D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini berjudul “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 KPid.Sus2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor
498Pid.B2014PN.Rap” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang
berlaku maupun dengan fenomena penelantaran anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Dalam rangka
melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di
kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Kepustakaan hukum pidana ada mengenal istilah “tindak pidana”, merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari bahasa Belanda
strafbaarfeit. Sebenarnya, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, antara lain
11
a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat 1;
:
b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No. 1 Tahun 1951 Tentang
Tindakan Sementara, dan Cara Pengadilan-Pengadilan Sipil; c.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere
bapalingen; d.
Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No. 16 Tahun 1951 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; e.
Tindak pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, UU Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana
Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana Karena Tindak
Pidana yang Berupa Kejahatan. Moeljatno menerjemahkan istilah tindak pidana strafbaarfeit dengan
perbuatan pidana. Istilah tindak pidana ini pun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang-
undangan yang memakai kata “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “perbuatan”.
12
11
Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press, 2004, hlm. 31.
Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna
12
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 55.
adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan
demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaarfeit adalah diperkenalkan oleh Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-
undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai
Pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana Pornografi.
13
Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “criminal act”. Meskipun seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang
dilarang, belum berarti bahwa ia harus dipidana. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan untuk menentukan
kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “criminal responsibility”.
14
Seseorang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Hal tersebut akan dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Kesalahan dan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti
tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Rancangan KUHP mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
15
13
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 49.
Rancangan KUHP juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak
14
Suharto RM, Hukum Pidana Materil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 29.
15
Pasal 11 ayat 1 Rancangan KUHP Tahun 2012.
pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
16
Tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.
17
Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang
oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.
18
Mengenai masalah unsur tindak pidana, menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-
tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
19
Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi: 1
Sifat melawan hukum 2
Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan
menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris
16
Pasal 11 ayat 2 Rancangan KUHP Tahun 2012.
17
Pasal 11 ayat 3 Rancangan KUHP Tahun 2012.
18
Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 50.
19
Lamintang dalam Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, op.cit., hlm. 33.
dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3 Kausalitas
Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi: 1
Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. 2
Maksud pada suatu percobaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3 Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti terdapat dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya. 4
Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5 Perasaan takut, seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
20
Secara doktrinal, di antara pakar hukum tidak terjadi kesatuan pendapat mengenai tindak pidana dalam hukum pidana. Sebagian ahli hukum ada yang
menganut pandangan monistis dan sebagian yang lain menganut pandangan dualistis. Berikut ini adalah paparan para sarjana yang menganut pandangan-
pandangan tersebut: 1
Pandangan Monistis a.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah: a
Perbuatan manusia, dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan.
20
Teguh Prasetyo, op.cit. hlm. 51.
b Diancam dengan pidana.
c Melawan hukum.
d Dilakukan dengan kesalahan.
e Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
b. Menurut Baumman, perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
c. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana. 2
Pandangan Dualistis Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1955, memberi arti pada
“perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Menurut Moeljatno, untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:
1 Perbuatan manusia,
2 Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang merupakan syarat
formil, dan 3
Bersifat melawan hukum merupakan syarat materil.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Konsep “pertanggungjawaban” dalam hukum pidana merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Ajaran kesalahan dalam bahasa
Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu
jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan an act does not
make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,
yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarangperbuatan pidana actus reus, dan ada sikap batin jahattercela mens rea.
21
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
22
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.
23
Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan
21
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Vol. 6 No. 11 Tahun 1999,
hlm. 27.
22
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75
23
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 68.
teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktik peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola dalam
menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 No.
1352K.Pid1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam
Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 No. 14KPid1992, Majelis Hakim Agung setelah mempertimbangkan bahwa tindak pidana yang didakwakan
terbukti, juga mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak pidana yang
didakwakan tidak terdapat unsur ‘dengan sengaja’, tetapi hal ini dipertimbangkan majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan
setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan.
24
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak
dipertanggungjawabkan.
25
24
Ibid, hlm. 1.
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana strafuitsluitingsgronden, yang
untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum
25
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1983, hlm. 260.
pembelaan general defence ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban general excusing of liability.
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal
yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.
Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat
yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik daad en
dader strafrecht, proses wajar due process penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat,
tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana,
sehingga sah jika dijatuhi pidana. Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat dihubungkan dengan
fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya tentang konsekuensi
hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
3. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak
Sejarah mencatat dan membuktikan bahwa anak adalah pewaris dan pembentuk masa depan bangsa. Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan
penjaminan perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non- diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak, serta menghormati pandanganpendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya
perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.
26
Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak-
anak adalah seseorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Pengertian yang dimaksud merupakan pengertian yang sering kali
dijadikan pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak. Dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, yang dijadikan kriteria untuk
menentukan pengertian anak pada umumnya didasarkan kepada batas usia tertentu. Namun demikian, karena setiap bidang ilmu dan lingkungan masyarakat
26
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Sejarah Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2011,
http:www.komnaspa.or.idKomnaspaTentang_Kami.html , diakses tanggal 19 Februari
2015, pukul 10.03 WIB.
mempunyai ketentuan tersendiri sesuai dengan kepentingannya masing-masing, maka sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan dalam menentukan batas usia
seseorang dikategorikan sebagai seorang anak. Masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum adat, walaupun
diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia semata-mata melainkan
didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam pergaulan hidup masyarakat.
Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan dewasa tidak didasarkan pada batas usia. Bahkan tidak dikenal adanya
pembedaan antara anak dan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara anak-anak
belum balig dan balig. Ditinjau dari aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase
perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seseorang anak, di samping ditentukan atas dasar batas
usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Dalam fase-fase perkembangan yang dialami seorang anak, Zakiah
Daradjat
27
1. Masa kanak-kanak, terbagi dalam:
menguraikan bahwa:
a. Masa bayi, yaitu masa seseorang anak dilahirkan sampai umur dua
tahun. b.
Masa kanak-kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun. c.
Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara 5-12 tahun.
27
Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, Jakarta: Ruhama, 1994, hlm. 11.
d. Masa remaja, antara usia 13-20 tahun.
e. Masa dewasa muda, antara usia 21-25 tahun.
Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi untuk
menentukan batasan terhadap seorang anak nampak adanya berbagai macam kriteria, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan pertumbuhan
jiwa. Dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa kanak-kanak terakhir, yaitu sejak dilahirkan
sampai usia 12 tahun. Namun karena dikenal adanya masa remaja, maka setelah masa kanak-kanak berakhir seorang anak belum dapat dikategorikan sebagai
orang yang sudah dewasa, melainkan baru menginjak remaja pubertas. Atas dasar hal tersebut, seseorang dikualifikasikan sebagai seorang anak
apabila ia berada pada masa bayi hingga masa remaja awal, antara usia 16-17 tahun.
Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum pidana, akibat hukum terdapat kedudukan seorang anak
menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Dalam konvensi tentang Hak-Hak Anak, secara tegas dinyatakan bahwa:
“For the purposes of the convention, a child means every human being below the age of 18 years unless, under the law applicable to the the child, majority is
attained earlier”.
28
28
The United Nations Children’s Fund, Convention on the Right of the Child, Resolusi PBB Nomor 4425, 20 November 1989. Pengertian anak menurut konvensi ini adalah setiap orang
yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, merumuskan pengertian anak sebagai berikut:
“Anak adalah seorang yang yang belum mencapai usia 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.”
Penjelasannya diuraikan lebih lanjut bahwa batas umur 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan
sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula
mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.
Dari kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria seorang anak walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun apabila
diteliti beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur masalah batas usia anak, juga terdapat keanekaragaman:
a. Seseorang yang dikategorikan berada di bawah umur atau belum dewasa
apabila ia belum mencapai umur 16 tahun Pasal 45 KUHP.
29
b. Batas kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17 tahun Pasal 283
KUHP. c.
Batas umur dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun Pasal 287 KUHP.
29
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Dari ketiga ketentuan tersebut, apabila diterapkan terhadap persoalan pertanggungjawaban pidana maka yang dikategorikan sebagai anak di bawah
umur adalah apabila belum mencapai usia 16 tahun. Hal inilah yang membedakan keadaan seseorang termasuk dalam kategori sebagai seorang anak
atau seseorang yang telah dewasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, anak adalah yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun.
30
Batas usia tersebut sejalan dengan penentuan seorang anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut, anak didik pemasyarakatan, baik anak pidana, anak negara maupun anak sipil
adalah anak binaan yang belum mencapai usia 18 tahun. Begitu juga menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
31
Konsep KUHP menentukan usia 18 tahun sebagai batas pertanggungjawaban bagi seorang anak. Secara tegas Pasal 113 Konsep KUHP
tahun 2012 menyatakan: 1
Anak yang belum mencapai umur 12 dua belas tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
30
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
31
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2 Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur
antara 12 dua belas tahun dan 18 delapan belas tahun yang melakukan tindak pidana.
32
Dikategorikan seorang anak di bawah umur apabila seorang anak berada di antara usia 12 tahun sampai 21 tahun. Namun dari beberapa peraturan perundang-
undangan yang dibentuk pada periode selanjutnya secara umum membatasi kategori seorang anak pada usia di bawah 18 tahun.
Menurut Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa: “Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Istilah “perlindungan anak” child protection digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Istilah
tersebut mengandung arti perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar
setiap hak sang anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak- hak lainnya dan menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka
butuhkan agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.
32
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, tahun 2012.
Perlindungan anak mencakup masalah penting dan mendesak, beragam dan bervariasi tingkat tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
33
Komitmen negara dalam perspektif kenegaraan adalah untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945. Hal tersebut tercermin dalam kalimat: “... Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu ...”. Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana
disebutkan dalam alinea ke-IV UUD 1945 tersebut, selanjutnya dijabarkan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia HAM. Khusus untuk perlindungan anak, Pasal
28B ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dari
diskriminasi. Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-
hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
33
UNICEF, Perlindungan Anak: Sebuah Buku Panduan bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 2004,
http:www.unicef.orgindonesiaidresources_7444.html , diakses tanggal 19
Februari 2015, pukul 10.10 WIB.
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
34
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat “Prinsip
Umum Perlindungan Anak” yang harus menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain:
35
a. Prinsip Nondiskriminasi
Semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini sangat
jelas, memerintahkan kepada Negara-Negara Pihak untuk tidak sekali-kali melakukan praktik diskriminasi terhadap anak dengan alasan apapun. Dengan
demikian, siapa pun di negeri ini tidak boleh memperlakukan anak dengan memandang ia berasal dari aliran atau etnis apa pun.
b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak Best Interest of the Child
Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut
masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu
baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah
penghancuran masa depan anak.
34
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
35
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 53
c. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan the Right to
Life, Survival and Development Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap
anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk
menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk
memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan kata lain, negara tidak boleh membiarkan siapa pun, atau institusi
mana pun, dan kelompok masyarakat mana pun mengganggu hak hidup seorang anak.
Hal demikian juga berlaku untuk pemenuhan hak tumbuh dan berkembang. Tumbuh menyangkut aspek-aspek fisik, dan berkembang menyangkut aspek-
aspek psikis. Implementasi prinsip ini berarti negara melalui instrumen regulasi nasional maupun institusi nasional yang dimiliki harus mendorong tumbuh
kembang anak secara optimal. Jangankan melakukan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi, pengabaian pun sangat dilarang karena akan mengganggu tumbuh
kembang anak. d.
Prinsip Penghargaan Terhadap Pendapat Anak Respect for the Views of the Child
Poin terpenting dari prinsip ini, anak adalah subjek yang memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi lemah,
menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki
pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.
F. Metode Penelitian