Dari definisi yang diberikan oleh keempat orang yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa pragmatik mencari hubungan antara bahasa dan maksud
yang terkandung didalamnya. Hubungan keduanya dimaksudkan untuk menemukan tafsiran yang sesuai dengan konteksnya.
Di samping definisi tersebut, sejumlah definisi lain juga dicatat oleh Levinson dari berbagai sumber, antara lain:
1 Pragmatics is one of thoese words that gives the impression that
something quite specific and technical is being talked about when often infact is has no clear meaning Pragmatik merupakan salah satu
istilah yang mengesankan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, padahal istilah tersebut
tidak mempunyai arti yang jelas. 2
Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning of uterances which cannot be accounted for by straightforward reference to the
truth conditions of the sentences uttered Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung
pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan. 3
Pragmatics is the study of deixis at least in part, implicature, presupposition, speech acts and aspects of discourse structure
Pragmatik adalah kajian antara lan mengenai deiksis, impikasi, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek tuturan wacana.
4 Pragmatics theories, in contrast, do nothing to explicate the stucture if
linguistic contructions or grammatical properties and relations. They explicate the reasoning of speakers and hearers in working out the
correlations in a context of a sentence token with a preposition, in this respect, a pragmatic theory is a part of performance kebalikannya,
teori-teori pragmatik tidak menjelaskan struktur kontruksi bahasa atau bentuk dan relasi gramatikal. Teori-teori tersebut mengkaji alasan
penutur dan pendengar yang membuat korelasi wujud kalimat dengan
preposisi. Dalam hal ini, teori pragmatik merupakan bagian dari tindakan.
6
Firth dalam Djajasudarma menyatakan bahwa hubungan pragmatik dengan tindak tutur speech acts, sangat erat, karena tindak tutur merupkan
pusat dari pragmatik. Firth sebagai ahli bahasa yang pertama kali menganjurkan studi wacana discourse melihat gagasannya bahwa konteks
situasi perlu diteliti para linguis, karena studi bahasa dan kerja bahasa ada pada konteks atau kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
konteks situasi.
7
Konteks adalah unsur bahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran sedangkan situasi adalah unsur nonbahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran.
8
Brown dan Yule dalam Elizabeth Black menyatakan bahwa konteks biasanya dipahami sebagai sesuatu yang sudah ada sebelum wacana dan situasi
dari para partisipan. Sedangkan Sperber dan Wilson dalam Elizabeth Black menyatakan, bahwa konteks adalah tanggung jawab dari pendengar, yang akan
mengakses informasi apapun yang diperlukan agar bisa mengolah sebuah ucapan, dengan didasarkan pada asumsi bahwa penutur dari ucapan itu telah
berusaha sedapat mungkin untuk membuat ucapan iti menjadi relevan.
9
Dapat disimpulkan, konteks adalah adanya kesamaan pengetahuan antara penutur dan
petutur agar tujuan ujaran yang ingin diucapkan tersampaikan dengan baik.
B. Konteks
Istilah konteks didefinisikan oleh Mey dalam Nadar sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat
berinteraksi dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Di dalam tata
6
Ibid., h. 5.
7
T Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, Bandung: PT Refika Aditama, 2012, h. 60.
8
Abdul Rani, dkk, Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian, Malang: Bayu Media Publishing, 2004, h. 6.
9
Elizabeth penerjemah: Ardianto, dkk., Stilistika Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h. 4.
bahasa, konteks tuturan mencakup semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresikan. Konteks yang bersifat fisik, yaitu
fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti
semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam
menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.
10
Petada mengatakan konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya
tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi,
seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan faktor sosial, norma
sosial, dan sebagainya dan kepercayaan terhadap penutur atau sebaliknya konteks ini mempengaruhi interpretasi pendengar terhadap ujaran wacana.
Konsep teori konteks dipelopori oleh antropolog Inggris Bronislow Malinowski. Ia berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan
konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi dapat dipecahkan aspek- aspek bermakna bahasa sehingga aspek-aspek linguistic dan aspek
nonlinguistik dapat dikorelasikan. Selanjutnya Pateda mengatakan pada intinya teori konteks adalah 1 makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang
berwujud kata. Tetapi terpadu pada ujaran secara keseluruhan dan 2 makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis kata dan acuan atau secara trialis kata,
acuan dan tafsiran tetapi merupakan satu fungsi atau tugas dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.
11
Kontek Situasi Ujaran Komponen Tindak Tutur
10
Nadar, op. cit., h. 3
11
Mansoer Pateda, Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa, 1992, h. 67
Dell Hymes seorang pakar sosiolinguistik terkenal menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-
huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah diangkat dari Wardhaugh 1990:
S = Setting and Scene setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung; scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi
psikologis pembicara; P = Participants pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan;
E = Ends : purpose and goal maksud dan tujuan penuturan; A = Act sequence mengacu pada bentuk dan isi ujaran, misalnya bentuk ujaran
dalam kuliah umum dan percakapan biasa K = Key: tone or spirit of act nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan I = Instrumentalities jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis,
atau telepon N = Norms of Interaction Interpretation aturan dalam berinteraksi
G= Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, misalnya, doa, puisi, mendongeng dan sebagainya.
12
Berkaitan dengan kedelapan komponen di atas, Hymes dalam Gillian Brown dan George Yule memerinci ciri-ciri konteks itu menjadi:
1. pembicara advesser;
2. kawan bicara advessee;
3. topik topic
4. waktu, tempat setting;
12
Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sosiolinguistics third edition, Massachusetts: Balackwell Publishers, 1998, h. 232
5. saluran chanel bisa berupa media yang digunakan; bahasa lisan, tulisan;
langsung tak langsung, dan sebagainya; 6.
kode code bahasa, dialek, atau gaya bahasa yang digunakan; 7.
bentuk pesan message form debat, diskusi, khotbah, dongeng, surat cinta dll.;
8. peristiwa event, dalam konteks peristiwa apa seseorang melakukan
tindak tutur.
13
C. Tindak Tutur
1. Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur adalah suatu ujaran sebagai satuan fungsional dalam komunikasi. Di dalam teori tindak tutur, ujaran itu mempunyai dua jenis
makna: 1
Makna proposisional disebut juga makna lokusioner. Makna ini merupakan makna harafiah dasar dari ujaran yang disampaikan
dibawa oleh kata atau struktur tertentu yang dikandung oleh ujaran itu.
2 Makna ilokusioner disebut juga daya ilokusioner. Makna ini
merupakan efek yang dipunyai oleh teks tertulis atau ujaran terhadap pembaca atau pendengar. Misalnya, dalam kalimat “Saya
haus.” Makna proposisionalnya adalah apa yang dikatakan tentang
keadaan fisik penutur.
14
Teori tindak tutur „speech act‟ berawal dari ceramah yang disampaikan oleh filsuf berkebangsaan Inggris, John L. Austin, pada
13
Gillian Brown and George Yule, Discourse Analysis. London: Cambridge University Press, 1983, h. 89
14
Soemarsono, Buku Ajar Filsafat Bahasa, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 36.