada dan apabila pemilik tanah tidak melaporkannya, maka dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Dalam Pasal 3(b) tentang Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata yang telah berhenti menjalankan tugas negara dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus mengakhiri penguasaan tanahnya secara absentee.

Selanjutnya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tersebut dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan tanah pertanian secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri. Dalam Pasal 6 diatur bagi para pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, janda pegawai negeri, dan janda pensiun pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri dibenarkan mempunyai tanah absentee. Bahkan dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiunnya diperbolehkan memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) seluas 2/5 dari batas maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II di daerah yang bersangkutan.

Pemilikan tanah secara absentee adalah pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya berada di luar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah pertanian dimaksud. Pemilikan tanah seperti ini dilarang oleh undang-undang, karena dianggap


(29)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tidak efektif sebab pemilik tanah berada di luar kecamatan letak tanah tersebut sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Ketentuan tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu ketentuan tersebut dibuat, yang didasarkan pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang ini. Tetapi larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan dari Panitia Landreform Tingkat II (sekarang Kantor Pertanahan) masih memungkinkan pemilik tanah untuk mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien. Tanah-tanah pertanian tersebut letaknya di desa sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Tujuan melarang pemilikan tanah absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan di tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Dengan demikian larangan pemilikan tanah absentee merupakan jawaban agar para petani mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif dan harus bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertaniannya terletak.

Secara normatif, asas mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut diwujudkan dalam Pasal 10 UUPA yang berbunyi: “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah-tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri tanahnya secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Larangan absentee ini juga ditujukan untuk mencegah


(30)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

terjadinya tanah terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuannya atau tidak dipelihara dengan baik.25

a. Pemilikan tanah yang terlampau luas atau pemilikan tanah secara absentee yang mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk membangun dan memanfaatkan tanahnya;

Tanah terlantar disebabkan karena:

b. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran atau sebab-sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh keuntungan untuk melanjutkan usahanya dan memutuskan untuk tidak mengolah tanahnya;

c. Pemegang hak sulit untuk mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuannya, karena adanya penggarapan liar;

d. Spekulasi tanah yang mengharapkan keuntungan secara tidak wajar.26

Maka untuk mengantispasi agar tidak terjadi tanah-tanah terlantar karena kecil kemungkinan tanah tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh pemiliknya, maka UUPA mengembangkan ketentuan bagi hasil yang telah diatur dengan UU No.2/1960.

Walaupun pada asasnya tanah absentee wajib dikerjakan sendiri, ternyata inilah yang melemahkan isi pasal itu sendiri karena banyak petani zaman sekarang adalah petani berdasi atau pejabat yang berspekulasi dan manipulasi tanah sehingga terjadi petani yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan bertani dan tinggal pula di luar kecamatan tempat tanah tersebut. Dengan fakta realitas demikian sebenarnya sudah boleh disebutkan bahwa pasal-pasal yang membela rakyat ini atas penguasaan dan penggunaan tanah ini masih jauh dari harapan.27

25

Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, (Medan: USU, 2005), hlm. 121.

26

Ibid, hlm. 119

27


(31)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Pada umumnya timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu karena ketidaktahuan masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya.

Kantor pertanahan pun belum menjangkau semua desa-desa yang berada di pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang tanah biasanya hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas tanah tersebut hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-hal seperti inilah yang bisa menjadi tanah latifundia dan absentee.

Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara pertama dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan cara kedua yaitu melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak.28

28

Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.


(32)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.

Fenomena yang terjadi sekarang ini, walaupun program landreform telah dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan pemiliknya wajib mengusahakan sendiri tanah pertaniannya belum dapat di kerjakan dengan baik. Tanah pertanian masih dijadikan sebagai objek spekulasi yang mengakibatkan luas tanah pertanian semakin berkurang karena dialih fungsikan. Selain itu untuk larangan kepemilikan tanah secara absentee tidak diatur dalam peraturan tersendiri. Hanya dijadikan salah satu materi muatan dari peraturan redistribusi tanah. Dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas disebut larangan tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau kewajiban untuk pindah lokasi tanah. Untuk itu, aspirasi dalam menegakkan supremasi hukum sudah dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam hal inilah program

landreform terhadap larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee perlu


(33)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai)?

2. Apakah pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah latifundia dan

absentee (guntai) masih efektif dioperasionalkan dalam pelaksanaan

restrukturisasi pemilikan tanah pertanian di Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimana peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap pelaksanaan larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee

(guntai) tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee (guntai);

2. Untuk mengetahui pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee dalam pelaksanaan restrukturisasi pemilikan tanah

pertanian di Kabupaten Deli Serdang..

3. Untuk mengetahui peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap pelaksanaan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee


(34)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pertanahan khususnya mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai).

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para praktisi maupun bagi para pihak mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai)”: Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dapat dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang


(35)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.29 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.30 Rianto Adi menyatakan: “Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori itu masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas.31

Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan diusahakan sebesar-besarnya guna meningkatkan kemakmuran masyarakat banyak. Artinya penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi bukan oleh petani

Secara teoritis penguasaan tanah secara latifundia dan absentee akan membawa akibat negatif kepada produktivitas tanah pertanian. Karena pemilik tanah yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya. Selain itu juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya (uang dan pengetahuan) untuk menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan menjadikannya sarana eksploitasi terhadap masyarakat petani yang dianggap miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun sudah pasti yakni terhimpunnya tanah pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah

(landlord). Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial

dibidang penguasaan tanah pertanian.

29

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

30

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.122.

31


(36)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan tanah pertanian wajib diatur oleh pemerintahan negara agar tercipta keadilan sosial.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :32

Abdurahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang atau peraturan, yaitu:

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum menegakkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

33

32

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 15.

33

Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm. 3.

a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistem peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut.

b. Faktor pelaksana dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut.

c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut.

d. Faktor masyarakat dan budaya setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.


(37)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur dari efektifitas berlakunya undang-undang atau peraturan.

Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari Lawrence Meir Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai suatu proses ada 3 komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (a) Legal structure (struktur hukum); (b) Legal subtance (substansi hukum); dan (c) Legal culture (budaya hukum).34

Struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum mencakup pranata-pranata penegakan hukum, prosedur-prosedur hukum, jurisdiksi pengadilan dan orang-orang yang terlibat didalamnya (aparat hukum). Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat penegak hukum. Unsur substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem itu. Substansi ini merupakan keadaan faktual yang dihasilkan oleh sistem huku m. Dan unsur kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan dihindari atau disalahgunakan. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Friedman mengemukakan cara lain untuk

34

Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan.(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 76.


(38)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.35

Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah-masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan di dalam eksistensi larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee. Sehingga dapat diketahui bahwa timbulnya larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai) secara filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap

kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan dengan para pemilik modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata. Perlindungan ini

Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem yang saling mempengaruhi satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam masyarakat.

35

Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. (Jakarta: Republika, 2008), hlm. 80.


(39)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas dalam rangka mengadakan strukturisasi pemilikan tanah pertanian.

Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah dikeluarkan UU Landreform yang menetapkan luas maksimum tanah pertanian yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk mengendalikan restrukturisasi pemilikan tanah pertanian kepada orang yang memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang mengalihkannya secara langsung kepada pihak lain dengan ancaman pidana36

1. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;

.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai), yaitu :

2. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang juga dikenal dengan Peraturan Redistribusi (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Redistribusi);

36

Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19.


(40)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai Negeri.

Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 membahas tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian namun salah satu materi muatan yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara absentee. Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, atau pemilik tanah pindah ke tempat dimana tanah berada.”

Dalam larangan pemilikan tanah secara absentee, masih dimungkinkan adanya dua macam pengecualian, yaitu:37

1. Pemilikan tanah secara absentee masih diperbolehkan apabila tanah pertanian dan pemiliknya berada dalam kecamatan yang berbatasan karena hal itu masih memungkinkan pemiliknya mengerjakan tanahnya secara aktif;

2. Kalangan tertentu masih diperbolehkan memiliki tanah secara absentee karena mereka berada di tempat lain untuk melaksanakan kewajiban negara dan agama. Dalam peraturan pelaksanaannya, daerah yang menjadi ukuran pemilikan secara

absentee adalah wilayah kecamatan38.

37

Ibid

38

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 3.


(41)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

2. Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.39 Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.40

a. Eksistensi adalah adanya, keberadaan.

Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaan tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pengertian konsep yang dipakai tersebut sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

41

b. Efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); mulai berlaku (tentang undang-undang atau peraturan); dapat membawa hasil atau berhasil guna.42

c. Kepemilikan adalah proses, perbuatan, cara memiliki .43

d. Landreform adalah perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah

serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7.

40

Tan Kamelo, ”Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hlm. 35.

41

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.253.

42

Ibid, hlm. 250.

43


(42)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

tanah agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara khususnya taraf hidup petani.44

e. Larangan latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan tanah).45

f. Ceiling adalah batas maksimun dan minimum pemilikan tanah pertanian yang

boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tanpa tanah atau petani gurem.

g. Tanah absentee adalah tanah pertanian dimana pemiliknya berdomisili di luar kecamatan letak tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 (satu) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. 46

h. Tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah ada atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.47 i. Redistribusi adalah pembagian tanah yang melebihi batas maksimum, tanah

yang dikuasai secara absentee, tanah swapraja, atau bekas swapraja dan tanah negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah pertanian yang diambil oleh Pemerintah.

44

Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 350

45

A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria., (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 72.

46

Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003.

47

Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang PertanahanYang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.


(43)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

j. Petani adalah orang, yang mata pencaharian pokoknya adalah bertani, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai sawah/ tanah sendiri.48

k. Penggarap adalah petani yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksinya.49

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis, maksudnya penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,50

Dalam melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris,

dalam hal ini pelaksanaan larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai) di Kabupaten Deli Serdang.

51

dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee serta meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya.

48

Hermat Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 185

49

Ibid, hlm. 186.

50

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., Op. Cit., hlm. 63.

51


(44)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber, yaitu Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang;

b. Data sekunder, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria; b. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas

Maksimum Tanah Pertanian;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri. 2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, hasil-hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah. pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan;

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu


(45)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

kamus hukum, kamus Indonesia, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, internet, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:

1) Studi kepustakaan (library research), yaitu menghimpun data dengan melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;

2) Studi lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada narasumber dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas dan terarah agar mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara:

1) Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian;

2) Wawancara yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, berupa wawancara terarah dan sistematis yang ditujukan kepada


(46)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

narasumber,52 yang terlebih dahulu dibuat daftar pertanyaan. Penelitian dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Wawancara dilakukan kepada 2 (dua) orang nara sumber, yaitu:

a. Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; b. Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan. 5. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah dengan penggunaan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menjawab permasalahan yang ada.

52


(47)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

BAB II

LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI) A. Landreform

1. Pengertian Landreform

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanah mempunyai arti dan kedudukan yang amat penting di mana setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Berbagai upaya telah ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan serta pengalihan hak atas tanah untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan dan memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.

Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang-undang Pokok Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 194553, maka terciptalah unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum adat dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan yang disebut landreform di Indonesia. 54

Upaya pengaturan landreform telah dimulai pada tahun 1948 yang ditandai dengan terbentuknya beberapa panitia, yaitu :

53

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

54

Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia., (Bandung,: Mandar Maju, 1990), hlm. 28.


(48)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

1. Panitia Agraria Yogyakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.

Oleh panitia ini diusulkan beberapa asas yang merupakan dasar hukum agraria yang baru yaitu perlu diadakan penetapan luas minimum dan maksimum tanah diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana. Untuk itu diusulkan minimum 2 hektar dan maksimum 10 hektar untuk petani yang berada di Pulau Jawa. Buat daerah-daerah luar Jawa dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut serta perlu diadakan registrasi (pendaftaran) tanah.

2. Panitia Agraria Jakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.

Beberapa hal penting dari hasil panitia ini adalah mengadakan batas minimum dan maksimum tanah pertanian. Oleh panitia ini ditentukan minimum 2 hektar dan maksimum 25 hektar untuk setiap keluarga.

3. Panitia Soewahjo yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo.

Adapun pokok-pokok pikiran yang penting dalam rancangan UUPA yang diusulkan antara lain adalah perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum dan tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan secara sendiri oleh pemiliknya.

4. Rancangan Soenarjo.

Hasil panitia Soenarjo ini pada dasarnya tidak berbeda dengan panitia Soewahjo dan pada masa Menteri Soenarjo inilah Rancangan Undang-undang Agraria pada tanggal 1 April 1958 resmi diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut


(49)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

panitia ini asas-asas landreform merupakan suatu hal yang penting diatur dalam hukum agraria yang baru.

5. Rancangan Sadjarwo.

Sebagaimana diketahui bahwa rancangan Sadjarwo ini kemudian disahkan sebagai UUPA yang jika dipelajari banyak memuat asas-asas landreform bahkan ada sebagian ahli hukum menyatakan sebagai Undang Undang Landreform.55

Dari uraian di atas, jelas bahwa program landreform tersebut penting bagi bangsa yang corak perekonomiannya bersifat agraris seperti Indonesia. Oleh sebab itu jika konsisten dengan konsep landreform dan dalam hubungannya dengan UUPA maka UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan baik menyangkut penguasaan ataupun pemilikan tanah serta dalam kerangka memperbaiki hubungan hukum mengenai penguasaan tanah yang disebut landreform di Indonesia.56

UUPA merupakan induk dari landreform Indonesia, hal mana terbukti dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konsiderans hingga Pasal 19 UUPA.

57 Hal ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan landreform tidak boleh keluar dari sitematika yang telah dikembangkan oleh UUPA.58

55

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 125-130.

56

Hustiati, Op.Cit., hlm. 28

57

A.P Parlindungan, Op. Cit., hlm. 7.

58

Hustiati, Op.Cit., hlm. 28.


(50)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Dalam kepustakaan agraria sering dijumpai istilah agrarian reform dan

landreform. Agrarian reform (pembaharuan agraria) atau adakalanya disebut reforma

agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam), Pasal 2 menyebutkan bahwa:

Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam pasal 2 tersebut, ada empat poin penting yang dinyatakan secara tegas yaitu penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan. “Penguasaan dan Pemilikan” adalah bagaimana hubungan hukum antara seseorang (badan) dengan sebidang tanah. Sedangkan “penggunaan dan pemanfaatan” berkenaan dengan bagaimana sebidang tanah dimanfaatkan, apakah akan ditanami padi, singkong, karet ataukah dibangun rumah atau mungkin dibiarkan saja menjadi hutan. Dengan demikian pembaruan agraria dapat dipilah dalam dua sisi yaitu (1) sisi penguasaan dan pemilikan yang biasa disebut dengan landreform dalam arti sempit, yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah; (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan, yang biasa disebut dengan non-landreform, yaitu bagaimana menciptakan nilai ekonomi dari sebidang tanah yaitu dengan mengolahnya,


(1)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985.

, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.

Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksaaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya. Medan: USU, 2005.

, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak-hak Atas Tanah. Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008.

Ediwarman., Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.

Faryadi, Landreform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan tanah Di Jawa Barat, Jakarta: 2000.

Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1981.

Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. Jakarta: Djambatan, 1999. Hermit, Herman., Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan

Tanah Pemda, Bandung: Mandar Maju, 2004.

---, Program Landreform dan Relevansinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Jati Nangor: Fakultas Teknik UNWIM, 2001.

Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990.


(2)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Hutagalung, Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah, Jakarta: Rajawali, 1985.

, Tebaran Pemikiran Seputar masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005).

Jaya, I Nyoman Budi., Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian Dalam Rangka Pelaksanaan landreform, Yogyakarta: Liberty, 1989.

Kartasapoetra G, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Kusnadi, Ady’Cs, Penelitian Tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan Larangan Tanah Absentee. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994. Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria. Jogjakarta: Liberty, 1997.

Mukti, Affan., Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USU Press, 2006. Napiri, Yusup, Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, “Reforma Agraria,

Kepastian Yang Harus Dijaga”, Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan/KRKP, 2006.

Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju, 1998.

_______________, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan. Bandung, Alumni, 1991.

_______________, Aneka Hukum Agraria, Bandung: Alumni, 1986.

_______________, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bandung: Mandar maju, 1989.

Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1986.


(3)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Rajagukguk, Erman, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Jakarta: Chandra Pratama, 1995.

Salindeho, John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 1988. Siong, Gouw Giok, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Jakarta: 1960

Siregar, Tampil Anshari., Pendalaman Lanjutan UUPA. Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005.

____________________, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Medan: Multi Grafik, 2005.

____________________, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan: FH USU, 2006.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005.

Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Jakarta: Kompas, 2001.

Sunindia, Y.W dan Ninik Widiyanti., Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Tarigan, Pendastaren, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendali, Dengan Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.


(4)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Tjondronegoro, Soediono MP dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984.

Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, Jakarta: Republika, 2008.

Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

________________, Jawaban Singkat Pertanyaan-pertanyaan Dalam Komentar UUPA A.P Parlindungan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum

Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.


(5)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Land Reform.

Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

C. Makalah, Artikel, Majalah, Internet

Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, “Ketetapan MPR RI Tentang Pembaruan Agraria Sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia Yang Lebih Baik” disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.

Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraria”, Bandung, 1998.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs – USU, Medan, 2002.

Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan Di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000, di akses pada bulan Maret 2009.

M. Yamin, “ Revitalisasi Penggunaan Tanah”, tanggal 17 Oktober 2005. Makalah “Landreform Di Indonesia”, oleh ALSA KLI UGM.

Media Komunikasi Pertanahan, Bumi Bhakti Adiguna III, Edisi xii, Nomor 12.

Sayuti, “Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di Indonesia”, Peneliti pada Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Akses Internet tanggal 13 April 2009.


(6)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.