Ilokusi dalam Dialog Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP

(1)

SASTRA INDONESIA DI SMP

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Edah Azijah

NIM 1110013000047

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

iii

Edah Azijah, 1110013000047, 2014, “Ilokusi dalam Dialog Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP ”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pembimbing: Makyun Subuki, M. Hum. Penelitian ini mengkaji tindak tutur ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol karya Iwan Simatupang. Drama berkaitan erat dengan dialog. Dalam dialog penutur berusaha menyampaikan informasi kepada lawan tuturnya sebagai alat komunikasi. Penutur sering menggunakan kalimat tersirat dalam menyampaikan tuturan. Hal tersebut menyebabkan hubungan antara bentuk kalimat dan fungsinya tidak selalu sesuai. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam makna kalimat tersirat yang ada dalam dialog drama tersebut maka dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi setiap tuturan menggunakan teori yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya yakni teori ilokusi Searle.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol karya Iwan Simatupang serta implikasinya terhadap pembelajaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Dalam hal ini, teks atau data yang dianalisis adalah naskah drama yang berjudul Rt Nol Rw Nol karya Iwan Simatupang. Peneliti menggunakan langkah-langkah metode analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Usman dan akbar), yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; 3) menarik kesimpulan/ verifikasi. Dalam pandangan ini, tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri oleh Miles dan Huberman disebut model interaktif.

Hasil penelitian dapat diketahui sebagai berikut: Dari 295 dialog tuturan yang ada dalam naskah tersebut, ilokusi yang muncul yakni: 1) ilokusi asertif sebanyak 179 tuturan. 2) Ilokusi direktif sebanyak 76 tuturan. 3) Ilokusi ekspresif sebanyak 14 tuturan. 4) Ilokusi komisif sebanyak 9 tuturan. Serta 5) ilokusi deklarasi sebanyak 17 tuturan.


(7)

iv

Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Advisor: Makyun Subuki, M. Hum.

This research is focusing in illocutionary speech act in drama dialogue of

Rt Nol Rw Nol by Iwan Simatupang. As drama have a strong correlation with

dialogue. In dialogue the speaker tries to give information to the listener as mean of communication. Therefore in every process of communication speech act always takes part. In this case in order to express a speech, speaker often uses implied meaning even without his knowing. That condition sometimes creates the form of sentence and the function lost their correlation. Because of it, in order to know the real meaning of implied sentences in drama dialogue a deeper identification based on experts‟ theory is needed. One of theories is Searle illocution theory.

The purpose of this research is to find out the use of illocutionary in drama dialogue in Rt Nol Rw Nol by Iwan Simatupang and the implication to the pedagogy. The method used in this research is a qualitative descriptive method with content analysis technique. In this case, texts or data that are going to analyze is taken from drama script of Rt Nol Rw Nol by Iwan Simatupang. The researcher uses qualitative analysis method that propose by Miles and Huberman (in Usman and Akbar), those are 1) data reduction; 2) data serving; 3) concluding or verification. In this view, three kind of analysis and data collection is called interactive method by Miles and Huberman.

The result of the research can be described as follow: From 295 dialogue in the script the illocutionary found as:” 1) assertive illocutionary are 179 speeches. 2) Directive illocutionary are 76 speeches. 3) Expressive illocutionary are 14 speeches. 4) Comissive illocutionary are 9 speeches. Last 5) Declaration illocutionary are 17 speeches.


(8)

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya yang selalu membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.

Skripsi berjudul “Ilokusi dalam Dialog Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP”, disusun guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan S-1 pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan bimbingan, bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, MA., Ph. D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA., M. Pd. Ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Makyun Subuki, M. Hum. Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

vi

4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

5. Teristimewa untuk ayahanda H. Jojo Firmansyah dan Ibunda Hj. Titim Patimah yang tidak hanya mendukung secara moral dan material, namun juga secara spiritual melalui doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT demi keberkahan dan kesuksesan kepada ananda.

6. Teman-teman di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah bersama-sama berjuang demi meraih cita-cita yang mulia ini. Tanpa kalian hambar rasanya perjuangan ini.

7. Semua pihak yang berjasa dalam pembuatan skripsi ini terlebih bagi yang teristimewa dan yang tak bisa disebutkan satu per satu. Hal sekecil apapun yang kalian berikan kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Ungkapan kata memang tak cukup untuk membalas kebaikan yang telah kalian berikan. Semoga Allah membalasnya dengan segala kebaikan dan pahala yang berlipat. Akhirnya penulis berharap semoga dengan hadirnya skripsi yang sekiranya jauh dari sempurna ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi penulis maupun pembaca, serta bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bagi dunia pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, Agustus 2014


(10)

vii

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 5

C. Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Data dan Sumber Data ... 7

H. Teknik Penenlitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN 10

A. Pragmatik ... ... 10

B. Konteks ... 11

C. Tindak Tutur ... 13

1. Pengertian Tindak Tututr ... 15

2. Dimensi Tindak Tutur ... 17

D. Jenis Ilokusi ... 21


(11)

viii

F. Dialog dalam Drama ... 27

G. Naskah Drama ... 31

H. Penelitian yang Relevan ... ... 32

BAB III PEMBAHASAN ... 36

A. Biografi Pengarang ... 36

B. Penyajian Data ... 37

C. Pembahasan Hasil Temuan ... 38

1. Analisis Ilokusi ... 38

a. Analisis Asertif ... 39

b. Analisis Direktif ... 55

c. Analisis Ekspresif ... 70

d. Analisis Komisif ... 75

e. Analisis Deklarasi ... 80

D. Implikasi terhadap Pendidikan ... 84

BAB IV PENUTUP ... 88

A. Simpulan ... 88

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

UJI REFERENSI


(12)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Teknik Analisis data Miles dan Huberman

Halaman 9


(13)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Tabel 3.1 :

Perbedaan Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi

Jenis Tindak Tutur Ilokusi dalam Naskah Drama

Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang

Halaman 19 35


(14)

(15)

xi

Lampiran 1 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 2 : Klasifikasi Jenis Ilokusi dalam naskah Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang

Lampiran 3 : Rekapitulasi Jenis Ilokusi dalam naskah Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang

Lampiran 4 : Surat Bimbingan Skripsi


(16)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok yang wajib dipelajari dan diajarkan di tiap sekolah yang ada di Indonesia. Pelaksanaan pembelajarannya dimulai dari jenjang pendidikan SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi sebagai mata kuliah pembentukan karakter dasar bagi mahasiswa jurusan non bahasa.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah mencakup empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan keterampilan menulis. Keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut tidak terlepas dari pengetahuan tentang fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap. Wacana dapat berbentuk lisan maupun tulisan.

Wacana mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Wacana transaksional mementingkan isi komunikasi, sedangkan wacana interaksional lebih mementingkan hubungan sosial atau komunikasi timbal balik.

Wacana yang sering digunakan dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah umumnya wacana yang berdasarkan pada isinya, seperti wacana narasi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi. Selain itu juga terdapat wacana sastra seperti dialog yang membahas tentang unsur-unsur intrinsik seperti tokoh, latar, alur, dan penokohan dalam sebuah naskah drama atau film.

Wacana-wacana yang ada dalam buku pelajaran kebanyakan bersumber dari surat kabar dan majalah. Padahal masih ada bahan belajar lainnya yang dapat dijadikan alternatif lain dalam proses belajar mengajar, salah satunya wacana transaksional lisan seperti pidato presiden. Kemudian dalam wacana transaksional tulisan seperti iklan-iklan yang ada di brosur penjualan barang.


(17)

Selain itu juga terdapat wacana interaksional lisan seperti dialog dalam naskah film atau drama.

Mempelajari naskah drama, dalam bentuk wacana dialog dapat dijadikan bahan belajar dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dalam sebuah pertunjukan drama para pemeran lakon merupakan manusia, manusia berinteraksi dengan manusia lainnya melakukan dialog atau percakapan. Percakapan yang terjadi antara dua orang atau lebih menyebabkan terjadinya komunikasi timbal balik.

Komunikasi timbal balik digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, karena manusia merupakan mahluk sosial yang harus melakukan interaksi sosial dengan manusia lainnya. Interaksi sosial itu atau alat komunikasi manusia adalah bahasa, karena bahasa merupakan salah satu alat komunikasi, melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan (berkomunikasi) saling berbagi pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Di dalam komunikasi, dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasi tuturan dengan maksud untuk menginformasikan sesuatu kepada mitra tuturannya, dan mengharap mitra tuturnya (pendengar) dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan.

Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka dalam setiap proses komunikasi ini terjadi hal yang disebut tindak tutur.

Dengan bahasa manusia dapat mengekpresikan semua yang ada dalam pikiran karena dengan berpikir secara otomatis manusia menuturkan suatu bahasa di dalam pikirannya. Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada seorang sastrawan karena ia dapat mengekspresikan perasaannya ada kalanya menggunakan bahasa yang berupa percakapan atau tuturan.

Tataran bahasa yang berada di bawah wacana adalah kalimat. Dalam tata bahasa tradisional, kalimat dikatagorikan atas tiga bentuk, yaitu: kalimat pernyataan yang berfungsi untuk memberi informasi, kalimat pertanyaan


(18)

yang berfungsi untuk mengajukan pertanyaan, dan kalimat perintah yang berfungsi untuk menyuruh orang lain melakukan tindakan. Akan tetapi, dalam kenyataannya pada waktu berkomunikasi dengan orang lain, hubungan antara bentuk kalimat dan fungsinya tidak selalu sesuai. Dengan kata lain pernyataan tidak selalu berfungsi memberi informasi tetapi dapat berfungsi menyuruh orang lain. Begitu pula dengan kalimat pertanyaan dan perintah yang dapat berfungsi lain sesuai dengan maksud penutur.

Dalam mengatakan sesuatu, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan kalimat itu, tetapi dalam kalimat itu juga menandakan sesuatu. Misalnya, seorang ibu kontrakan mahasiswa

mengatakan, “sudah jam sembilan malam” kepada orang yang bertamu di

rumahnya. Pada tuturan tersebut ia tidak semata-mata memberitahu sudah jam sembilan malam, tetapi maksudnya menyuruh tamu tersebut agar segera pulang dan meninggalkan rumah kontrakan tersebut.

Pernyataan di atas menunjukan bahwa di dalam mengatakan sesuatu, kita juga melakukan tindakan. Hal ini sesuai dengan teori Tindak Tutur (Speech

Act Theory) yang dikemukakan oleh filsuf Inggris, Jhon Langshaw Austin.

Tindak tutur (speech act) merupakan gejala individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kemampuan bahasa dalam tuturan seseorang dapat dilihat dari sampainya pesan yang dituturkan kepada pendengar atau mitra tutur. Agar pesan tersebut sampai kependengar diperlukan pula konteks dalam tuturan. Ujaran yang memerlukan konteks ini terdapat dalam ilmu pragmatik.

Pragmatik erat sekali hubungannya dengan tindak tutur. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khususnya dalam situasi yang memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan aneka konteks sosial performasi bahasa mempengaruhi tafsiran atau interpretasi.

Teori tersebut didasarkan atas hasil penelitian terhadap bahasa pergaulan sehari-hari. Austin mengemukakan bahwa di dalam berbicara, pembicara


(19)

melakukan tiga tindak tutur sekaligus, yaitu: tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindakan mengatakan sesuatu dalam bentuk lingual, ilokusi adalah maksud penutur mengatakan sesuatu, dan perlokusi adalah efek atau akibat yang dihasilkan dari ucapan pembicara terhadap pendengar.

Tindak tutur biasa terjadi dalam komunikasi sehari-hari, seperti dalam percakapan, dialog, diskusi, tanya jawab, wawancara, dan komunukasi lisan lainnya. Selan itu, kita juga dapat menemukan tindak tutur dalam komunikasi yang berbentuk tulisan, seperti pada kolom surat pembaca dalam majalah atau surat kabar, di dalam cerpen, novel, roman, naskah drama, ataupun wacana tulisan lainnya.

Tindak tutur dalam wacana tulisan harus direncanakan terlebih dahulu dalam menuturkannya agar pembaca dapat memahami maksud penulis dengan mudah. Dalam hal ini penulis harus menguasai dan mampu menggunakan ejaan dan tanda baca untuk menggantikan beberapa unsur nonlinguistik yang diperlukan dalam memperjelas maksud penulis. Jadi, dalam wacana tulisan tindak tutur yang terjadi direncanakan terlebih dahulu. Hal ini juga berlaku dalam wacana yang berbentuk karya sastra.

Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti karya sastra, khususnya drama. Hal ini dikarenakan drama merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Drama dapat dijadikan sebagai bahan ajar, sebab di dalamnya terdapat tindakan yang dapat dicontoh ataupun tidak, sehingga peserta didik dapat mengambil hikmah atau pelajaran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun naskah drama yang diteliti adalah naskah drama karya Iwan Simatupang yang berjudul Rt Nol Rw Nol. Naskah tersebut dipilih karena dianggap mewakili kondisi sosial kekinian terkait kesenjangan sosial yang ada di kota-kota besar yang hingga kini belum bisa terpecahkan karena dibutuhkan kerjasama dari semua pihak. Untuk itu siswa diharapkan dapat mengambil pelajaran dari cerita tersebut sehingga kelak sebagai penerus bangsa mereka dapat menindak lanjuti dan mengubah kondisi tersebut ke arah yang lebih baik.


(20)

Pembelajaran drama di sekolah khususnya sekolah menengah pertama seringkali kurang diapresiasi karena siswa merasa kesulitan dalam mempelajari drama khususnya ketika sisiwa diminta untuk bermain peran atau akting dengan memerankan tokoh tertentu. Mendalami peran yang akan dimainkan dalam sebuah drama dapat dilakukan dengan cara memahami teks melalui identifikasi karakter tokoh yang akan diperankan. Namun sebelum hal tersebut dilakukan, siswa dapat memahami lebih dalam setiap tuturan yang ada pada dialog dengan cara mengidentifikasi setiap tindak tutur untuk memudahkan siswa dalam memahami maksud tuturan yang tersirat. Sehingga ketika bermain peran dalam sebuah drama, siswa diharapkan dapat menghayati karakter tokoh serta dapat menjiwai setiap tuturan yang diujarkan dengan baik.

Pembahasan makna tersirat dalam setiap tuturan lebih lanjut akan dikaji dalam teori tindak tutur ilokusi. Terdapat beberapa tokoh terkemuka terkait teori tindak tutur, misanya J.L. Austin, J.R. Searle, G.N. Leech, dan H.P. Grice. Namun pada kesempatan kali ini, peneliti hanya akan membahas mengenai tindak tutur khususnya ilokusi dari teori J.R. Searle. Adapun judul

yang peneliti buat adalah “Ilokusi dalam Dialog Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP”.

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang 2. Implikasi hasil analisis ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol

Karya Iwan Simatupang bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP.


(21)

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupangdan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP?

D. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui adanya penggunaan ilokusi dalam dialog drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP.

E. Manfaat Penelitian Manfaat Teoretis

1. Guru; mendapatkan konsep atau cara baru untuk memahami dialog dalam sebuah naskah drama melalui dimensi tindak tutur khususnya ilokusi.

2. Mahasiswa; mendapatkan ilmu baru mengenai dimensi tindak tutur khususnya ilokusi dalam memahami wacana sastra seperti naskah drama.

Manfaat Praktis

1. Guru; dapat digunakan sebagai bahan ajar di kelas untuk pengoptimalan pemahaman sebuah naskah drama agar siswa lebih mengetahui pola tindak tutur khususnya ilokusi dalam dialog langsung.

2. Mahasiswa; dapat dijadkan sebagai acuan penelitian lebih lanjut bagi peneliti yang akan datang.

3. Siswa; dapat dijadikan masukan untuk mengembangkan pemahaman setiap dialog dalam sebuah naskah drama.


(22)

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Dalam hal ini, teks atau data yang dianalisis adalah naskah drama yang berjudul Rt Nol Rw Nol karya Iwan Simatupang. Peneliti menggunakan langkah-langkah metode analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Usman dan akbar), yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; 3) menarik kesimpulan/ verifikasi.1 Dalam pandangan ini, tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri oleh Miles dan Huberman disebut model interaktif.

G. Data dan Sumber Data

1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah drama Rt Nol

Rw Nol karya Iwan Simatupang

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah dari media internet. .

H. Teknik Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Sebelum dilakukan teknik analisis data, diperlukan pengumpulan data berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Peneliti menelaah dan menentukan naskah drama yang sesuai dengan SK (Standar Komptensi) dan KD (Kompetensi Dasar) dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP agar tepat sasaran.

2) Peneliti mencari naskah drama keberbagai sumber, baik berupa studi pustaka untuk mendapatkan naskah asli dalam bentuk buku maupun studi internet yang datanya berupa data halus (soft file).

1

Husain Usman dan Purnomo Setiary Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 85-88.


(23)

Setelah melakukan kedua hal tersebut ternyata peneliti hanya menemukan naskah drama berupa data halus (soft file) yang berasal dari internet.

2. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang diperlukan dalam menganalisis data yang diperoleh berdasarkan model penelitian Miles dan Huberman yakni dengan: 1) reduksi data; 2) penyajian data; 3) kesimpulan/ verifikasi.2

1) Reduksi Data

Peneliti membaca secara kritis terhadap isi naskah drama dalam rangka memperoleh penghayatan dan pemahaman naskah secara keseluruhan. Kemudian peneliti menentukan tuturan yang mengandung ilokusi dengan cara memberi tanda pada naskah yang akan diteliti. Penandaan dicermati secara seksama agar tidak ada yang terlewatkan dalam menentukan data analisis. Metode analisis ilokusi meliputi 5 jenis tuturan yaitu, asertif (menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim), Direktif (memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi). Ekspresif (berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, berbelasungkawa), Komisif (berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu), Deklarasi (berpasrah, memecat, menbaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum). Dari aturan ilokusi tersebut, ujaran yang sudah ditandai, ditentukan sesuai dengan jenisnya. Selanjutnya, diklasifikasi ke dalam tabel untuk memudahkan penjabaran ketika melakukan analisis.

2) Penyajian Data

Penyajian data analisis tuturan mengunakan tabel klasifikasi agar lebih sistematis dan lebih terstruktur, kemudian data temuan

2


(24)

dijabarkan secara detail di luar tabel agar lebih terperinci, untuk itu tabel hanya disajikan di dalam lampiran.

3) Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif dilakukan selama penelitian berlangsung. Peneliti menangani kesimpulan dengan longgar, tetap terbuka, dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah dirumuskan sejak awal. Penarikan kesimpulan dilakukan untuk menemukan kepaduan dan kesatuan data. Pertama dengan cara menginterpretasikan hasil analisis, melakukan pembahasan dari analisis, dan menyimpulkan hasil analisis. Jika hasil penelitian dianggap kurang memadai, maka langkah kesatu, kedua, dan ketiga diatas harus diulang kembali. Dengan kata lain, jika hasilnya belum memadai, wajib diulang kembali proses pengumpulan data, reduksi data, dan analisis data.

Teknik analisis data di atas merupakan penerapan dari metode analisis data model interaktif yang dipaparkan oleh Miles dan Huberman. Berikut merupakan gambaran proses/ komponen analisis data yang sudah dimodifikasi oleh peneliti:

Gambar 1.1 Teknik analisis data Miles dan Huberman Pengumpulan data

Penyajian data

Reduksi data

Menarik Kesimpulan/


(25)

(26)

10

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Pragmatik

George Yule setidaknya memberikan empat definisi penting mengenai pragmatik.

1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.

2. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual, tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang sesuai dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu intrepretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Tipe studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang tidak disampaikan

4. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Pandangan ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban baik secara fisik, sosial, dan konseptual,


(27)

menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi tentang semakin dekat atau jauh jarak.1

Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu yang berkaitan dengan maksud ujuran penutur yang bergantung pada konteks situasi ujaran tersebut. Maksud konteks berarti hal-hal yang berada di luar bentuk ujaran. Dengan kata lain, pragmatik berusaha mencari makna yang terkandung di dalam ujaran (makna yang tersirat). Oleh karena itu, dalam memahami ujaran dibutuhkan pemahaman atau pengetahuan yang sama antara penutur dan petutur (lawan tutur).

Definisi selanjutnya dipaparkan oleh Morris. Menurutnya, “pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara lambang dan penafsirannya.”2

Diperkuat oleh Verhaar yang mengatakan bahwa, pragmatik itu merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan.3

Sedangkan Mey (dalam F. X Nadar) mendefinisikan pragmatik sebagai

the study of conditions of human language uses as these are determined by the

context of society”4 (kajian tentang kondisi penggunaan bahasa manusia

sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya).

Namun menurut Levinson “Pragmatics is the study of those relation between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language”5

(pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa).

1

George Yule (Penerjemah Rombe Mustajab) , Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 3-4

2

Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 15

3

J. W. M. Verhaar, ASAS-ASAS LINGUISTIK UMUM, (Yogyakarta: Gajah Mada University press, 1996), h. 14

4

F. X Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 4 5


(28)

Dari definisi yang diberikan oleh keempat orang yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa pragmatik mencari hubungan antara bahasa dan maksud yang terkandung didalamnya. Hubungan keduanya dimaksudkan untuk menemukan tafsiran yang sesuai dengan konteksnya.

Di samping definisi tersebut, sejumlah definisi lain juga dicatat oleh Levinson dari berbagai sumber, antara lain:

1) Pragmatics is one of thoese words that gives the impression that

something quite specific and technical is being talked about when

often infact is has no clear meaning (Pragmatik merupakan salah satu

istilah yang mengesankan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas).

2) Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning of uterances

which cannot be accounted for by straightforward reference to the

truth conditions of the sentences uttered (Topik pragmatik adalah

beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan).

3) Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature,

presupposition, speech acts and aspects of discourse structure (Pragmatik adalah kajian antara lan mengenai deiksis, impikasi, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek tuturan wacana.

4) Pragmatics theories, in contrast, do nothing to explicate the stucture if

linguistic contructions or grammatical properties and relations. They explicate the reasoning of speakers and hearers in working out the correlations in a context of a sentence token with a preposition, in this

respect, a pragmatic theory is a part of performance (kebalikannya,

teori-teori pragmatik tidak menjelaskan struktur kontruksi bahasa atau bentuk dan relasi gramatikal. Teori-teori tersebut mengkaji alasan penutur dan pendengar yang membuat korelasi wujud kalimat dengan


(29)

preposisi. Dalam hal ini, teori pragmatik merupakan bagian dari tindakan).6

Firth (dalam Djajasudarma) menyatakan bahwa hubungan pragmatik dengan tindak tutur (speech acts), sangat erat, karena tindak tutur merupkan pusat dari pragmatik. Firth sebagai ahli bahasa yang pertama kali menganjurkan studi wacana (discourse) melihat gagasannya bahwa konteks situasi perlu diteliti para linguis, karena studi bahasa dan kerja bahasa ada pada konteks atau kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi.7 Konteks adalah unsur bahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran sedangkan situasi adalah unsur nonbahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran.8

Brown dan Yule (dalam Elizabeth Black) menyatakan bahwa konteks biasanya dipahami sebagai sesuatu yang sudah ada sebelum wacana dan situasi dari para partisipan. Sedangkan Sperber dan Wilson (dalam Elizabeth Black) menyatakan, bahwa konteks adalah tanggung jawab dari pendengar, yang akan mengakses informasi apapun yang diperlukan agar bisa mengolah sebuah ucapan, dengan didasarkan pada asumsi bahwa penutur dari ucapan itu telah berusaha sedapat mungkin untuk membuat ucapan iti menjadi relevan.9 Dapat disimpulkan, konteks adalah adanya kesamaan pengetahuan antara penutur dan petutur agar tujuan ujaran yang ingin diucapkan tersampaikan dengan baik.

B. Konteks

Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (dalam Nadar) sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Di dalam tata

6

Ibid., h. 5. 7

T Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h. 60.

8

Abdul Rani, dkk, Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian, (Malang: Bayu Media Publishing, 2004), h. 6.

9

Elizabeth (penerjemah: Ardianto, dkk.), Stilistika Pragmatik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4.


(30)

bahasa, konteks tuturan mencakup semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresikan. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.10

Petada mengatakan konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya) dan kepercayaan terhadap penutur atau sebaliknya konteks ini mempengaruhi interpretasi pendengar terhadap ujaran (wacana).

Konsep teori konteks dipelopori oleh antropolog Inggris Bronislow Malinowski. Ia berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi dapat dipecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga aspek-aspek-aspek-aspek linguistic dan aspek-aspek nonlinguistik dapat dikorelasikan. Selanjutnya Pateda mengatakan pada intinya teori konteks adalah (1) makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata. Tetapi terpadu pada ujaran secara keseluruhan dan (2) makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan acuan) atau secara trialis (kata, acuan dan tafsiran) tetapi merupakan satu fungsi atau tugas dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.11

Kontek Situasi Ujaran (Komponen Tindak Tutur)

10

Nadar, op. cit., h. 3

11


(31)

Dell Hymes seorang pakar sosiolinguistik terkenal menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wardhaugh 1990):

S = Setting and Scene (setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung; scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicara);

P = Participants (pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan);

E = Ends : purpose and goal (maksud dan tujuan penuturan);

A = Act sequence (mengacu pada bentuk dan isi ujaran, misalnya bentuk ujaran

dalam kuliah umum dan percakapan biasa)

K = Key: tone or spirit of act (nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan

disampaikan)

I = Instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis, atau telepon)

N = Norms of Interaction Interpretation (aturan dalam berinteraksi)

G= Genres (mengacu pada jenis bentuk penyampaian, misalnya, doa, puisi,

mendongeng dan sebagainya).12

Berkaitan dengan kedelapan komponen di atas, Hymes dalam Gillian Brown dan George Yule memerinci ciri-ciri konteks itu menjadi:

1. pembicara (advesser); 2. kawan bicara (advessee); 3. topik (topic)

4. waktu, tempat (setting);

12

Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sosiolinguistics (third edition), (Massachusetts: Balackwell Publishers, 1998), h. 232


(32)

5. saluran (chanel) bisa berupa media yang digunakan; bahasa lisan, tulisan; langsung tak langsung, dan sebagainya;

6. kode (code) bahasa, dialek, atau gaya bahasa yang digunakan;

7. bentuk pesan (message form) debat, diskusi, khotbah, dongeng, surat cinta dll.);

8. peristiwa (event), dalam konteks peristiwa apa seseorang melakukan tindak

tutur.13

C. Tindak Tutur

1. Pengertian Tindak Tutur

Tindak tutur adalah suatu ujaran sebagai satuan fungsional dalam komunikasi. Di dalam teori tindak tutur, ujaran itu mempunyai dua jenis makna:

1) Makna proposisional (disebut juga makna lokusioner). Makna ini merupakan makna harafiah dasar dari ujaran yang disampaikan (dibawa) oleh kata atau struktur tertentu yang dikandung oleh ujaran itu.

2) Makna ilokusioner (disebut juga daya ilokusioner). Makna ini merupakan efek yang dipunyai oleh teks tertulis atau ujaran

terhadap pembaca atau pendengar. Misalnya, dalam kalimat “Saya haus.” Makna proposisionalnya adalah apa yang dikatakan tentang keadaan fisik penutur.14

Teori tindak tutur „speech act‟ berawal dari ceramah yang disampaikan oleh filsuf berkebangsaan Inggris, John L. Austin, pada

13

Gillian Brown and George Yule, Discourse Analysis. (London: Cambridge University Press, 1983), h. 89

14


(33)

tahun 1955 di universitas Harvard, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul “How to Do Things with Words”. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Austin menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pada waktu seseorang menggunakan kata-kata kerja promise „berjanji‟,

apologize „meminta maaf‟, name „menamakan‟, pronounce„menyatakan‟

misalnya dalam tuturan I promise I will come on time (“Saya berjanji saya akan datang tepat waktu”), I apologize for coming late (“Saya minta maaf karena datang terlambat”), dan I name this ship Elizabeth (“Saya menamakan kapal ini Elizabeth”) maka yang bersangkutan tidak hanya

mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji, meminta maaf, dan menamakan. Tuturan-tuturan tersebut dinamakan tuturan performatif, sedangkan kata kerjanya juga disebut kata kerja perfomatif.15

Austin (1962) membedakan kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu:

1) Kalimat verdiktif (verdictives), kalimat perlakuan yang menyatakan

keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami nyatakan terdakwa bersalah,”

2) Kalimat Eksersitif (exercitives), kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya,

misalnya “Kami harap kalian setuju dengan keputusan ini,”

3) Komisif (commissives), kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian; pembicaraan berjanji dengan anda untuk melakukan

sesuatu, misalnya “besok kita menonton sepak bola.”

4) Behatitif (behatitives), kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapatkan

keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan

selamat atas pelantikan anda menjadi mahasiswa teladan,” dan

15


(34)

5) Ekspositif (expositives), kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, dan perincian kepada seseorang, misalnya

“saya jelaskan kepada anda bahwa dia tidak bersalah.”16

2. Dimensi Tindak Tutur

Austin mengemukakan tindak tutur menjadi tiga kesatuan, yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi.17

Lokusi adalah “what is said; the form of the words uttered.” Hal ini berarti lokusi merupakan apa yang dikatakan atau bentuk dari kata-kata yang diucapkan. Ilokusi adalah “the act of saying something.” Hal ini berarti tindakan dalam suatu ujaran. Semetara itu, perlokusi adalah “what is done in uttering the words.” Ini berarti apa yang dilakukan ketika mengujarkan perkataan.

Pada dasarnya memang terdapat perbedaan antara tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi akan tetapi, perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi.18

Begitu pula jika mengidentifikasi sebuah kalimat, akan sedikit kesulitan dalam mengenali apakah kalimat tersebut berupa lokusi, ilokusi maupun perlokusi jika tidak berhadapan langsung dengan seorang penutur yang menuturkan kalimat tersebut dan juga keadaan / suasana

16

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.52-53.

17

John R Searle, Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language, (Oxford: Basil Blacwell, 1969), h. 16.

18


(35)

pada saat kalimat itu dituturkan. Misalnya dalam sebuah kata “tempat itu

jauh” Kalimat tersebut bias saja berupa lolusi, ilokusi maupun perlokusi. Tabel 2.1

( Perbedaan lokusi, ilokusi dan perlokusi ) Tempat itu jauh

Lokusi Ilokusi Perlokusi

Mengandung pesan. Metapesan

„Jangan pergi ke sana!‟

Metapesan

(Dalam pikiran mitratutur ada

keputusan) “Saya

tidak akan pergi ke

sana.”

Dari tabel jelaslah bahwa perbedaan antara tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi cenderung lemah jika diuraikan dalam sebuah kalimat saja tanpa mendengar ucapan lingual dari seorang penutur dan juga setting pada saat penutur menuturkan tuturanya. Namun hal ini bukan berarti tidak adanya perbedaan antara tuturan lokusi, ilokusi dan perlokusi. Perbedaan tetap saja ada tetapi perlu juga pemahaman yang mendalam untuk mengkaji jenis tindak tutur yang dikemukakan oleh

Austin tersebut.

Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary acts), tindak tutur ilokusi (ilocutionary acts), dan tindak tutur perlokusi (perlocutionary act).

1) Tindak lokusi (locutionary acts) adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur itu disebut The Act of Saying


(36)

(01)Sapi adalah binatang menyusui

(02)Motor termasuk kendaraan beroda dua

Kalimat (01) dan (02) diuraikan penuturnya semata mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang dituturkan adalah termasuk jenis binatang apa saja itu, dan motor termasuk jenis kendaraan beroda berapa. Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan preposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua unsur yaitu subjek/ objek dan predikat.

2) Tindak ilokusi (ilocutionary act) adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi tersebut sebagai The Act of Doing Something. Terlihat pada kalimat berikut: (03)Saya tidak dapat datang

(04)Ada anjing gila

Kalimat (03) bila diujarkan seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu yakni meminta maaf. Informasi ketidakhadiran penutur dalam hal ini kurang penting karena besar kemungkinan lawan tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (04) yang biasa ditemui di depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi tetapi memberi peringatan. Akan tetapi, bila diajukan kepada pencuri, tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti.

3) Tindak perlokusi (perlocutionary act) adalah sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh itu dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak perlokusi disebut juga The Act of Affecting Someone. Perhatikan kalimat dibawah ini:


(37)

(05)Rumahnya jauh

(06)Kemarin saya sangat sibuk

Kalimat (05) diutarakan oleh sesorang kepada ketua perkumpulan, maka ilokusinya secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya. Bila kalimat (06) diutarakan seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundangnya dapat memakluminya.19

Dari semua penjelasan mengenai dimensi tindak tutur ini, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur lokusi merupakan ujaran yang keluar dari mulut seseorang. Tuturan ini hanya memberika informasi atau pernyataan tanpa ada maksud lain. Jadi, lokusi itu hanya berupa bentuk dari ujaran tersebut. Berbeda dengan tindak tutur ilokusi yang tidak hanya berupa bentuk dari ujaran tersebut, melainkan adanya maksud atau tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah tuturan. Ini mengindikasikan bahwa dalam ujaran yang dibuat oleh penutur terkandung arti dan maksud yang ingin disampaikan kepada lawan tutur dalam berkomunikasi. Sementara itu, tindak tutur perlokusi tidak hanya berupa bentuk ujaran dan maksud ujaran itu sendiri, melainkan adanya pengaruh terhadap lawan tuturnya. Pengaruh tersebut secara tidak langsung menimbulkan suatu tindakan. Oleh sebab itu tindak tutur perlokusi ini sering juga disebut dengan the act off affecting someone.

Dari penjelasan mengenai lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang telah dipaparkan diatas, peneliti akan menganalisis mengenai ilokusi dalam sebuah naskah drama. Guna mengetahui lebih lanjut mengenai materi

19

I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis, (Surakarta: Yuna Pustaka, 2009), h.21-25.


(38)

tersebut, maka berikut ini akan dipaparkan mengenai jenis ilokusi dari beberapa ahli.

D. Jenis Ilokusi

1. Teori J.L Austin

Ilokusi dibagi menjadi lima bagian.

The first, verdictives, are typified by the giving of a verdict, as the name implies, by a jury, arbitrator, or umpire. But they need not be final; they may be, for example, an estimate, reckoning, or appraisal. It

is essentially giving a finding as to something – fact,

or value – which is for different reasons hard to be

certain about.

Pertama adalah verdiktif, merupakan jenis tindak tutur yang memberikan sebuah keputusan seperti oleh seorang juri atau wasit. Keputusan tersebut bukan keputusan final seperti memperkirakan, memperhitungkan dan menilai, serta yang paling utama bahwa verdiktif ini memberikan sebuah penemuan berupa suatu fakta atau nilai yang pada suatu kondisi sulit untuk dipercaya atau diterima.

The second, exercitives, are the exercising of powers, right, or influence. Examples are appointing, voting, ordering, urging, advising, warning, etc.

Kedua adalah eksersitif, merupakan jenis tindak tutur yang menggunakan wewenang, hak, atau pengaruh. Contohnya adalah menentukan, memilih, menyuruh, mendesak,, menasehati, mengingatkan, dan lain sebagainya.

The third, commissives, are typified by promising or otherwise undertaking; they commit you to doing something, but include also declarations or announcements of intention, which are not promise, and also rather vague things which we may call


(39)

espousals, as for example, siding with. They have obvious connexions with verdictives and exercities. Ketiga adalah komisif, merupakan jenis tindak tutur dengan menjanjikan atau mengusahakan yang sebaliknya; sesuatu yang mengikat si pembicara untuk melakukan sesuatu, di dalamnya juga terdapat pernyataan atau pemberitahuan dari sebuah tujuan yang tidak menjanjikan dan tidak jelas atau disebut dengan keikutsertaan seperti berpihak kepada sesuatu/ seseorang. Semua ini memiliki hubungan yang jelas dengan verdiktif dan eksersitif.

The fourth, behabities, are a very miscellaneous group, and have to do with attitudes and social

behaviour. Examples are apologizing,

congratulating, commending, condoling, cursing, and chaleanging.

Keempat adalah behabitis, merupakan jenis tindak tutur yang beraneka ragam dan mengerjakannya dengan sikap dan perilaku sosial. Contohnya seperti meminta maaf, mengucapkan selamat, memuji, berduka cita, mengutuk, dan menantang.

The fifth, expositives, are difficult to define. They make plain how our utterences fit into the course of an argument or conversation, how we are using word, or in general, are expository. Examples are „I reply‟, „I argue‟, „I concede‟, „I illustrate‟, „I assume‟, „I postulate‟. We should be clear from the start that there are still wide possibilities of

marginal or awkward cases, or of overlaps.20

Kelima adalah ekspositif, merupakan jenis tindak tutur yang sangat sulit untuk didefinisikan. Jenis ini menjelaskan bagaiman sebuah ujaran dapat cocok dengan rangkaian penjelasan atau percakapan (bagaimana menggunakan kata-kata) atau secara umum kita sebut sebagai pemberi

20

J. L. Austin, HOW TO DO THINGS WITH WORD: The William Fames Lectures delivered at Harvard University in 1955, (NEW YORK: OXPORD UNIVERSITY PRESS, 1962), h. 150-151.


(40)

penjelasan. Contohnya seperti Saya menjawab, Saya menganjurkan, Saya menyerah, Saya menjelaskan, Saya menganggap, Saya mendalilkan. Ini semua harus jelas dari awal bahwa besar kemungkinannya masih ada kejanggalan.

2. Teori John R. Searle

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi) menggolongkan ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:

1) Asertif (Assertives)

Yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (starting), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh

(complaining), dan mengklaim (claiming).

2) Direktif (Directives)

Yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon

(requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi

(recommending).

3) Ekspresif (Expressives)

Adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat

(congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan


(41)

4) Komisif (Commissives)

Yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering), menolak (rejecting), dan mengancam

(threatening).

5) Deklarasi (Declarations)

Yakni bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat

(appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum

(sentencing).21

Crystal (dalam Ihsan) mendukung ide Searle membagi speech acts dalam lima kategori yang ditunjukan oleh kata kerja tertentu:

a) Representative: pembicara bertekad untuk menyatakan keyakinan

terhadap sesuatu dengan berbagai cara.

b) Directives: pembicara berusaha untuk membuat pendengar

melakukan sesuatu.

c) Commissive: pembicara bertikad dalam beberapa hal untuk

melakukan sesuatu.

d) Expressives: pembicara menyatakan sikapnya terhadap situasi

tertentu.

e) Declarations: pembicara mengubah sesuatu dengan membuat suatu

pertanyaan.22

21

R Kunjana Rahardi, PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 35-36.

22

Diemroh Ihsan, PRAGMATIK, ANALISIS WACANA, DAN GURU BAHASA

(Pragmatics, Discourse Analysis, and Language Teachers), (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011), h.104-105.


(42)

3. Teori Geoffrey Leech

Seperti halnya Searle, Leech juga mengkritisi tindak tutur yang disampaikan Austin. Dia mempersoalkan penggunaan kata kerja tindak tutur Austin yang cenderung hanya melihat kata kerja dalam bahasa Inggris berhubungan satu lawan satu dengan kategori tindak tutur. Leech menyatakan dalam klasifikasi Austin ke dalam verdikatif, eksersitif, komisif, behabit, dan ekspositif mengandung kesalahan kata kerja ilokusi. Menurut Leech, situasi berbeda menuntut adanya jenis-jenis kata kerja berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda juga. Pada tingkat yang paling umum fungsi ilokusi dapat dibagi menjadi empat jenis. Klasifikasi fungsi ilokusi Leechadalah sebagai berikut :

1) Kompetitif (Competitif), tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial, misalnya: memerintah, meminta, menuntut, mengemis. 2) Menyenangkan (Convivial), tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan

sosial, misalnya: menawarkan/mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat.

3) Bekerja sama (Collaborative), tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya: menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan.

4) Bertentangan (Conflictive), tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya: mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi.23

Setelah beberapa paparan mengenai pengklasifikasian ilokusi dari para ahli dikemukakan di atas. Peneliti memutuskan untuk menggunakan jenis ilokusi yang dikemukakan oleh Searle dalam menganalisis objek sebuah naskah drama. Hal tersebut dikarenakan pembagian ilokusi oleh Searle dinilai lebih sesuai dalam menganalisis objek tuturan yang ada di naskah drama jika ditinjau dari segi pengklasifikasian fungsi tuturan .

23

Geoffrey Leech (penerjemah Oka), Prinsip-prinsip Pragmatik, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h. 176-178.


(43)

Selain itu teori Searle juga dianggap lebih dapat melengkapi teori tindak tutur pendahulunya yang juga gurunya yakni J. L. Austin.

E. Pengertian Drama

Kata drama berasal dari kata Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Verhagen menyatakan drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Sementara itu Moulton berpendapat drama merupakan hidup yang dilukiskan dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.24 Lain halnya dengan Budianta berpendapat bahwa, drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh.25 Kemudian hendaknya selalu diingat bahwa drama bukan hanya pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata; drama sebenarnya lebih merupakan „penciptaan kembali‟ kehidupan nyata.26 Jadi dapat simpulkan bahwa drama merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang berusaha memotret kehidupan sehari-hari dengan dikemas secara imajinatif melalui sebuah karya sastra baik yang berupa naskah maupun pertunjukan drama.

F. Dialog dalam Drama

24

Hasanuddin WS, DRAMA, Karya dalam Dua Dimensi: Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis, (Bandung: ANGKASA, 1996), h. 2.

25

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 95.

26


(44)

Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para tokoh harus berbicara dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.

Jalan cerita drama diwujudkan melalui dialog (dan gerak) yang dilakukan pemain. Dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung karakter tokoh yang diperankan dan dapat menunjukkan alur lakon drama. Melalui dialog-dialog antarpemain inilah penonton dapat mengikuti cerita drama yang disaksikan. Bahkan bukan hanya itu, melalui dialog itu penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat di balik dialog para pemain. Oleh karena itu, dialog harus benar-benar dijiwai oleh pemain sehingga sanggup menggambarkan suasana. Dialog juga harus berkembang mengikuti suasana konflik dalam tahap-tahap alur lakon drama.

Dalam percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan:

1. Dialog harus menunjang gerak laku tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang telah terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.

2. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.

Dialog terikat pada pelaku. Unit-unit dialog yang juga disebut giliran bicara diucapkan oleh seorang pelaku yang mempunyai fungsi dalam alur.27

27

Jan Van Luxemburg, dkk (Penerjemah Dick Hatroko), Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 160.


(45)

Ciri khas suatu drama adalah naskah tersebut berbentuk percakapan atau dialog. Penulis naskah drama harus memerhatikan pembicaraan yang akan diucapkan. Ragam bahasa dalam dialog antartokoh merupakan ragam lisan yang komunikatif.

Dialog melancarkan cerita atau lakon. Dialog mencerminkan pikiran tokoh cerita. Dialog mengungkapkan watak para tokoh cerita. Dialog merupakan hubungan tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dialog juga berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian tokoh cerita.

Ada dua macam teknik dialog, yaitu monolog dan konversi (percakapan). Ada juga teknik dialog dalam bentuk prolog dan epilog. Prolog berarti pembukaan atau peristiwa pendahuluan yang diucapkan pemeran utama dalam sandiwara. Epilog berarti bagian penutup pada karya drama untuk menyampaiakna atau menafsirkan maksud karya drama tersebut.28

G. Naskah Drama

Naskah drama adalah kesatuan teks yang membuat kisah. Naskah atau teks drama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) part text, artinya yang ditulis dalam teks hanya sebagian saja, berupa garis besar cerita. Naskah semacam ini biasanya diperuntukan bagi pemain yang sudah mahir, (2) full text, adalah teks drama dengan penggarapan komplet, meliputi dialog, monolog, karakter, iringan, dan sebagainya. Bagi pemain yang masih tahap berlatih, teks semacam ini patut dijadikan pegangan. Hal ini juga memudahkan pertunjukan. Hanya saja, sering membatasi kreativitas pentas.

Naskah drama adalah karya fiksi yang memuat kisah atau lakon. Naskah yang lengkap, terdiri atas babak dan adegan-adegan. Ada beberapa macam kategori naskah pentas, yaitu: (a) naskah yasan, artinya teks drama yang sengaja diciptakan sejak awal sudah berupa naskah drama. naskah semacam

28


(46)

ini biasanya ditulis oleh seorang sutradara, aktor, dan spesialis naskah, (b) naskah garapan, artinya teks drama yang berasal dari olahan cerita prosa atau puisi, diubah ke dunia drama. biasanya, penggarapan naskah terkait oleh jalan cerita sebelumnya, hingga bagian kecil saja yang diubah. Hal ini memang lebih mudah, sebab penggarapan tidak harus berimajinasi dari awal; (c) naskah terjemahan, artinya drama yang berasal dari bahasa lain, diperlukan adopsi dan penyesuaian dengan budayanya.

Keunggulan naskah drama adalah pada konflik yang dibangun. Konplik menentukan penanjakan-penanjakan ke arah klimaks. Jawaban terhadapa konflik itu akan melahirkan suspense dan kejutan. Tingkat keterampilan penulis drama ditentukan oleh keterampilan menjalin konplik yang diwarnai oleh kejutan dan suspense yang belum pernah diciptakan oleh pengarang lain. Penulis naskah yang berjiwa estetis, biasanya banyak memberikan bunga-bunga dalam naskahnya. Di dalamnya penuh dengan foreshdowing (bayangan) kejadian yang memukau penonton. Naskah drama boleh saja dibumbui nuansa puitis dan atau prosa laris.

Naskah drama dapat dikategorikan karya satra dan merupakan karya individual seorang penulis. Tugas pemain adalah mengkomunikasikan naskah itu kepada penonton. Semakin komunikatif pementasan, berarti semakin sukses pula drama itu. Pementasan drama merupakan kerja kolektif. Keberhasilan suatu pementasan tidak hanya ditentukan oleh sutradara, naskah, dan kualitas naskah, tetapi melibatkan banyak unsur yang secara serentak dan kompak harus mendukung pementasan itu.29

H. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai tindak tutur sudah dilakukan oleh banyak akedemisi dengan beragam media. Berikut akan ditampilkan beberapa penelitian

29

Suwardi Endaswara, METODE PEMBELAJARAN DRAMA: Apresiasi, Ekspresi, dan pengkajian, (Yogyakarta: CAP, 2011), Cet. 1, h.37-38


(47)

tersebut guna mengetahui perbedaan dari setiap penelitian yang telah ada sebelumnya.

Aika Zanita (2011) dengan penelitiannya “Kajian Lokusi dan Ilokusi

Pengumuman di Media Informasi Kampus Barat UNJ dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia.” Penelitian ini mengkaji lokusi dan ilokusi yang terdapat di papan pengumuman media informasi Kampus Barat UNJ. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa lokusi dan ilokusi yang paling banyak ditemukan yakni tuturan direktif memerintah dengan maksud menghendaki, mengkomando,mengarahkan, mengintruksikan atau mengatur lawan tutur. Namun dalam pengumuman di media informasi kampus tersebut masih ditemukan beberapa kesalahan ejaan, penulisan, dan penggunaan bahasa asing yang dicampuradukan ke dalam bahasa indonesia. Hal tersebut dianggap dapat menghambat efek yang diterima lawan tutur sehingga memungkinkan lawan tutur menerima pesan yang berbeda dengan maksud yang ingin disampaikan penutur.

Septy Silvia Sari (2012) dengan penelitiannya “Analisis Tindak Tutur penjual dan pembeli di PASTY (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta).” Penelitian ini mendeskripsikan bentuk tindak tutur dan jenis tindak tutur ilokusi yang terdapat dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY). Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa 1) Bentuk tindak tutur yang ditemukan dalam komunikasi antara penjual dan pembeli di PASTY yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur perlokusi. 2) Jenis tindak tutur lokusi yang ditemukan dalam komunikasi penjual dan pembeli di PASTY yaitu lokusi pernyataan, lokusi perintah dan lokusi pertanyaan. 3) Jenis tindak tutur ilokusi yang ditemukan dalam komunikasi antara penjual dan pembeli di PASTY yaitu asertif, direktif, komisif dan ekspresif. Dalam komunikasi antara penjual dan pembeli di PASTY tidak ditemukan jenis deklarasi. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukan bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. 4) Jenis tindak tutur


(48)

perlokusi yang terdapat dalam komunikasi penjual dan pembeli di PASTY yaitu perlokusi verbal dan perlokusi verbal nonverbal.

Meri Kristina Gultom (2011) dengan penelitiannya “Tindak Tutur Ilokusi dalam Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf.” Penelitian ini mengkaji jenis dan fungsi tindak tutur ilokusi yang digunakan dalam novel Tanah Tabu. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tindak tutur percakapan dalam novel Tanah Tabu terdapat empat jenis tindak tutur ilokusi, yaitu (1) ilokusi representatif, (2) ilokusi komisif, (3) ilokusi direktif, (4) ilokusi ekspresif. Selain tindak tutur ilokusi, ditemukan juga fungsi tindak ilokusi dalam novel Tanah Tabu, dan setelah dianalisis ditemukan empat fungsi tindak ilokusi yaitu, (1) fungsi tindak ilokusi kompetitif, (2) fungsi tindak ilokusi menyenangkan, (3) fungsi tindak ilokusi bekerjasama, (4) fungsi tindak ilokusi bertentangan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa wacana percakapan dalam novel tersebut merupakan wacana yang padu sehingga setiap partisipan dapat saling memahami maksud tuturan tersebut.

Jamilatun (2011) dengan penelitiannya “Tindak Tutur Direktif dan

Ekspresif pada Rubik Kriiing Solopos (Sebuah Tinjauan Pragmatik). Penelitian ini mengkaji masalah tindak tutur direktif dan ekspresif yang terdapat dalam RKS. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1)Bagaimanakah wujud tindak tutur direktif dalam RKS? (2)Bagaimanakah wujud tindak tutur ekspresif dalam RKS?.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dalam RKS ditemukan 12 jenis tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif itu meliputi tindak tutur mengajak, mengingatkan, melarang, menasihati, meminta, memohon, menyarankan, menyuruh,mengharap, mengusulkan, memperingatkan, dan mempertanyakan. Wujud tindak tutur direktif yang paling banyak ditemui adalah tindak tutur meminta, dan memohon. Dalam RKS ditemukan 43 jenis tindak tutur ekspresif. Tindak tutur ekspresif itu meliputi tindak tutur memprotes, mengkritik, mendukung, menyetujui,


(49)

menyindir, menyayangkan, berterima kasih, mengeluh, membenarkan, memuji, mencurigai, meminta maaf, mengklarifikasi, mengungkapkan rasa iba,mengungkapkan rasa bangga, mengungkapkan rasa salut, mengungkapkan rasa malu, mengungkapkan rasa kecewa,mengungkapkan rasa jengkel, mengungkapkan rasa prihatin, mengungkapkan ketidaksetujuan, mengungkapkan rasa heran, mengungkapkan rasa khawatir, mengungkapkan rasa ketidakpedulian, mengungkapkan rasa yakin, mengungkapkan rasa bingung, mengungkapkan rasa sakit hati, mengungkapkan rasa senang, rasa simpati, mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa muak, mengungkapkan rasa resah.


(50)

34

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Penulis

Data penelitian ini berupa naskah drama Rt Nol Rw Nol karya Iwan Simatupang, naskah drama tersebut dianalisis tindak tutur ilokusi. Hasil temuan yang berbentuk analisis pengklasifikasian ilokusi disajikan dalam tabel terlampir, namun ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai profil pengarang naskah drama yang akan dianalisis.

Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai "Iwan Simatupang" lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949); setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.


(51)

Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. "Ziarah" merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972, "Kering", novelnya yang ketiga diterbitkan. "Kooong" (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Department P Dan K 1975. Pada tahun 1963, ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air". Karya dramanya antara lain Buah

Delima dan Buah Bujur Sangkar (195), RT00/RW00 (1957), Petang di taman

(1966),dan Kaktus dan Kemerdekaan (1969). Menurut Benedict Richard

O'Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib ("magical realism").1

B. Penyajan Data

Tabel 3.1 Jenis Tindak Tutur Ilokusi dalam Naskah Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang

No Jenis Ilokusi Dialog Penutur Lawan Tutur

Gambaran Konteks 1. Asertif

(menyatakan)

“Itu, truk yang

pakai gandengan,

lewat.”

Pincang Kakek Penutur dan lawan tutur merupakan warga yang tinggal di kolong jembatan, dari atas tempat tinggal mereka sering terdengar

1


(52)

bunyi suara seperti geledek tanda turun hujan. Setelah diselidiki ternyata bunyi tersebut berasal dari truk gandeng yang melintas di atas jembatan. 2. Asertif

(menyatakan)

“Hukum

masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling

menguntungkan.”

Kakek Pincang Penutur dan lawan tutur sedang duduk santai. Mereka mempertanyakan nasib mereka sebagai

gelandangan yang sulit mencari pekerjaan sebab masyarakat sering menganggap remeh kaum gelandangan karena dianggap tidak memiliki keterampilan dalam bekerja. 3. Asertif

(menyarankan)

“Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir

Pincang Ani Penutur sedang memasak


(53)

masak.” busuk yang biasa ia dapatkan dari hasil memungut

di pasar.

Kemudian

masakan tersebut ia tawarkan kepada penghuni kolong jembatan lain sebagai pengganjal perut sebelum mereka mendapatkan uang untuk membeli

makanan. 4. Asertif

(membual)

“Persis pandangan

seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk; tapi ini apa? Daging bukan, lemak bukan, tetelan bukan? Yah, lempar masuk tong sampah.

Kakek Bopeng Penutur sedang duduk santai di gubuknya sambil mendengarkan penghuni kolong jembatan lain yakni Bopeng, Pincang dan Ati yang sedang bercerita di tengah hujan

deras dan

keheningan


(54)

Tidak ada tempat buat usus,

babat…”

mengenai

kehidupan tukang becak kaya raya dari hasil menjual jasa becak plus wanita penghibur. 5. Asertif

(mengeluh)

“Percuma dandan!”

Ani Ina Penutur dan

lawan tuturnya merupakan wanita tunasusila yang akan pergi menjajakkan jasanya di malam hari, setelah berdandan Ani pergi ke tepi bawah jembatan sambil melihat ke langit dan mengepalkan tangannya kemudian

berteriak untuk melampiaskan kekesalannya karena terdengar suara geluduk tanda hujan akan turun, yang itu artinya pelanggan


(55)

jasa mereka akan berkurang.

6. Asertif (mengklaim)

“Ya, tuan-tuan. Semuanya itu

akan kami

nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani. Asal kami dapat memakannya malam ini. Ya

malam ini juga!”

Ani Kakek dan Pincang

Penutur

merupakan wanita tunasusila,

sebelum pergi dinas malam ia meyakinkan penghuni kolong jembatan lain yang sedang bersantai di gubuk yakni kakek dan pincang bahwa ia akan

mendapatkan makan malam yang telah diidam-idamkan oleh mereka yakni berupa nasi putih hangat, rendang, teh manis dan pisang raja. 7. Direktif

(memerintah)

“Terus pantang

mundur! Kita bukan dari garam, kan!”

Ani Ina Penutur dan

lawan tuturnya selesai berdandan kemudian

bergegas pergi untuk menjajakan


(56)

jasa sebagai wanita penghibur,

tak lama

kemudian

terdengar suara geluduk yang diiringin hujan lebat.

8. Direktif (memerintah)

“Tidurlah Kek.

Kau mengantuk.”

Pincang Kakek Penutur sedang mendengarkan kisah hidup masa lalu penghuni kolong jembatan lain yakni kakek. Mereka duduk di beton semen, salah satu pilar jembatan di dinginnya malam yang

menyebabkan kakek menguap berkali-kali

menahan kantuk. 9. Direktif

(melarang)

“Sudah, sudah.

Mana nasi rames

itu?”

Kakek Bopeng Penutur berusaha memisahkan penghuni kolong jembatan lain yakni Bopeng dan Pincang yang


(57)

sedang beradu argumen hingga terjadi kegiatan cekik-mencekik. 10. Direktif

(memohon)

“Bawalah aku,

ka!

Ati Bopeng Penutur tidak mempunyai tujuan hidup setelah

ditinggalkan oleh suaminya di pelabuhan.

Kemudian ia bertemu kelasi kapal yang bernama Bopeng yang membantu melakukan

pencarian

suaminya, namun tidak

membuahkan hasil. Bopeng pun akhirnya memberi Ati tempat berteduh

sementara di gubuk kolong jembatan.

11. Direktif (menasehati)

“Sedikit cinta,

sejemput

Pincang Ati Pincang, Ati, dan penghuni kolong


(58)

bahagia..

kesempatan untuk mengejar itu semua setidaknya tidak di kolong jembatan ini,

Dik.”

jembatan lain sedang berkumpul di gubuk mereka. Pembahasan mengenai

kelanjutan hidup Ati setelah ditinggalkan suaminya

membuat semua berpikir dan mencari solusi yang terbaik. 12. Direktif

(menyetujui)

“Akur!” Kakek Ati Penutur sedang

berdiskusi sambil bersantai dengan penghuni kolong jembatan lain yakni Pincang, Ati, dan bopeng terkait kelanjutan hidup Ati pasca ditinggalkan oleh suaminya. Kakek pun menyetujui keputusan Ati untuk kembali k kampung

halamannya dengan diantar


(59)

Pincang. 13. Ekspresif

(berterima kasih)

“Nasi rames lagi!

Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir!

Ada-ada saja si Ani!”

Kakek Ina Penutur sangat terkejut,

dikeheningan malam datang penghuni kolong jembatan lain yang bernama Ina. Ia dan kakaknya yang bernama Ani (wanita

tunasusila) memenuhi

janjinya bahwa mereka akan membelikan makanan yang kakek idam-idamkan yakni nasi putih hangat beserta rendang dan segala pelengkapnya jika mereka

mendapatkan uang malam itu. 14. Ekspresif

(memberi selamat)

“Aku sangat

gembira, Bang. Untuk Abang,

Ina Bopeng Penutur sangat terkejut ketika ia pulang kerja


(60)

untuk kita semua. Besok benar-benar Abang

berlayar?”

sebagai wanita penghibur, tiba-tiba ia mendengar cerita bahwa Bopeng salah satu penghuni kolong jembatan yang tinggal

bersamanya telah diterima sebagai kelasi kapal, dengan spontan Ina pun memeluk Bopeng sebagai ucapan selamat. 15. Ekspresif

(memberi selamat)

“Aku berharap,

suatu hari dapat melihat kau lewat, naik becak suamimu, kau dan anak-anakmu

sehat dan

montok-montok. Selamat jalan, Nak.”

Kakek Ina Penutur terkejut mendengar cerita Ina salah satu penghuni kolong jembatan yang sudah

dianggapnya seperti keluarga sendiri

mengambil

keputusan untuk menikah dengan tukang becak yang biasanya sebagai fasilitator


(1)

21

penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat. Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. Mari kita mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya (Menguap Panjang) Selamat beristirahat! (Menjentik Bopeng Di Lengannya) Sstt, biarkan mereka. Kita kesana saja… (Menunjuk Dengan Wajahnya Kepojok Kolong Jembatan Sebelah Sana)”

274. Bopeng : ”Oh, ya. Eh, mengapa aku begitu bodoh.” Ilokusi Asertif 275. Pincang: “Tunggu dulu! Kalian mau kemana, hah!

Apa maksud-maksud gelap kalian?”

Ilokusi Direktif 276. Bopeng (tertawa): “Ah, cuma maksud baik saja.” Ilokusi Asertif 277. Pincang (berteriak): “Tidak! Aku tidak mau!” Ilokusi Asertif

278. Kakek: “Tidak mau apa?” Ilokusi Komisif

279. Pincang: “Maksudku, aku tidak mau mulai dengan cara yang kalian anjurkan tadi secara diam-diam itu. Bila benarlah nasibku akan menempuh jalan seperti yang kalian reka-reka tadi, entah kalian sungguh-sungguh tadi entah cuma ingin memperolok-olok aku saja untuk kesekian kalinya….”

Ilokusi Asertif

280. Bopeng: “Ya Allah! Siapa yang berolok-olok?” Ilokusi Asertif 281. Pincang: “Baik! Bila benarlah kalian mengkhendaki

aku memulai hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan! Mengapa kalian tak memperbolehkan aku memulainya dengan baik?”

Ilokusi Komisif

282. Kakek: “Siapa mau menyuruh kau mulai dengan tidak baik?”

Ilokusi Asertif 283. Pincang (bernafsu): “Kalian! Barusan! Dengan

anjuran kalian yang tidak senonoh tadi!”

Ilokusi Ekspresif

284. Bopeng: “Tidak senonoh?” Ilokusi Ekspresif

285. Pincang: “Ah, pura-pura lagi. Apa maksud kalian berdua tadi dengan pindah kepojok sana, dan membiarkan kami berdua di sini?”


(2)

22

286. Bopeng: “Maaf, maafkanlah kami. Syukur, kalau kau memang benar-benar mau mulai baik sekarang.”

Ilokusi Ekspresif

287. Pincang: “Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (Suaranya Turun, Nafasnya Satu-Satu) Sudah tentu, sudah tentu… kalian berhak menolak lamaranku….”

Ilokusi Asertif

288. Kakek (menguap panjang): “Ah, benar-benar ngantuk aku nih. (Kepada Ati) Begini saja, Nak. Aku golek-golekan di sini, kau boleh duduk dekatku, eh… menjagai aku.”

Ilokusi Asertif

289. Kakek: “Dan kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat,


(3)

23

acara kalian besok sungguh banyak… (Menguap Panjang Lagi)”

290. Ati: “Kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek.”

Ilokusi Asertif 291. Kakek (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk): “Aku?

Mau kemana aku?”

Ilokusi Asertif 292. Ati: “Ikutlah kami besok kekampungku, Kek.” Ilokusi Direktif 293. Kakek: “Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut

dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?”

Ilokusi Deklarasi

294. Ati: “Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya.”

Ilokusi Direktif

295. Kakek: “Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (kembali menguap) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (menguap) Ah, selamat malam….”


(4)

1 Lampiran 3

Rekapitulasi Jenis Ilokusi dalam Naskah Drama Rt Nol Rw Nol Karya Iwan Simatupang

No. Jenis tindak tutur ilokusi Jumlah

1. Ilokusi Asertif 179

2. Ilokusi Direktif 76

3. Ilokusi Ekspresif 14

4. Ilokusi Komisif 9

5. Ilokusi Deklarasi 17


(5)

(6)

Lampiran 5

BIODATA PENULIS

Edah Azijah dilahirkan pada 09 Juni 1991 di Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan H. Jojo Firmansyah dan Hj. Titim Patimah. Pendidikan yang penulis tempuh pertama kali di SDN 5 Bojong Picung Cianjur tamat pada tahun 2003. Melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 17 Kota Tangerang tamat pada tahun 2006. Melajutkan sekolah tingkat atas di SMA Negeri 10 Kota Tangerang tamat pada tahun 2009. Kemudian penulis tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta pada tahun 2010. Pengalaman bekerja yang pernah ia tempuh ialah sebagai staf pengajar di salah satu bimbingan belajar privat sebagai guru bahasa Indonesia, mengajar bahasa dan Sastra Indonesia di MTs Islamiyah Ciputat dan di SMP Muhammadiyah Parakan Tangerang Selatan, kemudian pernah menjadi asisten editor buku disebuah distributor pengelola naskah mentah yang bernama Mata Pena Writer Ciputat pada tahun 2013.


Dokumen yang terkait

Kesantunan Berbahasa dalam Naskah Drama Umang-Umang Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 75 106

Kritik Sosial dalam Naskah Drama Cannibalogy Karya Benny Yohanes dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

52 294 162

NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MERAHNYA MERAH KARYA IWAN SIMATUPANG: PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai Pendidikan Dalam Novel Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang: Pendekatan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di Sma.

0 5 12

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA RT 0 RW 0 KARYA IWAN SIMATUPANG: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

0 2 17

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA RT 0 RW 0 KARYA IWAN SIMATUPANG: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

2 8 12

PENDAHULUAN Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

0 4 6

DAFTAR PUSTAKA Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Rt 0 Rw 0 Karya Iwan Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia Di SMA.

0 12 4

IMPLIKATUR DALAM NASKAH DRAMA WEK-WEK KARYA IWAN SIMATUPANG

0 9 15

Unsur intrinsik cerpen ``Hanya Nol Koma Dua`` karya Liliek Septiyanti dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA - USD Repository

0 3 84

ANALISIS MAKNA KRITIK SOSIAL DALAM LIRIK LAGU ”BENTO” DAN “BONGKAR” KARYA IWAN FALS: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP

0 1 12