yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman”.
B. Kompensasi Gugat Karena Nusyuz Suami
Menurut bahasa khulu’ berarti talak tebus yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan membayar atau mengembalikan mahar dari pihak istri.
10
Artinya tebusan yang dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya agar suaminya itu
dapat menceraikannya.
11
Hal ini telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 124 yang berbunyi : ”Khulu’ harus berdasarkan atas alasan
perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 116”. Kompensasi atau pembayaran ganti rugi merupakan kesepakatan suami
atau istri. Istri boleh mengembalikan semua atau sebagian akan tetapi tidak boleh lebih dari maskawin.
12
Menentukan ganti rugi yang dianggap sesuai dan suami akan menerimanya lalu menceraikan istrinya. Menurut para ulama pertimbangan itu
sepatutnya tidak melebihi mas kawin yang diberikan oleh si suami.
13
10
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga ; Panduan Perkawinan, cet. Ke-1, Jakarta: Kalam Mulia, 1998, h. 2
11
Hasan Ayyub; penerjemah M. Abdul Ghoffar, Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2006, h. 305
12
A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah Syariah, h. 253
13
Abdurrahman; penerjemah Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam,
cet ke-1, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, h. 110
Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan menyakiti istri yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika
suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya.
14
Para sahabat Abu Hanifah mengatakan jika kemudharatan berasal dari pihak istri maka bagi suami diperbolehkan untuk mengambil apa yang pernah
diberikannya kepada istrinya tanpa meminta tambahan. Dan jika kemudharatan itu berasal dari pihak suami maka ia tidak boleh mengambil sesuatu apapun.
15
Syaikh Taqiyyuddin berkata, khulu’ yang diperbolehkan dalam sunnah rasul adalah jika seorang istri membenci kelakuan suaminya kemudian ia
menebus dirinya seperti layaknya tawanan perang. Jika suami tidak menyukai sang istri, akan tetapi ia tetap mempertahankan istrinya dengan tujuan supaya
sang istri melepaskan dirinya dan membayar denda ganti, maka hal ini dianggap menzalimi istri. Pada kondisi seperti ini suami dilarang mengambil uang yang
diberikan oleh istri sebab khulu’nya jadi tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Qs. An-Nisa 4 : 19
16
⌧
14
Kamil Muhammad U’waidah; penerjemah M. Abdul Goffar. EM, Fiqh Wanita, cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998, h. 445
15
Ibid, h. 310
16
Saleh bin Fauzan; penerjemah Abdullah Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mustafa, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, h. 695
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Ketika istri menggugat cerai suami maka ia harus memberikan tebusan sebagai ganti kebebasannya. Masalah tebusan bagi seorang istri apabila
mengajukan cerai gugat, hal ini perlu dikaji ulang. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
َﻢﱠَ َو ِ ْﻴََ ﷲا ﱠﻰ َﺻ ﱠ ِﱠﻟا ِ ََا ْﻴَ ِ ْﺑ ِ ِﺑَﺎﺛ َةاَﺮْ ا ﱠنَا سﺎﱠَ ِ ْﺑا ِ َ :
ِﷲا َلْﻮ َر َﺎ ْ َﻟَﺎ َ َر َلﺎََ ِمَ ْ ِ ا ِ َﺮْﻜﻟا َﺮْآَا ﱢِﻜَﻟَو ِْد َ َو ِ َْ ِ ِ ْﻴََ ْﻴِ َا َﺎ ْﻴَ ْﺑ ِﺑَﺎﺛ
ِﷲا لْﻮ ْ َﻟَﺎ َ ؟ ََِْﺪَﺣ ِ ْﻴََ َ ْ ﱢدَﺮ َا َﻢﱠَ َو ِ ْﻴََ ﷲا ﱠﻰ َﺻ
: ْﻢَ َ
, ِ ْﻴََ ﷲا ﱠﻰ َﺻ ِﷲا لْﻮ َر َلَﺎ َ
َﻢَﱠَ َو :
ًﺔََْﻴِْﻄَ ﺎَﻬ ﱢَ َو َﺔَِْﺪَ ﻟا ِ ََْا ﺎﻬ ﻄﺑ ﺮ او ﻟ ﺔ اور و يرﺎﺨ ﻟا اور
17
Artinya : Dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada nabi SAW, lalu berkata : Ya Rasulullah Tsabit bin Qais itu
saya tidak cela dia tentang akhlak dan tidak agama, tetapi saya tidak suka ia mengerjakan pekerjaan kufur didalam islam. Maka Rasulullah
SAW bersabda : Apakah engkau akan mengembalikan kebunnya
17
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam
, Qahirah: Darul Hadits. 2003, hadits ke-1000, h. 182
kepadanya? Ia menjawab : Iya. Rasulullah SAW bersabda kepada Tsabit : Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan talak satu.
Berdasarkan hadits di atas bahwa istri Tsabit mengajukan cerai bukan karena ia mendapat tekanan, kekerasan dan penganiayaan dari suaminya tetapi
semata-mata karena ”kekufuran” yaitu banyak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama atau sering melakukan kemaksiatan dan perceraian itu untuk
keselamatan dan kebaikan si suami sendiri. Hal ini memberikan pemahaman bahwa gugat cerai dapat dikenakan iwadl
18
apabila semata-mata karena inisiatif si istri saja, tanpa mengalami kekerasan dan penganiayaan baik secara fisik maupun
psikis. Tetapi kalau sebaliknya, dimana istri sudah ditinggalkan selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun, tidak diberi nafkah lahir dan batin, nafkah anak,
istri mendapat penganiayaan dan berbagai bentuk kekerasan. Maka ada kemungkinan tebusannya akan hilang.
19
Jika seorang suami bertindak kasar, memukul, menyengsarakan atau menolak memberikan nafkah, giliran bermalam pelaku poligami dan lain
sebagainya yang semuanya itu dimaksudkan agar sang istri membayar tebusan atas dirinya, lalu istri melakukannya, maka khulu’ yang dilakukannya tersebut
tidak sah dan tebusan seperti itu sama sekali tidak dapat diterima yang demikian itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sya’abi, Nakha’i, Qasim bin
18
Iwadl adalah uang tebusan atau ganti rugi atas suatu harta benda yang dirusakkan atau dihilangkan. Hal ini dapat dilihat dalam istilah kamus fiqih oleh M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah,
Syafi’ah. AM.
19
Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat,
h. 32-33
Muhammad, Urwah, Amr bin Syu’aib, Hamid bin Abdurrahman, Zuhri, Malik, Tsauri, Qatadah, Syafi’i, Ishak dan Ahmad. Sedangkan menurut Abu Hanifah
khulu’ tetap sah dan tebusannya tetap berlaku tetapi si suami berdosa dan
bermaksiat.
20
C. Wewenang Hakim Terhadap Nusyuz Suami